♫♬

Thursday, January 23, 2014

Kenapa malaikat itu bukan kau?

Jarak yang paling dekat malah kurasa menjadi titik yang paling jauh untuk kugapai. Dia disampingku dan aku otmatis disampingnya. Tapi kenapa menuju kearahnya adalah hal yang paling sulit? Seperti harus berjalan berkilo-kilo meter di tengah sengatan matahari. Seperti harus mendaki dengan kemiringinan nol derajat.Nol? Memang bisa terbilang tidak miring. Sulit bukan? Ketika aku belajar untuk menerima, ketika aku belajar dari bawah untuk menuju puncak. Sayangnya, aku tergelincir kembali ke bawah. Sama seperti ingin ‘berbagi’ dengan dia. Jauh. Sesak. Ada penghalang.


Ku fikir aku telah mampu ikhlas. Tapi ternyata belum Bukan ikhlas namanya jikalau masih merasakan sakit” Kata-kata itu sama sekali belum aku rasakan. Dadaku masih penuh api yang membuat segala yang ada di dalamnya panas. Bahkan meluluh lantakan niat kebaikan-kebaikanku kepadanya yang semula aku lukiskan begitu indahnya.


Memang benar, kekecewaan akan membuat pribadi seseorang berubah. Jujur saja, aku malas mengejar prestasi-prestasi yang tidak seberapa itu. Menjadi juara kelas, mendapatkan beasiswa sama saja hal nya aku tidak melakukan apa pun di mata dia. Munafik kalau aku berkata “Aku tidak butuh pujian” . Sungguh terkadang pujian itu akan membuatku semangat lebih dari sebelumnya. Aku tidak membutuhkan apa pun melainkan kasih sayang yang melimpah, perhatian, dan juga semangat yang ia salurkan ketika mengelus kepalaku. Pertanyaanku sekarang “ Kapan terakhir kali dia mengelus kepalaku?” LUPA! Aku bahkan lupa bagaimana rasa di sentuh kepalanya..

Aku ingin pergi jauh dan berlama-lama disana. Ada atau tidak adanya dia. Kenapa bagiku sama saja? Aku terbilang sering mengeluarkan air mata karenanya. Karena kesakitannya, karena hidupnya. Dia berbicara aku adalah orang yang paling senang mendengarkannya. Walau perkataannya tidak terlalu menarik, aku berusaha untuk tidak beranjak sebelum ia selesai bercerita. Atau walaupun tidak lucu sama sekali aku berusaha tertawa. Itu semua karena aku menyayanginya, sangat. Aku tidak ingin membuat hatinya terluka. Aku tidak ingin ia merasa tidak aku pedulikan. Ketika dia sakit. Aku berusaha untuk menjadi orang yang lebih dewasa walau panik mendera. Walau tangis ingin menumpah. Aku ingin berada disampingnya tanpa air mata. Karena aku tidak ingin dia pergi sebegitu cepatnya..

Sampai akhirnya,
Aku kini berubah kembali menjadi sosok semulaku. Aku tidak tahu pasti kenapa dia kembali begitu saja. Kenapa fikiran jahat ini merangsang otakku, perkataanku untuk menyakiti hatinya. Aku juga sebenarnya tidak ingin. Tapi fikiran dan hatiku yang telah ia patahkan. Membuat semuanaya menjadi mungkin. Perkataanku terbilang sering menyakitinya. SAMA! Sama seperti dia menyakiti hatiku dengan perkataannya!

Dia. Selalu mengacuhkanku ketika aku berbicara apa pun. Cerita apa pun. Dia sama sekali tidak mempedulikan apa yang keluar dari mulutku. Melainkan hanya beberapa waktu saja. Kenapa berbeda dengan caraku memperlakukannya? Bukankah waktu itu aku selalu mendengarkan ceritanya? Penting atau tidak penting. Seru atau membosankan. Aku selalu memberikan telingaku untuk mendengarkan dia.

Dia. Tidak melihat ku ketika aku sakit. Bukankah waktu itu aku ada disampingnya ? Mengenggam tangannya ketika dia rasakan sakit yang luar biasa? Kenapa yang ada bukan dia tapi orang lain? Apa aku hidup dengan ‘orang lain’ itu saja disini?


Dia. Suka membanding-bandingkan aku dengan mereka. Dengan mereka yang sebenarnya tidak perlu di bandingkan denganku! Dia saudaraku pula. Jika dia malu dan malas mempunyai aku, kenapa waktu itu dia tidak membuangku saja? Aku mulai membenci perlakuannya denganku. Sungguh.

Kenapa malaikat itu bukan kau,bu?
Kenapa kau berubah menjadi seseorang yang jauh dari kedekatan denganku. Aku lupa bagaimana kau peluk! Aku lupa bagaimana kau cium! Aku lupa bagaimana tanganmu mendarat hangat di kepalaku! Aku lupa bagaimana bercanda denganmu! Aku lupa bagaimana mendapatkan nasehat darimu! Aku juga lupa bagaimana di perhatikan ketika aku sakit! Aku lebih lupa bagaimana kata-kata lembut yang dulu terlontar dari mulut mu!

Aku hanya merindukanmu bu...
Kenapa malaikat itu bukan kau?



Tuesday, January 21, 2014

Ceritanya Aku Adalah Seorang Penulis

Aku mempunyai banyak impian di bidang ini. Dibidang yang dahulu sempat terabaikan olehku. Terabaikan bukan karena tidak mampu –mungkin- tapi karena khayalku terlampau tinggi dari pada usahaku. Dulu. Aku hanya bercita-cita sebagai penulis. Dulu tidak ada keaktifanku menulis. Dulu juga aku hanya berandai-andai dan membathin mungkin itu sedikit mustahil; untukku. Karena aku terlampau melihat ke atas. Menerawang jauh. Sejauh mungkin dan melupakan sesuatu yang dekat bahkan bisa aku lakukan saat itu juga.  Melupakan kemungkinan kecil yang bisa berkembang biak menjadi besar.

Sekarang..
Anggap saja aku penulis. Dengan begitu, aku mudah menuliskan apa pun yang aku rasakan. Apa yang ingin aku utarakan, dan apa yang ingin aku bicarakan kepada orang-orang melalui rangkaian kata-kata. Anggap saja aku seorang penulis hebat. Yang mampu mensugesti para pembaca dengan tulisanku. Yang mampu menarik ribuan manusia untuk membaca apa yang aku tuliskan. Sama seperti penulis hebat di dunia nyata. Aku tidak perlu menjadi mereka agar aku dikenal. Aku hanya ingin menjadi diriku sendiri dengan tulisanku dengan kata-kata yang aku rangkai walau tidak sesempurna mereka.


Aku tidak suka dibeda-bedakan! Aku tidak suka menjadi subjek yang selalu di anggap terbelakang. Mungkin aku memang kalah jauh dalam suatu bidang. Tapi bukankah setiap manusia memiliki suatu kelebihan pula? Jika aku adalah aku. Dan kamu adalah kamu. Pastilah kita memiliki suatu yang tidak dimiliki oleh satu di antara kita. Mengerti, tuan? Jangan menganggap remeh seseorang. Jangan anggap mereka terbelakang. Karena ketika mereka di anggap terbelakang. Justru mereka telah berjalan jauh di depan kamu.

Aku juga tidak suka. Ketika aku telah berjuang sedemikian kerasnya. Tapi di anggap angin lalu. Walaupun aku sadar, akan banyak orang di luar sana yang mencoba membuat ku terjatuh, tersungkur, bahkan jungkir balik agar aku tidak pernah bisa bangkit kembali. Akan ada banyak orang yang bisa jadi berpura-pura baik tapi sebenarnya mereka ingin menjatuhkan semangat dan mental sejauh-jauh yang mereka bisa. Sudahlah apa pun itu aku akan tetap bangkit dengan kaki ku sendiri. Dengan semangatku yang terbilang luar biasa.

Ceritanya, aku adalah seorang penulis.
Duduk di depan laptop. Mengetikkan kata demi kata menjadi paragraf yang jumlahnya sekian ratus. Banyak. Mungkin lelah. Berfikir memutar otak beberapa derajat saja. Memiringkan kepala dan berfikir kembali. Diam sejenak memegang kening lalu berfikir kembali. Mengetikkan apa yang telah susah payah di fikirkan. Walau prosesnya panjang Ttpi itu termasuk kepuasan bathin. Menuliskan segala sesuatu. Penting atau tidak penting. Berpengaruh atau tidak berpengaruh. Indah atau tidak indah. Itu urusan kesekian. Aku akan tetap menuliskan apa pun yang bisa di tulis. Apa pun yang bisa di sampaikan. Asal itu tidak melanggar peraturan dalam Islam. Bukan begitu?
Aku adalah penulis masa depan yang akan mampu merubah pergaulan remaja dengan tulisan-tulisannya *halah* :D. Memberi tahukan apa pun kepada dunia dan orang banyak tentang sesuatu yang ia rasakan fikirkan dan terjadi dihidupnya. Atau mungkin bisa saja mengangkat kisah hidup seseorang untuk di tuliskan. Asal bisa untuk dituliskan kenapa tidak?
Walau menuju penulis sesungguhnya adalah susah. Aku percaya. Jalan menuju kesana ada beribu-ribu. Bahkan setiap satu jalannya memiliki beribu-ribu celah pula yang berbeda. Walau sulit.
Namanya saja, ceritanya.. Jadi apa pun yang aku tuliskan hanya sebatas cerita J

Suka atau tidak. Ini adalah cerita seseorang yang ceritanya adalah seorang penulis J  





Sunday, January 19, 2014

Celakanya, kau memang (pantas) ku tunggu

Seberapa pantas untuk di tunggu?

Ku tanya kan padamu. Seberapa pantas kau untuk terus di sayangi? Seberapa tangguh kau bertahan dan patut untuk ku perjuangkan? Seberapa kuat kau menopangku ketika terjatuh sehingga layak aku banggakan? Seberapa mampu kau membuatku tersenyum sehingga harus ku tunggu lebih lama lagi?
Mungkin ini adalah pertanyaan yang tak terjawab. Mungkin ini adalah pertanyaan yang tak seharusnya aku lontarkan. Mungkin juga, ini adalah pertanyaan yang tak seharusnya ada. Ku berlari sejauh mungkin dari lingkaran ‘kita’. Ku melangkah dengan pasti menjauhi segala apa yang ada di dalamnya. Aku mencoba berdiri. Bangkit walau terjatuh lagi. Aku tetap mencoba berdiri dengan kaki ku tanpa kau. Tanpa uluran tanganmu, tanpa belas kasihan siapa pun.
Aku berlari sedemikian lajunya. Aku berlari dengan kaki yang pernah kau patahkan. Aku berlari dengan kaki yang pernah kau sia-siakan. Dengan kaki yang kau tak mau untuk berjalan bersama-samanya. Celakanya, aku hanya dapat berlari di tempat. Walau sejauh mungkin ku berusaha. Walau sedemikian laju kakiku mendayuh. Aku tetap berada disini, di tempat dahulu sebelum semuanya berbeda..
Kau lupa atau berpura-pura tak ingat?
Kau lihat mata ini. Ini adalah mata yang darinya selalu kau buat menangis. Selalu mengeluarkan air matanya. Kau lihat pula pipi ini. Ia selalu basah karena tangis. Ia selalu lembab karena berpuluh-puluh tetes air mata yang melintasinya . Kau lihat tangan dan jemari ini. Inilah jemari yang selalu menulis tentangmu. Selalu mengetikkan isi hatinya, ketika kau tak pernah punya waktu untuk mendengar perkataanku melalui bibirku. Kau terus berpaling kearah lain. Kau terus mengelak seolah tak tahu apa-apa.

Kau juga lupa tentang adanya kepala ini? Atau kau justru tak mempunyai kepala? Atau bahkan kau lupa memakai kepalamu untuk memakai pula apa yang ada di dalamnya. Otak. Fikiran. Kau lupa bagaimana caranya mengatur kerja otakmu? Agar kau mampu menelaah sedikit kode terselubung di balik sedihku. Dan kata isyarat dibalik tulisanku. Harus nya mengerti. Harusnya kau pahami. Bukan kau anggap aku seperti angin yang berhembus menemani harimu tanpa kau pedulikan keberadaannya. Mengerti?

Aku mencoba merebahkan badanku ketempat lain bukan disini. Aku pandangi langit-langit berfikir keras bagaimana aku bisa terbangkan kecewa dan sedih ini bersama angin. Melalui celah-celah yang ada disekitarku. Atau mungkin aku akan membuangnya di tempat sampah. Agar tak ada satu pun yang memungutnya. Agar tak ada lagi kesedihan yang tersisa.
Aku masih disini dengan kecewaku yang dulu aku terlebih awal mengecewakanmu. Aku masih disini dengan sedihku yang dulu terlebih awal membuatmu bersedih. Sungguh, semua sangat adil kurasakan. Semua sama persis dengan apa yang ku perbuat. Aku percaya memang, semua akan ada balasannya. Tapi ku fikir, balasan itu tak seperih ini. Seperih kau meninggalkanku..
Ah yang lebih parah,
Sampai sekarang pun memang hanya kau yang mengerti, memang hanya kau yang memahamiku, memang hanya kau yang kuharapkan kembali. Entahlah. Sepantas itukah kau untuk ku tunggu(????) dan sampai sekarang masih kau lah yang mampu aku andalkan. Walau kau jauh. Walau kau meninggalkan ku walau kau sempat mematahkan kakiku. Walau kau tak pernah memberi tanganmu untuk membuatku bangkit.
Tapi dengan caramu aku mampu percaya lebih. Tapi karena mu aku mampu melihat indahnya dunia dengan kaki ku sendiri. Tanpa siapa pun. Mungkin, kecewaku tak sebesar bahagiaku di akhir. Mungkin, sedihku tak sebanding dengan pelajaran yang kudapatkan. Mungkin, aku bisa belajar lebih dewasa dari ini...

Memang, kau sudah pergi dari lingkaran ‘kita’. Tapi, masih ada lingkaran ‘aku’ dan ‘kau’ walau kita berada pada lingkaran yang berbeda. Walau kita tak berdiri dengan kaki yang sama sehingga menjadi ‘kita’. Walau kita tak berada dalam lingkaran yang semestinya. Walau kita bersebrangan. Walau kau disana dan aku disini. Tapi kuharap. Tak ada alasan untuk saling membenci. Tak alasan untuk saling mencaci.
Walau ku terlambat. Kau tetaplah yang terhebat!
Terimkasih! Dan ku katakan diakhir tulisan ini..
Kau memang pantas untuk di tunggu siapa pun dan di harapkan” J
Pergilah sejauh mungkin sesuka hatimu. Pergi saja dengan mereka yang kau mau. Asal kau tak pernah benar-benar melupakanku.

#Ini tulisan untuk siapa? Kamu? Aku? atau dia? Mereka? Ah sudahlah~


Bukan Sebuah Lilin

   Lilin kecil berwarna-warni menghias di atas kue. Gemerlapan seperti bintang di langit gelap. Cahaya nya terpancar redup namun menyejukkan. Mata siapa pun yang memandang akan takjub melihat keindahannya berkobar-kobar. Sesekali bergoyang ke arah angin. Sesekali berdiri tegak setegak batangnya. Dan Wush. Keindahan nya lenyap. Lilin kecil padam. Keindahan terputus. Tidak ada lagi gemerlap bintang di atas kue. Hembusan dahsyat itu memadamkan keelokannya. Namun, ketika api menyambar pucuknya. Lilin kecil itu hidup kembali. Dan begitu seterusnya...


Sayangnya, kehidupan yang aku dan kau jalani tidak sesimple LILIN. Yang mana, ketika kita berada posisi tidak nyaman bisa keluar seenaknya saja. Sama seperti mematikan Lilin. Atau ketika bahagia-bahagia nya kita bisa masuk ke kehidupan itu lagi dengan sebebas-bebasnya—sama seperti menghidupkan lilin. Kehidupan lebih rumit dari sekedar meniup dan mematikan lilin. Andailah kehidupan semudah itu. Mungkin aku adalah salah satu orang di antara jutaan bahkan milyaran kepala yang tidak merasakan sesak yang luar biasa saat ini.

Hidup adalah perjuangan. Perjuangan untuk memperjuangkan yang baik. Atau justru berjuang untuk hal yang buruk. Celakanya lagi, memperjuangkan hal yang buruk yang di anggap baik. Rumit. Hidup memang rumit. Bisa jadi, ketika kita sudah berusaha keluar dari masalah. Lari sekencang-kencangnya. Membuang fikiran agar tidak dapat berfikir lagi. Justru hal itulah yang membuat masalah semakin pekat. Semakin menancap di kepala. Semakin menusuk dalam jiwa. Semakin menyesakkan dan semakin menjatuhkan kita pada posisi yang lebih parah dari sebelumnya..

Ketika Lilin dapat di tiup dan di matikan sesuka hati—pemiliknya. Kehidupan sama sekali tidak bisa berhenti sesuka hatinya. Tidak bisa dipaksa untuk kembali ke masa lampau. Tidak bisa pula di percepat ke masa yang akan datang. Atau memperlama waktu di masa sekarang. Kehidupan tidak akan berhenti, walau kita berusaha mati-matian menghentikan waktu. Kecuali Allah mengizinkan. Jalan satu-satunya mencapai keindahan adalah dengan menjalaninya. Tidak peduli seberapa berat. Tidak peduli seberapa pahit. Entah hari ini terlilit hutang yang membelit dan meliuk sana-sini. Entah hari ini mendapatkan nilai ulangan yang sangat-sangat tragis. Entah hari ini kurang makan. Entah hari ini mempunyai kelainan. Dan rentetan kata entag yang lain. Hidup tidak akan pernah berhenti-sebelum waktunya-.

Walau pahit walau sulit. Bukankah masih bisa bersyukur?
Aku juga pernah –terbilang sering—merasakan pahit yang luar biasa pahitnya. Aku juga pernah bersahabat dengan kesedihan;setahun terakhir. Aku juga pernah kesulitan. Yang lebih singkat. Aku juga sempat lupa bagaimana bersyukur.
Aku tetap saja berfikir Bagaimana aku bisa seperti lilin. Yang dihembus akan padam dan di nyalakan akan bersinar kembali. Aku terus mencari cara bagaimana aku bisa bahagia lalu ‘mati’ ketika kesulitan menerpa. Aku melupakan syukur. Padahal, ketika kita dekat dengan syukur. Kesulitan apa pun akan ada jalan keluarnya, akan tetap ada sisi untuk menuju kemudahan. Tetap ada celah untuk menerbangkan kesulitan itu pergi dan menggantikannya dengan bahagia. Kadang kita lupa. Kadang kita terlampau sibuk mengurusi hal yang tidak seharusnya di urusi. Padahal ada masalah besar dalam hati yang harus di urusi. Kurangnya rasa syukur.

Hembusan di atas lilin membuat keindahannya padam. Hembusan do’a di atas sajadah membuat keindahan hidup terbuka. Nyala api di atas lilin membuat keindahannya kembali. Nyala api di atas rasa syukur akan membuat jalan keindahan semakin lebar. Ketika lilin harus di nyalakan agar keindahan itu kembali, kehidupan butuh rasa syukur untuk membuat segalanya menjadi indah. Ketika lilin harus padam di akhir. Kehidupan tidak akan pernah padam sebelum Allah menghentikannya. Lilin hanya mampu memberikan pancaran keindahan untuk beberapa jam saja. Tapi kehidupan mampu memberikan keindahan berkali-kali lipat dari Lilin. Cukup satu beryukur.
Sebab hidup tidak sesimple meniup dan menyalakan Lilin.
Sebab kita tercipta bukan untuk menjadi sebatang Lilin..


Friday, January 17, 2014

Izinkan Bunda Disini YaAllah

Untuk bunda yang air mata nya sering menetes karenaku..
Terimakasih bunda.
Telah berdiri disampingku, ketika mereka menjatuhkanku dan meninggalkanku begitu saja.
Terimakasih bunda.
Telah mengasihiku ketika mereka membenciku dan tak pedulikanku lagi.
Terimkasih lagi bunda.
Kau masih tetap disini, bersamaku, disampingku. Ketika seluruh dunia mulai menjauh dari ku. Mulai lenyap dari pandanganku..
Dan terimakasih juga telah menjadi semangatku untuk bangkit ketika kerterpurukan kurasakan..
terimakasih telah mengajarkanku arti kesabaran.
Arti kasih sayang yang tak pernah kenal balas jasa.. Karenamu aku merasa di sayangi. Karenamu aku merasa sangat berarti.. Bunda yang sering ku buat menangis...
Maafkan aku.
 Jika air matamu disebabkan karenaku.
Maafkan aku jika perkataanku melukai hati kecilmu.
Maafkan aku yang sering membantah perkataanmu..
Sering mencaci kecil mu dibelakang.
Mengatakan “Aku benci sikapmu” atau “Bunda terlalu kuno. Bunda ketinggalan jaman” Atau kata yang tak pernah kau tahu...
Bunda.. Seribu kali aku mencari orang yang berbaik hati menjagaku.
Tapi tak kutemukan yang setulus engkau, bunda... Kasihmu sangat pekat kurasakan.
Tangan lembutmu selalu mengelus kepalaku ketika kurasa lelah yang menjadi.
YaAllah., aku mampu berdiri disini karenanya.
Aku mampu menulis puisi ini juga karena susah payahnya melahirkanku kedunia.
YaAllah.. Izinkan aku membahagiakan dia.
Izinkan bunda menemaniku lebih lama lagi.
Izinkan bunda disini bersama ku, bercanda denganku, menggenggam tanganku seperti saat ini..
Jangan biarkan bunda pergi.. Jangan pisahkan aku dengan bunda sekarang...
Izinkan aku untuk membuatnya tersenyum. Membuatnya bahagia karenaku. Sungguh. Biarkan aku mencintainya atas namamu yaAllah.
Bahagiakan dia, sayangi dia. Aku adalah saksi atas perjuangannya merawatku dan mendidikku untuk berbakti kepadamu yaAllah..
Jika suatu saat aku harus melihat bunda pergi. Berikanlah aku ketabahan agar aku masih bisa tersenyum dihadapan bunda walau sulit.
Sebab aku tak mau menangis dihadapan nya untuk terakhir kali..
yaAllah sampaikan pada bunda pesanku. Sampaikan pada bunda kasih sayangku.
Sampaikan pada bunda perminta maafanku.
Katakan pada Bunda Aku menyayangimu karenaMu..

Dari Putri Kecilmu Yang Telah beranjak dewasa..

Tuesday, January 14, 2014

Dia Pergi. Hidayah Menyapa.

Aku tidak mau!
Pagi hari itu di sebuah rumah yang tidak terlalu megah. Terjadi perbincangan hebat di antara keduanya. Tak terlalu tegang. Lelaki paruh baya itu mendengar ucapan dari putrinya bersedih. Terlipat lah wajahnya. Menahan sesak yang luar biasa didadanya.
“Aku pergi dulu,yah.” Kata anak itu lagi. Sembari pergi meninggalkan ruang makan. Ayah hanya mengangguk mengiayakan. Dilihatnya putri kesayangannya berjalan menjauh, punggungnya tidak lagi terlihat.
***
“Assalamualaikum anak-anak. Hari ini ibu akan menjelaskan tentang bagaimana berjilbab sesuai syari’at.” Kata wanita berjilbab labuh di hadapan Vina.
“Bu, kenapa sih selalu saja mengusung tema berjilbab sesuai syar’iat. Aku sudah berjilbab. Lalu apa lagi yang salah?” Tanya Vina dengan nada sedikit kesal karena merasa disalahkan dengan penampilannya selama ini. Tidak hanya disekolah, di rumahnya pun Ayah selalu menceramahi nya. Tentang ini itu , hal apa pun dan semua itu berhubungan dengan penampilan. Aku bosan selalu penampilan dan penampilan. Apa salahnya berjilbab menggunakan jeans atau kaus? Itu kan hak! Lagi pula yang penting rambutku tidak terlihat. Bathin Vina.
“Tentu saja kau tidak salah. Hanya saja kau belum mengerti beberapa bagian. Ibu tanya sekarang. Kau berjilbab karena apa ?” Ibu Sri bertanya pada Vina dengan lemah lembut.
“Tentu saja karena perintah Allah. Karena jilbab itu wajib, kan?” Vina menjawab sedikit mengeluarkan tenaga dan terkesan ngoyo.
 “Jika memang demikian, apa memakai celana jeans ketika berpergian dan menampakkan lekuk tubuh adalah perintah Allah?” Tanyanya lagi.
Vina diam sejenak. Bungkam. Seribu kata hendak ia rangkai. Namun belum sempat terangkai suara itu kembali terdengar.
“Apakah Allah memberikan contoh pada Muslimah untuk menjadikan jilbab sebagai pengganti rambut? Lalu apa fungsi jilbab jika kau gunakan untuk berkeksperimen di kepalamu? Bukankah fungsi jilbab adalah menutupi mahkotamu? Bukan malah menjadikan ia mahkota baru, sayang” Pertanyaan beruntun bak kereta api tertuju pada Vina. Mata di depannya memandangi Vina lamat-lamat. Tidak terlepas. Tidak pula berpaling.
Vina masih bungkam seribu bahasa. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Toh, fikirannya selama ini adalah Berjilbab ya berjilbab menutupi kepala. Sudah.
“Sudahlah bu, aku tidak mau berdebat dengan ibu. Lanjutkanlah pelajaran ibu. Aku permisi ke toilet dulu” Jawabnya singkat tanpa mempedulikan apa lagi yang akan di utarakan sang guru.
Seperti biasanya Vina tetap murid yang nakal. Walaupun ia berjilbab. Tetap saja rentetan hukuman pernah ia jalani. Setelah ia meminta izin ke guru agamanya tadi. Sampai pelajaran berakhir pun Vina tidak menampakkan batang hidungnya dikelas.

***
“Bunda, Ayah sudah kepalang bingung. Bagaimana caranya menasehati anak kita, Vina. Dia terlalu menutup hatinya dari kenyataan. Ia jarang sekali mendengarkan perkataanku Nda. Coba Bunda yang memberi tahunya. Sungguh melihatnya mengenakan jilbab mode adalah kesakitan untuk Ayah, nda..” Ayah berusaha menyeka air matanya. Ia bercerita pada sang istri tercinta.
“Sudahlah, yah. Nanti Bunda akan bicara dengan Vina. Ayah jangan bersedih. Semoga Allah melembutkan hatinya. Aamiin.” Bunda mencoba menghibur Ayah yang tengah kecewa. Tampak garis-garis pekat pada wajahnya ia terlalu lelah.
Seperti biasa mereka menunggu Vina pulang sekolah.
Ketika beberapa lama mereka menunggu. Akhirnya yang di tunggu datang juga.
“Nak, ganti baju lalu kemari. Bunda ingin berbicara padamu” Bunda memberi tahu Vina dengan penuh kasih.
“Tapi bun, aku capek mau tidur. Kapan-kapan saja ya. Besok atau lusa. ” Vina menoleh ke arah Bunda. Tersenyum paksa. Menaiki anak tangga dan jedeeer! Pintu kamar Vina tertutup begitu kerasnya. Membuat Bunda dan Ayah termangu.
“Sudahlah Bunda. Biarkan saja dulu Vina. Ayah lupa memberi tahu. Seminggu kedepan Ayah titip Vina ya. Ayah harus mengurusi urusan di luar kota, Bunda.” Ayah lagi-lagi harus keluar kota dan meninggalkan Bunda serta Vina sendirian.
Malam telah datang meninggalkan sore. Semua telah tertidur pulas. Ayah belum bisa memejamkan mata. Karena tahu esok adalah kepergiannya keluar kota. Maka Ayah menyempatkan menulis untuk Vina..
Vina yang selalu Ayah banggakan...
Tulisan itu tertulis di atas kertas putih bertinta hijau kesukaan Vina.
***
Matahari meninggi. Vina masih berada di kamarnya. Bunda telah menyiapkan koper dan peralatan untuk di bawa Ayah. Ayah bergegas merapikan berkas-berkas yang di bawanya. Banyak sekali. Menumpuk disana sini.
“Bunda, Vina belum bangun?” Ayah bertanya singkat disela-sela tangannya lihai berkemas-kemas.
“Belum yah. Mau Bunda bangunkan saja?” Bunda memberi ide.
“Tidak usah. Berikan saja ini padanya.” Ayah memberikan kertas tadi malam.
“Baiklah. Hati-hati dijalan ya yah” Bunda menerima kertas itu dan melambai.
Mobil yang di tumpangi Ayah melaju pesat.
Mendengar mobil yang melaju begitu dahsyatnya. Vina terbangun. Menuju suara yang mulai menghilang. Ia dapati Bundanya diluar.
“Ayah kemana Bunda?” Tanyanya sambil mengucek-ucek mata.
“Ayahmu ada urusan di luar kota seminggu ini. Ini ada surat untukmu.” Bunda memberikan surat yang ia terima dari Ayah tadi. Surat? Tumben sekali. Bathinnya.
Bunda menyuruh Vina mandi. Dengan terpakasa Vina mengangguk mengerti. Surat nya ia letakkan di atas meja miliknya. Setelah mandi ia tertuju lagi pada surat yang di berikan Bunda tadi. Bertanya-tanya kenapa Ayah memberikannya ia surat.
Ia duduk di pinggir kasur. Membuka surat itu perlahan..

Vina yang selalu Ayah banggakan...
Maaf Ayah pergi tanpa memberi tahumu. Ayah ingin berbicara banyak denganmu. Tapi Ayah lelah terus terusan kau acuhkan, nak. Ayah mungkin belum menjadi Ayah yang baik bagimu. Tapi percayalah Ayah selalu menginginkan yang terbaik untukmu. Karena Ayah menyayangimu, sayang.
Ayah pergi untuk satu minggu kedepan. Kau pasti tahu, handphone Ayah tidak akan bisa kau hubungi. Untuk satu minggu ini mungkin Ayah tidak akan pernah menceramahimu lagi tentang penampilanmu. Kau bisa saja tersenyum, nak. Tapi jangan pernah lukai hati Bundamu, ya..
Ayah titip Bunda. Jaga dia baik-baik seminggu ini. Ayah percaya padamu..
Ayah berharap seminggu kedepan penampilan mu sudah berubah. Jauh lebih baik.
Dari Ayahmu yang sering kau abaikan perkataannya..

Surat macam apa ini! Vina tidak sedikit pun terketuk. Lagi-lagi penampilan. Sudahlah. Ia melupakan isi surat itu. menjalani harinya seminggu dengan bernafas lega tanpa ada yang menceramahinya. Bunda angkat tangan. Ternyata Vina memang keras kepala.
***
Seminggu kemudian. Bunda menunggu diruang tamu. Berharap Ayah datang secepatnya. Vina tetap menunggu di kamarnya. Kesunyian terpecah ketika telepon rumah berbunyi. Bunda mengangkatnya dengan penuh semangat. Ketika di angkatnya. Semangat yang membara lenyaplah sudah. Rasa bahagianya hancurlah musnah. Bunda terduduk di tepat di samping meja.
Vina merasa bosan di kamar akhirnya turun. Melihat Bunda duduk. Menangis. Ia kelabakan. Ia panik. Jalan terseok-seok. Merangkai seribu pertanyaan.
“Bunda, kenapa? Kenapa Bunda menangis? Siapa yang menelepon? Ayah mana Bunda?” Akhirnya pertanyaan itu memecah tangis Bunda semakin menjadi. Vina panik. Jantungnya berdegup kencang.
“Ayahmu, ke...cel....akaan, nak..” Bunda menjawab masih dengan terisak. Vina benar-benar bungkam. Bukankah seminggu yang lalu Ayah memberiku surat? Bukankah Ayah akan kembali setelah seminggu ini? Vina si hati batu menangis sejadi-jadinya.
Esok hari pemakaman telah berlangsung. Vina menatap lamat-lamat tulisan di depannya. Nama Ayahnya. Sesak tiada terhingga. Bunda masih menangis. Mereka berdua memutuskan untuk pulang kerumah. Bunda, Vina sama-sama merasakan sakit yang luar biasa.
“Bunda. Jika aku berjilbab seperti apa yang Ayah mau, apa Ayah memaafkanku dan ia bahagia disana?” Tanya Vina setelah berada dirumah. Ia masih terisak.
“Tentu sayang, sebab itulah yang ia inginkan selama hidupnya. Meski ia kau abaikan berkali-kali ia tak pernah menyerah untuk menasehatimu. Percayalah ia akan bahagia disana. Di tempatkan disisi yang paling indah Oleh Allah” Bunda mengusap kepala Vina. Vina mengangguk mengerti sudah apa yang harus ia lakukan setelah ini.
Seminggu setelah kepergian Ayah. Vina berubah. Menjadi apa yang Ayah inginkan. Mulai mempelajari apa-apa yang di wajibkan seorang muslimah. Jujur saja, Vina tidak ingin menjadi anak yang terus-terusan membangkang.
“Bunda. Apakah aku cantik memakai seperti ini?” Vina yang memakai gamis, kerudung labuh, dan kaus kaki bertanya pada Bunda.
“Subhanallah. Kau anggun sekali sayang, andai Ayahmu bisa melihatmu seperti ini. Pasti ia bahagia” Bunda memeluk putrinya dengan erat. Tak terasa terjadi hujan kecil di pipinya.
“Aku sayang Bunda karena Allah. Aku sayang Ayah karena Allah. Aku sayang kalian. Terimakasih sebab kalian hidayah itu ‘menampar’ ku perlahan, Bunda..” Vina balik memeluk erat Bunda.

 “Andai aku tahu, hari itu adalah hari terakhir Ayah bertemu aku. Aku akan bangun pagi-pagi sekali untuk melihat Ayah. Aku rela Ayah ceramahi setiap hari jika itu membuat Ayah ada kembali disini. Ayah maafkan aku. Ayah perlu tahu, aku sekarang sudah menjadi apa yang Ayah dan Bunda inginkan. Aku sadar aku salah. Aku kini telah bangga dengan apa yang aku kenakan. Ayah tahu kan? Kini aku telah berjilbab syar’i. Ayah yang kusayang. Bait do’a akan selalu ku rangkai dan kuterbangkan ketempat Ayah.
Vina yang dulu mengabaikan Ayah”

Tulisnya di balik surat yang dulu pernah Ayah nya berikan. Ia letakkan disamping foto nya bersama sang Ayah. Kini ia mengerti. Orang tua tidak akan membuat anaknya terjerumus. Ia tersenyum bangga melihat Ayahnya yang tangguh...

LIKE JUGA INI :) Ikutan lomba nich :3 <3

https://www.facebook.com/photo.php?fbid=663403983712256&set=a.632724086780246.1073741871.517940758258580&type=1




Selamat Tinggal Masa Kelamku

Disini dengan keluh kesah. Disini dengan tangis sendu. Disini dengan sejuta harap. Dulunya selalu seperti itu. Selalu berputar-putar di lingkaran kesedihan. Sedih ditinggal teman dekat. Sedih ditinggal sahabat. Sedih dibagi kasih sayangnya. Sedih dalam segala hal. Sampai kadang lupa bagaimana cara tersenyum. Apa itu tawa? Dan bagaimana menghapus air mata?
Mulanya angin sepoi-sepoi bisa berganti menjasi angin topan. Mulanya hujan gerimis bisa berubah menjadi badai. Mulanya air segayung bisa seperti tsunami. Entahlah. Hiperbola seslalu kurasa. Ini itu ini itu selalu berujung pada kata kehilangan. Aku sampai lupa, bagaimana menggenggam? Aku sampai lupa apa rasanya di genggam? Karena terlalu sering dilepaskan di hempaskan dan tidak dipedulikan.
Aku sempat tidak mengingat apa itu teman. Aku juga tidak mengenal apa itu sahabat. Ketika mereka pergi. Ketika mereka melepaskan. Aku sering sendiri. Tanpa mereka atau siapa pun. Ada yang datang toh akan pergi juga, kan? Kedekatan tidak terlalu penting sekarang. Kepedulian lah yang kubutuhkan. Bukan siapa yang paling dekat. Tapi siapa yang peduli meski tidak pernah bisa dekat. Mengerti? Tidak? Sama. Aku juga tidak terlalu mengerti apa yang telah aku tuliskan.
Jika aku membenci keadaan. Apakah keadaan akan membaik?
Setahun lalu, aku selalu membenci keadaan. Aku selalu mencaci jarak, aku selalu berkata ini tidak adil.Hanya karena apa yang kupinta tidak sesuai dengan nyata. Ketika aku membenci keadaan. Keadaan bukan malah membaik bahkan lima kali lipat jauh lebih buruk dari sebelumnya. Yang ada diotakku hanya amarah dan menyalah-nyalahkan, mengumpat dan mencaci dalam hati. Entah seberapa banyak kata yang ku keluarkan menyalahkan keadaan. Tapi lagi-lagi kuberi tahu. Keadaan tidak membaik bahkan lebih buruk.

Apa ini namanya keadilan? Sempat pertanyaan itu muncul dan berkembang biak dalam hatiku. Semakin mengakar. Aku tidak peduli seberapa banyak orang disampingku waktu itu, yang ku fikir orang yang ku harapkan pergi. Dan apa kah itu yang namanya keadilan? Ketika mereka berbahagia karena orang yang mereka sayang aku justru harus merelakannya? Ketika mereka kesana kemari bergandengan dengan sahabatnya aku malah harus melihat sahabatku berubah begitu drastisnya. Apa itu yang namanya keadilan?
Sampai tahun dua ribu tiga belas berlalu dan di gantikan dua ribu empat belas.
Aku membuka lembaran baru yang putih. Bersih tanpa ada luka sedikit pun. Aku sudah membuang luka ku bersama sedihku tahun lalu. Aku sudah menerbangkannya di celahcelah kamarku dan meniupnya sejauh mungkin. Aku sudah ingat apa itu tersenyum. Aku sudah tahu bagaimana cara tertawa. Dan aku sudah lupa apa itu menangis. Duniaku telah berubah. Duniaku kini benar-benar murni aku yang menyettingsnya. Tidak ada mereka yang menghancurkan. Tidak ada mereka yang berkecimpung.
Aku mulai mengingat apa itu teman. Walau mereka pergi. Walau mereka tidak disisi. Tapi aku bisa merasakan kehadiran mereka. Kepedulian mereka yang mungkin tersalurkan melalui do’a. Aku menganggap mereka sebagai temanku. Walau bukan teman terdekatku apalagi sahabat. Aku membutuhkan seseorang memang, tapi biarkan Allah yang mempertemukanku dengan seorang teman itu suatu saat nanti. Tanpa aku harus bersusah payah mencarinya. Cepat atau lambat semua akan terjadi, kan?
Menyalahkan keadaan? Tidak. Aku mencintai keadaanku.
Tidak seperti waktu lalu, yang aku hanya sibuk mengumpat. Kini, aku berusaha mencintai keadaanku. Apa pun itu. karena dengan aku mencintai keadaan ku. Aku akan mudah menjalani hariku dengan penuh rasa syukur tentunya. Semua memang benar-benar berubah sekarang. Aku mencintai keadaanku walau sulit. Aku mencintai keadaanku apa pun yang terjadi. Sebab aku tahu. Allah tidak akan memberikan keadaan yang tidak bisa aku kendalikan.
ALLAH SELALU ADIL!
Hanya saja aku yang lagi-lagi tidak bersyukur dan bebal. Walau memang keadilan Allah tidak bisa kita telaah dari mana sisi keadilannya. Walau apa yang aku dapatkan bukan apa yang kamu dapatkan. Tapi aku percaya. Allah itu maha Adil lagi maha penyayang terhadap hambanya. Karena apa pun itu. sedih duka. Kecewa bahagia. Tangis senyuman. Aku selalu menganggap itu adil. Tidak ada segala sesuatu yang di bumi ini yang tidak sesuai porsinya. Mungkin setahun lalu selalu sedih yang kutuliskan. Selalu kekecewaan yang ku utarakan. Tahun ini. Aku telah bangkit. Aku baru sadar. Bahwa dia (temanku) tidak benar-benar pergi. Dan bahwa mereka tidak benar-benar menjauh.
Aku bahagia menjadi pribadi yang damai seperti sekarang.
Allah.. Terimakasih atas nafas tahun lalu yang masih Kau berikan. Dan untuk tahun ini J
Selamat tinggal sifat burukku! Selamat tinggal masa kelamku!
Selamat datang suksesku! Selamat bergabung kehidupku bahagiaku!


Mengejar Atau Berhenti Part 2

Mengejar. Berarti berusaha lebih keras lagi untuk mencapai apa yang aku inginkan.
Berhenti. Berarti diam ditempat tanpa melakukan apa pun. Semua itu hak dan itu pilihan. Toh ini hidupku? Bukan hidup orang lain.
Tapi memilih pun menjadi hal yang sedikit membuatku kebingungan. Antara iya dan tidak. Antara hati dan kenyataan. Antara mimpi dan nyata. Semua sudah berada tempat dengan porsinya masing-masing.
Aku tidak perlu takut untuk mengejar, aku juga tidak harus memilih untuk berhenti. Gagal atau berhasil pun adalah hal yang pasti. Ketika berhasil untuk mengejar. Berlarilah lebih kencang lagi untuk mengejar yang lain, tapi jika gagal untuk mengejar cobalah lebih keras lagi untuk mengejar yang berikutnya. Bukankah benar demikian?
Tidak ada yang boleh menghalangi mimpiku!
Apa pun alasannya aku harus tetap maju kedepan bukan mundur kebelakang. Siapa pun itu tidak boleh membuat pandanganku kabur dan terpaksa berhenti mengejar! Karena ini hidupku, karena ini adalah cita-citaku. Semua orang berhak memiliki cita-cita. Semua orang boleh mengejar sebisa mungkin. Termasuk aku. Walau semangat untuk menulis tidak kutemukan dari orang terdekatku, mungkin aku mendapatkan sumber semangat itu dari orang yang pernah menjadi orang terdekatku.
Aku akan melupakan mereka yang membuatku terjatuh! Dan aku akan mengingat mereka yang membuatku bangkit! Sebab ini adalah keinginanku. Sebab ini adalah kesukaanku maka itu, sebesar apa pun rintangannya, sekuat apa pun orang menjatuhkanku. Aku akan mencoba bertahan lebih kuat. Aku tidak akan melawan orang tuaku, aku juga tidak akan melawan siapa pun. Aku hanya akan mengikuti apa yang hatiku katakan. Asal dalam lingkaran agama yang baik. Kenapa tidak?
Jangan pernah pisahkan aku dengan tulisan. Biarkan aku terus menulis. Biarkan aku terus mencintai bidang ini. Lambat laun aku percaya. Kalian akan mengerti. Bagaimana aku mencintai dan seberapa besar aku mencintai menulis, Abi, umi. Sampai akhirnya kalian akan membaca namaku dalam suatu buku yang ku tulis. Ini adalah janji seorang pemimpi dan seorang anak!
Aku sudah beranjak dewasa. Aku tidak harus melulu di paksa untuk ini dan itu. percayalah. Aku tidak akan melupakan Allah. Aku juga akan tetap pada jilbabku. Aku akan tetap menjadi anak perempuanmu yang tidak berpergian malam hari atau berfoya-foya bersama teman-temanku..
Abi.. Umi..

Aku harap. Suatu saat nanti. Kau berkenan mendo’a kan ku dalam bidang ini..


Thursday, January 9, 2014

Terimakasih Wahai Musuhku

Terimakasih Wahai Musuhku
Oleh Abdul Aziz Setiawan

Perlakuan terburuk yang menimpa kita dalam hidup adalah apa yang di lakukan oleh seorang musuh terhadap kita. Sebabnya adalah karena mereka senantiasa bertindak bodoh, buruk pergaulan dan tidak punya keperdulian. Agar siapa saja yang ada di sekitar kita bersatu dalam angkara murka dan perselisihan.
            Pengalaman telah mengajariku bahwa termasuk bijaksana jika kita bersabar terhadap orang-orang yang menyelisihi, berjiwa besar terhadap mereka, menggunakan pengobatan rabbani melalui perdebatan dengan cara yang terbaik “Maka tiba-tiba orang yang di antaramu dan dia ada permusuhan seolah-olaj telah menjadi teman yang sangat setia” Fushshilat : 34.
            Wahai orang-orang yang di kungkung perbuatannya!
Dari “...yang...” dan dari “..yang..”. Tolaklah kejahatan mereka dengan cara yang lebih baik. Hingga engkau melihat “..antaramu dan antara dia..”.
            Pengalaman telah mengajariku untuk tidak putus asa terhadap mereka, orang-orang yang enggan kecuali hanya ingin menjadi musuh dan orang-orang yang antipati. Mereka adalah bagian dari sunnah rabbaniyyah dalam kehidupan. Mereka adalah para pekerja keras dengan buah yang baik.
            Terimakasih wahai musuhku!
Kalian wahai musuhku, orang yang telah mengajariku bagaimana mendengarkan koreksian yang satu dengan koreksian yang lain dan lebih tegas tanpa keraguan. Bagaimana aku melalui jalan ku tanpa ragu-ragu, walaupun aku mendegarkan perkataan yang tidak pantas dan tidak indah pada darimu.
            Ini adalah pelajaran besar yang tidak akan di temui seseorang dalam teori sekalipun, hingga Allah sendiri yang akan menentukan baginya siapa saja yang akan di uji oleh-Nya, menimpakan kepahitan atasnya hingga akhirnya menjadi sesuatu yang biasa baginya.
            Terimakasih wahai musuhku!
Kalianlah yang menjadi sebab jiwa ini terkendali, tidak silau dengan pujian orang-orang yang suka memuji. Allah telah menjadikan kalian seperti hakim yang memutuskan dua hal yang berseberangan. Agar seseorang tidak silau dengan pujian dan sanjungan yang melampaui batas, atau ketakjuban bukan pada tempatnya dari orang-orang yang suka melihat yang baik-baik saja, kebalikan dari yang kalian lakukan ketika kalian semua melihat kami kecuali dari sisi yang lain, atau kalian melihat kebaikan akan tetapi kalian menjadikannya sebagai satu keburukan.
            Terimakasih wahai musuhku!
Kalian telah mengejek semua lisan untuk membela kebenaran dan menjadikannya condong kepada kebenaran serta memprovokasi kehinaan kalian, sehingga menghilangkan pembelaan dan keangkuhan. Kalau sekiranya bukan karena kobaran api, niscaya aku tidak akan berada disebelahmu. Karena harum batang pohon kayu gaharu tidak akan dikenali tanpamu.
            Terimakasih, Terimakasih wahai musuhku!
Kalianlah wahai musuhku pemilik keunggulan walaupun kalian tidak menginginkannya. Penghasil keseimbangan dan keadilan dalam gagasan. Mungkin saja seseorang memberi sebagian haknya di atas kemampuannya. Akan tetapi, kalianlah yang menjafi sebab pelaksanaan huku-hukum keseimbangan, akurasi koreksi dan revisi.
Sekali-kali, kemarahan tidak menjadikan kalian berpaling. Karena seseorang jika mendapatkan apa yang ia inginkan maka enggan untuk melihat dan berfikir. Dia tenggelam dalam kegelapan bantahan dan berpaling, hingga tidak tersisa dalam dirinya bagian untuk merendah dan tenang. Dia akan senantiasa mengoreksi perkataan lawan bicaranya, mungkin saja ia mendapatkan sedikit tempat kebenaran walaupun sedikit.
            Terimakasih wahai musuhku!

Kalian senantiasa termotivasi untuk mempertajam argumen, membuat tantangan, membuka perasaan, cepat dalam berlomba, sehingga menyebabkan seseorang menjadi sangat kikit terhadap dirinya, sangat cermat terhadap dirinya, mencoba dan mengembangkan diri, menariknya ke tingkatan yang tinggi dan mulia. Maka berlomba-lomba adalah sunnah syar’iyah dan ketentuan rabbani “dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba” (al muthaffifiin:26)

Masih Tetap Untukmu

Sedih bahkan lebih. Dimana orang yang dulu selalu memberiku nasihat. Selalu berkata ini itu untukku. Kini pergi hilang entahlah kemana. Entah apa yang kau cari. Entah kenapa kau tega pergi. Waktu demi waktu. Aku jalani dengan penuh pelajaran, bahwa tak selamanya orang yang kita inginkan selalu ada. Pelajaran bahwa mimpi terkadang tak menjadi sebuah kenyataan. Termasuk omongan. Terkadang apa yang aku lontarkan untukmu tak selamanya kau dengar..
            Kau memang tak menyayat tubuhku dengan benda tajam. Namun kau menyayat hatiku dengan kata-kata ketidakpedulianmu. Kau memang tak menampar pipiku dengan tanganmu, tapi kau menampar pikiranku dengan perlakuan burukmu terhadapku. Sungguh. Kenapa air mata ini masih bisa keluar untukmu...
            Aku mulai membenci mu. Bukan ragamu yang kubenci. Tapi sifat-sifatmu yang mulai berubah lambat laun menjadi sosok yang tak pernah ku kenal sebelumnya. Kemana sosok yang dulu menasehatiku? Kenapa ia berubah menjadi sosok yang tak pernah mendengar apa yang aku katakan? Kemana sosok  yang dulu ku impikan menjadi seorang sahabat? Kenapa kini ia berubah menjadi orang yang berlaku seperti musuhku. Kemana semua kebaikan-kebaikan yang dulu aku dapati darimu? Kenapa semua berubah menjadi hal buruk yang selalu mengganggu tidurku.
            Aku mulai mengerti arti nya kesabaran. Aku mulai mengerti artinya air mata. Semenjak perlakuanmu, kata-katamu seolah mengganggapku tak berguna sama sekali dihidupmu. Sabarku terlalu di uji ketika ku menghadapimu, berkali-kali berbicara namun berkali-kali di abaikan. Berkali-kali menasehati. Berkali-kali di anggap angin lalu.
Inikah cara Allah membuatku semakin sabar? Mungkin.. Iya.

            Tak terfikir olehku sebelumnya. Mendapat perlakuan buruk dari orang yang selama ini aku jadikan subjek tersayang. Rasanya kini telah habis air mataku untuk menangisi setiap perubahanmu semoga Allah tak menghukumku karena tak berhasil menarikmu kembali bersamaku. Ku fikir air mataku telah habis, namun kali ini ia keluar lagi aku tahan sebisanya. Namun ia tetap saja keluar begitu hebatnya. Sama seperti kehebatanmu membuat air mataku keluar lagi setelah sekian lama.. Kapan kau akan berhenti mengganggap omongan-omonganku angin lalu? Kapan kau akan mengerti bahwa apa yang aku lakukan ini semata-mata karena aku begitu menyayangimu. Bahwa aku hanya ingin bertemu kau di ‘sana’.             Allah telah tahu bagaimana usahaku selama ini terus memberi tahumu. Ketika kau salah aku datang. Tapi selalu pengabaianmu yang kudapati. Atau bahkan perkataan mu yang sedikit membuat hatiku tersayat. Aku tahu. Jika Allah mau Dia bisa saja membuat seluruh orang di dunia ini bertakwa padaNya. Sudahlah. Ini urusanmu dan Dia. Yang pasti aku pernah berusaha keras menggenggammu lagi.
    Kamu,
Awalnya aku rela saja mendapat pengabaianmu terus menerus. Tapi ternyata lelah, sangat lelah sayang. Semakin hari perubahanmu semakin menjadi. Sedangkan usahaku tak tampak ada hasilnya.. Aku kehabisan akal bagaimana untuk mengajakmu berjalan disampingku. Aku kehabisan cara dan kata untuk membujukmu kembali kepadaku .
            Kamu,
Mengapa secepat itu perubahanmu? Siapa yang salah? Aku ? apa usahaku kurang untuk memberi tahumu apa-apa yang telah aku ketahui? Atau memang kau lah yang bebal untuk menelaah apa yang aku beri tahu tadi lantas menganggapnya angin lalu lagi tak berharga? Astagfirullah.. Baru kali ini aku berjuang mati-matian menarik orang masuk kehidupanku dan belajar bersamaku. Sungguh. Aku seperti muka tembok. Tapi tak apalah...
Aku kini angkat tangan. Entah seberapa lama aku akan mencari cara lain. Namun untuk saat ini. Aku hanya akan jadi penonton dari kejauhan.....

#Post #NoSubjek #JustWriting

Wednesday, January 8, 2014

Happy Birthday Gamyla Barbie

Assalamualaikum...
            Selamat ulang tahun untukmu, yang sampai sekarang belum pernah aku jumpai. Selamat mengulang tahun. Semoga umurmu kali ini berkah. Semakin sukses. Dan jangan sombong. Ku harap Allah melindungi setiap langkah dimana pun dan kapan pun kamu berada..

Aku bingung akan menuliskan apa di sini. Permintaan dan harapku tak akan bisa ku utarakan semuanya. Intinya aku mengharapkan yang terbaik untukmu, kak. Aku yakin, kamu sama sekali tak tahu siapa aku. Tahu namaku saja tidak. Sekalipun tahu, kamu mungkin tak mengingatku. Sudahlah. Bukan itu yang akan ku bicarakan.
Setelah otakku berputar-putar menelusuri sekian banyak sudut yang ada. Akhirnya aku temukan secuil ide yang entah karenanya kamu mampu menelaah atau bahkan kamu akan berputar-putar pula mencari arti dari apa yang aku tuliskan... Lupakan saja masalah berputar-putar. Mari, baca tulisanku sebentar. Kuharap kamu tak menolak..
            Huruf demi huruf dari sekian banyak alphabet aku coba ketikkan. Menulis. Lalu menghapus. Menulis lagi lalu kuhapus. Lagi lagi terdiam, menerawang keatas harus kata yang seperti apa yang mampu lukiskan perasaanku.
Oke. Mulai.
Aku memang tak mengenalmu secara nyata. Aku hanya mengenalmu melalui maya. Waktu itu aku melihat mu di jejaring social Youtube bersama adikmu Kak Aaron. Kamu memang tampak seperti Barbie. Ku lihat kamu juga anggun dan baik hati. Entahlah itu hal nyata atau hanya penerawanganku saja. Aku mulai berharap bisa dekat dan dikenal oleh kalian berdua. Tapi gagal. Aku memang sudah di follow kalian berdua tapi nyatanya? Sampai sekarang berbuah nihil. Aku yang mengenal kalian tapi aku tak pernah di kenal.
            Aku terkadang iri. Melihat mereka bisa dengan mudahnya merangkulmu, berfoto denganmu. Kapan hal itu terjadi padaku? Bathinku waktu itu. Tapi semakin kesini. Aku semakin tahu. Harapan yang terkadang tinggi tak melulu mendapatkan hasil yang sesuai.

Aku mungkin hanya bisa melihat foto-foto kalian dari laptop milikku. Tapi entah kenapa. Keyakinanku besar. Bahwa suatu saat kalian akan berkunjung ke kotaku juga. Sama seperti kunjungan kalian ke kota-kota lain.
Kak barbie yang selalu Ramah..
Jangan pernah sombong ya? Aku berharap banyak. Karena kalian berdua ku lihat banyak sekali orang yang bahagia. Walau hanya sekedar mendapat Balasan Twitter DM atau apa pun. Jangan sampai berubah menjadi mereka kebanyakan. Pintaku sebagai orang lain hanya itu, mereka menyayangimu. Sangat menyayangimu. Banyak orang yang mencari ide kreatif untuk mendapatkan Follow atau balasan kalian. Tapi sayang, terkadang banyak yang terbaikan. Aku sempat terabaikan. Sering bahkan. Tapi yasudahlah. Aku tahu, kalian orang yang baik hanya saja kurun waktu untuk membuka twitter singkat.
            Selamat ulang tahun sekali lagi!
Harapku kamu bahagia selalu kak. Sekarang sampai kapan pun! Cepat-cepat menikah ya ^^ aamiin J




 

Monday, January 6, 2014

Mengejar atau Berhenti ?

Tulisan ini berasal dari aku yang mulai bingung. Tentang hobbyku. Tentang apa yang aku cita-citakan. Tentang mimpi yang kutancapkan dan berharap tak lagi menjadi sebuah impian. Menulis..

      Menulis adalah cara ku menunjukkan pada dunia dan pada orang yang kutuliskan secara tersirat. Menulis adalah caraku untuk melukiskan apasaja yang ada di fikiranku dan aku salurkan pada dunia maya..
Tulisanku memang tak seindah tulisan tulisan sang penulis hebat yang memiliki deretan buku bertuliskan “Best Seller”. Tapi percayalah, keinginanku menulis sangat besar. Memang tak sebesar lautan luas. Karena jujur, aku saja tak tahu seluas apa laut itu.
      Sudahlah lupakan masalah luas dan lautan.. Bicara tentang menulis, maka erat hubungannya dengan imajinasi. Aku memang jarang menulis hal yang tidak berhubungan tentang hidupku. Aku melulu menulis tentang apa yang aku rasakan. Pertemanan, cinta di balik diam, atau keluargaku. Bahkan cerita-cerita kecilku..
Menulis sangat erat dalam kehidupanku. Sangat. Ku khususkan file di laptop ini hanya untuk tulisan-tulisan ku yang tak seberapa. Sesekali bersedih ku lukiskan ia. Sesekali bahagia lalu ku tuliskan pula di dalamnya. Ketika ku kehilangan, bertemu seseorang atau segala macamnya. Aku tuliskan lagi lagi dan lagi. Tapi bagaimana jika aku dipisahkan oleh menulis?
Cita-cita ku adalah menjadi seroang penulis. Jurusan yang ku ambil di smk adalah Akuntansi. Padahal jiwaku pada bahasa indonesia. Sejak aku sekolah hitung saja sejak tingkatan Sekolah Dasar. Aku sudah mulai mencintai dunia tulis-menulis. Dulu;ketika SD. Aku memiliki satu buku puisi yang selalu kutulis ketika aku menemui hal-hal baru. Termasuk sedang bertengkar dengan teman sekelasku. Atau hanya cemoohan mereka tentangku. Aku selalu menulisnya di buku itu. Sayang;buku itu telah hilang.

       Beranjak sedikit dewasa;Sekolah Menengah Pertama. Aku juga memiliki buku puisi yang sayangnya lagi-lagi buku itu entah dimana keberadaannya. Mungkin ia telah bersemayam di dunia yang lain (Read : terbakar bersama sang sampah). Aku semakin mencintai menulis sejak aku bertemu salah seorang temanku sebut saja namanya Lisa. Bukan sebut saja. Memang itulah namanya :D dia adalah teman terdekatku semasa SMP dia selalu menulis cerita-cerita pendek. Aku suka dengan semangatnya. Dari situlah aku mulai menulis. Adanya blogger ini pun tak ku sengaja. Waktu itu aku sempat lupa passwordnya. Namun Dia memberiku signal-signal pengingat.. syukurlah semakin mudah aku menyalurkan tulisan yang hampir gagal ini ke khalayak ramai..
      Aku sangat mencintai alphabet...
Alphabet di keyboardku sangat membantuku menuliskan kata demi kata menjadi kalimat lalu paragraf dan akhirnya menjadi cerita-cerita hatiku. Sungguh, aku sangat dan teramat mencintai bunyi jemari-jemariku ketika menari di atas keyboard. Ia bergerakgerak senada dengan kata hatiku. Ketika aku membathin A maka tanganku akan menuliskan A. Ketika aku mengeja “Aku mencintai menulis” Maka jariku dengan lihai mengetikkan satu persatu alphabet yang terdiri atasnya.
            Tapi bagaimana jika hobby dan kecintaanku menulis harus ku putuskan dari kehidupanku? Bukan karena aku membenci menulis, tapi karena kini aku bingung. Apakah mimpiku menjadi seorang penulis itu terlalu tinggi? Orang tuaku secara tidak langsung menolak cita-citaku. Apa karena tulisanku tak bagus? Apa karena tulisanku tak bermakna lagi membosankan? Aku benar-benar-bingung. Jika tulisanku membosankan dan tak bagus. Aku siap berhenti menulis. Biarlah impianku kandas begitu saja asal orang tuaku tak menganggapku anak durhaka yang tak mengikuti pintanya.
            Tapi jika tulisanku lumayan memiliki arti dan lumayan bisa di baca maka harusnya aku berjuang untuk buktikan bahwa menjadi seorang penulis bukanlah hal yang salah. Tapi.. lagi-lagi semangatku berujung pada kata “tapi” aku selalu bertanya tapi tapi tapi dan terus saja tapi. Sampai aku bosan menulis kata dan membaca kata tapi.
Aku mungkin bisa saja terus menulis, tapi tidak sebagai cita-citaku. Atau aku berhenti menulis dan menggapai cita-cita baru? Baru? Iya cita-cita yang aku pun tak tahu apa itu.
            Menulis. Menulis. Dan menulis.
Sedari 2 tahun lalu aku cinta dengan bidang ini. Aku jatuh hati  dengan selembar kertas kosong dan sebatang pena. Aku mulai menyayangi sebuah laptop, microsoft word dan blogger. Aku juga mulai mengasihi para pengunjung bloggerku. Yang mungkin sesekali muak membaca apa isi didalamnya..
            Kini,
Hanya ada dua fikiran di dalam benakku..
MENGERJAR atau BERHENTI menulis?

Bersambung.......... 

Sunday, January 5, 2014

Ketika Hidayah Menyapa

“Sok suci” “Sok baik” “Berlebihan” “Ekstrimis”
Itulah kata yang aku dapati pertama kali ketika aku memutuskan untuk hijrah.
Dan ketika hidayah itu ‘menampar’ ku perlahan..
Banyak terjadi konflik bathin antara aku, pilihanku dan argumen mereka.
Mulanya malu namun lambat-laun aku terbiasa.
Terbiasa dengan mata-mata sinis mereka.
Terbiasa dengan cacian-cacian kecil mereka..
Terbiasa dengan segala macam nya. Aku sempat lelah juga.
Menahan sesak yang semakin menjadi dan tak kunjung mereda.
Mencoba menyeka ujung-ujung mata dengan lirih dan senyum getir..
Sampai aku bingung harus bertingkah seperti apa ?
Haruskah aku terpancing amarah? Atau harus diam menjadi penonton dalam bungkam?
Sempat aku berfikir untuk kembali menjadi diriku yang biasa.
Menjadi sosok yang tak di asingkan. Menjadi sosok yang sama seperti yang lain..
Menjadi ‘aku’ di masa lalu...
Sempat pula aku bosan untuk terus di cemooh karena penampilan yang berbeda.
Mereka berkata aku ketuaan dengan cara berpakaianku..
Mereka berkata aku kuno tak mengikuti jaman yang sedang berkembang..
Mulai ku dapati temanku satu persatu pergi..
Entahlah.. mereka pergi tanpa alasan..
Sedikit pun tak terucap kata perpisahan. Mereka hanya mundur teratur hingga lenyap dari pandangan..
Aku tak dapati lagi kebersamaan yang dulu disebut persahabatan.
Aku mulai mengerti, ketika kita berubah menjadi pribadi yang lebih baik..
Akan ada banyak rintangan yang menghadang..
Akan ada banyak pihak yang mencoba membuat jatuh tersungkur hingga terluka dan menyerah...
Aku mulai membangun semangat dari puing-puing semangat yang masih tersisa.
Walau hanya sedikit saja, walau hanya sebesar kerikil yang hampir menjadi debu.

Tapi ketika hidayah itu menerpa.

Semangat yang hanya sebesar kerikil kurasa mampu mengangkatku
dari keterpurukan yang di akibatkan karena mereka-mereka yang telah pergi..
Argumen mereka tentangku tak lagi menjadi alasan
Untuk aku kembali ke ‘aku’ di masa lalu..
Kini aku dengan lantang mengatakan “Aku bangga dengan jilbab syar’iku”
Aku kini tak peduli seberapa banyak orang yang meamandangku aneh..
Aku juga tak peduli sebarapa banyak teman-temanku yang pergi menjauh..
Aku mulai tak peduli seberapa sering aku terpaksa tersungkur dan mencoba bangkit tanpa ada yang menolongku..
Aku juga mulai tak peduli seberapa banyak orang yang mengasingkanku..
Karena perintah Allah tak kan pernah merugikan..
Karena Allah akan memberikan yang terbaik.
Tak akan pernah salah.
 Dan tak kan pernah menuntunku untuk bermain ke lubang neraka nantinya..
Bukankah lambat laun mereka yang pergi di gantikan oleh yang lebih baik?
Janji Allah itu pasti..
Hanya saja waktu yang belum tepat..

Saudariku,
Gamis yang kukenakan sekarang bermula dari sepotong T- Shirt dan Jeans.
Baju panjang yang kini sering ku kenakan juga berawal dari baju berlengan 7/4 dan seper seper yang lain dalam hitungan matematika..
Rok yang ku kenakan sekarang juga berawal dari jeans yang ketat yang membentuk lekuk tubuhku;waktu itu..
Kerudung yang kupakai, dulu juga kerudung yang tembus pandang, tak menutup dada juga bermodel.
Terkadang aku bereksperimen dengan kerudungku, kujadikan ia menyerupai rambut..
Sungguh itu dosa bagiku..
Kini semua berubah.. Aku telah tahu , aku mulai belajar...
Bahwa apa yang ku kenakan dulu adalah SALAH.
Dulu aku memang mempunyai banyak sahabat.
Yang ku fikir benar-benar seorang sahabat.
Tapi mereka malah menuntunku kearah neraka yang panasnya bukan main..
Biarlah kini aku di asingkan. Ditinggalkan oleh mereka yang dulu kusebut sahabat.
Biarlah kini aku tampak lebih kuno dari mereka.
Asal Allah ridha;insyaAllah :’)

Saudariku...
Hijrah itu proses. Tak perlu menunggu nanti dan nanti.
Tak perlu beralasan tapi dan tapi..
Mulailah dari sekarang. Bagaimana jika waktu mu berhenti disini?
Bagaimana jika malaikat mencabut nyawa datang menghapirimu?
Lalu bagaimana juga jika malaikat munkar-nankir mengucapkan selamat datang padamu?
Jangan sampai kau menyesal...
Allah tak akan menyulitkanmu dan tidak akan pernah menyulitkanmu..
Hanya saja kamu yang terus mencari alasan dan menyulitkan semua yang ada..
Percayalah.. Ini demi kebaikanmu :) 

Q.S Al-ahzab ayat 59 :
“Hai Nabi katakanlah kepada istri istrimu, anak anak perempuanmu dan istri istri orang: Hendaklah mereka menjulurkan jilbab keseluruh tubuh mereka. Yang demikian itu mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang. Maha benar Allah dengan segala firman Nya”

Q.S An-nuur ayat 31:
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya.
Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya....”