Bulan dimana
banyak orang menghabiskan waktu bersama. Sekadar bertukar cerita atau berbagi
tawa. Ah, bulan penuh berkah untuk kehidupan yang indah. Disaat rumah-rumah
lain sibuk mengurusi menu berbuka puasa. Disaat itulah rumah yang satu ini
lengang. Benar-benar sepi.
Rumah
berdinding batu bata merah yang tidak atau belum disemen terlihat kosong. Tak ada
suasana yang harusnya tercipta dibulan suci. Penghuninya entah kemana. Hanya ada
detakan jam. Ctak! Ctak! Ctak! Selebihnya sunyi lagi. Rumah itu besar. Tapi
kondisi dinding yang--tidak atau belum disemen—tadilah yang membuat rumah itu
terkesan semrawut. Berantakan.
Allahuakbar...Allahuakbar...
Azan sudah berkumandang dari
Masjid dekat rumah. Satu persatu penghuni rumah tadi keluar. Dengan ekspresi
wajah yang berbeda-beda. Hambar. Tak ada rasa. Entahlah, apa bisa keluarga ini
disebut dengan “keluarga”?
“Tak ada apapun
di meja ini?” Laki-laki paling tua diantara mereka berkata. Eh, bahkan memang
laki-laki sendiri. Itu Abi.
“Bunda tak
sempat menyiapkan makanan. Kita buka puasa di luar saja ya,Bi?” Perempuan
berambut panjang teruarai nyengir. Sok tak tahu. Sok tak merasa bersalah. Kalimat
“tak sempat” itu hanya bahasa halus dari “aku malas masak”.
“Oh, Asya masak
Mie saja. Pergilah kalian berdua. Asya tak akan dan tak mau ikut. Asya mau salat
magrib dulu.” Asya gadis berkerudung lebar itu langsung pergi. Bodo amat
masalah makan di luar. Tetap tak ada rasa,kan? Tak akan istimewa.
Lepas salat
magrib rumah itu tetap saja sepi. Hanya suara Asya yang terdengar merdu membaca
lantunan ayat cintaNya. Abi dan Bunda benar-benar makan di luar tanpa Asya.
Asya sudah terbiasa –entah terpaksa atau tidak—keluarganya sekarang mewajibkan
ia tumbuh menjadi pribadi yang lebih tegar. Ah, memuakkan. Tingkat ketegaran
itu harus lima kali lebih kuat dibulan suci.
♧♧♧
Hari ke-29.
Cepat betul rasanya hari berganti. Cerita di rumah itu pun berganti. Sudah seminggu
ini Bunda jadi rajin. Tak ada lagi hobbynya belanja online dan hidup yang serba
mewah itu—padahal lupa kalau dinding rumahnya pun belum semewah gaya hidupnya. Banyak
yang berubah, seminggu terakhir menu buka puasa berjejer rapi; kue, kurma, es
buah, dan serba-serbi lainnya.
Sore ini Asya juga
sudah selesai membantu Bunda memasak. Dia langsung ke ruang tamu. Membuka lemari
yang berada di samping TV. Dia acak-acak isi lemari itu. Tak ada? Kemana? Tak
berhenti. Dia terus mengacak-ngacak walaupun niat awalnya mencari. Air matanya
mulai menetes. Deras. Tangan mungilnya terus merogoh sudut-sudut lemari. Pukul
18.00 WIB tak peduli sebentar lagi berpuasa, ia sibuk dengan pencariannya.
Tiba-tiba Bunda melihat. Terkejut. Semua sudah berantakan macam kapal pecah.
Buku-buku berserakan di lantai. Selebihnya masih di dalam lemari,
tapi....berantakan juga.
“Kau mencari
apa Sya?” Bunda bertanya bingung. Sembari tangannya lihai membereskan buku yang
berantakan di bawah kakinya.
“Sesuatu.”
Katanya singkat. Mengelap air matanya. Mengehela napas panjang. Bibir tipisnya
mengatup. Menahan tangis.
“Apa?” Bunda
masih penasaran.
“Mawar...” Asya
berkata lirih. Berdiri dan memandang keluar rumah. Asap, siapa pula yang
membakar sampah jam segini. Tak peduli. Dia mendengus sekali lagi.
“Mawar yang
berserakan di lemari ini? Sekitar 50-an lebih,Kan? Bunda bakar. Besok kita.....”
“BAKAR BUN? Ah
seribu mawar pun tak seistimewa itu! Mawar itu tumbuh ketika bulan Ramdahan.” Asya
pergi meninggalkan Bunda lari ke luar rumah. Melihat si jago merah melahap
mawar itu sekejap. Ludes. Tinggal sisa batangnya yang juga sudah tak berbentuk.
Mawar itu sama seperti hatinya. Hancur......
♧♧♧
“Marah sama
Bunda? Maaf Sya---” Bunda duduk di samping Asya. Berkata terbata-bata. Dia tak
mengerti, kenapa mawar itu begitu berarti?
“Bunda tak
pernah mengerti. Tak pernah coba paham. Aku bersyukur pada Tuhan telah merubah
Bunda seperti sekarang. Bunda memakai kerudung, Bunda rajin masak, meluangkan
waktu untuk keluarga. Tapi Bunda lupa, Bunda belum pernah mengerti
keberadaanku...” Asya menahan tangis. Rasanya kerongkongannya kering. Sakit.
Nyeri sampai telinga.
“Aku juga
berterimakasih pada Tuhan. Bulan puasa kali ini ditemani Bunda. Tapi aku tak
pernah meminta untuk menghapuskan kenangan Umi di hatiku, Bun...Tak pernah..”
Asya sempurna menangis. Semuanya kembali. Di ruangan ini.
Dua tahun lalu....
“Ini Umi...
Plastik warna merahnya sama tangkainya, ajarin Asya bikin mawar ya Umi. Biar bulan
puasa ini Asya gak bobok terus.” Asya berkata manja pada Umi. Umi meraih plasik
bekas itu dan tangkainya.
“Setiap hari
kita bikin mawar ini sayang, Umi bikin satu. Kamu bikin satu. Jadi, hari ke-30 Ramadan
kita punya 60 tangkai mawar.” Umi tersenyum membelai rambut Asya.
Keasyikan Asya
dengan mawar buatannya terhenti dihari ke-30. Umi mendadak sakit. Entah apa
penyakitnya, dokter pun bilang tak ada penyakit yang terdeteksi. Asya menunggu
Umi di Rumah Sakit. Sesenggukan.
“Kau sudah buat
mawar,Sya?” Umi berkata pelan. Asya menggeleng. Tak peduli lagi masalah mawar. Umi
lebih penting.
“Ini dua mawar
untukmu,Sya. Maaf tak serapi biasanya. Umi sudah harus pergi... Jangan lupa ya.
Bulan suci harus perbanyak ngaji. Umi....”
“Umi sayang
Asya karena....Allah.” Dan Umi menghembuskan nafas terakhir tepat hari ke-30 Ramadan.
Asya pun tersadar dari lamunannya.
“Bunda tak
pernah tahu. Mawar itu. Mawar itu Bun, hanya tumbuh ketika bulan Ramadahan.
Mawar itu Bun.....” Asya sesenggukan lagi.
“Mawar itu
untuk pertama dan terakhir tumbuh dua tahun lalu. Dia tak akan tumbuh lagi
tahun ini dan tahun-tahun berikutnya. Bunda tahu??” Asya menatap mata Bunda
lekat-lekat.
“Mawar itu
tumbuh dari tanganku dan tangan Umi. Itu kenangan terakhir Umi sebelum Umi
pergi. Itu pertama dan terakhirnya Bun. Tak akan ada lagi mawar-mawar yang
tumbuh setelah ini. TAK AKAN ADA! Bahkan Bunda tak pernah peduli denganku. Tak
pernah Bun!! Bunda tak seperti Umi.....” Meninggalkan Bunda;ibu tirinya.
Bunda
tersentak. Mematung. Beribu sesal dalam dadanya telah membiarkan hati anaknya
terluka. Ia ikut-ikutan menangis. Berfikir panjang...
♧♧♧
Hari ke-30.
“Bunda ada
sesuatu untukmu,Sayang.” Bunda tersenyum mendehem. Tiba-tiba Abi muncul dari
belakang Bunda.
“Abi....” Asya
tak percaya.
“Mungkin ini
tak menggantikan Umi dihatimu, tapi setidaknya Bunda bisa seperti Umimu,sayang.”
Abi tersenyum.
“Kami semalaman
membuat ini untukmu,Sya.” Abi menyodorkan 60 tangkai mawar plastik yang memang
tak serapi buatan Umi.
“Abi...Bunda....”
Asya memeluk Bunda dan Abi.
“Maafkan
perkataan Asya,Bun...Terimakasih Bunda Abi. Akhirnya mawar ini tumbuh lagi di Ramadan
kali ini.”
“Ia mungkin tak
tumbuh dari tangan Umi. Tapi ia tumbuh dari tangan yang sama-sama mencintai
Asya dengan sepenuh hati.” Tangan Asya kini penuh dengan 60 mawar plasik. Tersenyum
puas. Memang, tak akan ada yang menggantikan mawar yang tumbuh dari tangan Umi.
Tapi sekarang mawar itu akan terus tumbuh tiap tahun dari Bunda,Abi dan Asya untuk
Umi....
Tantangan #EkspresiPuasa
By @Kampusfiksi