♫♬

Tuesday, February 24, 2015

Kepada Pemilik Tangan Yang Masih Menopangku

Teruntuk pemilik tangan yang mau menopangku;tanpa terkecuali..

Tulisan ini lagi-lagi tetap sama. Mengisahkan tentang rasa yang tak sampai kata untuk berbicara. Atas harap yang tak bisa terus aku dekap seoarng diri.
Ada masa di mana Tuhan diam. Membiarkanku terjatuh, yang kata orang agar aku dapat mengerti bagaimana caranya bertahan, juga bangkit dari keterpurukan. Tuhan tahu aku mampu, Tuhan tahu banyak yang nantinya akan peduli. Atau bahkan Tuhan memberikanku jalan agar aku bertemu tangan yang masih rela menopangku? Mungkin, sebab Tuhan lebih pintar dari hambaNya yang kadang sok pintar.

Kepada pemilik tangan yang masih setia. 
Aku berharap akhirnya Tuhan tak lagi membiarkan aku terjatuh, dan menemukan tangan baru untuk menopangku.

Masa ini, fase ini, aku sudah teramat bahagia. Teramat bersyukur telah Tuhan berikan rasa kasih dalam dada yang akhirnya menjadikanku sebersyukur ini mengenal mereka.
Mengenal pemilik tangan yang darinya aku dipapah, yang melalui tangannya air mataku dihapus. Aku tak butuh kesempurnaan, karena bersama mereka aku merasa cukup sempurna. Oh tidak, sangat sempurna tepatnya.

Usiaku,
Kini telah beranjak. Dan dari peranjakan itu banyak yang menjatuhkanku, menerpa tubuh ringkihku, sekali lagi aku bersyukur. Tangan mereka masih setia menjagaku. Lubang gelap yang dulu menjadi tempatku bersandar meratap, kini berubah menjadi taman yang di sana ketemui sejuta warna.
Aku pernah diabaikan, berkali-kali malah. Rasanya sakit, menyesakkan juga benar-benar membuatku malas bangkit. Karena kupikir, untuk apa bangkit jika akhirnya akan diabaikan lagi?
Allahk-ku baik. Dan teramat baik. Hingga karena kebaikannya sampai detik ini aku masih bersama kalian. Masih bisa menyapa kalian. Dan masih berumur panjang.

Kalian tahu kado teristimewa apa yang aku dapatkan saat ini?

Belum tahu?
Jawabannya adalah KALIAN;pemilik tangan yang mau menopangku..

Kalian adalah kado teristimewa untukku. Untuk kalian yang tak perlu lagi kusebutkan namanya…

Sunday, February 22, 2015

Transfusi Rasa

Aku terkapar, dihempas masa lalu yang semakin ganas menyingkirkanku. Aku tahu, semakin aku berusaha ada dalam benaknya, semakin terbuanglah namaku dari seisi hidupnya. Tangan-tangan penuh kasih yang dahulu merangkulku kini menjadi tangan yang mencekik, menarikku dengan paksa, dan mendorongku masuk dalam lubang yang gelap tanpa ampun.

Aku terduduk, sendirian, menutup mataku. Rasanya aku tak mampu berlama-lama di lubang gelap ini sendiri. Dia membuangku, lama. Dia membiarkanku, sendiri. Dia mencapakkanku, di sini.

Tak kutemui lagi janji kesetiaan pertemanan di sini. Pertemananku omong kosong. Orang yang kubanggakan;musnah. Senyum manis yang selalu aku rindu. Kini menjadi mimpi buruk yang ganas. Senyum manis itu terasa sinis, mencekik leherku perlahan. Aku baru tahu, orang yang aku sanjung, yang selalu aku sebutkan namanya dalam doaku bisa setega ini membuangku.

Lama sudah aku bertahan dalam lubang ini, mengharapkan janji Tuhan atas balasan yang setimpal dengan kesabaran. Lama sudah aku terbuang, meratapi kisah yang tragis tapi tak mampu aku sudahi. Lama sudah aku terdiam, memupuk rindu akan hangatnya tawa yang pernah kuukir bersamanya.

Perlahan waktu berputar, yang selama itu pula harap bahagiaku telah samar. Aku masih pada lubang yang sama. Menunggunya kembali mengulurkan tangan, membantuku berdiri, menyembuhkan luka yang ia sematkan. Aku akan dengan rela memaafkannya, aku akan melupakan caranya membuangku. Tapi tidak, penilaianku mungkin terlalu sempurna. Nyatanya, dia dengan bebas terbang. Sedangkan aku terjatuh dalam lubang yang semakin dalam.

Dalam sedihku, aku tetap percaya bahwa Tuhan mendengarku. Dalam rasa terasingkan, aku masih percaya aku bisa bahagia.

Lama, sangat lama aku berkecimpung dalam duka. Sampai saatnya.....

Hari itu, takdir Tuhan bekerja. Aku hanya duduk meratap, memang tak ada air mata lagi. Karena pada hari itu, air mataku telah kering. Rasanya akan ada keajaiban yang terjadi.
Aku menunggu detik-detik itu. Mulutku mengatup, kakiku mencengkeram erat lutut. Nafasku tak keruan. Aku mendongak. Ada secarik cahaya muncul. Setelah selama ini aku bersahabat dengan gelap. Kini cahaya itu aku temukan. Kakiku mulai melemas, tak ada lagi tenaga untuk melanjutkan kagumku akan cahaya yang baru saja aku lihat. Aku terkulai, sedangkan samar-samar aku lihat ada tangan yang mengulur membantuku naik dari sebuah lubang kegelapan ini.

Setelah sesaat aku mengumpulkan energiku. Aku lihat lagi takdir Tuhan bekerja. Tangan-tangan itu mengobati lukaku. Tangan-tangan itu menopangku dan memapahku ke taman indah. Tak ada lagi kegelapan seperti yang dia berikan waktu itu.

Tangan itu lembut, tangan itu menghapus sisa air mata yang selama ini mengering di pipi. Tangan itu mengelus rambutku.

Lalu aku bertanya pada Tuhan, siapa orang yang mau memungutku dalam keadaan compang-camping?

Tuhan diam. Oh, tidak. Aku yang tak mampu mendengar apa jawaban Tuhan atas pertanyaanku.

Tangan-tangan itu masih sigap saja menopangku ketika sesekali kakiku lelah. Tapi aku belum tahu siapa dan dari mana tangan itu berasal.

Sampai akhirnya,
Aku telah mengenal mereka. Mengenal tangan-tangan itu. Tuhan menciptakan rasa rindu dengan tangan itu ketika mereka tak mendekapku. Hebat, mereka membuatku lupa dari mana aku dipungut. Mereka membuatku merasa kembali utuh.

Dan sekali lagi aku bertanya.
Tuhan, siapa mereka yang mau berbaik hati memperjuangkanku agar aku tak bersedih?

Tuhan akhirnya berbisik lewat angin.

“Tangan itu milik orang yang benar-benar mencintaimu.”
Siapa pikirku? Tuhan kembali menjawab.
“Sahabatmu.”

Setelah hari itu, aku tahu betul. Sahabat adalah orang yang mau merampasku dari kegelapan. Yang mau menopangku;meski terkadang mereka terlihat samar dalam bayang.

Ayam, Russ.

Thursday, February 19, 2015

Kamu adalah Separuh

Kamu adalah separuh dari hidup saya. Kamu adalah kebahagiaan untuk saya. Dan benar, jika kamu mengubah hidup saya. Saya tidak membual, ini soal rasa dan hati. Mereka sudah berbicara pada saya. Dan mereka mengatakan bahwa kamu pantas dan memang patut untuk saya genggam.

Peduli apa sekarang saya tentang masa lalu? Saya sudah berjuang selama itu untuk dia yang dulu saya banggakan, nyatanya nol besar. Saya selalu mengenggam apa yang saya bicarakan, soal ucapan tak akan pernah pergi dari hidupnya meski diabaikan. Tapi rasanya bukan setia namanya jika berdiri terus menerus namun diabaikan dan saya hanya diam. Itu bodoh namanya. Ya, bodoh. Saya setia hanya untuk menyemangatinya dan mendoakannya. Itu lebih dari cukup untuk membalas pengabaian yang selama ini saya dapatkan darinya.

Sekarang, saya ingin memeluk kamu erat dan mengatakan bahwa saya sangat menyayangi kamu. Kamu adalah orang ke dua setelah sahabat saya yang bisa membuat saya menjadi diri saya sendiri ketika berhadapan dengan kamu.

Meski kamu bukan sahabat saya, kamu harus tahu. Rasa sayang saya sama-sama besar. Sangat.

Tertawa bersama kamu adalah sebalok kebahagiaan yang mampu meruntuhkan kesakit hatian saya karena dia tinggalkan. Mencubit pipimu adalah kejailan yang indah untuk terus membuat senyum saya melengkung sempurna.

Keadilan apa lagi yang mesti saya tuntut pada pecipta? Sebuah perbedaan? Keyakinan yang tak sama? Alkitab yang berbeda? Ah, tidak lagi. Keadilan ini lebih dari cukup. Kebahagiaan tanpa perdebatan lebih dari sempurna.

Kamu bodoh, kamu menyebalkan, kamu jelek, kamu gila, tapi aku bohong. Kamu sempurna,Sayang. Kamu sempurna untuk melengkapi ketidaksempurnaanku. Aku mencintai kamu, mencintai tawamu, dan mencintai kebahagiaanmu.

Kamu adalah separuh.
Separuh jiwa saya, separuh kebahagiaan yang saya tunggu, separuh senyuman yang melengkung di ujung bibir saya.
Kamu adalah separuh.
Separuh hati yang saya titipkan. Separuh kisah yang saya ukir indah. Separuh mimpi yang akan saya wujudkan.
Kamu adalah separuh.
Separuh doa dalam salat saya. Dan separuh nama yang selalu saya ingat.
Kamu adalah separuh.
Dan bersamamu saya utuh.

You’re my half! And i love you too much,My friend...
Ayam♡


Wednesday, February 11, 2015

I Have No Reason

Mana ada lagi alasan untuk bertahan meski rasanya harus. Mana ada lagi keinginan memperjuangkan jika selama ini terabaikan. Meski hanya sebuah tali persaudaraan, kurasa semua sudah cukup. Aku membual seperti yang lalu-lalu? Kupikir sekarang tidak. Dan tidak akan ada lagi rasa ingin memperjuangkanmu sebagai ‘penolong hidup’ berstatus sahabat. Ah, aku hanya besar kepala menganggapmu sahabat. Pada akhirnya aku bukan siapa-siapa.

Kaki yang dulu kamu pinjamkan untuk melangkah kini telah rapuh, patah, juga tak bersisa. Itu artinya, aku memang harus melupakan. Setidaknya melupakan keburukanmu yang dengan sengaja membiarkanku menjerit sendirian.

Tapi syukurlah sahabat—meski sebutan ini rasanya terlalu tinggi untuk makhluk super tak punya hati sepertimu—aku kini telah mampu melakukan banyak perubahan.

 Banyak yang mengajariku bagaimana hidup, banyak yang mengajariku bagaimana aku harus memulai tersenyum, juga banyak yang memberi arti bahwa masih ada cinta selain denganmu……

Hidupku bukan berkisar kamu-kamu-kamu dan pengabaian.
Mereka bilang hidupku bisa lebih hebat tanpa kamu. Tanpa orang yang selalu kubanggakan namun nyatanya tak membanggakan. Dan benar, mereka menjadi agen perubahanku. Sedangkan kamu hanya sekadar pelengkap cerita selama ini.

Ya, kamu ha-nya sekadar p-e-l-e-n-g-k-a-p ceritaku.

Terimakasih, pengabaianmu membuatku sadar. Masih banyak orang yang ingin menjadikanku sahabatnya. Dan masih banyak kasih sayang yang juga aku abaikan.
Anggap saja ucapan “still here” pada tulisan itu adalah makna tersirat dari “before this I will go”.

This is the last. I really promise about it!

Tuesday, February 3, 2015

Tahun Ke Dua, Aku Tetap Mencoba Berbicara

Andai saja, saat ini aku mampu berdiri di hadapmu. Memandang setiap lekuk wajah yang dahulu—dan sampai saat ini—masih mampu kurindu.

Kulihat lagi kalender di meja kerjaku. Aku masih tak percaya semua akan berakhir sehambar ini. Tentang sebuah rindu, tentang sebuah harapan. Yang lagi-lagi, tak pernah mampu aku sampaikan.

Pengulangan tahun kali ini sama seperti sebelumnya. Juga aku pikir akan sama dengan selanjutnya.
Apakabar hati? Masihkah ia tak memaafkan? Sudah. Tak perlu ada jawaban. Setidaknya Tuhan masih membiarkanku di sini merangkai kata untuk akhirnya kembali diabaikan. Ah, aku sudah kebal. Bahkan untuk hal-hal yang tak terdefinisikan.

Bibirku hanya mampu mengatup, mengunci rapat rasa yang tertahan. Menimbun mati-matian kata yang ingin melesat. Dan membiarkannya meledak dalam jiwa. Tanpa seorang pun yang mengerti bagaimana sakitnya.

Tahun ke dua,
Dan aku masih di sini. Menunggu hijrahmu yang sekarang masih menjadi mimpi.
Tahun ke dua,
Dan aku masih tetap belajar setia. Dalam keyakinanku atas cintaNya. Kuyakin—entah yakin entah diyakin-yakinkan—kau pasti akan memiliki rasa. Setidaknya tahu, bagaimana menunggu dan berharap.
Dan tahun ke dua,
Sekali lagi aku mencoba berbicara.
Happy Birthday My Dear Friend…

#Bee