Saya tahu, rasa tak suka ini muncul bukan karena saya
membenci kamu. Juga bukan karena kamu memiliki kesalahan dengan saya. Rasa tak
suka saya ini muncul karena saya merasa jauh tertinggal dari kamu. Jauh
terbelakang dari kamu, dan jauh lebih tak berarti dari kamu.
Apa saja yang kamu lakukan—meski itu bukan kebaikan menurut
saya—kamu selalu dianggap baik olehnya. Dianggap malaikat bersayap yang penuh
cinta. Meski yang ingin kamu lakukan justru ingin mendorongnya masuk jurang. Kamu
akan tetap dianggap penyelamat.
Sedangkan saya,
Saya yang mati-matian berdiri untuk menolongnya dianggap
seperti malaikat pencabut nyawa. Yang sedetik saja ia tak mau melihat. Saya yang
berusaha membuatnya mengerti bahwa hidup bukan hanya untuk hal duniawi saja
dianggap debu menumpuk yang seharusnya hilang dalam sekali kibasan.
Bagaimanapun, kamu adalah pemenang dan saya yang
terkalahkan.
Bagaimanapun, kamu adalah yang terbaik—meski saya tak begitu
paham, apakah kamu benar-benar baik?—sedangkan aku hanya menjadi orang
terbelakang.
Bagaimanapun, saya akan menjadi orang yang selalu
disalahkan. Sedangkan kamu, menjadi orang yang paling hebat di matanya.
Saya jelas iri dengan kamu.
Saya lelah untuk berbaik hati, tapi pada akhirnya kamu yang
di damba.
Ya, apakah benar saya melakukan ini semata-mata hanya karena
ingin pengakuan bahwa saya yang paling sabar? Sepertinya tidak. Sabar atau
tidak pun, saya tak akan pernah teranggap lagi.