♫♬

Sunday, July 27, 2014

Maaf yang Tak Terucap

Ini sudah dua kali idul fitri. Dan kata maaf itu belum terucap. Ini tentang sebuah kata maaf yang tak pernah bisa leluasa berhamburan keluar. Ini tentang sebuah ungkapan dari hati yang mulutnya tak mampu mengeluarkan kata cinta bermakna maaf.

Kedewasaan membuatku harus belajar ekstra keras dalam bersabar. Mungkin, dewasa dalam versiku ini masih terkesan memaksa. Tapi apapun itu, aku belajar untuk tidak menyalahkan. Dan memaafkan sebelum maaf itu terlontar dari orang yang dengan sengaja, terlanjur, atau tidak sadar menyakitiku.

Mungkin benar, maaf itu tak melulu harus terucap. Mungkin tidak salah, ketika maaf itu hanya menyangkut dikerongkongan. Yah, maaf itu mungkin ketika satu pihak telah berusaha melupakan kesalahan pihak tertentu. Walau hanya “berusaha”. Karenanya sejatinya, memaafkan justru berpeluang besar belum melupakan.

Maaf ini kini terkunci, aku tak sengaja menguncinya.
Itu semua sebab maaf yang terlontar sering terabaikan, dan kata maaf ini sering tak dihargai. Padahal niatku baik, padahal aku ingin memperbaiki kesalahan, tapi entah kenapa. Ada beberapa kalangan yang bahkan enggan memaafkan dengan leluasa.

Aku baru mengerti, bahwa hidup itu tak selamanya sama dengan harapan. Begitu pula maaf. Tak selamanya maaf mendapatkan “hak”nya untuk dimaafkan. Entahlah. Semoga Allah memaafkan kesalahanku, juga kesalahanmu.


Taqabballahu Minna wa minkum

Thursday, July 24, 2014

Andai Kau Mengerti

Andai kau mengerti, kenapa aku begitu ingin kau pahami kata-kata yang penuh arti ini. Aku hanya ingin kelak kita bisa bersenda gurau bersama seperti sedia kala. Jika tidak bisa di dunia ini aku merasakannya, mungkin esok di akhirat. Sungguh, aku tetap mengharapkannya.

Sayang,
Kau juga satu dari banyaknya orang yang berarti kini. Kau tetap ada di hati dan mendapatkan posisi tersendiri. Bukankah kau dulu juga melakukan hal yang sama? Mengapa kini ucapku tak pernah sedikitpun kau peduli?

Sayang,
Bukankah dulu kau menyumbangkan banyak cerita? Mengapa kini kau enggan sekali membaca cerita yang sengaja kutulis untukmu? Sayang, dengarlah atau setidaknya bacalah kata hatiku ini..

Sekali lagi aku minta, dengarlah,fikirkanlah.
Apa pintaku merugikanmu? Aku tidak minta kau kembali mendampingiku bukan? Aku juga tidak minta kau menemuiku dan bercanda seperti dulu. Aku tidak minta kau...ahsudahlah. Aku hanya ingin kau mencoba melangkah, mencoba berjalan, mencoba melakukan ‘hal itu’.

Terlalu besarkah pintaku? Aku tidak minta tangis karenamu kau hapus,kan? Aku mengharapkanmu memakai pakaian yang sempurna sayang. Sungguh betapa bahagianya aku melihat orang-orang disekitarku lambat laun merubah gaya penampilannya, tak bisa di pungkiri. Aku juga berharap hal itu kau lakukan.

Jika kau tak bisa langsung berlari, setidaknya kau mencoba berjalan, jika itu  juga terlalu menyakitkan untukmu, cobalah untuk melangkah satu langkah. Setiap hari. Apakah itu juga terlalu sulit? Jika benar demikian, kau boleh saja belajar merangkak terlebih dahulu. Setiap hari..


Percayalah, tanpa kau sadari kau telah berjalan jauh. Lebih jauh dari fikiran “tak mampu”mu. Kumohon,berubahlah... 

Monday, July 21, 2014

Ada yang Tak Terjawab

Ada pertanyaan besar dalam hariku. Kenapa sebuah kedekatan bisa berubah menjadi jarak yang paling jauh dikemudian hari?
Ada pertanyaan yang tak terjawab sampai sekarang. Kenapa harus ada duka setelah tawa kurasa begitu nikmat?

Aku sampai tak habis fikir dengan kenyataan yang sekarang terjadi diantara kita. Entahlah. Luka lama yang ada selalu tiba-tiba menganga dan terasa lebih menyakitkan. Duhai Rindu, ternyata kau menyiksa kalbuku..

Duhai rasa.. Mengapa kau tak bisa sejenak saja berdamai dengan masa lalu? Tak kah kau lelah dengan pengabaian yang kerap kali kau dapat ketika kau berbaik hati memberi rasa tapi tak dihargai? Tak kah kau kecewa dengan kenyataan ini? kenapa kau begitu keras kepala?

Allah selalu memberikan cerita indah.
Walau cerita indah itu begitu menyakitkan diawal. Walau cerita indah itu tak selalu instan. Sama seperti puncak. Yang tak mungkin bisa didaki sebelum melewati jurang yang terjal. Terlalu mendramatisir, tapi itulah kenyataan.... Bahwa yang selamanya bahagia, tak akan terus bahagia. Dan luka yang ada juga tak akan terusterusan menganga....

Duhai masa lalu...
Ku mohon kau menjadi alasan untukku tetap bangkit dan berbaik hati. Bukan malah menyumpahi takdir yang tak sesuai pintaku...


Kau Tahu Apa yang Lebih Menyakitkan?

Ada yang lebih menyakitkan dari pada sebuah perpisahan. Yaitu masa dimana kita melihat orang yang tersayang melakukan ‘bad action’ tanpa kita bisa menasihati penuh kasih dengan bertatap muka.

Ada yang lebih bisa membuat air mataku tumpah dari pada sebuah pengkhianatan. Yaitu saat orang yang tersayang bahkan tak mengerti seberapa besar kita berusaha menariknya untuk masuk ‘zona aman’.

Iya, aku merasakan hal itu. Dan benar, itu ternyata sangat menyakitkan dari pada perpisahan yang pernah tercipta, atau pengabaian yang sering kudapatkan. Iya. Ini begitu me-nya-kit-kan.

Jika aku bisa membeli hidayah dan aku bagikan. Aku akan membeli sebanyak-banyaknya agar aku mampu menghadiahkannya satu hidayah itu untukmu. Agar kau juga mengerti, bagaimana berat dan susahnya berjuang berjalan dalam “perbedaan”. Andai kau mengerti, perubahan hanya bisa terjadi ketika hatimu dan ragamu berjuang untuk meraih perubahan itu.

Konyol dan tak mungkin perubahan tercapai tanpa sebuah langkah awal.
Sayang, kau tak perlu langsung berlari menuju perubahan. Kau bisa saja berjalan perlahan. Dengan senang hati, aku kana membantumu, menemanimu dan memberimu semangat sepenuh jiwaku;jika aku mampu.

Sayang, hijrah bukanlah soal berubah seperti malaikat. Hijrah adalah kebebasan kita untuk bergerak. Bergerak menuju jalan yang Allah ridhai, bukankah kau telah cukup dewasa untuk mengerti itu semua,bukan?

Kau sebenarnya pintar sekali berfikir, jauh di depanku. Otakmu jauh lebih maju untuk menelaah berbagai macam cerita yang ada dalam hidupmu. Dan kau lebih tak peduli dengan omongan sekitarmu. Itu adalah modal yang paling besar. Kau tahu kenapa?

#Hijrahku waktu itu tanpa kau disini, seolah berjalan dalam kegelapan menuju jalan yang terang benderang sendirian. Tak peduli berapa kali tersesat aku terus berjalan maju. Tak peduli seberapa sering luka yang aku dapatkan, aku terus bertahan.

#Hijrahku Aku dikatan sok suci. Sok alim, dan sok paling berhati malaikat karena kerudungku semakin panjang dan lebar. Tapi aku yakin, jika kau akhirnya hijrah dan berubah. Kata-kata itu tak akan berarti apa-apa untuk keputusan yang telah kau ambil.

Lalu, pertanyaannya.
Kau sudah tahu apa yang Dia perintahkan. Apa yang kau tunggu? Kau akan tetap cantik. Bahkan terlihat jauh lebih cantik.

Untukmu ananda tersayang....

Teman seperjuanganku;dahulu....

Friday, July 18, 2014

Kau Mengerti. Tapi Aku Tidak.

Bee, harusnya kau di sini dengarkanku. Menjadi salah satu pelipur lara juga penyemangat dalam nyataku. Tapi kenapa kau malah enggan menghabiskan waktu duduk bersamaku? Sekejap saja--- ah terlalu munafik jika aku tak rindukan sapaan hangatmu. Yang sekarang adalah hal yang paling langka untuk kutemui.

Aku kadang ingin membuat semua masa lalu itu kembali,Bee-- Dalam nyataku, dalam hidupku. Tapi, apalah. Semua semacam mimpi buruk disiang bolong. Yang tak pernah nyata tapi menyakitkan.

Kalimat yang kutulis rasanya hambar. Paragraf yang ada rasanya tak mengesankan. Kau tahu kenapa, Bee—Sebab rasanya percuma merangkai kata yang –menurutku—hampir indah, tapi nyatanya bahkan tak dianggap ada oleh beberapa kalangan. Kau tau yang lebih menyakitkan,Bee?

Iya, kalangan yang tak menganggap itu bahkan adalah kalangan yang paling dekat dengan denyut nadiku. Orang yang ada atau tidaknya berpengaruh besar dalam hidupku. Kau tahu,bukan? Ah, kau sudah pasti tahu,Bee—Semua ceritaku dari awal mengenai kecintaanku ini. Semua sudah kutumpahkan denganmu. Itu sebabnya, rasanya sekarang aku ambruk. Mimpiku ikut runtuh. Harapanku apalagi, pecah terbelah dua bisa jadi lebih parah.

Bee---kau tak berniat membuatku bangkit? Yah, aku ingat kata-katamu. Dengan atau tanpamu harusnya aku bisa berdiri sendiri. Aku harus bisa bangkit dengan kaki dan semangatku sendiri. Sungguh Bee—aku sudah melakukannya. Entahlah. Semua menyeretku dengan paksa ke lubang yang sama;masa lalu.

Fikiranku melayang terbang bersama mimpiku,Bee—Melesat jauh ke angkasa. Berterbangan. Menggantung. Entah ada yang peduli entah tidak. Hal demikian selalu aku lakukan. Menggantungkan mimpiku setinggi tingginya. Agar kelak, ketika aku mencapai mimpi itu. Akan ada banyak cerita dibaliknya. Ah, payah. Sebelum aku mencapai separuh dari mimpiku, semangat itu luntur,Bee---

Ku tahu kau mengerti maksudku. Tapi aku tak pernah mengerti kenapa kau enggan kembali.............................


Sunday, July 13, 2014

Untaian Harapan

Bacalah tulisan ini. Dari awal hingga akhir. Jangan bosan dahulu, ku mohon bacalah. Perlembutlah hatimu dahulu. Semoga Allah membantumu,Sayang. Ingat, kau boleh menutup terlingamu dengan apa yang aku katakan. Tapi aku mohon, bacalah apa yang aku tulis...


Aku baru sadar, ada yang lebih penting dari sekadar mengharapkanmu kembali di sini. Untuk mengukir cerita berbalut cinta kasih dalam ikatan pertemanan seperti dulu. Aku tak lagi menginginkannya,Sayang. Tidak untuk kembali, tidak untuk membiarkanmu pergi.

Tingkat kerinduanku kini meningkat pesat,Sayang. Ada rindu dalam diamku, ada harapan dalam bisuku. Tenang. Sekali lagi tenanglah, aku tak akan memintamu kembali menganggapku ada sebagai orang yang berarti. Anggaplah aku sebagai orang lain, jika itu bisa membuatku leluasa membantumu berubah menuju jalan yang lebih baik.

Tidak sayang, jangan tersinggung. Jalanmu sudah baik, tapi alangkah lebih baik lagi jika jalan yang kau tempuh sesuai dengan jalan yang Dia minta bukan? Ku mohon sayang...Mengertilah..

Aku terlampau bodoh dahulu dalam memaknai agamaku. Aku terlampau menganggap hal semacam kerudung ini adalah hal sepele yang tak terlalu mengganggu. Tapi lihatlah. Sekarang aku bahkan menyesal telah berlama-lama dalam kebodohan itu,sayang. Lihatlah, aku kini bahkan sangat menyesal....

Dahulu, aku punya waktu bersamamu. Banyak sekali. Boleh jadi aku termasuk orang yang kau percaya. Termasuk orang yang kau sayang. Dan termasuk orang yang boleh jadi berpengaruh dalam kehidupanmu. Tapi lihatlah kelakuanku waktu itu. Aku bahkan jadi orang yang tak peduli dengan apa dan bagaimana penampilanku.

Kini aku merengek memintamu berubah. Disaat aku bukan lagi orang terdekatmu. Apa kau mau mendengarku? Ku mohon,kali ini dengar aku......

Kau takut sendirian berubah,Sayang? Kalau kau mau. Aku bisa mebantumu. Apa yang kau butuhkan aku bisa memberimu. Jika tak ada, aku bisa mengusahakannya untukmu.
Kau tahu aku berubah sendirian ditengah-tengah orang yang mencaciku dengan penampilan baruku waktu itu. Aku bertahan sendiri. Seorang diri ditengah-tengah hinaan atas nama kesoksucian diriku. Sayang..Aku tahu itu lebih dari menyakitkan dari perpisahan kita waktu itu. Jika itu yang kau takutkan, aku siap berada disampingmu. Menutup telingamu dari hinaan-hinaan itu. Ku mohon dengarlah aku,sayang.....

Aku ditinggal beberapa teman sepermainanku karena penampilanku. Aku takut sendirian sementara kau waktu itu tak bersamaku,Sayang. Aku berdo’a padaNya, terus-terusan tanpa henti. Sampai aku tahu, teman-teman itu digantikan lagi yang seiman,seagama lagi sejalan dengan kita. Jika itu juga yang kau takutkan. Aku berjanji. Akan disini untukmu ketika teman-temanmu pergi menjauhimu. Ku mohon dengarlah aku,sayang.....

Tak ada yang lebih aku harapkan lagi tentangmu selain itu.
Aku ingin melihatmu dengan kerudung terulur tanpa jeans ketat yang melekuk tubuhmu...
Aku sungguh menyayangimu karena Allah,sayang.
Aku tidak ingin pertemuan di dunia nyata lagi, aku ingin bertemu kau di tempat yang lebih indah dari pada dunia dan seisinya. Aku ingin bertemu kau di syurgaNya sayang....
Aku mohon kali ini, cobalah kau sentuh kerudung pertamaku itu dengan cinta...
Lekatkanlah ia dikepalamu, julurlkanlah ia.
Demi Allah, kau pasti cantik –walau aku tak bisa melihatmu—tapi setidaknya aku yakin, kau terlihat cantik di mataNya....
Sayang. Kau boleh tak mendengarkanku dalam hal lain, tapi aku mohon.
 Dari hati yang benar-benar merendah dan tak merasa lebih suci darimu..
Aku berharap kau berbaik hati membuat harapanku menjadi kenyataan...
Aku tunggu....kapanpun...
Dan aku akan membantumu dari sini. Dalam do’a dalam untaian cintaku padaNya...
Setidaknya aku tak akan bosan mengingatkanmu,Sayang..
Tak akan. Tak akan pernah bosan...



SURAT DARI PALESTINA

SURAT DARI PALESTINA (Copast dari Fanpage Majalah Ummi)

Seluruh isi surat ini telah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dari Bahasa Arab, yang dikirim oleh seseorang bernama Abdullah Al Ghaza yang Mengaku dari Gaza City-Jalur Gaza melalui surat elektronik (Email) dan artikel diterbitkan oleh Buletin Islami


“Untuk saudaraku di Indonesia, mengapa saya harus memilih dan mengirim surat ini untuk kalian di Indonesia. Namun jika kalian tetap bertanya kepadaku, kenapa? Mungkin satu-satunya jawaban yang saya miliki adalah karena negri kalian berpenduduk muslim terbanyak di punggung bumi ini, bukan demikian saudaraku?


Di saat saya menunaikan ibadah haji beberapa tahun silam, ketika pulang dari melempar jumrah, saya sempat berkenalan dengan salah seorang aktivis dakwah dari jama’ah haji asal Indonesia, dia mengatakan kepadaku, setiap tahun musim haji ada sekitar 205 ribu jama’ah haji berasal dari Indonesia datang ke Baitullah ini. Wah, sungguh jumlah angka yang sangat fantastis dan membuat saya berdecak kagum.


Lalu saya mengatakan kepadanya, saudaraku, jika jumlah jama’ah haji asal Gaza sejak tahun 1987 sampai sekarang digabung, itu belum bisa menyamai jumlah jama’ah haji dari negara kalian dalam satu musim haji saja. Padahal jarak tempat kami ke Baitullah lebih dekat dibanding kalian. Wah pasti uang kalian sangat banyak, apalagi menurut sahabatku itu ada 5% dari rombongan tersebut yang memnunaikan ibadah haji yang kedua kalinya, Subhanallah.


Wahai saudaraku di Indonesia,


Pernah saya berkhayal dalam hati, kenapa saya dan kami yang ada di Gaza ini, tidak dilahirkan di negri kalian saja. Pasti sangat indah dan mengagumkan. Negri kalian aman, kaya, dan subur, setidaknya itu yang saya ketahui tentang negri kalian.


Pasti ibu-ibu disana amat mudah menyusui bayi-bayinya, susu formula bayi pasti dengan mudah kalian dapoatkan di toko-toko dan para wanita hamil kalian mungkin dengan mudah bersalin di rumah sakit yang mereka inginkan.


Ini yang membuatku iri kepadamu saudaraku, tidak seperti di negri kami ini. Tidak jarang tentara Israel menahan mobil ambulance yang akan mengantarkan istri kami melahirkan di rumah sakit yang lebih lengkap alatnya di daerah Rafah. Sehingga istri kami terpaksa melahirkan di atas mobil, ya di atas mobil saudaraku.!


Susu formula bayi adalah barang langka di Gaza sejak kami diblokade 2 tahun yang lalu, namun istri kami tetap menyusui bayi-bayinya dan menyapihnya hingga 2 tahun lamanya, walau terkadang untuk memperlancar Asi mereka, istri kami rela minum air rendaman gandum.


Namun, mengapa di negri kalian, katanya tidak sedikit kasus pembuangan bayi yang tidak jelas siapa ayah dan ibunya. Terkadang ditemukan mati di parit-parit, selokan, dan tempat sampah. Itu yang kami dapat dari informasi di televisi.


Dan yang membuat saya terkejut dan merinding, ternyata negri kalian adalah negri yang tertinggi kasus aborsinya untuk wilayah Asia. Astaghfirullah. Ada apa dengan kalian? Apakah karena di negri kalian tidak ada konflik bersenjata seperti kami disini, sehingga orang bisa melakukan hal hina seperti itu? Sepertinya kalian belum menghargai arti sebuah nyawa bagi kami disini.


Memang hampir setiap hari di Gaza sejak penyerangan Israel, kami menyaksikan bayi-bayi kami mati. Namun, bukanlah di selokan-selokan atau got-got apalagi di tempat sampah. Mereka mati syahid saudaraku! Mati syahid karena serangan roket tentara Israel!


Kami temukan mereka tak bernyawa lagi di pangkuan ibunya, di bawah puing-puing bangunan rumah kami yang hancur oleh serangan Zionis Israel. Saudaraku, bagi kami nilai seorang bayi adalah aset perjuangan kami terhadap penjajah Yahudi. Mereka adalah mata rantai yang akan menyambung perjuangan kami memerdekakan negri ini.


Perlu kalian ketahui, sejak serangan Israel tanggal 27 Desember 2009,saudara-saudara kami yang syahid sampai 1400 orang, 600 di antaranya adalah anak-anak kami, namun sejak penyerangan itu pula sampai hari ini, kami menyambut lahirnya 3000 bayi baru di jalur Gaza, dan Subhanallah kebanyakan mereka adalah anak laki-laki dan banyak yang kembar, Allahu Akbar!


Wahai saudaraku di Indonesia,


Negri kalian subur dan makmur, tanaman apa saja yang kalian tanam akan tumbuh dan berbuah, namun kenapa di negri kalian masih ada bayi yang kekurangan gizi, menderita busung lapar. Apa karena sulit mencari rizki disana? Apa negri kalian diblokade juga?


Perlu kalian ketahui saudaraku, tidak ada satupun bayi di Gaza yang menderita kekurangan gizi, apalagi sampai mati kelaparan, walau sudah lama kami diblokade. Sungguh kalian terlalu manja! Saya adalah pegawai tata usaha di kantor pemerintahan HAMAS sudah 7 bulan ini belum menerima gaji bulanan saya. Tetapi Allah SWT yang akan mencukupkan rizki untuk kami.


Perlu kalian ketahui pula, bulan ini saja ada sekitar 300 pasang pemuda baru saja melangsungkan pernikahan. Ya, mereka menikah di sela-sela serangan agresi Israel. Mereka mengucapkan akad nikah diantara bunyi letupan bom dan peluru, saudaraku.


Dan Perdana Menteri kami, Ust Isma’il Haniya memberikan santunan awal pernikahan bagi semua keluarga baru tersebut.


Wahai saudaraku di Indonesia,


Terkadang saya pun iri, seandainya saya bisa merasakan pengajian atau halaqah pembinaan di negri antum (anda). Seperti yang diceritakan teman saya, program pengajian kalian pasti bagus, banyak kitab mungkin yang kalian yang telah baca. Dan banyak buku-buku pasti sudah kalian baca. Kalian pun bersemangat kan? Itu karena kalian punya waktu.


Kami tidak memiliki waktu yang banyak disini. Satu jam, ya satu jam itu adalah waktu yang dipatok untuk kami disini untuk halaqah. Setelah itu kami harus terjun ke lapangan jihad, sesuai dengan tugas yang diberikan kepada kami.


Kami disini sangan menanti-nantikan saat halaqah tersebut walau hanya satu jam. Tentu kalian lebih bersyukur. Kalian punya waktu untuk menegakkan rukun-rukun halaqah, seperti ta’aruf, tafahum, dan takaful disana.


Halafalan antum pasti lebih banyak daripada kami. Semua pegawai dan pejuang HAMAS disini wajib menghapal Surah Al-Anfal sebagai nyanyian perang kami, saya menghafal di sela-sela waktu istirahat perang, bagaimana dengan kalian?


Akhir Desember kemarin, saya menghadiri acar wisuda penamatan hafalan 30 Juz anakku yang pertama. Ia merupakan diantara 1000 anak yang tahun ini menghafal Al-Qur’an dan umurnya baru 10 tahun. Saya yakin anak-anak kalian jauh lebih cepat menghapal Al-Qur’an ketimbang anak-anak kimi disini. Di Gaza tidak ada SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu) seperti di tempat kalian yang menyebar seperti jamur di musim hujan. Disini anak-anak belajar diantara puing-puing reruntuhan gedung yang hancur, yang tanahnya sudah diratakan, diatasnya diberi beberapa helai daun kurma. Ya, di tempat itu mereka belajar, saudaraku. Bunyi suara setoran hafalan Al-Qur’an mereka bergemuruh dianatara bunyi-bunyi senapan tentara Israel. Ayat-ayat jihad paling cepat mereka hafal, karena memang didepan mereka tafsirnya. Langsung mereka rasakan.


Oh iya, kami harus berterima kasih kepada kalian semua, melihat solidaritas yang kalian perlihatkan kepada masyarakat dunia. Kami menyaksikan aksi demo-demo kalian disini. Subhanallah, kami sangat terhibur. Karena kalian juga merasakan apa yang kami rasakan disini.


Memang banyak masyarakat dunia yang menangisi kami disini, termasuk kalian yang di Indonesia. Namun, bukan tangisan kalian yang kami butuhkan , saudaraku. Biarlah butiran air matamu adalah catatan bukti akhirat yang dicatat Allah sebagai bukti ukhwah kalian kepada kami. Doa-doa dan dana kalian telah kami rasakan manfaatnya.


Oh iya, hari semakin larut, sebentar lagi adalah giliran saya menjaga kantor, tugasku untuk menunggu jika ada telpon dan fax yang masuk. Insya Allah, nanti saya ingin sambung dengan surat yang lain lagi. Salam untuk semua pejuang-pejuang Islam dan ulama-ulama kalian.


Saudaramu di Gaza,


Abdullah Al Ghaza




Saturday, July 12, 2014

Mawar Ramadan


Bulan dimana banyak orang menghabiskan waktu bersama. Sekadar bertukar cerita atau berbagi tawa. Ah, bulan penuh berkah untuk kehidupan yang indah. Disaat rumah-rumah lain sibuk mengurusi menu berbuka puasa. Disaat itulah rumah yang satu ini lengang. Benar-benar sepi.
Rumah berdinding batu bata merah yang tidak atau belum disemen terlihat kosong. Tak ada suasana yang harusnya tercipta dibulan suci. Penghuninya entah kemana. Hanya ada detakan jam. Ctak! Ctak! Ctak! Selebihnya sunyi lagi. Rumah itu besar. Tapi kondisi dinding yang--tidak atau belum disemen—tadilah yang membuat rumah itu terkesan semrawut. Berantakan.
Allahuakbar...Allahuakbar...
Azan sudah berkumandang dari Masjid dekat rumah. Satu persatu penghuni rumah tadi keluar. Dengan ekspresi wajah yang berbeda-beda. Hambar. Tak ada rasa. Entahlah, apa bisa keluarga ini disebut dengan “keluarga”?
“Tak ada apapun di meja ini?” Laki-laki paling tua diantara mereka berkata. Eh, bahkan memang laki-laki sendiri. Itu Abi.
“Bunda tak sempat menyiapkan makanan. Kita buka puasa di luar saja ya,Bi?” Perempuan berambut panjang teruarai nyengir. Sok tak tahu. Sok tak merasa bersalah. Kalimat “tak sempat” itu hanya bahasa halus dari “aku malas masak”.
“Oh, Asya masak Mie saja. Pergilah kalian berdua. Asya tak akan dan tak mau ikut. Asya mau salat magrib dulu.” Asya gadis berkerudung lebar itu langsung pergi. Bodo amat masalah makan di luar. Tetap tak ada rasa,kan? Tak akan istimewa.
Lepas salat magrib rumah itu tetap saja sepi. Hanya suara Asya yang terdengar merdu membaca lantunan ayat cintaNya. Abi dan Bunda benar-benar makan di luar tanpa Asya. Asya sudah terbiasa –entah terpaksa atau tidak—keluarganya sekarang mewajibkan ia tumbuh menjadi pribadi yang lebih tegar. Ah, memuakkan. Tingkat ketegaran itu harus lima kali lebih kuat dibulan suci.
♧♧♧
Hari ke-29. Cepat betul rasanya hari berganti. Cerita di rumah itu pun berganti. Sudah seminggu ini Bunda jadi rajin. Tak ada lagi hobbynya belanja online dan hidup yang serba mewah itu—padahal lupa kalau dinding rumahnya pun belum semewah gaya hidupnya. Banyak yang berubah, seminggu terakhir menu buka puasa berjejer rapi; kue, kurma, es buah, dan serba-serbi lainnya.
Sore ini Asya juga sudah selesai membantu Bunda memasak. Dia langsung ke ruang tamu. Membuka lemari yang berada di samping TV. Dia acak-acak isi lemari itu. Tak ada? Kemana? Tak berhenti. Dia terus mengacak-ngacak walaupun niat awalnya mencari. Air matanya mulai menetes. Deras. Tangan mungilnya terus merogoh sudut-sudut lemari. Pukul 18.00 WIB tak peduli sebentar lagi berpuasa, ia sibuk dengan pencariannya. Tiba-tiba Bunda melihat. Terkejut. Semua sudah berantakan macam kapal pecah. Buku-buku berserakan di lantai. Selebihnya masih di dalam lemari, tapi....berantakan juga.
“Kau mencari apa Sya?” Bunda bertanya bingung. Sembari tangannya lihai membereskan buku yang berantakan di bawah kakinya.
“Sesuatu.” Katanya singkat. Mengelap air matanya. Mengehela napas panjang. Bibir tipisnya mengatup. Menahan tangis.
“Apa?” Bunda masih penasaran.
“Mawar...” Asya berkata lirih. Berdiri dan memandang keluar rumah. Asap, siapa pula yang membakar sampah jam segini. Tak peduli. Dia mendengus sekali lagi.
“Mawar yang berserakan di lemari ini? Sekitar 50-an lebih,Kan? Bunda bakar. Besok kita.....”
“BAKAR BUN? Ah seribu mawar pun tak seistimewa itu! Mawar itu tumbuh ketika bulan Ramdahan.” Asya pergi meninggalkan Bunda lari ke luar rumah. Melihat si jago merah melahap mawar itu sekejap. Ludes. Tinggal sisa batangnya yang juga sudah tak berbentuk. Mawar itu sama seperti hatinya. Hancur......
♧♧♧
“Marah sama Bunda? Maaf Sya---” Bunda duduk di samping Asya. Berkata terbata-bata. Dia tak mengerti, kenapa mawar itu begitu berarti?
“Bunda tak pernah mengerti. Tak pernah coba paham. Aku bersyukur pada Tuhan telah merubah Bunda seperti sekarang. Bunda memakai kerudung, Bunda rajin masak, meluangkan waktu untuk keluarga. Tapi Bunda lupa, Bunda belum pernah mengerti keberadaanku...” Asya menahan tangis. Rasanya kerongkongannya kering. Sakit. Nyeri sampai telinga.
“Aku juga berterimakasih pada Tuhan. Bulan puasa kali ini ditemani Bunda. Tapi aku tak pernah meminta untuk menghapuskan kenangan Umi di hatiku, Bun...Tak pernah..” Asya sempurna menangis. Semuanya kembali. Di ruangan ini.
Dua tahun lalu....
“Ini Umi... Plastik warna merahnya sama tangkainya, ajarin Asya bikin mawar ya Umi. Biar bulan puasa ini Asya gak bobok terus.” Asya berkata manja pada Umi. Umi meraih plasik bekas itu dan tangkainya.
“Setiap hari kita bikin mawar ini sayang, Umi bikin satu. Kamu bikin satu. Jadi, hari ke-30 Ramadan kita punya 60 tangkai mawar.” Umi tersenyum membelai rambut Asya.
Keasyikan Asya dengan mawar buatannya terhenti dihari ke-30. Umi mendadak sakit. Entah apa penyakitnya, dokter pun bilang tak ada penyakit yang terdeteksi. Asya menunggu Umi di Rumah Sakit. Sesenggukan.
“Kau sudah buat mawar,Sya?” Umi berkata pelan. Asya menggeleng. Tak peduli lagi masalah mawar. Umi lebih penting.
“Ini dua mawar untukmu,Sya. Maaf tak serapi biasanya. Umi sudah harus pergi... Jangan lupa ya. Bulan suci harus perbanyak ngaji. Umi....”
“Umi sayang Asya karena....Allah.” Dan Umi menghembuskan nafas terakhir tepat hari ke-30 Ramadan.
Asya pun tersadar dari lamunannya.
“Bunda tak pernah tahu. Mawar itu. Mawar itu Bun, hanya tumbuh ketika bulan Ramadahan. Mawar itu Bun.....” Asya sesenggukan lagi.
“Mawar itu untuk pertama dan terakhir tumbuh dua tahun lalu. Dia tak akan tumbuh lagi tahun ini dan tahun-tahun berikutnya. Bunda tahu??” Asya menatap mata Bunda lekat-lekat.
“Mawar itu tumbuh dari tanganku dan tangan Umi. Itu kenangan terakhir Umi sebelum Umi pergi. Itu pertama dan terakhirnya Bun. Tak akan ada lagi mawar-mawar yang tumbuh setelah ini. TAK AKAN ADA! Bahkan Bunda tak pernah peduli denganku. Tak pernah Bun!! Bunda tak seperti Umi.....” Meninggalkan Bunda;ibu tirinya.
Bunda tersentak. Mematung. Beribu sesal dalam dadanya telah membiarkan hati anaknya terluka. Ia ikut-ikutan menangis. Berfikir panjang...
♧♧♧
Hari ke-30.
“Bunda ada sesuatu untukmu,Sayang.” Bunda tersenyum mendehem. Tiba-tiba Abi muncul dari belakang Bunda.
“Abi....” Asya tak percaya.
“Mungkin ini tak menggantikan Umi dihatimu, tapi setidaknya Bunda bisa seperti Umimu,sayang.” Abi tersenyum.
“Kami semalaman membuat ini untukmu,Sya.” Abi menyodorkan 60 tangkai mawar plastik yang memang tak serapi buatan Umi.
“Abi...Bunda....” Asya memeluk Bunda dan Abi.
“Maafkan perkataan Asya,Bun...Terimakasih Bunda Abi. Akhirnya mawar ini tumbuh lagi di Ramadan kali ini.”
“Ia mungkin tak tumbuh dari tangan Umi. Tapi ia tumbuh dari tangan yang sama-sama mencintai Asya dengan sepenuh hati.” Tangan Asya kini penuh dengan 60 mawar plasik. Tersenyum puas. Memang, tak akan ada yang menggantikan mawar yang tumbuh dari tangan Umi. Tapi sekarang mawar itu akan terus tumbuh tiap tahun dari Bunda,Abi dan Asya untuk Umi....


Tantangan #EkspresiPuasa By @Kampusfiksi

Tuesday, July 8, 2014

Menulis Gerilya

Aku tak bisa berhenti ternyata. Sebab sampai sekarang hanya tulisan yang mampu mendengarku. Yang mau meluangkan waktu untuk sekadar menjadi aplikasi kekecewaanku.
Aku tak menyalahkan siapapun yang tak pernah mendengarku lagi. Aku tahu, semua manusia berhak memilih jalannya. Termasuk memilih pergi dan meninggalkanku dalam keterpurukan ini. Ah, apakah ini titik terburuk yang aku alami?

Aku mencoba berfikir positif dengan keadaan. Dengan semua rencana Allah yang belum bisa ku cerna dengan baik. Mencoba menelaah kata-kata “Allah tergantung pada prasangka hambaNya” Aku belajar untuk tidak menangis disaat semua tak menganggapku berarti walau akhirnya air mata itu malah semakin menjadi dan terlampau menyesakkan.

Ah ya, aku harus menjadi diriku sendiri. Harus mengejar apa yang aku impikan. Dan harus menjadi muslimah yang tangguh tanpa membangkang.

Kau tahu? Sssst! Sekarang, aku menulis secara diam-diam. Ah tak perlulah mereka –orangtuaku—tahu apa saja yang aku tulis dan event apa saja yang aku ikuti. Aku menulis disaat mereka terlelap. Dan terlelap disaat mereka terjaga. Biarlah, dengan begitu tak ada lagi sarkasme dari mereka. Karena yang mereka tahu, aku tak menulis lagi..

MENULIS GERILYA!
Diam-diam tapi menghasilkan karya. Aku belajar kebal beridiri tanpa dukungan. Berdiri tanpa semangat. Aku...harus bisa. Dengan atau tanpa mereka. Bagaimanpun, sudah ku katakan walau ini menyakitkan tapi ini cita-citaku. Selangkah menuju mimpi yang nyata...

Iya...Mungkin menulis diam-diam itu adalah solusi yang kutemui dalam diamku....



Saturday, July 5, 2014

Apa Harus Kulupakan Mimpiku?



Jika aku tak boleh bermimpi. Kenapa harus ada mimpi di dunia ini? Jika aku tak boleh menentukan apa yang aku mau sendiri. Kenapa harus ada pilihan? Aku sudah sering diam, tidak pernah menyuarakan. Tapi sayangnya bahkan kalian tak peduli, tak pernah mau tahu. Atau sebenarnya selama ini dukungan kalian hanya semacam ilusi? Katakan! Apa yang salah dengan mimpiku? Katakan! apa yang bisa aku lakukan? Lalu, hal apa yang kalian mau untuk aku impikan?

Berhentilah menyudutkanku dengan bidang yang aku cintai. Kenapa harus aku? Kenapa aku lagi yang selalu disalahkan;dalam mimpiku. Aku berkali-kali mendapatkan suntikan semangat dari kalian. Tapi pada akhirnya kalian pulalah yang menghancurkan mimpiku lebih parah dari semula. Lalu?

Bunda, rasanya hatiku sudah terlampau kebal menerima perkataanmu yang selalu saja menyudutkanku. Rasanya sudah tercipta dinding-dinding yang begitu tinggi dalam hatiku. Tapi ternyata, sinisme dari bibirmu mampu meruntuhkannya begitu saja.

Ayah,Bunda...
Lalu, sekarang apa yang harus aku impikan? Apa yang harus aku lukiskan? Aku tak punya pilihan. Kiranya kalian menolak bidang ini. Apa solusi kalian untuk menghilangkan kecintaanku ini?

Tuhan..Kenapalah harus Kau ciptakan mimpi?
Jika sekiranya sebelum kumengejar..
Mimpi itu sudah terpaksa pupus.
Tuhan.. Kenapalah Kau biarkan aku merangkai mimpi?
Jika pada akhirnya aku pun terluka karenanya...

Tak pernah ku fikir semua sesakit ini.
Sarkasme itu, olok-olokan mereka.
Disini. Semua jelas terpampang.
Menyelinap dalam telinga.
Menembus relung jiwa dan tepat!
Hatiku hancur. Hinaan itu menyakitkan..

Disaat mereka bahkan tak peduli.
Lalu? Apa yang tersisa dengan mimpiku,Tuhan?
Omong kosong!
Seratus bahkan jutaan lembar yang menumpuk atas namaku.
Aksara yang kurangkai dengan balutan cinta...
Tak berarti! Angin lalu! Macam sampah yang menumpuk!
PERCUMA! Tak berharga bagi mereka..

Apa harus kulupakan mimpi-mimpiku?

Ttd.

Anakmu.

Friday, July 4, 2014

Bagaimanalah?

Hay. Sudah lama kita tak bertemu. Ah terlalu muluk kalau pembahasan kali ini tentang pertemuan. Mungkin yang benar, sudah lama kita tak bercengkrama. Aku tak memimpikan sebuah pertemuan lagi malah, sudah terlalu lama bermimpi pada akhirnya juga terpaksa patah dan hilang. Menyenangkan? Tentu tidak.

Bagaimana?
Bagaimana hidupmu selama ini? Kau pasti tak tahu kan? Ternyata, mengusir rindu itu pergi jauh-jauh dan membiarkannnya terbang begitu saja tak terlalu mudah. Sulit. Oke, sangat sulit. Bagaimana? Kau juga mungkin tak tahu bagaimana merelakan itu kan? Perlu ku jelaskan? Tapi, apa beribu penjelasan dari tulisanku adalah sesuatu yang ingin kau ketahui? Hey! Kenapa kau tak pernah menjawab barang kali satu pertanyaan saja? Aku mohon---

Benar ternyata, mengutarakan satu penjelasan pada seseorang yang tak butuh –dan tak mau—penjelasan sama saja omong kosong. Tapi bagaimanalah? Aku tak bisa mengontrol hatiku dan jemariku untuk berhenti merangkai aksara jika rindu itu muncul dan meluap macam air bah! Rindu itu dengan brutal mengguyur kepala jahatku yang ingin membencimu. Yang ingin berhenti berbaik hati barangkali hanya berpura-pura saja. Ah, tapi sialnya kau tak tahu itu,sayang---

Bagaimanalah?
Rasanya ingin mencengkram tanganmu, membiarkanmu duduk dihadapanku. Dan aku siap-siap memuntahkan semua perkataan yang terpendam ini. Lagi-lagi, bagaimanalah? Itu kemungkinannya kecil –bahkan hampir tak mungkin. Kau? Sudah terlampau jauh pergi. Tragisnya, separuh cerita hidupku kau bawa.

Lucu. Bagaimana tidak, banyak kehidupan lain di  luar sana yang jauh lebih menyenangkan. Lucunya, aku hanya berdiam diri disini seolah tak ada satupun kehidupan lain yang lebih bahagia. Sebenarnya bukan begitu, tapi aku kembali berifkir. Jika aku terlalu jauh keluar dari situasi ini, apakah situasi selanjutnya akan lebih sempurna? belum tentu. Lebih pahit? Sudah pasti!

Ah, kau mana peduli,sayang---