Harusnya aku sadar. Bahwa apa
yang aku tulis tak berarti untukmu. Harusnya aku pahami, bahwa kau barangkali
tak membaca apa yang aku rangkai. Tapi sayang, aku tak mungkin berhenti menulis
hanya karena kau enggan membaca dan meluangkan waktumu.
Berulang kali memang aku menulis
tentangmu, tentang rasa peduli yang tak pernah bisa kusematkan langsung dalam
hidupmu. Aku hanya bisa melihatmu dari kejauhan—pada saat Tuhan berbaik hati
mempertemukanku denganmu secara tak sengaja. Atau membaca beberapa pesan darimu
untuk orang lain.
Aku sudah cukup kebal dengan
pengabaianmu yang telah memukul habis rasa peduliku. Bodohnya, peduli itu
muncul lagi. Berulang kali kau lakukan itu. Menebas habis asaku. Sekali lagi,
aku bodoh. Aku hanya mengikuti setiap adegan demi adegan yang dengan lihai kau
rangkai sesukamu—tanpa pernah bisa aku berniat pergi sedikit pun.
Mungkin, Tuhan memberimu bonus
pada tubuhmu. Bonus itu berupa tarikan-tarikan semacam magnet. Yang barang
siapa berusaha jauh atau tak peduli denganmu akhirnya tertarik lagi untuk
mendekatimu. Aku, salah satunya. Mungkin.
Kalau dipikir-pikir. Keuntungan apa
yang aku dapatkan ketika kau berulang kali tak acuh dengan apa yang aku
kerjakan demi melihat senyummu? Entah. Barangkali, aku benar-benar sudah gila
dalam hal ini.
No comments:
Post a Comment