♫♬

Thursday, August 28, 2014

Aku Tegaskan Bahwa Aku Merindu

Tak bisa dipungkiri, ternyata rindu itu menyerukan rasanya. Aku pernah bilang, bahwa perpisahan tak terlalu menggangguku, karena toh kenyataannya aku sering berpisah dengan orang yang menurutku berarti...

Tapi, kali ini benar. Aku kalah dengan keadaan. Bahkan aku sangat merindukan kalian. Tak perlulah kalian tahu bagaimana rinduku ini tiba-tiba beranak pinak.

Kalian tahu? bahkan hal yang paling memuakkan saja aku rindukan. Saling menyalahkan dalam hal tertentu menjadi satu hal yang paling aku ingat. Aku rindu perkelahian di antara kita, atau hanya sebuah debat tak berguna dari bibir ke bibir. Atau ke-sok-kompakan kita yang perlu kuakui, ada sisi lain yang benar-benar membuatku menjadi satu dengan ke-sok-kompakan itu.

Aku rindu dengan canda tawa kalian yang terkadang membuatku merasa asing. Aku rindu senyum kalian yang terkadang tak kuharapkan. Aku juga rindu dengan sapaan kalian yang entah itu dari hati atau hanya sekadar basa-basi. Aku rindu ketika kalian menganggapku sok paling benar, hahah. Lucu. Tapi jujur saja, hal itu yang terus melekat.

Ada satu masa di mana tak ada sekat di antara kita, tak ada kelompok dan pemetakan anggota. Aku rindu ketika kita saling berjuang bersama-sama meraih keberhasilan menuju masa depan. Aku rindu sekali dengan bibir-bibir yang selalu nyeletuk nakal dan berkomentar ini itu.

Apakah kalian merasakan hal yang sama denganku? Konyol memang. Ketika masih bersama, banyak sekali perbedaan, perselisihan, tapi ketika jauh seperti sekarang. Ternyata perbedaan dan perselisihan itu pulalah yang jelas kurindukan. Tak ada lagi yang berkomentar ini itu tentangku, aku juga tak mungkin bisa berkomentar tentang kalian.

Ada hal yang paling menyakitkan...
Ketika memori tentang kalian menyeruak dalam dada. Ah, aku ingat bagaimana tingkah kita memperlakukan “sebuah makanan”. “Aku maauuuuu!” Kata kita bersamaan. Menganggap makanan yang lain adalah bagian dari makanan kita. Itulah yang tak kudapatkan sekarang. Tak ada yang rusuh ketika aku makan, tak ada lagi yang membeli kueku *eh* ;(

Teman seperjuanganku Akuntansi...
Aku merindukanmu, sangat. Semoga perbedaan yang selama ini tercipta tak menjadi benci di antara kita. Ketahuilah, meski perbedaan di mana-mana. Aku yakin, suatu saat rindu itu akan muncul. Rindu dengan perbedaan itu, ah terlalu panjang. Aku hanya ingin sekali lagi menegaskan. Aku, rindu, kalian.{}:*



Hijrah? Mudah. Istiqomah yang Susah.

Assalamualaikum..

Benar memang. Ada fase di mana semua rasa ingin tahu, ingin berubah, ingin mengenalNya lebih jauh itu luntur. Samar. Tak berbentuk lagi.

Benar memang, ada saat di mana semua semangat itu lambat laun memudar. Terkalahkan dengan hal yang jauh lebih memuaskan hati. Termasuk pandangan manusia dengan apa yang kita lakukan.

Aku tahu susahnya melawan hawa nafsu. Meluruskan niat yang kadang bercabang, berliku, tak pernah melulu lurus. Aku, paham betul rasanya berjuang untuk tetap tegak dalam arus yang berbeda di zaman yang sedang berkembang.

Aku, pernah merasakan ingin kembali—ke masa lalu. Ke masa di mana semua temanku masih berdampingan denganku. Masa sebelum kerudung yang kupakai sepanjang dan selebar ini. Masa di mana aku tak mempedulikan batas auratku yang sesungguhnya. Juga tak mau tahu tentang syari’at yang diwajibkan atas setiap muslimah yang telah beranjak dewasa.

Beruntunglah, manusia bebal sepertiku tidak benar-benar terseret oleh bayang semu tentang indahnya dunia yang tak kekal adanya.

Terlampau bebal memang manusia sepertiku. Diberikan kenikmatan berupa hidup yang meski tak berlebih tapi masih cukup pun tetap saja tak tahu diri.

Apa yang dimintaNya tak aku hiraukan. Apa yang diwajibkannya mana kupedulikan. Allahurabbi, pantaskah aku menginjak bumi yang Kau ciptakan ini?

Hijrah. Bukan tentang seseorang yang berubah lalu menjadi malaikat. Hijrah adalah tentang seorang hamba yang ingin taat.

Hijrah adalah tentang bagaimana merangkak, berjalan lalu akhirnya berlari menuju ridhaNya. Bukan seberapa cepat, tapi seberapa kuat ia bertahan.

Sekali lagi, hijrah itu proses. Bagaimana kita bisa menuju puncak jika kita tak mendaki? Begitu pula, bagaimana kita bisa berjilbab sesuai syariat kalau kita tak memulai?

Tak ada yang perlu diragukan. Orang tua yang tak merestui? Takut jodoh tak ada? Hidupmu terasa jauh tertinggal? Ah, payah. Setiap bahagia butuh perjuangan. Setiap cinta butuh pengorbanan. Anggap saja, hijrahmu ini adalah bukti cintamu pada Rabbmu. Sang pencipta alam.

Aku sangat paham. Tak ada yang bisa merubah seseorang pun, kecuali atas keamauannya sendiri dengan izin Allah.

 “Dan seandainya Tuhanmu (Wahai Muhammad) berkehendak, niscaya seluruh yang ada di bumi ini akan beriman.” Q.S Yunus;99.

Kita sekadar mengingatkan, karena pada dasarnya. Aku pernah berada dalam posisi itu. Tak mau tahu, merasa belum perlu berubah, sok hidup paling lama. Lagi-lagi, kita tak pernah tahu kapan ajal itu datang.

Hijrah memang sulit teman, tapi kau akan tahu lagi bahwa sebenarnya ada yang lebih sulit dari sekadar berubah.

Jika pada masa ‘perubahan’ kau hanya butuh berjalan lambat-lambat. Maka ketika kau menjaga perubahan itu, kau harus memeluknya erat-erat. Agar tak ada satupun dari perubahanmu yang akhirnya lepas satu-satu dan megembalikanmu ke masa lalu.

Ya, hijrah is the most easy at all. But istiqomah is the hardest thing after hijrah. You don’t know? Try it at your life!

Istiqomah adalah bagaimana kau mampu bertahan di tengah cacian yang pasti akan kau dapatkan. Jika pertahananmu kaut, kau tak goyah. Jika sebaliknya? Entahlah.

Berubah itu memang sulit, teman. Tapi kau akan tahu bagaimana sulitnya menjaga “perubahan” itu setelah kau benar-benar berubah:’)

Berubah itu mahal sayang, tapi siapa saja mampu ‘membelinya’ jika benar-benar memiliki tekat.

Kau tak perlu takut untuk berubah sendirian. Sebab amal perbuatanmu juga dihisab masing-masing tak mungkin bergerombol. Bukan benar demikian?

Tak perlu takut melangkah sendiri, sebab di ujung jalan sana akan ada saudari-saudari yang menunggumu dengan sepenuh hati <3

Ketika kau merasa sendiri. Ingatlah. Allah tak akan pernah pergi. Ketika namaNya masih ada dalam dadamu. Dia akan selalu ada:’)

Ah ya, kau tak meminta hidung tak meminta mata, telinga dll yang telah melekat pada tubuhmu. Tapi Allah memberinya,Bukan?

Ketika kau berdo’a. Cepat atau lambat do’a kalian terkabul. Tapi kenapa kita sering lupa? Allah hanya meminta kita *hawa* menutup auratnya? Payah kah?

Allah mewajibkan agar kita menutup aurat secara sempurna. Ah tidak, kita bukan dikekang. Tapi dilindungi. Terlindung dari matamata ‘jahat’ :’)

Semuanya sudah jelas. Tertera pula dalam ayat CintaNya, tapi #tanyadiri kenapa kita masih enggan? Kenapa hijrah terasa berat?

Barangkali tujuan hidup masih belum terarah. Barangkali hati masih enggan untuk mengaku kalah. Ini bukan masalah duniawi saja,sayang---

Hijrahlah dan kau akan mengerti. Bagaimana sulitnya istiqomah setelahnya.
Semoga Allah akhirnya mempermudah jalanku dan juga jalanmu.


Wallahu’alam. 


Tuesday, August 26, 2014

Bonus Tuhan Untukmu

Harusnya aku sadar. Bahwa apa yang aku tulis tak berarti untukmu. Harusnya aku pahami, bahwa kau barangkali tak membaca apa yang aku rangkai. Tapi sayang, aku tak mungkin berhenti menulis hanya karena kau enggan membaca dan meluangkan waktumu.

Berulang kali memang aku menulis tentangmu, tentang rasa peduli yang tak pernah bisa kusematkan langsung dalam hidupmu. Aku hanya bisa melihatmu dari kejauhan—pada saat Tuhan berbaik hati mempertemukanku denganmu secara tak sengaja. Atau membaca beberapa pesan darimu untuk orang lain.

Aku sudah cukup kebal dengan pengabaianmu yang telah memukul habis rasa peduliku. Bodohnya, peduli itu muncul lagi. Berulang kali kau lakukan itu. Menebas habis asaku. Sekali lagi, aku bodoh. Aku hanya mengikuti setiap adegan demi adegan yang dengan lihai kau rangkai sesukamu—tanpa pernah bisa aku berniat pergi sedikit pun.

Mungkin, Tuhan memberimu bonus pada tubuhmu. Bonus itu berupa tarikan-tarikan semacam magnet. Yang barang siapa berusaha jauh atau tak peduli denganmu akhirnya tertarik lagi untuk mendekatimu. Aku, salah satunya. Mungkin.

Kalau dipikir-pikir. Keuntungan apa yang aku dapatkan ketika kau berulang kali tak acuh dengan apa yang aku kerjakan demi melihat senyummu? Entah. Barangkali, aku benar-benar sudah gila dalam hal ini.



Monday, August 25, 2014

Barangkali Kau Membaca

Dari sisa-sisa kenangan di antara kita. Kucoba sekali lagi menuliskan ini untukmu. Barangkali hari ini tiba-tiba kau ingin membaca tulisanku atau tiba-tiba kau juga merindukanku. Walau aku mafhum, kau tak mungkin merindu layaknya aku merindukanmu.

Serpihan cerita yang mungkin telah menjadi debu di otakku masih saja enggan bertebaran keluaran seutuhnya. Aku, masih berdiri dengan tegak menunggumu.

Ada rasa yang harusnya terucap menurutku. Tapi dia harus terpaksa bisu. Melihat kekokohanmu mengabaikan kami—rindu, aku dan juga kenangan.

Rasa-rasanya aku terlalu bodoh menganggapmu orang yang berarti. Orang yang berhak untuk aku rangkul menuju jalan yang menurutku terang. Padahal jelas saja, aku bukanlah orang yang kau harapkan.

Sekali lagi duka ini kau sematkan secara perlahan. Membuatku mati rasa mungkin hampir gila.

Kau, kapan kau bisa meraba semua sakitku. Dan menerjemahkannya ke dalam bahasa kalbu. Lalu mengubahnya menjadi tawa?

Kau, kapan kau akan kembali menjadi pribadi yang kukenal? Dan akhirnya merangkulku seperti saat itu—sebelum akhirnya kau meninggalkan.

Dalam khayalku, kau adalah pelipur lara yang pantas aku banggakan.
Dalam impiku, kau masih menjadi orang yang kusayang.
Dalam nyataku, semua tentangmu begitu runyam. Sulit untuk kuterjemahkan.



Sunday, August 17, 2014

Satu. Dua. Tiga.....Empat?

            Kaku. Bahu sebelah kanan-kiriku tak mampu kugerakkan. Mataku sudah berkali-kali mengerjap-ngerjap tapi tak ada hasil. Peluhku mengucur bak air mancur dari kening, hidung apalagi dagu.
“Arggh.” Susah payah kakiku melangkah. Berjalan secepat mungkin. Lebih cepat dari detakan jarum jam di tangan kiriku.
Sial! Bahuku seolah mati rasa. Aku hanya dapat berjalan lurus. Padahal aku lihat... Ah, sekali lagi payah! Bahkan aku tak melihat apa-apa di sekitarku. Kenapa semua mendadak hitam legam tak ada warna? Aku berhenti. Lagipula, aku tahu sejauh apapun aku melangkah. Yang kudapati hanyalah jalan lurus. Tanpa dinding. Tapi anehnya aku tak oleng sama sekali.
“Cepat! Jika kau berhenti aku tak mungkin bisa lewat.” Suara itu ketus berteriak dari belakang. Terdengar begitu memekakkan telinga.
“Astaga!” Aku menatapnya sebenatar lalu menatap lurus lagi. Aku di mana? Semua beigtu aneh. Ditambah lagi sesuatu yang berada dibelakangku. Begitu runcing. Ujungnya berwarna hitam pekat. Sama seperti dasar yang aku injak sekarang. Sama juga seperti jalan lurus yang ada di depan mataku. Tapi, sesuatu itu berbicara? Bagaimana bisa?
“Cepat! Jangan banyak berpikir.” Desaknya sekali lagi agar aku akhirnya berjalan.
“Berjalan atau tidak aku akan tetap berada pada garis.....” Aku terhenti.
“Tunggu dulu. Jika aku berada pada suatu garis. Ah tepatnya, garis lurus. Berarti akan ada satu titik di ujung sana yang barangkali ada jalan keluar untukku!” Tanpa menghiraukan sesuatu yang berbicara di belakangku tadi. Aku berlari sekencang mungkin. Tak perlu tahu sejauh apa jarak yang akan aku tempuh. Aku harus keluar dari sini.
***
“Aaaaaa!” Teriakanku menggelegar. Badanku melayang. Jatuh dari sebuah lubang bercahaya dari titik yang kutemukan di ujung garis pertama. Celaka! Cahaya itu semakin redup dan lambat laun hilang. Sedangkan tubuhku sedikit lagi menapak ke lantai.  
Jdut!
Kepalaku terantuk ubin berbentuk persegi. Kepalaku rasanya hampir benjut. Walaupun sempat melayang, sialnya lima jengkal sebelum benar-benar menapak tubuhku terhempas begitu saja tanpa ampun. Hasilnya, jidat lapangku menjadi sasaran empuk.
 Mataku dengan brutal menjamah sekitar. Bahuku yang kaku tadi juga sudah bisa digerakkan. Pergerakan kakiku yang hanya bisa melangkah ke depan juga telah bebas berputar. Jungkir balik atau apalah sesukaku.
Ubin persegi itu hanya satu buah. Tapi baru kusadari panjang sisinya begitu mengerikan. Mungkin sekitar 100meter x 100meter. Gila! Tempat macam apalagi ini?
“Berjalan saja ikuti sisi-sisku ini. Barangkali, kau akan temukan jalan keluar lagi.” Suara itu terdengar lebih lembut. Ku tolehkan kepalaku tapi tak ada sesuatu juga seorang pun.
“Aku di bawahmu.” Suara lembut itu lagi.
“Maksudmu? Ubin? Kau ubin yang aku injak? Benarkah?” Aku mengelap keringatku. Entah sudah berapa liter air dari keringatku yang sudah keluar. Jantungku berdegup kencang.
“Iya begitulah. Aku tercipta dari pertemuan garis-garis lurus sebelum ini.” Dia menjawab dengan datar.
“Aku tak mengerti. Ini terlalu rumit. Aku tak mau tahu. Aku ingin pulang!” Jawabku. Memang benar, aku tak peduli tercipta dari apa dia. Aku hanya ingin pulang. Mataku nanar. Jelas sekali aku ingin menangis, aku sendirian di sini. Tak ada seorang pun. Tanpa berfikir panjang. Aku langsung berlari mengikuti sisi-sisi ubin ini.
Celaka, ditengah semangatku ingin menemukan jalan keluar. Kakiku malah tersandung, entah apa yang kutabrak hingga akhirnya aku terjatuh.
“Aaaaaaaaa!!!!” Lubang. Tubuhku masuk dalam lubang sialan ini lagi!
***
Tubuhku benar-benar terasa ringan. Melayang macam kapas tertiup angin. Ke sana ke mari. Aku mencoba manapak tapi tak mampu. Semakin aku mencoba menambah beban tubuhku semakin berat tubuhku berkurang.
            Gelap. Tak ada cahaya sedikitpun. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku. Mengusap mataku berkali-kali. Benar, tempat ini gelap sakali. Kosong. Tak ada warna barang kali walau hanya setitik putih dalam hitam.
            Aku mengerjap sekali lagi. Berharap akan berubah. Sangat lambat aku membuka mataku. Merasakan tiap detiknya.
            “Kau sedang apa di sini?” Aku buru-buru membuka mata—gagal menikmati tiap detiknya. Burung gagah ini berbicara padaku—terlepas dari apa nama burung ini.
            “Aku tak tahu. Tapi yang pasti aku tak harus lebih gila dari tempat sebelum ini. Sebuah bidang persegi. Tak ada warna. Tak ada rasa. Di sini, aku seperti menukan kehidupan.” Aku bersungut-sungut. Burung gagah itu tetap mengikuti tanpa menjawab apapun.
            Tubuhku masih melayang tak karuan. Tertiup angin. Wusssh. .
            “Naik saja ke tubuhku. Aku bisa kau injak. Tak akan jatuh. Percayalah.” Benda putih halus menyetuh kakiku. Aku masih melayang tak bisa turun dan duduk ke tubunya seperti yang ia sarankan.
            “Aku tak bisa turun. Aku tak tahu bagaimana mengendalikan tubuhku ini.” Aku menghela napas kasar. Wush.. Aku kembali tertiup ke belakang. Sial, napasku yang mengendalikanku. Pantas saja setiap aku bernapas tubuhku terombang ambing macam tak tahu arah.
            Aku tahan napasku sejenak. Benar, aku bisa menapak ke tubuh putih bersih ini.
            Sekarang, aku duduk diatasnya. Memandangi sekitarku. Burung gagah tadi berterbangan bercengkrama dengan teman-temannya. Benda putih yang kusebut awan ini juga terus berjalan keliling dunia.
            Aku mendongak. Ada langit lagi diatas sana. Lantas aku sedang berada dimana?
Aku menunduk. Ada bumi di bawah sana. Lantas, aku berada dimana?
“Hey, aku harusnya berada di bawah sana. Bumi. Tempat aku dan para makhluk hidup tinggal. Bukan di atas sini.” Aku menghentakkan tanganku ke tubuh yang kududuki ini.
“Apa bedanya?”
“Entahlah, aku merasakan beda. Aku merasa waktuku habis terbuang di atas sini. Aku tak mengerti harus melakukan apa.”
“Apa pentingnya?”
“Aku juga tak tahu.”
“Tak ada bedanya, kita sama-sama berada pada satu tempat. Satu dunia. Hanya saja ada atas dan bawah. Tanpa kau sadari, di atasku juga masih ada atas. Di atas sana, masih ada atas. Begitu seterusnya. Tapi, kita terkotak pada satu ruang yang sama.”
“Aku tak paham.”
“Bodoh! Pecuma kau ada di sini.” Tubuhnya merenggang. Membuatku yang tak punya persiapan kusus terjatuh.
BRUK!!!
***
“Ashlyn, kau kenapa?” Aslan saudara kembarku bertanya. Mataku mengerjap-ngerjap.
“Garis..Ubin persegi..Langit..Ketinggian..Ruang”
“Apa maksudmu adalah dimensi satu, dua dan tiga?” Aslan melirik mataku tajam.
Aku mengangguk. “Lalu setelah itu? Dimensi yang menaungi semua dimensi. Dimensi yang membuat semua dimensi menjadi satu kesatuan. Kau tahu?” Kataku menggebu-gebu. Aku mengelap keringkatku sekali lagi.
“Kau tertidur dari tadi. Dan dalam tidurmu kau bermimpi. Sedangkan aku disini dari tadi. Dan dalam sadarku aku mengerjakan tugasku. Lain lagi dengan ibu, dari tadi ia berada di dapur mungkin saja sedang memasak. Bukankah kita dalam ruang yang sama?” Tuturnya menyakinkan.
“Benar. Lalu?”
“Dimensi setelah dimensi ruang adalah dimensi waktu,Lyn.”
“Maksudmu?”
“Ah dasar payah! Terserahmu saja. Makanya, siang-siang jangan tidur! Lain kali, harusnya kau matikan laptopmu dahulu sebelum tidur.” Aslan meninggalkanku begitu saja.
“Ohya, jangan terlalu gila dengan satu bahasan. Aku khawatir kau akan benar-benar gila bila sebulan berturut-turut yang kau cari di internet hanya dimensi empat itu!” Imbuhnya lagi.

Aku menunduk dan menatap layar laptopku. “Dimensi keempat” pada kotak kecil itu aku click. Percuma! Jaringan terputus. Aku mendadak ingat, tadi sebelum akhirnya memutuskan tidur modem sialan ini kehabisan kuota. Pantas saja aku biarkan ia tergeletak di bawah kasur. Ah, sial gara-gara dimensi keempat aku samapai lupa mematikan laptopku..

#DimensiFiksi tantangan oleh @KampusFiksi

NB : Jangan salahkan isi di dalamnya. Salahkan saja yang menulis. Haha #DimensiBikinGalau

Friday, August 15, 2014

Pertanyaan Itu Sudah Terjawab



Agama Seseorang sesuai dengan agama teman dekatnya. Hendaklah kalian melihat siapakah yang menjadi teman dekatnya.”
HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, no. 92


Awalnya aku tak percaya. Bahwa ada persahabatan yang terjalin bukan karena hal duniawi. Aku menganggap persahabatan adalah omong kosong. Sebab nyatanya, beberapa kali aku menganggap dan dianggap sahabat pada akhirnya saling menyakiti, mencaci dan lebih parah dari itu. Kami saling membenci—tapi tidak untuk sekarang.

Hatiku beberapa kali dipatahkan oleh orang yang kusebut sahabat. Dan barangkali, aku mematahkan separuh dari hati orang yang menganggapku sahabat. Ah, simbiosis macam apa sahabat ini? Kerap kali aku mendapatkan duka, beberapa kali bahagia mereka aku sempat jadi orang yang terlupa. Lalu, siapa aku di mata mereka?

Tuhan, aku sempat bertanya. Apakah ada orang yang saling mencintai karenaMu atas nama persahabatan? Aku rindu mengenalMu lebih jauh dengan perantara malaikat tak bersayap yang sering disebut-sebut sebagai sahabat.
Tuhan, aku sering bermimpi. Memiliki sahabat dengan cinta dalam hati. Bertautan ayat-ayat cintanya ketika bersimpuh dihadapanMu.

Tuhan, pertanyaan itu dulu tak pernah terjawab. Tapi sekarang aku bisa menjawabnya. Bukan hanya menjawab, tapi aku merasakan.

Bahwa benar, memang ada persahabatan dengan dasar cintanya padaMu.
Bahwa benar, memang ada rasa cinta yang tumbuh karena ingin berjalan bersama menuju ridhaMu..
Malaikat tak bersayap itu memang nyata. Ada di dekatku. Dalam hembusan napasku. Dia selalu ada, dalam rindu yang menggebu, dalam setiap bait cerita yang kuukir dalam untukMu..

Ya Allah Tuhanku yang Maha pengasih...
Akhirnya, aku tak hanya bermimpi. Ini semua nyata. Sahabat itu ada, mengisi kekosongan di sela jemariku sebelum akhirnya jodoh yang Kau tuliskan mengisinya.
Aku merasakan, bahwa ada cinta dalam hatinya karenaMu. Ada rindu yang ia sematkan dalam hidupku juga karenaMu.

Allahu Rabbi..
Jika aku boleh meminta, aku ingin rasakan persahabatan ini sampai nanti...
Sampai akhirnya aku dan dia benar-benar menuju JannahMu,Ya Rabbi..
Jika memang kami harus berpisah dikemudian hari, biarkanlah kami berpisah juga karenaMu...
Aamiin.
#LAAWAA


“Tali iman yang paling kuat adalah mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.” (HR. At-Tirmidzi).

“Barangsiapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah dan tidak memberi karena Allah, maka sungguh telah sempurna Imannya.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi).



Tidaklah dua orang yang saling mencintai karena Allah atau karena Islam kemudian berpisah kecuali salah satu dari ke duanya telah melakukan dosa.” (HR. Bukhari)

Saturday, August 9, 2014

Yang Singkat dan Berarti


“Mau dibantu?” Cewek berkerudung coklat susu berhenti di sebelahku. Aku tersenyum. Cewek berhidung mancung juga berlesung pipi itu lebih tinggi—satu jengkal—dariku. Itu berhasil membuatku harus mendongak untuk benar-benar melihat siapa yang memanggilku.
Hari ini, 29 Juli 2012.
Setelah semalaman aku sibuk mengurusi barang yang harus kubawa dengan serba cepat. Akhirnya hari ini pertempuran ini harus kulalui. Lebih-lebih bulan ini Ramadan. Sisa tenaga yang kuhabiskan tadi malam harus kugunakan lagi hari ini. Aku salah satu wakil dari sekolahku untuk mengikuti pertempuran memuakkan yang baru saja akan dimulai. Latihan kepemimpinan....Ah, aku tak begitu paham. Lagi pula, selama ini aku tak aktif berorganisasi. Aku hanya ikut-ikutan saja.
Hey, can i help you?” Suara serak itu kembali kudengar. Masih orang yang sama.
“Eh, nggak usah. Nggak papa. Duluan aja.” Kataku sok menolak. Kalau kata orang sih, basa-basi. Sebenarnya aku memang butuh pertolongannya. Membawakan barang yang ada di tanganku. Satu tas besar, dua tas sedang berisikan perlengkapan mandi. Ada juga makanan yang setumpuk untuk tiga hari pertempuran ini.
“Oh, baiklah. Aku duluan ya. Bye!” Kerudung coklat susunya bergoyang. Senada dengan langkah kakinya. Aku mendengus kesal. Jatuh terduduk karena kelelahan membawa barang yang super berat ini.
Tisu sangat membantu mengelap wajahku. Alhasil keringat membandel yang terus mengucur ini akhirnya kering. Tak kusangka, cewek mancung tadi dengan sigap langsung hilang ditelan bumi. Eh, maksudku. Cepat sekali ia berjalan. Sampai-sampai punggungnya yang menjauh pun tak bisa kulihat lagi.
“Niat ngebantuin kok malah ngacir gitu aja. Ih, kan niatnya basa-basi malah beneran pergi. Huh, nggak gaul! Masa nggak bisa nangkep.....”
“Kode?” Celotehanku terhenti. Aku diam tanpa kata. Garuk-garuk kepala. Seperti pencuri yang ketangkap basah ngutil barang. Cengengesan.
“Siapa bilang aku nggak ngerti kode? Sini, aku bawain. Lain kali nggak usah sok kuat. Lagian, ini kan latihan buat jadi pemimpin. Lah kamu, kayak mau piknik!” Katanya sambil tertawa. Aku menunduk malu. Dan akhirnya tersenyum bersama tawanya.
 Aku dan cewek berkerudung itu berjalan berdampingan. Tapi dasarnya aku memang lambat. Untuk membawa satu tas jinjing yang berisikan makanan saja rasanya berat sekali. Padahal dia—cewek mancung itu—membawa hampir separuh dari bawaanku.
Setelah dilihat-lihat tubuhnya lebih ramping, pipinya tirus, matanya bak buah leci—hitam legam—juga dengan senyumnya. Menyungging sok keren. Ah ya, bisa ditebak anak ini sediki tomboy dariku.
“Woy Ndut! Cepetan! Lelet amat sih. Udah dibantuin juga.” Aku tercengang. Anak ini baru kenal—walaupun belum berkenalan—berani sekali memanggilku dengan sebutan Ndut. Aku pegang pipiku. Ah sial! Memang macam bak pao. Pantas saja. Aku malah tertawa menyadari betapa tembamnya pipiku.
“Iya Cung!” Jawabku agak sedikit berteriak. Kulihat langkah kakinya terhenti. Aduh, marah? Aku cengengesan. Dia berjalan ke arahku.
“Apaan itu ‘Cung’?” Tanyanya menaikkan alis sebelah. Lagi-lagi sok keren.
“ManCungKring! Weeek!” Jawabku singkat sambil melet-melet ke arahnya.
Kecepatanku bertambah. Aku melaju semakin kencang. Sampai lupa beban berat yang kubawa. Akhirnya dengan susah payah aku sampai juga di Mushalla.
Warna hijau mendominasi Mushalla. Tumpukan sajadah dan mukena yang rapi sekali menandakan siswa di sekolah ini rajin beribadah. Buktinya saja, lantainya mengkilat. Sajadahnya tak berdebu. Ah, keren. Aku jadi iri, kenapa sekolahku tak sebagus sekolah ini? Aku sedang berada di SMK 25 sekolah nomor satu di Kotaku. Batam. Aku murid kelas dua SMK. Tapi jelas, bukan dari sekolah  ini.
Kalau boleh dijelaskan, sekolahku tak sampai setengah dari bagusnya sekolah ini. Fasilitasnya juga dengan gurunya. Sudahlah. Itu bukan yang ingin kujelaskan. Yang pasti, apakah aku akan betah tiga hari di sekolah bagus ini?

***

Sudah tiga hari dua malam aku bertempur. Melewati malam dengan kantuk yang kian menjadi. Lelah sekali kurasa, tapi lumayan. Banyak ilmu yang kudapat.
Apa yang aku bawa pun rasanya sia-sia. Tak ada yang terpakai, apalagi peralatan mandi yang satu tas itu. Waktu mandi benar-benar terbatas. Lima menit di dalam toilet, sudah diteriaki dari luar. Terpaksa, selama tiga hari ini aku tak pernah mandi.
“Nyesel kan?” Suara menyebalkan itu. Duduk di sampingku. Aku tak pedulikan keberadaannya. Tetap membersihkan wajahku dengan handuk.
Next time, thinking before doing.” Dia memeluk kakinya. Mungkin kedinginan.
“Sekalian, puasa kan? Ngapain bawa makanan banyak-banyak.” Dia belum berhenti berceramah ternyata.
Aku beranjak berdiri. Dia mengikutiku. Aku berhenti. Dia juga berhenti.
“Sudah selesaikah meledekku,Nyonya? Jangan mengikutiku!” Aku cemberut melihat wajahnya yang menyebalkan itu. Dia malah tertawa.
“Ah, hari ini kan hari terakhir kita ketemu,Ndut. Kapan lagi aku jailin kamu! Yuk, disuruh ngumpul di sana tuh.” Dia menarik tanganku. Terpaksa lagi, aku harus ikut-ikutan berjalan setengah berlari.
Pengarahan sekitar setengah jam membuatku malas mendengar lagi. Badanku sudah bau. Itulah masalah terbesarnya. Aku lelah sekali. Kepalaku pun tak sadar bersandar di bahunya. Yah, cewek menyebalkan itu. Kenapa tiba-tiba ada rasa sedih yang hadir,ya? Aku merasa akan merindukannya. Sekalipun ia menyebalkan.
Satu jam selanjutnya. Semua sudah selesai. Siswa-siswi lain sudah sibuk membawa peralatannya masing-masing. Air mataku turun. Menetes tak disadari. Aku yakin, aku akan rindu momen menyebalkan bersamanya.
Aku beranjak dan membawa peralatanku. Dia menarik tanganku. Aku hanya diam di depannya. Dan dia memelukku. Air mataku kembali menetes lagi. Aku berusaha menahannya, tapi malah tenggorokanku sakit. Jadi aku biarkan sesenggukan dipelukan dia. Si gadis berlesung pipi yang baik...
“Ndut, aku nggak pernah bisa sedeket ini sama orang baru. I think you’re the angel from God for me to be my bestfriend. Aku bakal kangen deh samamu.” Dia melepaskan pelukannya. Memberikanku tisu. Aku hanya mengangguk.
Jujur saja, selama ini aku juga merasa dia peduli. Dia baik, dan dia pantas untuk disebut sahabat. Walau aku belum pernah mengenalnya tapi aku merasa dia adalah kiriman Tuhan untukku.
Pertempuranku selesai. Artinya, selesai jugalah pertemuanku dengan gadis berlesung pipi itu. Aku menjabat tangannya sok keren. Lalu tersenyum dan meninggalkannya.
“Ndut!” Katanya menghentikan langkah kakiku.
“Apa Cung?” Jawabku singkat. Dia melangkah mendekatiku.
“Aku, Rai.” Dia mengulurkan tangannya. Aku mengerutkan dahiku. Namanya Rai?
“Eh iya, Raina Ferianda.” Rai tersenyum sekali lagi.
“Aku, Ari. Eh iya, Nadhriska Ariandini.” Aku mengikuti gayanya berbicara. Kami pun terbahak lagi.
“Byee. See you again,Ri..”
“You too,Ra...”
Pertemuanku dengannya berakhir. Dan setelah perkenalan singkat itu kami sekarang benar-benar menjadi sahabat. Iya, lima menit perkenalan itu membuatku mengerti. Sahabat, bisa datang di mana dan kapan saja....
Rai, terimakasih....



Diikutkan dalam tantangan #EhemKenalan dari @KampusFiksi 

Friday, August 1, 2014

Antara Kenapa dan Jika

Oh, jadi begini rasanya bertemu tapi hati tak saling bertaut? Oh, jadi begini rasanya merindu tapi hati tak sanggup bersuara?

Kenapa,
Ada sebuah pertemuan yang tak sengaja, yang tak terencana, tak diketahui asal muasalnya? Jika pada akhir cerita, pertemuan yang tak disengaja itu malah mengorek kembali seribu cerita yang telah tertimbun asa dan terkikis masa. #Halah.

Kenapa,
Ada sebuah tatapan sendu dari balik mata yang selama ini tak pernah ku tatap dan menatap, tak diketahui bagaimana ia melihat, tak diketahui bagaimana ia melirik. Jika pada akhirnya, tatapan sendu itu membuat hati semakin kelabu dan bercampur aduk dalam bayang semu #Apaan.

Kenapa,
Ada saat rindu itu bercabang, dan setiap cabangnya berbuah rindu-rindu lain. Ah, itu fase paling menyebalkan seumur-umur. Dan kenapa, ada rindu yang harus tak tersampaikan. Jika memang, sebenarnya rindu diciptakan untuk menagih sebuah pertemuan. #Jedeeer.

Kenapa,
Ada perbedaan di antara kita. Jika bersatu padu, melangkah bersama, bertegur sapa jauh lebih menyenangkan?

Kenapa,
Kau pura-pura tak mengerti. Pura-pura tak paham barangkali hanya satu paragraf? Jika pada nyatanya, kau sangat paham apa yang aku maksudkan,Bukan?

Kenapa,
Aku menulis ini, dengan kata tanya, jika akhirnya. Semua pertanyaan itu tak terjawab *tears*