♫♬

Tuesday, September 30, 2014

Dan Aku

Dan aku hanya bisa melihatnya pergi, hilang, dan tak peduli. Oh Alam... Biarkan rasa kecewa ini terbang bersama anggota tubuhmu;angin. Biarkan ia pergi melalang buana hingga ia lupa bagaimana caranya kembali.

Dan aku, hanya bisa meratap. Menikmati takdir yang rasanya begitu pilu untuk dinikmati. Oh Tuhan.. Jika begitu adanya takdir yang harus kujalani. Kuatkan hatiku, agar ia tak menyumpahi segala takdirMu..

Dan aku, hanya bisa terdiam.
Dan aku, hanya bisa menahan rindu.
Dan aku, hanya bisa berserah.

Anggap saja aku bosan menikmati hidup bersamanya, katakan padanya bahwa aku ingin dia pergi. Aku sudah muak memadu kasih setiap hari, hanya dengan rengutan bibirku yang harusnya melengkung bahagia.

Katakan juga padanya, bahwa selama ini aku tak bahagia merajut cerita dengannya.

Tolong sekali lagi, katakan padanya aku tak ingin dia ada.


Pada dia—sedih juga kecewa.

Monday, September 29, 2014

30 September 2014

Hari ini.

Apa yang harus dijelaskan? Mana mungkin ada satu peristiwa yang terjadi lagi pada hari ini. Semua telah menjadi debu yang hanya memburamkan pandangan. Debu ang semakin menggumpal, dan tak bisa terbang meski ditiup berkali-kali.

Katanya, ukhuwah itu ada. Namun antara aku dan kau, ukhuwah itu rasanya semu. Bahkan tak ada, janji-janji pertemanan yang dulu kuagungkan, sekarang tinggal cerita. Cerita pahit tentunya.

Berulang kali aku berusaha menerjemahkan hikmah di balik cerita ini. Berulang kali aku terhenti, tapi akhirnya dengan sisa tenaga aku bangkit lagi.

Bibir yang darinya sering terlontar kata-kata manis bermakna sayang sekarang berubah bisu. Tak bersuara. Darinya telinga yang sering mendengarkan keluh kesahku, kini menjadi tuli tak mau mendengar. Dan darinya tangan yang selalu berbaik hati terulur untuk membantuku kini lumpuh tak mau bergerak. Adakah itu fase paling bahagia?

Apa yang aku harapkan lagi jika semua pancaindra padamu tak lagi dipinjamkan untukku? Apa lagi yang harus kuagungkan atas nama setia jika sekalipun aku terjatuh di depan matamu kau enggan menolong?

Bukan tak ada rindu, bukan tak ada lagi sayang yang tersemat dalam dadaku. Semua masih utuh, rapi dan belum kubuang. Semuanya masih sama, seperti dulu.

Tapi sekali lagi, apa gunanya rindu jika rindu itu hanya aku yang rasa? Apa gunanya aku bermimpi persahabatan dengan dasar cinta padaNya jika kau tak pernah bersuara?

Biarlah rindu itu terus ada, biarkan sayang itu tetap tersimpan rapi. Walau rajutan cerita di antara kita terputus, meski semuanya telah usai, meski semuanya telah hancur lebur.


Biarlah. Mungkin memang Tuhan mewajibkanku untuk menunggumu dan mewajibkanmu untuk pergi. Dengan begitu, sampai langit tergulung pun. Kita tak akan pernah bisa bertemu. 

Besok.

Besok.

Aku tak banyak berharap, tak banyak mengingat, tak banyak tenaga untuk menangis lagi. Jadi, lebih baik aku diam saja—walau tetap menulis. Bukankah katanya diam itu adalah emas?

Besok,
Aku bahkan hampir benar-benar melupakannya. Sayang, tiba-tiba memori otakku kembali lagi ke tanggal yang sama.

Tak ada lagi air mata yang menetes memang, hatiku lambat laun sudah kebal. Untuk sekadar bersedih pun rasanya rumit. Dan lupa.

Entahlah, pertemanan atas nama kesetiaan itu rasanya omong kosong di antara kita. Sayang atas nama pertemanan juga rasanya adalah bualan semata. Kita? Ah, aku dan juga kau. Tak ada ‘kita’ lagi sampai kapanpun. Tak ada rajutan cinta dalam dekapan ukhuwah lagi sampai saat ini.

Jika aku akhirnya berbalik dan berlaku sama sepertimu, apakah Tuhan akan marah? Apakah hanya aku yang diwajibkan berjuang merajut cerita yang terputus dan kau bertugas sebagai orang yang menyia-nyiakan usahaku?

Besok,
Kali ke3 rangkaian cerita buruk itu mampir sebagai kenangan yang menganggu. Tak banyak perbedaan, selain sikapmu yang semakin membual. Tak masuk akal.


Baiklah, biarkan saja rangkaian cerita yang terputus itu begitu terus keadaannya. Selamanya. Rasanya, berusaha mengukir cerita kembali di atas lingkaran pertemanan itu adalah hal yang konyol. Tak mungkin.

Besok, tanggal terakhir di bulan September.

Saturday, September 27, 2014

#HBD18THMBOB ♥

Pertama, tak pedulilah dari siapa ucapan pertama ulang tahunmu. Memang, apa pentingnya pertama kedua ketiga dan terakhir? Toh, tanpa atau dengan ucapan yang pertama itu tetap saja usiamu bertambah satu hari ini..

Kedua, terimakasih masih berdiri di sampingku walau dari kejauhan. Terimakasih telah membuatku mengerti bahwa hidup itu memang terlalu indah untuk menangis. Terlalu indah untuk disia-siakan hanya demi manusia-manusia berhati batu.

Ketiga, Semoga apapun yang kulakukan hari ini mampu mengubah sedihmu menjadi seutas senyum.  Meski sederhana, meski terbilang apa adanya. Kuharap tetap berarti untukmu. Untuk bahagiamu,Mbob.

Keempat, kelima dan seterusnya.
Selamat ulang tahun, selamat bertambah usia, selamat bahagia...
Jangan ada sedih apalagi duka,
Jangan ada kecewa apalagi tangis,
Meski aku jauh, meski kita tak saling bertatap muka.
Namun, jiwaku ada di sana.
Menemani pertambahan usiamu, menjagamu dalam do’aku.
Selalu...
Iloveyou,Cinta..






Wednesday, September 24, 2014

Superhero, Maafkan Saya.

Ada rasa bersalah yang sebenarnya yang saya pendam padamu, lelaki yang tegar lagi baik hati. Rasa-rasanya saya ingin menuliskan ini sejak lama. Dan ingin sekali kau membacanya. Barangkali dengan tulisan, saya akhirnya bisa membiarkanmu menelaah pintalan kata yang saya rangkai terkhusus untukmu. Tapi, akhirnya saya tak pernah bisa menuliskan itu. Apalagi mempersilahkanmu membacanya dengan leluasa.
Garis-garis wajahmu sudah mengendur. Boleh jadi karena kau terlampau lelah mencarikanku sepiring nasi setiap harinya. Boleh jadi karena kau telah lelah melawan keadaan. Boleh jadi karena kulitmu memang sudah waktunya menua. Saya merasa bersalah ketika melihatmu berjuang keras padahal saya hanya bisa duduk manis belum bisa melakukan apa-apa.
Di sini saya telah banyak belajar darimu. Dari orang yang saya pikir superhero masa kini. Tak ada yang lebih berarti dalam hidup saya daripada melihat kau tersenyum. Melihat tawamu yang lepas—walaupun bukan karenaku.
Superhero,
Selama hidup bersama. Saya tahu, sayalah yang berandil besar membuat kepalamu pengap dan rasanya ingin meletus. Saya banyak bicara, saya banyak meminta dan akhirnya paling banyak membuatmu kecewa.
Supehero,
Barangkali setiap pembiacaraan kita selama ini saya sering membuat kau tersakiti. Mungkin, omongan saya kasar? Sekali lagi, saya hanya mampu menuliskan kata maaf untuk kesekian kalinya.
Saya juga bingung. Kenapa, saya selalu saja membuatmu kecewa. Saya sudah meminta maaf, lalu saya melakukan hal yang sama lagi. Sampai akhirnya, saya memutuskan untuk tak menyampaikan maaf saya kali ini. Saya takut hanya membuat kesal dan kecewa lagi dikemudian hari.
Saya paham sekali bagaimana kau berjuang susah payah membuatku bahagia. Dan lagi, saya tak pernah cukup puas dengan itu. Maaf. Saya mungkin terlalu bebal mendeskripsikan kehidupan dan kesederhanaan sepertimu yang selalu tegar dalam kesederhanaan.
Superhero yang paling nyata.
Hidup dengan bayang-bayang kesalahan sebenarnya memang tak pernah menyenangkan. Selalu ada sesak yang menjalar, selalu ada tangis dalam kegelapan. Sekali, dua kali, tiga kali. Saya tahu, kau tak akan pernah berpaling dengan cintamu terhadapku. Tapi justru itu yang membuat rasa bersalah saya semakin besar.
Baiklah superhero sayang...
Akhirnya, hari ini saya menuliskan kata-kata yang sudah lama saya pendam. Mungkin benar, sehebat apapun tupai melompat akhirnya jatuh juga. Sekuat apapun saya memendam. Saya akhirnya akan mengatakan apa yang saya pendam.
Pertama, saya berharap kau membaca ini—entah kapan pun itu. Terimakasih superhero. Telah menebar kebaikan dalam hidupku. Tapi seperti yang saya katakan, tulisan ini bukan untuk berterimakasih tapi untuk meminta maaf.
Kedua, saya benar-benar menyesal. Menyesal pernah membuatmu sakit hati barangkali atas semua perlakuan dan perbuatanku yang tak sesuai pintamu. Sekali lagi, tulisan ini juga tidak untuk mengutarakan penyesalan. Tapi, permintaan maaf.
Ketiga, sudahlah. Terlalu panjang jika saya buat point-point seperti ini.
Superhero, satu kata untuk semuanya. Maafkan saya. Anakmu...



Sunday, September 7, 2014

Sayangnya. Hidayah itu Tak Bisa Kubeli

Sayangnya, Hidayah tak bisakubeli.

Benar memang, tugas saya hanyalah mengingatkan sekuat tenaga saya. Berkata baik juga menasihati penuh cinta. Pada akhirnya, semua tergantung pada kamu. Pada kalian. Pada siapa saja yang pernah saya ingatkan. Saya tahu, saya bukan Tuhan yang punya kuasa. Itu sebabnya, sekuat apapun saya berusaha menarik kamu dalam lingkaran yang saya inginkan. Lagi-lagi berakhir pada kehendakNya. Tuhan. Sang pemiliki hati.

“Siapa saja yang dikehendaki Allah memperoleh kebaikan, niscaya Allah akan menjadikannya mengerti dalam urusan agama.” – HR.Al-Bukhari.

Ya, benar memang. Siapa saja, seluruh umat manusia di seantero bumi. Akan menjadi tunduk dan taat pada agamaNya jika Dia berkendak.

Maaf, kalau selama ini saya terlampau berharap kepada kamu untuk mengikuti apa yang menurut saya baik. Apa yang menurut saya benar, dan apa yang kamu belum tahu. Saya melakukan itu semua bukan karena saya merasa dengan jilbab lebar saya, saya menjadi suci. Lalu saya berhak menuntut kamu untuk berjalan bersama saya. Tidak. Bukan itu alasannya.

Saya mengajak kamu susah payah, menjadi pasukan barisan yang paling depan. Itu semata-mata karena saya begitu menyayangi kamu. Begitu mencintai kamu karenaNya. Bukan karena hal duniawi semata. Saya bahkan tak merasa keberatan—walau saya lelah—berdiri di sini dengan ketidakpedulian. Sebab sekali lagi, saya menyayangi kamu. Saya hanya berusaha sebisa mungkin orang yang saya sayangi berjalan satu kubu dengan saya. Bukan malah bertolak belakang dengan apa yang saya lakukan.

Mungkin,
Mungkin saya lupa selama ini. Bahwa dalam mengingatkan bukan hanya butuh kebenaran atau semangat yang membara. Saya lupa satu hal. KESABARAN! Selama ini saya terkesan memaksa—walau sebenarnya berharap. Yah, saya lupa makna kesabaran. Saya lupa untuk bertawakal pada Allah. Saya hanya terobsesi dengan ‘bagaimana kamu bisa berjalan dengan saya’.

Dengan tulisan ini, bukan berarti saya akan berhenti mengajak kamu untuk berbaik hati mengerti. Tapi lewat tulisan ini, saya memberi tahu kamu. Bahwa meski saya telah hijrah, saya masih tetap manusia biasa dan saya bukan malaikat.

Dengan demikian, berarti kamu pun boleh jadi lebih baik dari saya. Hanya saja, kebaikanmu itu harusnya kamu sempurnakan dengan balutan pakaian takwa.

Jika saya bisa membeli hidayah, saya akan belikan dan menghadiahkannya satu-satu untuk orang yang saya sayangi. Dan jelas, orang itu termasuk kamu. Orang yang sampai detik ini saya inginkan perubahannya. Sayangnya, hidayah itu tak mampu kubeli. Hidayah itu diperjuangkan mati-matian. Dicari dengan sepenuh hati, lalu dijaga sekuat tenaga.

Ah, saya lupa lagi. Saya hanya butuh sabar dalam menantimu berjalan ke kubuku. Saya yakin, hal itu pasti terjadi. Entah kapan. Allah maha membolak balikkan hati. :') 

Untuk kamu, kalian, dan siapapun.
Semoga akhirnya Allah membuatmu mengerti.


Si Hitam.

Si Hitam!

Di sini tak ada pagi, karena pagi, siang, sore ataupun malam tetap berwarna sama. Di sini tak ada waktu, sebab waktu memang tak ada guna. Butir-butir waktu yang seharusnya menjadi pergantian siang-malam bahkan tak pernah terjadi. Siapapun yang mencoba bermain-main dengan waktu. Akan ditebas habis. Entah itu kepala, tangan, atau kakinya. Dia, tak akan selamat!
Lain hal dengan waktu, ada yang harus mengikuti aturan mainnya. Cahaya tak boleh sedikitpun masuk dalam kota ini. Cahaya ibarat suatu hal yang diharamkan ada. Dihujat mati-matian jika ada yang berani-berani mencongkel cahaya keluar dari sarangnya.
“Kau seharusnya tak berlaku seperti ini,” kata perempuan tua menasihati dia. Tertunduk takut-takut untuk bersuara.
“Siapa kau? Aku, tak peduli dengan yang telah terjadi!” Dia membentak. Tangannya siap-siap mencengkeram. Matanya menembus mata perempun tua itu, tak ada yang bisa menolong. Mata itu, sinar itu, kegelapan. Perempuan itu merapuh, jatuh terduduk dengan kepala lunglai. Dia beraksi! Kepala tak berdaya itu ia cengkeram kuat-kuat, menekannya perlahan sampai pecah. Isi kepalanya ditarik, kepalanya ditebas sekali lagi dan sempurna apa yang ada di dalamnya berhamburan keluar. Tangannya, kakinya, ia cacah dengan telunjuk runcing yang selama ini menjadi senjata paling ampuh untuk siapa saja yang menghalangi aksinya. Termasuk perempuan tua malang ini!
***
Dulu, kota ini adalah kota yang penuh keindahan. Sejauh mata memandang tak ada cacat sedikitpun. Semua sempurna. Keindahan berubah semenjak dia datang. Dia menghancurkan kota. Dia menghilangkan warna secara perlahan. Burung camar yang berterbangan kini diubahnya menjadi burung hantu. Warna-warni lampu kota diubahnya menjadi lampu temaram yang hampir habis dayanya. Ah, gila! Dia benar-benar gila.
Sebulan kemudian, ah bulan? Memang ada bulan di sini? Entahlah. Tak selang berapa lama setelah dia membabi buta merajuk menghancurkan kota. Kota ini benar-benar gelap. Titik-titik cahaya sudah disumbat habis olehnya, semakin warga di sini mengorek puing-puing cahaya. Semakin dibuat gelaplah kota ini.
Kehidupan di sini menjadi hambar, tak terasa bahagia. Indah apalagi, hanya keindahan gelaplah yang ada. Itupun, jika gelap digolongkan menjadi suatu keindahan. Lampu-lampu jalan yang terlihat lebih terang dari yang lain akan dihantam. Berantakan.
***
Langit gelap, pohon hitam, daun buram, orang berlalu lalang berwarna samar-samar—entah hitam entah abu-abu. Satu dua orang bahkan terlihat hitam legam, kepalanya ada yang tak dibawa. Tangannya ada yang hilang sebelah. Itu semua ulah si hitam! Untung saja tak ia tebas habis semua badannya macam perempuan tua waktu itu. Jika tidak, habislah sudah riwayat mereka. Semua berlalu lalang mengerjakan aktivitas.
Di sudut perkebunan stoberi. Wanita cantik berambut panjang—meski kecantikannya tak dapat terlihat jelas. Setidaknya ia lebih bercahaya dari orang-orang di sini. Matanya bercahaya putih, bersih, juga indah. Tak ada yang memiliki tatapan mata seindah itu di kota ini. Dia adalah satu-satunya sumber cahaya sesungguhnya. Cahaya yang tersisa dari cahaya yang disumbat habis oleh si hitam itu. Dan si hitam itu tak akan pernah menang melawan sorot matanya. Telunjuk runcingnya yang mencacah tubuh-tubuh orang di kota ini tak akan sanggup menyentuh setiap inchi bagian tubuh wanita cantik ini untuk disakiti. Tidak akan pernah bisa!
***
Si hitam duduk termenung di dekat air mancur. Sendirian. Menepi dari keramaian. Toh memang, selama ini dia hanya hidup sendirian. Meski nyatanya orang-orang berada di sekitarnya, tak ada yang menganggapnya berarti. Tak lain hanya seonggok sampah yang terpaksa dipatuhi. Dia tahu itu tapi dia tak keberatan! Karena dia datang ke kota ini untuk merusak, bukan untuk bersahabat dengan orang-orang yang menurutnya bodoh!
Dua anak muda gagah perkasa, berbadan lebih besar dari pada si hitam mendekat dengannya. Tersenyum menyungging meremehkan. Baju putih-putih yang mereka kenangan terlalu suci untuk dikatakan preman. Dan terlalu sangar untuk dikatakan malaikat. Dia tak terima, berdiri dan menantang kedua anak muda itu.
“Heh! Mau apa kau? Berani-beraninya kau menatapku seperti itu!” Gertaknya. Tak banyak berkata, kedua anak muda berbaju putih itu mendekat. Satu orang mencengkram dan merapatkan tubuh kekarnya ke si hitam. Si hitam mendorong tubuh kekar itu. Dengan sekali dorong, anak muda itu jatuh. Tekapar. Aksinya, di mulai lagi. telunjuk runcingnya, bak sebilah pisau yang baru saja diasah. Menekannya dengan santai ke tubuh yang ada di hadapannya. Dari kepala terus ia tekan sampai ke dada. Darah muncrat. Tubuh itu erbelah sebagian. Dan ia biarkan anak muda itu terkapar tak bernapas. Belum puas melihat pemuda itu mampus. Ia tarik lagi sebagian badannya, ia remukkan tulang-tulang yang tampak. Remuk.
“Kalian tak akan bisa melawanku!” Dia mengamuk. Menatap pemuda yang tersisa dengan tatapan penuh amarah. “Kau! Akan mati sama seperti dia,” katanya sambil tertawa.
Pemuda itu tersenyum tak berkata apapun. Dan sekelabat, ketika si hitam mengamuk tak karuan. Yang tangannya berusaha mencengkram, di saat itupula. Pemuda itu menghilang. Dan kembali muncul tepat dibelakangnya. Menusuk perlahan membiarkan sebilah cahaya menusuk perutnya, tertahan. Si hitam meringis kesakitan, ia tak bisa melawan. Cahaya itu tak bisa ia lepaskan dari perutnya. Telunjuknya tak bisa digerakkan, dia benar-benar tak bekutik.
“Rasakan penderitaan ini! Kau tak akan bisa mati! Kau akan tersiksa!” Pemuda itu menarik temannya yang sudah terbelah menjadi dua, membawanya pergi. Menghilang sekejap mata.
“Mampuslah aku! Kenapa cahaya bodoh ini harus ada di sini! Sial!” Dia menyumpah-nyumpahi kekalahannya. Dia berjalan tehuyung. Menahan sakit yang luar biasa, darah mengalir tak tahu diri! Cahaya itu semakin menusuknya. Perlahan. Membesar. Separuh dari perutnya sudah berlubang, tampak isi perutnya bergelantungan, mengucur darah segar.
Dia terus berjalan. Mencari jalan, ingin pulang. Kemana saja yang menerimanya, kemana saja yang bisa membantunya, kemana saja asal ia terbebas dari luka menganga. Ia tak peduli lagi dengan rasa sakit yang ia rasa, mata-mata orang yang berlalu lalang juga tak ada yang tertuju pada si hitam. Semuanya tak acuh, itulah akibatnya.
“Matilah kau! Akhirnya kau mati, bodoh!” Seseorang berkata dari kejauhan sambil menatap sinis si hitam. Si hitam menghela napas panjang, mencoba berjalan secepat mungkin. Kakinya lunglai. Kehabisan tenaga, tapi ia tak mampus juga.
Kenapa aku tak mampus saja dibuat pemuda gila itu! Gerutunya dalam hati. Ia benar-benar kehilangan akal—atau memang selama ini tak berakal.
Kakinya terus berjalan, tak peduli apapun yang ada di hadapannya. Mata-mata sinis yang selama ini ia lukai, orang-orang yang kehilangan mata, kaki juga tangan. Semuanya menyaksikan keadaannya. Tak ada yang mengiba. Semua tersenyum bahagia.
***
Setelah lama sekali ia berjalan, ia akhirnya memilih untuk duduk di bawah bungkusan-bungkusan kantung berisikan buah stroberi yang sedang berbuah. Stroberi putih yang hanya ada di kota gelap ini. Dia menunggu detik-detik kematiannya, yang entah kapan terjadi. Ia berubah menjadi peyot, tubuhnya melemah, telunjuk runcingnya tinggal tulang.
“Kau, kenapa kau di sini?” suara merdu bertanya. Sorot mata indahnya menatap mata si hitam lamat-lamat. Si hitam tak mampu melihat. Silau, keindahan itu momok menakutkan untuknya. Tidak! Dia tetap tak butuh bantuan siapapun.
“Tak usah sok baik denganku. Pergilah,” Katanya parau.
“Seharusnya kau yang pergi, ini kebun stroberiku. Aku pemiliknya,” jawab wanita besorot mata indah itu.
“Jangan tatap aku, tatapan matamu membuatku semakin kesakitan. Aku tak suka cahaya!” Dia berteriak-teriak tak terkendali.
“Kau hanya tak mau membiasakan dirimu dengan cahaya. Kau, terlalu bebal! Kau, tak pernah mencoba mengerti. Kau, ah. Kau bodoh! Cahaya ini membuatmu hidup, seharusnya! Tapi kau malah asik-asikan bermain dengan gelap. Mengubah kota ini menjadi kota yang paling buruk! Sadarlah,” wanita itu duduk di hadapannya. Menatap matanya. Memegang garis-garis wajah yang sekarang sudah mengendur. Cahaya itu membuatnya menua lebih cepat.
“Jauhi aku!” Tulang-tulang tangannya berusaha mendorong perempuan yang memegang wajahnya. Bagian kakinya mulai menghilang, berubah menjadi debu. Sedangkan perempuan itu tetap memegang wajahnya.
“Rasakan ini. Nikmati ini, kuharap kau mengerti.” Perempuan itu mendekatkan tubuhnya pada orang yang paling dibenci di kota ini. memeluknya erat. Mendekatkan matanya ke mata si hitam. Menatapnya dan memaksa si hitam melihat mata bersinar itu.
Si hitam ketakutan, sepanjang sejarah baru kali ini ia ketakutan. Ia tak bisa menolak, ia tak bisa berlari, kakinya sudah hilang. Kembali lagi ia rasakan pelukan hangat itu, perempuan itu, semuanya. Ia tak mengerti bagaimana cara menikmatinya. Mencoba menikmati mati-matian. Sedetik, dua detik, dan seterusnya. Perempuan itu berubah menjadi cahaya yang semakin membesar. Menyilaukan mata. Si hitam pun hilang bersama pelukannya bersama cahaya itu...
Kota gelap, hilang....

1304 Word. Surealis, sure i think i failed. Pfff.
Semoga ke-absurdan tulisan ini bisa ditangkap maknanya. Atau seenggaknya, bisa menghibur. Mwah! :*

Diikutkan tantangan super kece #FiksiSurealis By @KampusFiksi.


Saturday, September 6, 2014

Kamu. Pengukir Cerita Tak Ber-ending

Saya rasa saya memang bukan siapa-siapa. Dan saya pikir saya memang tak akan pernah jadi siapa-siapa. Selelah apapun saya berusaha, dan setegar apapun saya untuk bertahan. Akhirnya apa yang saya lakukan tak lebih dari pengganggu belaka.

Saya sudah berulang kali membujuk hati saya agar dia berhenti mencoba menaklukkan kecewa. Saya sudah berulang kali mengutarakan pada diri saya sendiri, bahwa masa lalu telah tertinggal di belakang. Masa lalu tak layak untuk dikenang. Masa lalu bukan untuk diratapi. Karena masa lalu, tak mungkin bisa kembali.

Saya selalu berpikir positif kepada kamu. Kepada masa lalu yang membuat saya selalu berdiri paling depan dalam menyemangati perubahan yang saya harapankan terjadi pada dirimu. Tapi nyatanya, barisan paling depan itu terkadang memang menjadi barisan yang paling terlupakan. Saya contohnya. Dan saya tak begitu paham, kapan saya akan benar-benar lelah untuk berdiri dengan segudang ketidakpedulian.

Kalau saja kamu mengerti, kalau saja kamu sedikit membuka mata. Saya yakin, saya tak akan terus-terusan berkeliaran di sini demi kamu. Karena bagaimanapun, tentang perubahan, hidayah, istiqomah hanya datang ketika seseorang mau mencarinya dan menjaganya. Saya hanya bisa berdiri dari kejauhan, melihatmu dengan segudang penyesakan. Namun, saya hanya bisa diam.

Saya tak pernah berpikir sesulit ini, apapun yang keluar dari mulut saya rasanya tak pernah kamu anggap berarti—meski itu sebuah kebaikan. Tak banyak harapan saya, saya hanya minta. Kamu membuka mata sedikit, dan lihat apa yang telah saya lakukan. Apa itu tak cukup untuk membuatmu berbicara—walau hanya sepatah kata?

Semua jawaban itu di kamu.

Kamu, pengukir cerita yang tak pernah bisa kutelaah endingnya.