♫♬

Wednesday, December 30, 2015

Hijrah Bersamaku, Kawan?

Jangan menangis, sayang. Kamu tidak sehina itu, manusia bisa saja salah, jatuh pada lubang terdalam. Masuk dalam pusaran angin yang menurut akal sehat membawanya berputar tak kenal arah. Semuanya memang manyakitkan, hanya saja tak ada pilihan lain selain mengikuti pusaran angin itu. Hingga mereda dan akhirnya berhenti.

Mungkin, pusaran anginmu telah berhenti. Dan kamu harus kembali pada jalanmu. Jalan yang menjadi ambisimu maju, melangkah, dan barangkali berdakwah.

Lupakan pusaran angin itu, lupakan jiwamu yang terbang tak kenal arah. Kini semua sudah berubah, sayang. Pusaranmu telah berhenti, dan kamu semestinya kembali.

Sayangku,
Aku mungkin lebih hina, atau entahlah. Kita tidak mencari siapa yang lebih banyak dosanya, yang lebih hina, yang lebih jauh jalannya, aku mungkin seharusnya lebih malu. Merangkai hati untuk orang yang berstatus sama.

Aku tahu kamu sulit untuk keluar, sama. Aku juga begitu tertatih, merangkak amat pelan, tapi aku ingin sempurna keluar dari perbatasan duniaku. Dunia yang di sana terdapat jiwa-jiwa setengah dewa dan setengah dewi. Hah, ini semacam lelucon bagimu. Tapi ini, juga teramat menyakitkan.

Aku sama denganmu, sayang.
Merangkak berkali-kali, dan jatuh tersungkur  berkali-kali. Tapi berjanjilah untuk terus merangkak. Setidaknya, rangkul aku untuk tetap merangkak. Aku begitu ketakutan di perbatasan ini, andai saja Khaliq mencabut nyawaku saat ini, sudah pasti hatiku begitu hitam legam kotor tertutupi banyak dosa yang melimpah ruah.

Berjanjilah, sayang. Terus dengar keluhku, untuk tidak menyudutkanku.

Tetaplah berada di jalan yang benar, sayang,

Aku juga mati-matian berperang dengan perasaan.

Urs Friend.

Sulastri.

Tak Seperti Tuhan

Manusia tidak sepemaaf Tuhan, sayang. Butuh waktu puluhan ribu hari untuk benar-benar ikhlas melepaskan, benar-benar rela memaafkan, itupun, bisajadi hanya maaf yang terlontar dari bibir. Bukan maaf yang terangkai dari hati.

Manusia tidak sehebat Tuhan, sayang. Meski sehebat apapun ia memendam luka, sekuat apapun usahanya menghapus air mata. Bisa jadi, hatinya rapuh. Bisa jadi, ada harap yang terpintal agar ada yang membuatnya merasa hebat.

Dan sepertinya kamu lupa, bahwa yang kamu hadapi manusia. Yang dihatinya pula menjalar ribuan harapan yang bercabang lagi menjadi butir harapan yang siap tumbuh. Namun, sepertinya kamu tidak pula sepengerti Tuhan.

Aku bukan Tuhan yang bisa kapan saja menerima maafmu, yang bisa merangkai hati yang kapan saja kamu patahkan, aku bukan Tuhan yang dalam mili detiknya siap mendengar ribuan kosakata. Aku bukan Tuhan yang siap dipatahkan berkali-kali oleh subjek yang sama, sayang.

Aku menghela napas sendirian, akal sehatku seperti sudah hilang. Jiwaku terbang, entah terbawa angin, terbawa maling, atau terbawa angan-angan.

Takkah kamu berpikir sedikit tentang apa yang menyelinap dalam imajiku?

Oh, aku lupa. Kamu bukan Tuhan. Maaf.

Saturday, December 26, 2015

Kukasihi Kau Dalam Setiap Abjadku

Aku mengasihimu dengan sederhana, sesederhana setiap abjad yang kurangkai menjadi sebuah kalimat. Aku mengasihimu dengan sederhana, sesederhana bahagianya hatiku mendengar tawamu. Kupikir, kasih itu gila. Segila tiap imaji yang kuciptakan tentang kamu.

Kosakata ini adalah setiap hembusan harap yang tak sempat kamu lirik, sayang. Deretan abjad ini adalah rasa yang belum sempat kamu pahami seutuhnya, kasih tak sebercanda itu. Perasaan tidak seremeh itu, bagiku.

Pikirku, cinta adalah cinta apapun bentuknya. Rasa ini memang tidak lumrah dalam kamusku, hingga detik ini. Tapi perasaan yang ada tak pernah bisa mengada, aku benar mengasihimu seperti aku mengasihi setiap tulisan yang aku rangkai.

Namun, benarkah ada ruang dalam hatimu untuk mengasihiku dari kejauhan? Tanyaku menggebu, aku juga tidak mampu mengerti duniamu sepenuhnya, aku kesulitan mencarimu diperbatasan imaji dan nyata. Takkah sebenarnya kita bertaut? Atau pura-pura bertaut? Entahlah, sayang. Apapun itu, hingga tulisan ini akhirnya aku tulis, aku masih mengasihimu dan menjadikanmu separuh dari bahagiaku.

Waktumu mungkin tersita habis untuk kehidupan nyatamu, tapi kuharap kamu tahu ada orang yang menunggu kabarmu. Ada orang yang pelan menghapus air matanya karenamu, ada. Dan itu terlalu nyata.

Sayang, jika kamu mau tahu apa yang membuatku bahagia. Carilah aku ketika aku lelah untuk mencarimu, mengertilah aku seperti mati-matian aku mengertimu, dan sayangi aku seperti aku mencari seribu cara untuk menyayangimu…

Me,

Lanna.

Sunday, December 20, 2015

Lo(st)ve.

Tulisan ini aku tujukan langsung untuk kamu,

Maaf sudah hadir dan mengganggu dunia nyatamu, merusak segala imaji tentangmu dan masa lalu. Aku lancang melangkah masuk dalam segala nyata yang aku fantasikan sendiri. Aku sudah menenggelamkan diri pada rasa yang kukobarkan seorang diri.

Ini, memang begitu menyakitkan. Tapi, air mataku tidak aku keluarkan. Karena aku paham, perjuangan untuk mencintai dengan kasih tulus, tidak bisa berawal dari sebuah sapa. Beda denganku, aku terlalu percaya pada dunia bahwa seseorang tidak mungkin menyakiti.

Bukankah memang sudah kerap aku mengalah, kalah dan terkalahkan? Dan wajar, aku sudah bisa menebak dari awal sebelum aku menenggelamkan diri pada zona ini. Bahwa, barangkali orang yang aku kasihi tak sepenuhnya bisa mengasihiku, mengertiku, membuatku percaya bahwa dunia masih ingin melihat senyumku…

Tak perlu aku menyesal, dan tak perlu kamu lontarkan ucapan maafmu. Simpanlah, dan berbahagialah, sayang. Hidupmu adalah mutlak di tanganmu; sama seperti kalimatku malam itu. Tak ada yang bisa mengubahnya.

Mungkin, aku tidak sehebat orang itu yang bisa membuatmu terlena dan menangis di sela malammu. Yang bisa hinggap dalam celah pikiran kosongmu, mungkin aku tidak seistimewa itu untuk diperlakukan istimewa, tenanglah. Tak ada tuntutan dalam kamusku. Berbahagialah, sekali lagi. Hidupmu adalah milikmu…

Sayang, kamu memang tak sempat aku lihat dengan bola matamu. Aku tak sempat memelukmu. Tapi sudahlah, kebahagiaan seseorang yang aku sayang adalah hal yang selalu jadi ambisiku selama ini. Tak peduli seberapa sakit dan kecewa, aku akan rela. Meski kerelaanku itu direla-relakan…

Aku mencintaimu dengan sederhana, sesederhana abjad yang sedari tadi kamu baca. Rangkaian harap yang selama ini tak sedikitpun sempat kamu lirik, susunan rasa yang kurakit seorang diri tanpa sempat kamu pedulikan.

Aku mencintai secara sederhana, sesedarhana bahagiaku mendengar tawamu. Mendengar setiap kalimat yang keluar dari bibirmu, meski bisa kuhitung barangkali tak sampai 100 kalimat. Tapi, setidaknya aku pernah tertawa karenamu,sayang. Setidaknya aku tahu, begini rasanya mencintai dengan sudut berbeda……

Aku tidak mengakhiri, hanya saja aku mengikuti, carilah aku ketika kamu butuh, kabari aku jika kamu sempat, hubungi aku ketika kamu bisa, dan sayangilah aku dengan caramu jika masih ada ruang..
Jujur, kupikir semua tak akan sesedih ini, tapi semua sudah terlanjur. Dan tawamu mengalihkan akal sehatku…

With A Tears and Love,
Lanna…………………………

Friday, December 11, 2015

Hope?

Sebelum tulisan ini, aku sempat menulis. Di dalam tulisan itu, kurangkai bahwa aku tak akan jatuh hati, bahwa aku tak akan membawamu dalam duniaku. Tak akan membawamu dalam setiap imajiku.
 
Namun, aku lupa bahwa yang aku lawan adalah perasaan. Rasa pemberontakan itu justeru membawaku melambung masuk dalam setiap imajinasiku, dan benar itu tentang kamu.

Ada pengharapan yang tak masuk akal, ada rasa yang konyol yang tak sempat aku lawan.

Aku jatuh pada setiap perlakuan dan perkataan yang membuatku merasa dibutuhkan.

Aku tak perlu menutupi, kupikir. Sebab apa pentingnya menutupi jika setiap perlakuanku justeru orang  bodohpun tahu bahwa tersemat harapan di dalamnya?

Namun apalah? Pengharapan semacam apa yang aku mau?


Entah, tidak tahu. Jangan tanyakan, cukuplah mengerti. Bahwa dalam aliran darahku sekarang, ada sebuah harapan yang tak terdefinisikan..

Wednesday, December 2, 2015

Disayangi Ann


Aku tak pernah berfikir serumit ini, logika dan perasaanku beradu. Jiwa dan argumenku bertengkar. Haruskah yang menyayangiku adalah sosoknya? Tak sempat aku bertukar sapa lebih jauh dari sekadar ruang obrolan sempit. Tak pernah pula aku mendengar suaranya lebih jelas dari sekadar voice note ataupun melalui signal telephone. Lantas, bagaimana bisa dia menyayangiku lebih dalam dari sekadar teman baiknya?

Takkah kamu berpikir betapa tololnya logikaku berpikir ini mati-matian? Benarkah cinta adalah cinta entah bagaimanapun itu bentuknya? Lalu, apalah? Benarkah?

Sayangkah namanya jika aku mengikuti rasa sayangnya yang tersemat? Apakah baik namanya jika aku menautkan sayangnya dalam kehidupanku? Tuhan, ini konyol. Dicintai Ann? Dia baik, lebih baik dari pria yang menyelinap masuk dalam hidupku, yang pada akhirnya menyisakan seribu janji kebahagiaan yang menguap.

Ann diam. Tapi jelas kurasakan rasa sayangnya, tapi aku tak tahu jika Ann menyayangiku lebih dari sayang yang aku definisakan. Ann menyelinap masuk dalam hidupku pelan, candanya memang bisa membuatku tertawa. Seisi kepalaku rasanya juga Ann tahu. Tapi aku tak mungkin menyayangi Ann mengikuti definisi yang Ann ciptakan.

Logikaku terbentur aturan yang aku genggam mati-matian. Selama ini aku genggam cinta atas dasar aturan Tuhanku. Aku menjaga diriku lebih dari aku menjaga barang kesayanganku. Aku rela diasingkan banyak pihak karena aku memilih berbeda dengan mereka.

Lantas sekarang? Aku belum pernah menyentuh dunia semacam ini dan disodorkan kenyataan. Aku tersenyum memang, berpikir bahwa aku bisa disayangi seseorang karena caraku sendiri. Namun demi Tuhan, aku tak bermaksud membuat Ann jatuh hati dengan caraku membuatnya tersenyum—barangkali.

Aku jelas menyayangi Ann, siapa yang tak menyayanginya? Dia hampir punya semua, paras, pintar, pandai bergaul. Tapi sumpah Tuhan. Tak sampai hati aku membiarkan Ann menciptakan rasa kasih seorang diri. Jahat? Iya.

Perasaaku dihantam habis oleh rasa bersalah pada Tuhan. Akan lebih jahat jika aku mengukir kasih bersama Ann.

Aku perempuan. Ann perempuan. Tak mungkin ada tali yang kurajut bersamanya.
Anna. Teman baikku, kan ku peluk kamu erat. Akan aku ajarkan kamu menghapus rasamu yang berbeda. Ann teman baikku, percayalah ada orang yang ditakdirkan untukmu. Jelas bukan aku. Tak mungkin Tuhan menyematkan rasa semacam yang kamu rasakan.

Sebelumnya, terimakasih telah menyayangiku,Anna. Berbahagialah, karena senyummu adalah bahagiaku pula.



Friday, November 27, 2015

Dera

#DearDera.

Tulisan ini berawal dari unggahan Dera bertajuk duka cita atas penggemar yang telah berpulang.

Dera yang di sayangi banyak pihak, Dera mungkin tidak tahu bagaimana mudahnya Dera untuk di sayangi dari segala penjuru kota. Dari yang berusia muda atau tidak. Dera begitu istimewa di mata banyak manusia. Dera terlalu jadi ambisi untuk digapai. Semoga Dera tak lupa bahwa penggemar jauh Dera mengenggam harapan untuk bertatap mata.

Dera, sebelum ini ditulis, Dera pasti paham banyak do’a mengalir untuk kesuksesan Dera. Dan sekali lagi, semoga Dera tidak lupa atas penggemar yang belum sempat bertatap muka.

Mungkin Dera sempat berfikir, minimal sekali. Bahwa banyak penggemar yang tabiatnya di luar batas kewajaran. Kerjanya hanya rusuh di setiap social media milik Dera. Tapi, percayalah itu semata-mata bahwa mereka—termasuk yang menulis ini—juga ingin Dera tahu, ingin Dera respon. Setidaknya Dera sapa dalam media social milik Dera.

Embel-embel pertemuan untuk penggemar yang berjarak hanyalah sebuah bonus. Yang terfikir hanya bagaimana bisa menyalurkan rasa kagum pada Dera dengan cara mereka masing-masing. Dera, seribu abjad yang terangkai pada tulisan ini tak bermaksud menyudutkan Dera untuk sapaan yang belum sempat tersampaikan, atau usaha yang belum sempat Dera lihat.

Dera jelas sibuk dan tak punya banyak waktu untuk duduk mentap layar dan terpaku membalas sapaan, otak-otak kami mengerti itu tanpa Dera minta. Seperti Dera yang selalu membuat kami tersenyum tanpa kami minta.

Meski pada akhirnya kami bertemu atau tidak. Kami tahu, Dera baik.

Dera,
Terus semangat untuk album Dera bulan depan. Sampai detik ini, Dera masih menjadi kesayangan banyak orang. Tetap berbaik hati, tetap berusaha, Allah bersama Dera selalu. Seperti do’a kami yang selalu mengiringi kesuksesan Dera. Bagaimanapun Dera kedepannya, semangat dari kami selalu ada tuk disalurkan pada Dera.

Terimakasih ya,Dera. Untuk keajaiban yang Dera bagi pada kami. Terimakasih atas kebaikhatian Dera untuk membuat kami berbahagia. Semoga sukses selalu Dera genggam.
Untuk akhir seperti Lola, Dera tetap hidup dalam hatinya.

Love,
Lanna Ry.

Batam, 27 November 2015.




Thursday, November 26, 2015

Kamu, Siapa?

Kamu, siapa?
Teman baru yang benar-benar baru. Belum genap tujuh hari kita saling bertukar aksara dalam ruang obrolan sempit via whatsapp. Baiklah, jika sekarang saya ditugaskan untuk merangkai tentang kamu, barangkali saya akan memulai dari hal yang paling ganas di antara kita. Kamu tahu?

Ruang yang tak sama, tanah yang berbeda, jangkauan yang tak seirama. Ah, satu hal yang paling ganas di antara pertemanan macam ini adalah jarak. Takkah sebenarnya kita bisa begitu dekat dan erat jika tak tersekat oleh lautan? Takkah kamu bisa sedikit merenung jika kita sebenarnya justeru bisa berlarian ke sana- kemari bak film india jika tak terhalang perbedaan garis pada peta?

Barangkali benar, jika saya selalu berkubang pada masa lalu tentang jarak, hingga rasanya pertemanan macam kita terasa begitu semu, samar-samar, dan barangkali pasti hilang. Sebab percaya atau tidak, seseorang yang nyata mengelilingimu akan jauh lebih tinggi derajatnya dalam hidupmu daripada seorang dalam dunia mayamu—meski sedekat apapun dia.

Teman baru saya yang entah baik atau tidak :p
Tak ada rasa yang ingin saya sampaikan pada tulisan ini, hanya ada harapan terselip dalam setiap ketikan saya. Semoga pada akhirnya kita bertemu pada tanah yang sama….
Selamat datang di dunia saya,Madha.. Selamat berteman ^^

Love,

Lanna Ry.

Tuesday, October 20, 2015

Sebuah Keyakinan

Satu hal yang tidak aku bayangkan, bagaimana aku bisa menggantungkan rasa pada seseorang yang jelas tak pernah sama. Hanya ada satu kayakinan, bahwa pada akhirnya kami akan sejalan. Entahlah, keyakinan itu aku bulatkan pada jiwaku. Agar aku selalu bisa menyatu.

Batam,
20 October 2015.


Untuk sebuah keyakinan yang kuyakin suatu saat akan sejalan…

Friday, September 18, 2015

Jarak, Mimpi dan Kita

Untuk kamu yang keberadaannya jauh di sana. Seribu rangkaian abjad yang kutulis barangkali tak akan pernah bisa memperdekat jarak yang terbentang. Puluhan sapaan dari ujung telepon juga barangkali tak mampu menyatukan raga.

Jarak selalu menang dari segala sisi dan sudut. Atas hal-hal yang diimpikan, dan jarak mutlak menang meruntuhkannya. Takkah kamu juga merasakan? Bagaimana kita benar-benar ambruk oleh posisi jarak yang ganas? Jarak membuat mimpi atas sebuah pertemuan bahkan hancur berkeping tak bersisa. Kamu, dan saya hanya mampu berilusi. Berlayar pada lautan mimpi belaka bertajuk harapan. Tragis, semuanya berujung pada lamunan. Hah, konyol!

Kamu,
Meskipun kita lelah untuk bertukar sapa, juga lelah untuk bermimpi hal yang sama. Bersabarlah, kamu tak seorang diri. Saya juga mengharapkan apa yang kamu harapkan. Sayapun patah oleh hal yang mematahkanmu. Tenanglah sayang, tak ada kesabaran yang dibalas kedustaan…

Meskipun harus berkali-kali lipat jarak patahkan kita, hancurkan semangat kita, mengobrak-abrik mimpi yang telah kita rangkai. Tapi Tuhan tidak pernah tidur, takdir tetap terus berjalan.

Yakinlah, meski keyakinanmu itu diyakin-yakinkan. Bahwa mimpi akan selalu bertemu dengan nyata. Bahwa ilusi akan selalu bersapaan dengan dunia.

Kamu yang saya kenal juga lewat dari dunia maya, terimakasih untuk semangat yang kamu salurkan meskipun terkadang tampak sia-sia.

Sosok yang kita kagumi barangkali belum tahu, atau tahu tapi tak berdaya menyenangkan kita yang berjarak. Sekali lagi terimakasih, kamu. Untuk keyakinan yang kamu bagikan…..

Semoga suatu saat, kita mampu menaklukkan jarak….

Salam sayang.

Lanna Ry
Batam, 18 September 2015.



Sunday, August 30, 2015

Semoga Saya Bermimpi

Saya masih seolah bermimpi pagi ini, seseorang yang lugu menurut pandangan saya, lebih baik sifatnya dari saya, lebih takut akan hal-hal baru dari saya membuat saya sempurna tak mampu membendung air mata.

Benarkah bahwa cinta itu membutakan, Ya Allah? Jika memang benar, saya harap saya tidak mengenal cinta sampai jodoh yang Kau takdirkan datang itu mengkhitbah saya. Haruskah perempuan semacam saya dan dia bergantung kebahagiaan pada seseorang pria yang entah itu ditakdirkan atau bahkan hanya pelengkap cerita?

Saya sempurna tidak mengerti, Ya Allah. Barangkali kami masih bebal, masih bodoh mengartikan cinta pada usia dini. Tapi lihatlah, Ya Allah. Kenapa harus dia yang sedang hijrah di jalanMu yang harus terjun pada dunia yang belum pernah kusentuh sebelumnya?

Kenapa telinga saya yang harus mendengar rangkaian kata dari bibir manis yang selama ini saya tahu tersendat-sendat mohon ampun padaMu, Wahai Pemilik Hati? Kenapa harus teman yang saya lihat semangat hijrahnya membabi buta? Kenapa harus dia yang terenggut bahagianya?

Saya tak marah, saya tak benci, saya tak menyalahkan siapapun. Saya bahkan menyalahkan diri saya sendiri. Harusnya saya merangkulnya lebih erat. Membuatnya bangkit dengan tangan saya. Apalah arti kosakata hijrah yang pernah saya lontarkan jika saya sendiri melepasnya?

Maafkan saya, teman. Marahlah pada saya jika memang saya adalah sebab kamu merasa kecewa dan akhirnya mencari sandaran lain selain seorang teman yang tak tahu diri seperti saya. Maafkan saya yang sering berkoar tentang persahabatan justeru membiarkan kamu seperti sekarang. Saya salah, dan saya minta maaf.

Mungkin seribu kata maaf dan abjad yang saya rangkai tak mungkin bisa mengembalikan semua. Tapi berjanjilah pada saya, berjanjilah, saya mohon… Berjanjilah untuk berhenti berkecimpung pada dunia itu. Kembalilah bersama saya, kembalilah,Sayang, Kembali… Saya berjanji akan memelukmu seerat mungkin, seerat yang saya bisa. Sumpah! Detik  ini hati saya masih sesak, air mata saya masih sering menetes tiba-tiba. Demi Allah, saya belum rela….

Saya mohon, kembalilah….

Bukan Kerudung Sampah,Tuan

Tulisan ini sengaja kutulis, kurangkai, kutujukan pada kamu. Wahai seseorang yang dahulu kuanggap malaikat pula untuk teman dekatku…

Takkah kamu malu dengan gelar yang kamu sandang sebagai seorang Ayah atas anak-anakmu? Sebagai seseorang yang mereka banggakan, sebagai seorang superhero berwujud nyata yang Tuhan anugerahkan pada mereka? Takkah sebenarnya kamu sadar, bagaimana jika seandainya kamu menjadi mereka, dan kamu dapati Ayahnya berperilaku semacam itu?

Dengan atau tanpa alasan. Kurasa tak pantas seorang yang menjadi kebanggaan putri kecilnya mengkhianati kebahagiaan dan janji-janji kehidupan yang damai. Apa janji kesetiaan, kasih sayang, dan moral-moral yang kerap kali seorang Ayah katakana pada putri-putri kecilnya adalah omong kosong?

Wahai kamu,  Seandainya kamu tahu, aku adalah orang yang paling terpental keras mendengar sebuah pengakuan. Tidak, aku tidak akan membahas dan mencomooh teman dekatku. Sumpah! Kamu tidak pernah tahu bagaimana seorang aku belajar mati-matian menarik sahabat-sahabatku menuju jalanNya.

Lantas lihat,Tuan… Kamu benar-benar menang. Selama ini aku diam, bukan berarti aku tidak peduli dengan keberadaan temanku yang telah kamu cintai ini. Diam-diam ada bangga yang menjalar tanpa ucapan. Diam-diam ada rangkaian doa “Semoga dia lantas menjadi alasan untuk aku masuk syurga, karena telah mengingatkannya”
Dan sekarang,Tuan.. Kamu justeru merenggut do’aku. Kamu menang atas segala sudut. Kamu kuasai jiwa teman dekatku. Kamu bahkan menariknya dalam dunia yang tak ia mau. Hey, takkah kamu berpikir ada air mata lain yang jatuh karena tingkahmu?

Setidak pantas itukah aku menarik temanku menuju jalan yang benar? Kenapa justeru kamu menariknya lebih jauh dari tarikanku untuk kebenaran? Kenapa justeru kamu yang membuat temanku yang telah mati-matian hijrah ini terjun lagi pada lubang yang lebih suram dari kehidupan sebelumnya?

Aku tidak benar, sama sekali belum benar dalam segala hal. Tapi sumpah,Tuan. Sumpah atas nama Tuhan. Aku tidak pernah rela kamu memperlakukan teman dekatku seperti seorang ratu. Semata-mata bukan karena aku iri. Tapi lihatlah,Tuan. Apa yang telah kamu lakukan? Kamu pikir kain panjang yang tersemat di rambutnya adalah sampah yang tak bermakna?

Kerudung kami bukan kerudung sampah,Tuan. Kerudung kami bukanlah kain lap yang darinya kamu bisa gunakan untuk menghapuskan kotoran. Kerudung kami bukan hanya penutup kepala,Tuan. Sumpah! Aku justeru jadi saksi bagaimana dia Hijrah. Lalu, kenapa kamu seperti manusia yang tak bernalar untuk menariknya semacam itu? Lantas, mana takutmu kepada Tuhanmu?

Mana cinta yang kamu sebut-sebut kepada temanku? Takkah seharusnya cinta yang kamu sebut itu kamu tujukan dulu pada dirimu, keluargamu, juga Tuhanmu?

Kamu anggap apalah kain panjang yang menutupinya selama ini? Kamu anggap apalah hijrah yang selama ini ia mati-matian kejar? Kamu anggap apalah usahanya merangkak menuju Tuhan? Kamu anggap apalah syariat-syariat islam yang seharusnya kamu lebih paham?

Tulisan ini, bukan karena aku merasa lebih dewasa dari kamu. Bukan merasa paling hebat dan paling tahu. Tapi lihatlah,Tuan. Aku, temannya, mencintainya, menuntunnya menuju Tuhan bersama, merangkak menangis kesusahan mempertahankan diri. Dan sekarang, kamu meruntuhkan benteng pertahananan temanku. Takkah itu menyakitkan untukku? Takkah itu lebih menyakitkan dari kehilangan seseorang yang berarti di hidupmu?

Aku merasa gagal. Aku merasa semua sia-sia. Dan selamat, kamu menang atas permaianan ini. Semoga Allah membukakan hatimu, membuatmu sadar, bahwa permainan yang kamu rangkai ini sama sekali tak lucu untukku—juga untuk temanku.

Dengarlah,Tuan.
Kerudung yang tersemat di kepala kami bukanlah kerudung sampah. Bukanlah asal-asalan. Kerudung-kerudung kami proses. Kerudung-kerudung kami adalah bukti seberapa jauh kami merangkak menuju jalan yang lebih terang.

Dengarlah,Tuan..
Hidup kami masih panjang, Tuhan kami masih menunggu semangat kami menujuNya.
Takkah sebenarnya kita memiliki Tuhan yang sama. Lalu mana toleransimu? Mana bukti cintamu padaNya?

Terimakasih,Tuan. Semoga Allah benar-benar membebaskan sahabatku dari belenggu kemaksiatan yang terbungkus oleh kasih sayang yang tak wajar…

Friday, August 28, 2015

Dear And To My Self

Dear My Self..
Takkah seharusnya kau sadar bahwa meski boleh jadi kau menjadi pilihan pertamanya, kau justeru tak bisa berbuat apa-apa! Takkah seharusnya kau sadar diri, meski berulang-ulang kau mencoba untuk menyatu pada akhirnya kau tak akan pernah sama!

Hey, takkah ini begitu menyakitkan hatimu? Takkah ini membuatmu kerap menangis seorang diri? Takkah kau lelah untuk berjuang? Takkah kau rasakan ini perjuangan yang sia-sia?

***

To My Self…
Jika saya bisa, seharusnya dari awal saya bahkan tidak memilih untuk bersama. Tidak memilih untuk berjuang, tidak memilih untuk menopang, tidak memilih untuk tertawa berdua, juga tidak memilih untuk membiarkan siapapun masuk lagi dalam hari saya.

Saya tahu, saya takkan pernah mampu berjalan pada ajaran yang sama. Tak mampu membaca kitab yang sama. Juga saya sadar, bahwa saya tidak mungkin pernah menyembah apa yang ia sembah hanya karena persahabatan.

Tapi lihatlah, meski perbedaan merenggut akhir persahabatan saya. Saya sekali-kali tidak ingin meninggalkan. Karena takkah kau sebenarnya paham,sayang? Ditinggalkan itu menyakitkan.

To My Self…
Jika tiba masa di mana saya harus mengalah, saya harus menyerah, dan saya harus melepaskan dia untuk seseorang sahabat yang jauh bisa menolongnya. Saya akan rela. Meski direla-relakan. Saya akan tesenyum, meski disenyum-senyumkan..

Karena kau tahu, Diri? Lebih menyakitkan jika saya harus melihatnya bertahan dalam perbedan hanya karena sebuah persahabatan….

Tertanda,
Saya.


Untuk,
Diri Saya.

Sunday, August 23, 2015

Leluconmu Tidak Lucu,Pria

Aku semacam disadarkan dari lamunanku selama ini. Aku tertampar keras dengan kenyataan yang berbanding terbalik dengan ilusi. Terdampar ditepian mimpi yang selama ini kugurat secara indah. Nyatanya, semuanya kini menyakitkan.

Takkah lebih menyedihkan jika kamu terlebih dahulu tahu bahwa semua akan berakhir menyesakkan? Bagaimana bisa kamu melanjutkan khayalan yang semakin hari semakin membuatmu berkubang pada sebuah lubang, yang di dalamnya tak ada seorangpun yang peduli.

Lihatlah, apa yang bisa aku harapkan sekarang dari ilusiku? Kenyataannya malam ini mataku terbuka lebar atas sesuatu yang selama ini kuusahakan untuk tertutup rapat.

Kupikir aku adalah satu-satunya perempuan yang diharapkan dalam hidupnya. Nyatanya sama saja, aku adalah orang kesekian yang dijadikan pilihan, aku bukan seorang diri, dan bualan atas hidup bersama aku rasa hanya leluconnya.

Meski aku bukan siapa-siapa, takkah dia waras telah menyandingkanku dengan nama lain dalam satu situasi yang bersamaan? Baiklah jika menurutnya perempuan itu juga berarti, bisakah dia sedikit mengerti untuk tidak menyakiti perasaanku?

Hati yang selama ini tak pernah kutitipkan pada siapapun kecuali sahabat-sahabatku, justeru telah ia patahkan. Telah ia retakkan. Meski sedikit, aku yakin itu akan berulang-ulang.

Tidak ada lagi harapan yang aku gantungkan padamu, wahai lelaki yang ternyata sama saja dengan yang sudah-sudah. Biarlah Allah yang menjadi sebaik-baik penulis scenario hidupku. Pergilah, kulepaskan kau dengan segala janji yang tak sadar kau khianati..

Tinggal aku di sini menunggu, siapa yang benar akan menjadi pangeranku. Dengan atau tanpa kau, kuharap semua akan berjalan sempurna. Sudahlah, omong kosong soal menjaga hati, menjadi diri yang lebih baik, semua benar-benar omong kosong.

Bagaimana bisa seseorang berjuang secara sepihak? Hah, maaf leluconmu tidak lucu, Pria.

Aku. Kamu. Kita. Beda.

Kamu mungkin belum pernah merasakan ketakutan seperti yang aku alami. Atau kamu pernah merasakannya tapi bukan karenaku, atau kamu sempat merasakannya tapi tak kamu hiraukan. Atau atau dan atau lainnya hanya kamu yang bisa menjawab.

Sahabat,  Tanpa ragu kusebut kamu seperti itu. Wanita tangguh yang selama ini mendaratkan harinya dalam kehidupanku. Yang tutur sapanya selalu aku tunggu, yang rangkulannya aku rindu, yang senyumnya menjadi pelipur sedihku.

Lama sudah kita berjalan berdua, menapak kehidupan dari masa SMK. Hingga kini, kusingkirkan semua egoku akan masa lalu yang menyakitkan, hingga kini aku tekatkan merangkul kamu untuk menjadi teman karib yang tak rela kulepaskan meski hanya sesaat.

Lihatlah, mungkin terlalu berlebihan jika aku menjadikan kamu separuh dari bahagiaku jika barangkali aku bukan separuh dari bahagia yang kamu tunggu. Mungkin pula, aku yang masih besar kepala dengan gelar-gelar persahabatan yang aku sematkan untukmu tapi tidak kamu sematkan dalam diriku.

Temanku, satu kenyataan yang menohok menyadarkanku dari serangkaian cerita yang aku ukir bersama kamu. Kenyataan atas perbedaan yang mendasar. Mungkin, bagi sebagian orang tak ada masalah. Tapi justeru itu menjadi masalah jika kamu sudah menggunakan perasaan.

Demi Allah, aku menyayangimu. Takkah kamu lihat aku tak pernah rela berdiam diri tanpamu? Benar, aku menggantungkan kebahagiaanku pada kamu. Memang bukan salahmu jika pada akhirnya aku kecewa karena ketika kamu pergi memilih tertawa bersama temanmu yang lain maka akulah yang akan kehilangan bahagianya.

Tapi tidak, bukan soal itu. Namun soal ini :
“Ada beberapa golongan yang akan masuk dalam syurga. Salah satunya adalah dua orang sahabat yang saling mencintai karena Allah.”

Lantas, apakah kita termasuk dalam kalimat yang ada dalam keyakinanku itu? Apakah aku bisa berbicara kepadamu “Aku mencintamu karena Allah, sahabatku,” jika apa yang kita sembah justeru tak sama?

Aku sempurna menangis malam ini, aku hanya ingin memelukmu, merengkuhmu dalam imaji tanpa perbedaan yang tak mampu melebur ini. Tapi apalah, setelah aku tersadar justeru semua amat menyakitkan.

Tamparan keras yang begitu dahsyat menggoncang relungku, malam ini. Dari ribuan mimpi yang ada, berlari bersamamu menuju syurgaNya semacam lelucon hidupku. Takkah kamu bisa menarikku dan mencariku di neraka jika ternyata benar kamu tenang dalam syurgaNya ketika asmaNya saja tak sama?

Lalu, menurutmu apalah arti sayang yang selama ini aku sebut-sebut jika pada akhirnya aku juga tak mampu merengkuhmu menuju syurgaNya bersama?

Yang menjadi pertanyaanku adalah kenapa takdir terkadang tak mampu aku artikan isyaratnya? Lihatlah, kamu sendiri paham bagaimana susahnya aku bersatu pada orang yang katanya menyembah Tuhan yang sama. Lihatlah, kamu bahkan sudah terlampau mengerti bagaimana ungkapan mereka yang menjatuhkanku, mendorongku dalam jurang ketidakpercayaan diri.

Bagaimana bisa hidup sekonyol ini? Aku berjuang untuk orang yang boleh jadi bisa aku rangkul bersama menuju Tuhan yang sama justeru menolakku mentah-mentah. Mencampakkanku lebih jauh.

Jika benar, pada akhirnya memang tak ada keajaiban yang menyatukan kita kepada Tuhan yang sama. Maka saat ini juga aku sampaikan permintaan maafku, maaf telah masuk dalam duniamu dan menjadikanmu kebahagiaanku. Maaf karena telah menarikmu dalam rasa persahabatan yang berbeda karena cara pujian kita atasNya berbeda.

Memang benar kalimat ini untuk kita.
Ada saat di mana kita saling meninggalkan, bukan karena membenci, namun karena sebesar apapun cinta pada persahabatan ini. Kita akan jauh lebih memilih cinta terhadap Tuhan yang maha memiliki..

Teruntuk kamu sahabatku yang berbeda keyakinannya.. Aku terkadang menyerah karena tahu tak bisa menolongmu. Tapi untuk meninggalkanmu pun, rasanya tak mungkin. Sebab semua telah terlanjur, rasa sayangku begitu membuncah. Persahabatan ini begitu berharga.

Apapun yang terjadi, percayalah. Tak ada secuil benci yang tercipta untukmu..
Aku mencintamu atas nama Tuhanku di atas keyakinanku. Aku mencintamu lantas tak pula aku membenarkan keyakinanmu. Maaf sahabat, akhirnya kita memang akan berbeda….

Tuesday, July 14, 2015

CERPEN TENTANG PERBEDAAN

BEDA RASA

Perbedaan memang menyulitkan. Tapi rasa-rasanya tak pantas jika sebuah perbedaan menjadikan aku dan kamu saling menikam, membenci dan akhirnya meninggalkan.
Kali ini, aku lihat kamu memperhatikanku di sudut ruangan dekat ruang tamu. Kebetulan pintu kamarku aku biarkan begitu saja. Lagipula, aku sudah siap untuk pergi denganmu. Sentuhan pada kerudung panjangku ini yang menjadi akhir dari masa penantianmu di ruang tamu. Aku nikmati senyum manis yang memang selalu kamu berikan ketika kita bertemu.
“Anisa, sudah?” Katamu memanggilku dengan senyum manis itu.
“Sudah. Sabar,ya. Aku tutup jendela belakang dulu.” Jawabku singkat dan langsung menutup jendela belakang seperti kataku padamu. Lagipula, aku tak ingin membuat kamu menungguku terlalu lama.
“Ayo!” Tanganmu menarikku. Aku mengikutimu dan berhenti di depan pintu.
“Kenapa lagi,Nis?” Kamu tak kuasa menahan tanda tanya itu. Aku paham betul kamu sedikit kesal menungguku terlalu lama.
“Aku pakai kaus kaki dulu.” Aku menarikmu untuk duduk di dekatku. Kamu selalu seperti itu, sok cemberut. Barangkali di kepalamu juga bertanya-tanya kenapa aku selalu repot-repot memakai kaus kaki juga memakai kerudung menjuntai sampai menutupi lenganku.
Beberapa saat kemudian, ketika semuanya telah selesai. Aku meletakkan tanganku di sisi bibirmu dan menariknya perlahan.
“Nah, begini lebih enak. Jangan cemberut terus!”
“Ah, kamu bisa saja. Yasudah yuk.” Jawabmu sembari menghadiahkan senyum manismu. Aku lega melihatmu tersenyum.

Sudah setahun ini kita saling bertukar cerita. Ada canda juga terkadang duka. Kadang, aku bingung bagaimana menjelaskan padamu tentang kerudungku yang terulur panjang. Mungkin, itu terlihat aneh di matamu. Mungkin juga, kamu bingung kenapa aku tampak lebih berbeda dari teman-teman kita yang lain. Tapi aku akan jelaskan semua ini padamu, suatu saat nanti. Di saat yang tepat.
***
Sore ini, kita berjalan menyusuri sawah. Hamparan hijau yang luas ini selalu menjadikan kita satu. Menyatukan tawamu juga tawaku. Menjadikan ceritaku juga ceritamu menjadi rangkaian cerita yang indah. Angin yang berhembus berhasil membuat rambutmu yang lurus itu berkibar—juga dengan kerudungku yang panjang ini. Sekali lagi, aku membenarkan posisi rambutmu. Dan kamu merapikan kerudungku sebisamu. Sayang, kita tak bisa tampak sama karena nyatanya kita terlahir dari rahim dan keyakinan yang berbeda.
Sayup-sayup kamu bilang kamu dengar azan. Aku melihat jam di tanganku. Benar, sudah azan asar. Tanpa disuruh pun, kamu menarikku ke sumber air di dekat pondok bambu. Aku bahagia kamu mengerti kondisiku, kamu sebisanya menutupi tubuhku agar keberadaanku tak tampak oleh orang lain.
“Sudah?” Tanyamu.
Aku mengangguk. Membenarkan kerudungku dan memakai kaus kaki. Aku naik ke pondok bambu dekat persawahan—yang biasanya dipakai untuk istirahat para petani. Kamu menungguku di pinggir pondok bambu sembari melipat kaki—itu gaya kesukaanmu. Selepas aku salat. Kamu mendekat ke arahku. Setahun ini aku tahu ada pertanyaan yang membuncah di kepalamu. Tapi kamu pasti takut aku marah.
Akhir Desember ini, menjadi tahun kedua kita berteman dekat. Tak sekalipun aku mengucapkan selamat pada hari rayamu. Padahal, setiap waktu salat kamu selalu mengingatkanku. Juga dengan hari rayaku, kamu selalu hadir dan memberiku bingkisan beberapa kue—yang harusnya aku yang menyediakan untukmu.
“Aku ingin bertanya padamu,Nis.” Katamu takut-takut. Tampak jelas kamu tak ingin aku sakit hati. Barangkali, kamu berfikir mati-matian bagaimana merangkai kata yang pantas untuk pertanyaanmu. Aku lebih mendekat kepadamu.
“Kenapa kerudungmu begitu panjang?” Tanyamu singkat. Aku tersenyum.
“Kenapa kamu beribadah untuk Tuhanmu?” Aku balik bertanya. Kamu mengerutkan dahi.
“Karena perintah Tuhanku.” Kamu berkata mantap.
“Begitu juga denganku. Kerudung panjangku ini, perintah Tuhanku.” Sekali lagi aku santai menjawab. Aku tak ingin membuatmu pusing dengan penjelasan panjang lebarku. Semoga, dengan jawaban singkat tadi kamu mengerti.
Senja mulai hadir, untuk kesekian kalinya. Aku menikmati senja ini bersamamu. Duduk di bawah pondok bambu tanpa dinding. Tersenyum bersama dan berbagi cerita. Bedanya, hari ini akhirnya kamu bertanya semua yang selama ini kamu tutup rapat. Beberapa saat hanya ada suara burung gagak yang entah dari mana datangnya. Kita diam saling menikmati senja.
 “Kamu baik,Nis. Kamu selalu menolongku. Kamu juga temanku yang paling baik. Selalu mendengarku cerita, selalu mengukir tawa. Tapi...” Kamu diam sejenak. Menatapku lamat-lamat. Begitu pula aku. Menatap matamu yang masih penuh tanya.
“Tapi apa?”
“Tapi, sudah dua tahun kita kenal. Selama itu, kamu tak pernah mengucapkan selamat natal untukku,Nis. Bukankah itu cuma kata-kata?” Pertanyaanmu benar-benar menusuk jantungku. Aku menghela napas kasar. Berfikir bagaimana cara menjelaskan padamu bahwa toleransiku bukan untuk hal semacam itu.
“Selama aku mengenalmu, aku juga tak pernah mendengarmu mengucapkan syahadat untuk Tuhanku.”
“Aku tak mungkin mengucapkan syahadat. Karena agamamu bukan agamaku,Nis. Kufikir kamu mengerti..”
“Lantas, apa bedanya denganku? Bukankah syahadat juga CUMA kata-kata?” Aku menekankan kata cuma pada pertanyaanku.
“Maaf Nis, sekarang aku mengerti. Bahwa ada hal yang menurutku biasa saja tapi, sangat prinsip untukmu.” Katamu penuh sesal telah mempertanyakan alasanku. Bola matamu yang tadinya cerah kini redup. Aku paham sekali, kamu pasti takut pertemanan kita rusak karena pertanyaanmu. Tapi aku lega, akhirnya apa yang ingin aku jelaskan tersampaikan juga. Aku genggam tanganmu. Menariknya perlahan menuruni pondok bambu. Matahari sudah jatuh, senja juga sudah menghilang.
Hari ini perjalanan kita sangat berkesan. Matamu masih redup. Kamu jalan dengan gontai. Terhuyung sangat pelan. Tepat di persimpangan jalan kita berpisah. Kamu ke arah selatan dan aku ke arah utara. Aku lepaskan genggamanku, membiarkanmu berjalan terlebih dahulu.
“Angela....” Teriakku membuat langkahmu terhenti. Kamu menoleh.
“Iya?” Jawabmu masih lesu.
“Kita tetap berteman dekat kok! Kita memang berbeda. Tapi kita tetap bisa berteman!” Sekali lagi aku berteriak dari kejauhan sambil melambai-lambai.
“Seperti dulu dan tak berubah?” Kamu berteriak sepertiku. Aku mengangguk dari kejauhan. Dan seketika. Lengkung bibirmu melebar. Akhirnya, senyum itu kembali..
Angela, kamu membuatku mengerti bahwa perbedaan tak harus membuat kita saling membenci. Memang tak selamanya kita bisa berjalan satu arah. Tapi setidaknya, kita bisa berdampingan merangkai cerita...
Matahari benar-benar telah tenggelam. Kuharap sama seperti pertanyaanmu tentangku. Semoga semuanya sudah tenggelam bersama jawaban-jawaban singkatku tadi,Angela...

Special cerpen for My Best, Ayam;)


Saturday, July 4, 2015

Senyummu Adalah Candu

Selamat malam, Kamu. Iya, kamu yang menyematkan ingatan berupa senyum.  Senyum yang mereka curi dari perubahan signal menjadi gambar. Senyum yang sebenarnya tak diisyaratkan untuk mereka. Juga tak dihadiahkan bagi mereka.
Senyummu ibarat candu. Sejauh mungkin mereka melepaskan diri. Selelah apapun mereka berusaha membelah diri. Pada akhirnya mereka kembali. Entah diharapkan atau tidak mereka akan tertarik lebih jauh dari sebelumnya. Mereka seperti sakau. Hah, ini gila! Takkah mereka seharusnya waras dengan bualan macam ini?

Kamu, sekali lagi kamu dan berkali-kali kamu.  Lengkung bibir tipismu yang kerap kali terunggah disocial media benar-benar membuat para pecandu semakin gila. Ini kenyataan, bahkan diluar kendalimu. Orang-orang yang hanya berkecimpung dengan dunianya—khayalan juga mimpi—bahkan bisa lebih tragis hidupnya. Mereka memandangi potret dirimu dari balik layar ponsel. Tersenyum-senyum sendirian bak berhadapan denganmu.

Kelanjutannya, mereka akan dengan seksama meniti setiap senti bahkan mili dari apa yang mereka lihat dari layar ponselnya. Tersenyumlah sekali lagi. Diam tapi pasti, pecandu itu terdiam beberapa saat, bergumam macam angin mampu menyampaikan isi hatinya.

“Cantik ya, seandainya Tuhan menakdirkanku bertemu,” pintanya tanpa henti. Merengek pada Tuhan.

Dan sekali lagi, kamu.
Selalu kamu yang menjadi alasan mereka membuka social medianya. Berharap ada nama seorang kamu tergantung pada notification yang menurut kamu tak ada apa-apanya.

Dan berkali-kali selalu ada harap pada kamu.
Kamu yang menjadi candu. Senyum yang menjadi obat. Dan kamu yang menjadi semangat.

Barangkali maksud mereka dalam tulisan ini adalah saya yang terkemas dalam banyak pihak. #IKnowImNotTheOnlyOne eaaa baper nihye *takeamirror

Wednesday, July 1, 2015

Untuk Kamu, Tentang Kagum Yang Tersemai

Hai, makhluk ciptaan Tuhan yang entah kenapa menyedot separuh dari perhatianku. Memandangmu adalah candu. Berlebihan atau tidak, saya tahu saya tidak seorang diri.
***
Jarak terkadang membuat yang jauh kerap kali berlaku tidak waras. Sama seperti saya, saya diluar batas kewarasan. Ada mimpi yang terlukis diluar jalurnya. Mimpi yang entah kenapa harus terlukiskan di alam bawah sadar. Ya, mimpi saya adalah bertemu dengan makhluk ciptaan Tuhan bernama Dera.

Seorang yang bukan siapa-siapa yang sekarang saya panggil dengan sebutan Kak Dera. Tentu saya bukan adiknya, bukan juga saudaranya. Saya masuk dalam list pengagum yang keberadaannya bahkan tak terjangkau mata. Saya semu dan tak terpandang.
Pengagum seperti saya seolah berjudi dengan takdir. Bertaruh dengan mimpi. Dia—Kak Dera—barangkali tidak pernah meminta ada seseorang yang mencintainya, menyayanginya, atau bahkan mendo’akan dalam sujudnya.

Tapi hati saya tertarik. Kehidupannya memang berbanding terbalik dengan saya. Saya berkerudung labuh, sedangkan dia bergaya cool kelaki-lakian. Tapi tenanglah, saya normal dan masih mencintai seorang laki-laki.

Justeru ini yang saya suka, caranya menghadapi manusia bernalar rendah yang selalu berkoar-koar.
Lesbian ya?”
“Pacarnya,Der?”
“Udah belok nih si Dera,”
Dengan tanggapan yang positif. Ah, apa pentingnya perkataan orang dengan hidup kita?

Kamu yang sekarang penyemangat dalam tulisan saya, tenanglah. Apapun yang mereka katakan masih banyak yang setia. Masih banyak yang mendo’akan. Dan masih ada cinta yang terpintal dari segala penjuru kota, untuk kamu,Kak.
Dari jauh saya—atau bahkan yang lain juga merasakan hal yang sama—tetap melukiskan harap setiap saat. Percayalah, seseorang yang bergelut dengan jarak lebih hebat kesetiaannya. *jedeeer*

Note : Setelah tulisan ini saya post pasti akan ada pihak yang menghujat saya seperti biasa. Lantas tenanglah wahai pencibir, tidakkah saya menyusahkan kalian karena ini? 

Wednesday, June 24, 2015

Kenapa Yang Tak Mesti Terjawab Karena

Aku tahu apa yang kita lalui tak mudah. Aku paham, untuk menyerahpun rasanya susah.
Dalam perbedaan kamu ajarkan aku merangkul. Dalam ketidaksamaan kamu berikanku arti kedamaian.
Sempat aku ragu tentang sebuah perbedaan.
Tapi kenyataannya kamulah yang menopang ketika yang sama bahkan menjatuhkan.
Tuhan kita memang tak sama, kitab kita juga jelas berbeda.
Tapi di atas perbedaan kamu masih mau memahami, di lingkaran yang tak kamu mengerti, kamu justeru mau mengenggam..
Lalu siapa yang salah jika pada akhirnya aku lebih memilih bersamamu dari pada yang sama?
Lalu siapa yang salah ketika kita terlahir dari rahim penganut agama yang tak sama?
Apakah aku pernah meminta orang yang mengerti hariku adalah kamu? Tidak.
Aku bahkan tidak berandai bahwa kamulah yang setia. Yang mau berjuang, yang mau menemani.
Ketika dunia mecampakkan, ketika yang lain menghujat.
Apakah harus perbedaan menjadi pengahalang? Apakah aku harus mendengarkan cacian mereka?
Apa aku akhirnya harus tertinggal untuk kesekian kali?
Jika aku boleh bertanya, lebih banyak tanyaku dari pada mereka,
Pertama kenapa harus kamu?
Kedua kenapa kita berbeda?
Ketiga kenapa Tuhan yang kita sembah tak sama?
Kenapa cara beribadah kita tak bisa disatukan? Kenapa?
Ya, karena Tuhan punya cara sendiri untuk memberikan kebahagian bukan?
Teman terbaikku, meski tasbih dan salib tak mungkin menyatu. Setidaknya mereka tak harus bermusuhan.
Meski aku dan kamu akhirnya berpisah di ujung jalan. Percayalah, namamu masih tersemai.
Dalam ruang yang tak seorang pun bisa menembusnya..
Tetaplah setia. Tetaplah menjadi penguatku..

Salam Sayangku.
Boo.

Malam Tanpa Harap

Malam telah larut. Justeru itu yang membuat saya tersadar. Membuat hati saya bisa lapang. Malam ini adalah malam kesekian-sekian saya tanpa pengharapan.

Saya tahu, saya tidak lagi memiliki harapan untuk itu. Oh bukan, maksud saya, saya yang tidak merangkai harapan atasnama kebaikhatian. Saya tidak menyalahkan siapapun, tidak orang di masa lalu saya, diri saya ataupun takdir. Justeru lagi-lagi saya sadar berlipat-lipat. Bahwa kebahagiaan datang dengan caranya sendiri.

Jika dulu yang saya dapati adalah air mata.  Sekarang saya bisa menanggapi dengan seutas senyum mengembang tanpa paksaan. Saya tahu, melepaskan adalah awal dari kebahagiaan. Meski kebahagiaan yang saya impikan baru muncul sekarang. Setidaknya saya tahu, kebahagiaan berawal dari hati yang tulus, hati yang pemaaf, juga hati yang tak pernah menyalahkan Tuhan.
Apapun yang terjadi di masa lalu saya, untuk hal yang mungkin— termasuk kebaikhatian yang—terabikan atau apalah. Saya cukup menjadikan pengoreksi diri. Sejauh apa saya bisa bersabar dalam menghadapi cerita Tuhan yang belum saya tahu sebelumnya.

Karena masa lalu, saya bertemu sahabat saya. Orang yang menjadikan saya berarti dalam hidupnya, orang yang mau merubah hidupnya bersama saya. Saya tidak berjuang sendirian sekarang, saya berjuang bersama mereka. Anggaplah mereka hanya dua manusia biasa. Tapi demi Allah, saya mencintai mereka lebih dari saya mencintai masa lalu saya.

Saya tahu persahabatan itu tak pernah instan. Jalannya panjang. Sepanjang kesedihan saya yang mereka sulap menjadi kebahagiaan.

yaAllah, saya benar-benar tak habis pikir. Bagaimana mereka bisa merubah hidup saya sekali lagi. Dan demi namaMu. Biarlah mereka menjadi penopangku hingga nanti….

Salam sayang untuk kedua sahabatku…
LAA. ASP <3
Pukul 12.29 malam.
Di atas kasur.
Diam-diam kurangkai harap itu bersama kalian…

Monday, June 15, 2015

Haruskah Kukenalkanmu,Cinta?

Cinta,
Biarlah mereka menghujat tentangku karena menyembunyikanmu dari hariku.
Tersakiti memang rasanya, karena dalam pekat mereka tetap menghujat.
Sedetik, aku mencoba merelakan.
Semenit, aku berusaha lapang.
Namun kemudian, hatiku rasanya retak. Bercampur sedih yang entah bagaimana.
Apakah semua cinta harus terucap dan diketahui dunia?
Apakah menjadi normal di mata manusia mesti bersuara tentang cinta?
Duhai yang menungguku,
Rasanya akupun ingin terbang. Berlari dari kenyataan.
Haruskah aku berkoar-koar? Haruskah aku memproklamirkan bahwa akupun sama?
Ada saatnya aku lelah dengan ucapan mereka,Cinta…
Lama sudah aku belajar untuk  bersabar dengan hujatan atas nama ketidaknormalan.
Salahkah jika aku memendammu,Cinta?
Hari ini semua termuntahkan. Tentang rasa sesal. Tentang sebuah penantian.
Akupun sama ingin dicinta, dan aku tahu cara kamu mencintai berbeda.
Akupun sama ingin diharapkan, dan aku tahu cara kamu mengharapkan itu atas namaNya.
Aku tak pernah memperkenalkanmu dengan seisi dunia.
Melainkan aku kenalkan kamu pada sahabat terdekatku.
Karena kurasa itu cukup, ya. Itu lebih dari cukup.
Duhai kekasih yang semoga Allah takdirkan untukku,
Biarlah aku berdiri di terjang badai. Karena kutahu di sana kamu masih mendo’akan.
Meski seribu kali manusia menghujat. Maaf,Cinta. Aku akan tetap menyembunyikan.
Meski seribu kali manusia menghakimi. Maaf,Cinta. Aku hanya menjagamu dalam do’a.
Terimakasih kamu masih berjuang dengan caramu.
Dalam diam kurajut asa bersama.
Dalam kesunyian kuharap Tuhan menjadi perantara.

June 6, 2015.
At. 10:26.

Batam.

Friday, June 5, 2015

The Meaning Of Process

Tak ada manusia yang ingin menyakiti manusia lainnya dengan sengaja, kecuali manusia-manusia berhati batu. Saya pun demikian, memangnya selama ini saya dengan sengaja menyakiti manusia? Membiarkan mereka terluka berkali-kali karena saya? Ah, justeru sayalah yang tersakiti berkali-kali. Sadar atau tidak, saya sering berkorban untuk orang lain. Ya, saya tahu. Merekapun berjuang untuk saya.

Saya,
Selalu berjuang keras untuk menyamaratakan rasa. Tapi pada akhirnya saya tidak bisa, saya tak berniat menganggapnya lebih dari siapapun di hidup saya. Tapi kenyataan berbicara bahwa dia memang lebih. Saya manusia, saya butuh yang dekat, yang nyata mengisi hari saya, yang bisa membuat saya bangkit. Saya tidak minta sosok yang membuat saya bangkit itu dia. Sama sekali tidak.

Saya tidak pernah berdo’a agar yang mau membantu menopang saya itu dia. Saya juga tidak pernah berharap sebelumnya agar dia menganggap saya sama berartinya. Saya. Sama sekali tidak pernah mengemis untuk masuk ke dalam hidupnya—seperti saya mengemis pada teman masa lalu saya.

Dan alam tahu, saya dan dia dekat melalui proses panjang. Lebih panjang dari jalan cerita yang perah saya sematkan dalam kehidupan orang-orang yang sekarang pergi.
Saya dan dia jatuh bersama-sama. Tapi di saat itu dia masih punya upaya membantu saya berdiri. Dan waktu itu, saya belum menganggap dia berarti. Waktu itu saya belum menganggapnya orang terpercaya. Dia masih sama seperti orang-orang lain. Yang kehadirannya biasa saja.

Saya dan dia pernah menjadi rival dalam pendidikan. Di saat itu saya mencari cara untuk mengalahknnya, untuk menjadi yang lebih baik darinya. Untuk menjadi yang nomer satu sedangkan dia yang kedua. Tapi? Dia tetap setia mendengar apapun yang terlontar dari mulut saya;dengan caranya.

Dan apa kamu tahu? Sebelum saya menganggapnya berarti, sebelum saya mengingat dia setiap hari saya, barangkali dia yang mengingat saya lebih dari saya mengingat dia.
Tiga tahun berjalan, dia tetap menjadi orang yang sama. Sedangkan waktu itu, saya hanya menganggapnya sosok biasa dan teman saya yang pergi inilah yang luar biasa. Apa dia pernah bertanya “kenapa selalu dia yang kamu ceritakan sedangkan saya tidak?” Dan demi Allah. Dia tidak pernah bertanya kenapa saya mengharapkan teman masa lalu saya ini daripada dia.

Dia mengingat saya ketika saya belum sempat mengingat dia.
Lulus sekolah, kami berpisah. Semenjak itu saya tidak pernah menghubunginya, tidak untuk menanyakan kabar juga tidak menanyakan pekerjaan. Saya pada terpuruk waktu itu, saya mencari pekerjaan sendiri, dan kamu pikir saya dapat? Tidak.

Empat bulan sudah saya mendekam di rumah, dia sering menghubungi saya hanya untuk sekadar bertegur sapa. Dia orang yang setia. Saya tahu, dia baik.
Sampai akhirnya,

Tuhan menampar saya. Saya tersadar. Saya berpikir.
Orang yang selama ini mendampingi saya tanpa sebuah status sahabat adalah dia.

Dan sekarang,
Giliran saya yang berjuang menyayanginya, mengertinya, membuatnya merasa berarti. Saya sekarang hanya perlu mengerti. Mengerti ketika dia lebih sibuk dengan kuliahnya daripada berkumpul dengan saya.

Saya hanya butuh memahami ketika dia lebih banyak teman dari pada saya.

Saya hanya butuh sadar. Bahwa dia memang nomor satu dari pada saya.

Ketika dia diam. Saya hanya butuh bercermin. Dulu dia pernah merasakan apa yang saya rasakan.

Sekarang saya dan dia satu tempat kerja, hampir setiap hari saya mengukir tawa bersamanya. Benar. Hasil tidak mengkhianati proses J

Setiap yang dekat berawal dari yang jauh.
Setiap yang berarti berawal dari pengabaian.
Ini bukan tentang seberapa cepat kita dekat,
Tapi tentang proses bagaimana kita dekat.
Kamu tahu?
Sesuatu yang dimulai dengan kesulitan.
Akan sulit juga untuk melepas.
Be your self.
Don’t judge.

Tertanda.

Lanna Ry.

Monday, June 1, 2015

Silent Mean Everything,For You

Rasa-rasanya saya sudah ingin mengungkapkan ini sejak kemarin. Sejak saya merasa bersalah dengan peristiwa yang ada. Dengan sebutan-sebutan yang tidak enak di dengar telinga. Saya sama lelahnya, tapi mungkin saya lebih perasa.

Sudah kurang lebih empat tahun saya mengenal kamu. Kita jarang bercerita tentang hal-hal pribadi. Tapi saya tahu kamu, kamupun demikian. Saya tahu, kamu bisa menyelesaikan masalah kamu tanpa saya. Juga terkadang saya, saya bisa menyelesaikan apa masalah saya tanpa bantuan kamu.

Setahun terakhir, saya sangat merasakan sesuatu. Kekuatan rasa, kekuatan kesetiaan, kekuatan diam. Dan kamu justeru menguatkan saya dengan cara kamu. Saya tahu, kamu tidak mudah untuk mengungkapkan, tidak mudah untuk berbicara, tapi saya merasakan sesuatu ketika kamu berbicara;kamu tidak bohong dengan apa yang terlontar dari mulut kamu.

Maafkan saya, teman terhebat. Karena saya kamu menjadi bahan gunjingan beberapa makhluk bernalar rendah di luar sana. Maafkan saya, karena saya tidak mungkin melepaskan kamu hanya untuk membuat manusia di luar sana berhenti berkoar. Maafkan saya, saya tidak bisa berhenti menyayangi kamu meskipun orang di luar sana menghujat.

Saya tersadar banyak hal, hal yang tak orang lain tahu, yang tak orang lain rasakan. Saya merasakan bahwa saya harus mempertahankan kamu.

Kamu hadir dalam hidup saya ketika saya terpuruk jatuh.

Kamu yang membuat saya bisa ketika saya rasa lebih baik menyerah.

Kamu yang membuat saya mampu berjalan ketika saya pikir saya telah lumpuh.

Kamu yang membuat saya mampu bernafas ketika saya rasa saya telah kehilangan kesempatan hidup.

Kamu yang menguatkan saya ketika saya rasa tidak mampu.

Kamu yang membuat saya melihat dunia ketika saya merasa buta.

Kamu yang mengenggam saya ketika saya pikir semua manusia melepas saya.

Kamu membuat saya memahami. Bahwa masih ada yang percaya bahwa hidup saya berarti.

Kamu, kamu yang selalu diam ketika berhadapan dengan saya justeru memiliki andil besar dalam perubahan saya.

Meskipun saya, tidak seberpengaruh itu dalam hidup kamu. Izinkan saya membuat kamu tersenyum karena saya.

Meskipun saya, belum menjadi yang paling kamu butuhkan. Izinkan saya untuk belajar menjadi teman yang bisa kamu damba.

Meskipun saya, tidak begitu kamu harapkan. Biarlah saya merangkai cerita bersama.

Saya tahu, barangkali kamu bisa lepas dari hidup saya. Bisa mengukir cerita bersama manusia yang jauh lebih sempurna hidupnya. Tapi saya mohon, jangan pernah menyerah pada saya.

Saya tidak tahu lagi, jika kali ini akhirnya kamu memilih untuk pergi, memilih untuk melepas. Apa saya masih percaya, bahwa hidup saya berharga?

Teman saya yang terhebat. Tulisan ini atas dasar pemintaan maaf. Maaf karena saya menjadi hal yang buruk dalam hidup kamu. Sumber masalah yang menerpa.

Tapi percayalah, saya tidak berhenti berdoa.

Agar pada endingnya, saya bisa menjadi alasan kamu tersenyum setiap harinya. Seperti kamu yang menjadi alasan saya untuk tersenyum😊

My Crazy Friend😍

Thursday, May 14, 2015

Masih Ada Kepercayaan

Saya harus memulai dari awal lagi. Dari nol. Benar-benar dari sisa semangat yang ada. Dari puing-puing keyakinan yang dulu dihancurkan. Dari sepercik harap yang beruntungnya masih tersemat.

Saya harus memulai. Saya harus belajar merangkai. Saya harus maju. Bukan malah mundur tanpa jeda. Saya tercipta bukan untuk mengalah, saya diciptakan untuk berjuang.

Lupakanlah pengabaian atas nama tulisan yang pernah saya rangkai. Pengabaian atas apa yang saya tulis semestinya tidak menjadi tembok penghalang saya untuk terus mencoba. Meski tulisan saya sekarang hambar, meski yang bisa saya torehkan hanya rasa kesakithatian. Biarlah. Asal saya  tetap menulis.

Biarkan saja mereka mencaci tulisan saya, persetan dengan omongan orang. Memangnya, apa penting perkataan mereka di hidup saya?

Saya harus memulai karena masih ada pihak yang meyakini bahwa saya masih mampu. Masih ada pihak yang menunggu hasil tulisan saya. Masih ada pihak yang dengan suka cita memberi saya semangat. Meski semangat itu rasanya kabur dalam pandangan saya.

Saya sudah terlampau lama diam. Saya terlampau banyak memendam. Hingga sekarang, satu perkataan dia membuat saya sadar.

Saya harus menulis. Saya harus mengejar mimpi saya. Tak peduli seberapa lama akan tercapai. Saya harus mampu berjuang. Saya harus bisa bertahan.

Saya tahu dia tulus, saya tahu dia masih setia. Menunggu saya. Menunggu karya saya—yang entah seberapa lama saya bisa selesaikan.

Saya menulis karena saya mau. Saya menulis karena saya sadar, sebuah pengabaian takkan pernah habis hanya karena berhenti menulis.

Saya harus memulai. Untuk diri saya. Untuk cita-cita saya. Dan untuk kebaik hatiannya memberi semangat dalam hidup saya.

Saya akan mulai dari awal. Dari titik terendah merangkai kata. Saya akan coba.


Bersabarlah… 

Saturday, April 18, 2015

No Matter What Happened

Gue nggak pernah nulis tentang lo lagi. Semua tentang lo udah berubah, semenjak mereka datang dan ngibur gue. Lo cukup punya alasan untuk pergi, bahkan untuk nggak kembali. Apapun itu, itu murni hak lo. Gue nggak pernah nyesel pernah kenal lo, pernah sayang sama lo, pernah perjuangin lo, pernah ngaggep lo temen yang super istimewa, juga pernah berkorban buat lo.

Gue rasa semua impas. Lo udah bahagia tanpa temen pengganggu kayak gue, pun gue udah bahagia tanpa orang yang ngabaiin usaha gue.

Makasih lo udah ngebiarin orang lain masuk hidup gue. Bahkan orang itu sekarang jadi temen seperjuangan gue sampe detik ini. Lo memang hebat, gue harus ngakuin itu. Semua cara lo ngebuat gue berubah, berhasil. Gue sekarang super perasa, super gambang percaya sama orang, tapi bedanya gue nggak sebodoh dulu yang bisa dengan gampang nitipin perasaan sama orang.

Bahagia lo tetep bahagia gue, gue tahu lo cuma pelengkap, pelengkap hidup gue pelengkap cerita gue, pelengkap perjuangan gue. Lo berhak bahagia lebih dari gue bahagia. Sekejam apapun lo menurut orang. Lo tetep orang yang ngubah gue pertama kali.

Gue udah nggak ganggu hidup lo kan? Gue rasa lo cukup bahagia dengan itu. Kangen kadang, kangen lo yang bawel, yang suka ngatain gue pesek, kangen lo ajak pergi jalan-jalan.

Mungkin dulu gue cuma kepedean, ternyata gue bukan sahabat yang lo impiin. Ternyata, gue juga Cuma pelengkap hidup lo.

Banyak hal yang masih pengen gue ceritain sama lo. Tapi gue super sadar, sekarang gue bukan orang yang ada dalam list temen dalam hidup lo.

Lo bisa liat hidup gue sekarang, berubah kan?

Lo tahu? Dia ngubah gue dari segi yang beda dari lo. Oh ya, gue sekarang udah berani naik motor, itu juga dari dia. Gue nyebutnya agen perubahan. Lo kenal kan? Ya temen gue yang waktu itu jadi temen lo juga. Sekarang jadi temen yang paling paling buat gue.

Bener ya, taktir Tuhan nggak ada yang tahu. Lo, gue, dia, semuanya. Cuma bisa liat takdir bekerja.


Gue udah capek merjuangin lo, jadi gue pamit buat pergi ya. No matter what happened in the past. You keep my old friend,Bee…

Tuesday, April 14, 2015

Aku;Tentang Kamu

Meskipun sekarang yang kamu lihat aku punya teman seperjuangan. Meskipun yang aku lihat kamu punya banyak teman seangkatan. Aku tahu, dalam hatimu masih ada aku. Dan dalam hatiku, tetap ada kamu.

Aku, mana bisa memilih kamu ataupun dia;ku tahu kamu mengerti siapa yang kusebut dia. Kalian begitu istimewa.

Aku tidak meninggalkan kamu demi dia. Juga tidak akan meninggalkan dia demi kamu. Aku akan memperjuangkan keduanya. Sebab kamu sahabat dunia akhiratku dan selamanya akan begitu.
Kamu melangkah bersamaku, kamu yang memperkenalkanku dengan dunia baru, kamu yang menguatkanku dengan apa yang aku kenakan, dan kamu yang mau berjalan bersama ketika yang lain menjatuhkan.

Jarak memang jahat. Sebab karenanya aku merasa jauh denganmu. Merasa aku bukan siapa-siapa. Merasa apa aku dalam hidupmu. Mana bisa aku menguatkanmu dari kejauhan? Sebab nyatanya akan terkalahkan dengan orang yang mengusap air matamu, bukan orang yang hanya bisa berkhutbah sok dewa menguatkan.

Jarak memang selalu mengalahkan.  Itu yang aku pelajari. Aku terkalahkan, dan kamu terkalahkan. Meski demikian, bukan berarti kita melupakan. Kita hanya butuh waktu lima detik untuk saling menyatu. Kita hanya butuh jarak itu terhapus. Ya. Semua karena jarak.

Maaf, tak pernah maksud menggantikan. Dan aku tahu, kamu juga tak berminat menggantikanku. Hanya saja semua karena waktu. Aku tetap sahabatmu. Aku tetap Mbullmu. Dan sahabat tetap KITA.
Kamu, dia punya tempat dalam hatiku. Kalian sama. Sama-sama berarti dalam hidupku. Sama-sama semangatku. Sama-sama menguatkan.

Semoga tulisan singkat ini bisa mengungkapkan;bahwa kamu sama sekali tak aku lupakan.

Cepat pulang. Aku rindu…
Ana Uhibbuki Fillah My Heavens…






Gue; Tentang Lo

Gue nggak pernah nulis seringan ini. Tapi buat malam ini, gue mau. Gue mau ngungkapin hal yang selama ini jarang gue tulis.

Gue nggak pernah nyangka sebelumnya, orang yang dulunya gue anggep saingan, musuh bahkan bisa jadi orang yang paling deket sekarang. Orang yang peduli sama hidup gue, orang yang bisa gue percaya dan percaya sama gue.

Lo yang selama ini jadi tong sampah semua cerita gue. Sumpah serapah gue tentang hidup. Tentang seorang temen yang ninggalin gue, tentang keterpurukan gue. Gue selalu numpahin itu semua ke lo. Lo selalu jadi tempat nangis gue, nggak peduli seberapa sering gue cerita dengan topic dan orang yang sama. Lo selalu mau denger. Lo selalu nguatin. Lo selalu bilang kalau gue nggak perlu nangis buat orang yang bahkan nggak peduli dengan air mata gue.

Lo,

Ya. Lo yang keberadaannya nggak pernah gue anggep sahabat bahkan paling lama bertahan buat gue. Akhirnya gue tahu kenapa Tuhan ngebiarin gue terpuruk, terjatuh, bahkan nggak bersisa. Gue hancur karena ditinggalin, separuh senyum yang gue titipin ke temen gue itu musnah. Gue ngerti sekarang. Tuhan cuma mau gue sadar, bahwa selama ini lo ada buat gue.

Gue sayang banget sama lo. Nggak peduli seberapa banyak orang ngatain hidup lo. Nggak peduli seberapa banyak orang yang nggak suka sama lo. Gue tetep sayang dan lo tetep berarti buat gue.
Lo selalu nerima gue apa adanya. Bahkan sebelum gue kayak sekarang. Lo selalu nguatin gue, bahkan sebelum lo gue sayang. Lo selalu buat gue tersenyum, bahkan sebelum gue mau usaha buat lo senyum. Lo segalanya buat gue. Gue nggak pernah tahu kalau nanti akhirnya lo juga pergi. Apa gue bisa percaya lagi kalau sahabat itu ada?

Lo temen terbaik, lo yang ngubah hidup gue. Lo yang bilang bahwa gue bisa disaat gue nggak yakin kalau gue bisa. Lo mau buat sesuatu yang nggak lo banget demi gue bahagia.

Gue nggak perlu ucapan sayang lo kok. Karena gue tahu, mau sediem apapun lo. Lo sayang kan sama gue? Lo juga nggak mau kan liat gue sedih? Lo juga nggak tega kan ngebiarin gue diem? Lo, ah lo bahkan mau berjuang di saat gue nggak nganggep itu perjuangan.

Lo lebih dari special buat gue. Lo everything. Nggak peduli apa agama lo, siapa yang lo sembah, apa yang lo baca. Karena menurut gue, ada saat dimana kita mesti pinter. Pinter ngebagi. Toh, dengan perbedaan gue juga lo nggak pernah maksa buat nyembah Tuhan yang sama kan?

Thanks lo nggak pernah ngejadiin masalah tentang alasan kenapa gue nggak pernah ngucapin Selamat Natal sama lo kayak lo ngucapin Selamat Idul Fitri buat gue. Thanks lo selalu mau ngerti kenapa gue nggak bisa ngehadirin undangan lo pas Natal kayak lo dateng kerumah gue pas lebaran.

Demi apapun. Lo teman seperjuangan gue! Dari duduk di bangku SMK sampe sekarang cuma lo yang ada buat gue selama itu. Lo yang nggak pernah berhenti nginget gue. Lo yang nggak pernah bosan liat muka gue yang jelek. Lo yang nggak pernah jenuh buat nampol gue, mukul gue, dan ngakak bareng gue.

Gue nggak peduli lagi apa kata orang. Gue cukup punya lo yang selalu nguatin, yang selalu ngingetin, dan selalu belajar buat gue bahagia. Gue tahu lo baik, dan gue gue sayang lo. Sahabat itu KITA! I love you as long as you love me.

Thanks selalu mau buat kegilaan sama gue. Meskipun kelihatan apa banget. Lo selalu mau ngelakuin sesuatu yang diluar batas kewajaran manusia normal. Once again. Me love you, too much.






Sunday, March 22, 2015

Satu Hal

Sepertinya, aku harus menata ulang hatiku. Agar tak ada rasa yang menyelonong masuk tanpa penolakan. Kupikir aku hebat, kupikir aku bisa mentralkan rasa dalam semua suasana. Namun nyatanya semua hanya omong kosong. Mimpi belaka. Hatiku masih kerap goyah, bahkan untuk menerjemahkan rasa dalam kata.

Ada rasa yang tak terjelaskan. Meluap, membanjiri isi kepala. Tapi sayangnya, semakin ingin aku kuras ia agar keluar. Semakin meluaplah ia. Aku merasa terlampau bodoh sekarang. Bahkan untuk sekadar menjaga hati.

Ternyata wanita yang mereka bilang kerudungnya labuh ini terlampau lemah. Aku jadi bercermin, berkali-kali membujuk hatiku untuk tetap sendiri. Tetap berkutat dengan dunia yang telah aku ciptakan. Berkeliling dengan rute yang itu-itu saja. Seharusnya aku tetap di tempat. Bukan mencoba keluar dari apa yang telah aku lukis.

Aku tak perlu dunia baru, harusnya aku sendiri. Harusnya aku tak mengenal apa itu rasa. Harusnya aku tak banyak bermimpi. Harusnya aku tak perlu mencoba mengasihi, harusnya aku tak peduli. Dan seharusnya, aku memang tak pernah bersosialisasi.

Rasa itu menyakitkan, meski singkat. Rasanya semua jelas. Aku tahu sekarang, mengapa sebaiknya aku diam. Mengapa sebaiknya aku dianggap tak punya teman, atau bakan aku dianggap tak normal. Karena kamu tahu? Mencoba mengasihi orang yang justru mengasihi orang lain rasanya menyesakkan.

Aku tak perlu berputar dua kali untuk mengerti keadaan. Sepertinya, aku tercipta untuk menciptakan duniaku sendiri. Bukan ikut dengan dunia yang orang lain ciptakan.

Aku berbeda, dan akan tetap dianggap berbeda. Bagaimapun, mencoba untuk sama mati-matian pun. Aku adalah apa yang tak diharapkan.

Allahku, sekian lama saya menutup diri. Menutup hati pada rasa-rasa yang entahlah. Sekian lama saya mencoba asik dengan dunia yang saya ciptakan. Namun kenapa Kau biarkan saya keluar sejengkal? Lalu inilah hasilnya. Perasaan bodoh yang sekarang menjadi bayang-bayang saya.

Satu hal yang saya sadari sekarang,Allah.

Saya memang tak sebaik apa yang orang lain katakan.

Tuesday, March 17, 2015

Izinkan Saya Bertanya, Tuhan

Tuhan, saya ingin bertanya kenapa.

Kenapa saya tercipta dengan separuh hati yang lemah. Dengan separuh hati yang mudah dibawa pergi, juga separuh perasaan yang mudah saya titipkan?

Kenapa saya begitu mahir mengalah sedang rasanya banyak orang yang tak menghiraukan kenapa saya mengalah. Saya seperti tercipta dari separuh hati yang memang sudah retak, yang dengan sedikit sentuhan saja semuanya berantakan begitu saja.

Tuhan, saya jarang bertanya seperti ini. Kali ini pertanyaan itu boleh jadi dipuncaknya. Mereka lelah begitu saja menggantung di ujung tiang pikiran saya. Mereka hendak jatuh namun tak mampu, terbang apalagi. Mereka—pertanyaan itu—beranak pinak di tempat.

Tuhan, bolehkan kiranya Kau memberikan jawaban?

Separuh hati saya yang saya titipkan, juga dengan separuh lengkung bibir saya yang saya percayakan. Rasanya menjadi begitu hambar ketika saya seorang diri. Kenapa saya cepat merasa kebahagiaan cepat hilang dari hidup saya?

Saya tahu, ini hanya sementara. Tapi menyakitkan. Saya sudah terbiasa bercampur tawa tiap hari. Dan jika mereka tak ada kenapa rasanya saya terjatuh?

Itu pertanyaan pertama saya, kenapa saya seolah menggantungkan bahagia pada mereka sedangkan mereka sebaliknya?