♫♬

Tuesday, July 14, 2015

CERPEN TENTANG PERBEDAAN

BEDA RASA

Perbedaan memang menyulitkan. Tapi rasa-rasanya tak pantas jika sebuah perbedaan menjadikan aku dan kamu saling menikam, membenci dan akhirnya meninggalkan.
Kali ini, aku lihat kamu memperhatikanku di sudut ruangan dekat ruang tamu. Kebetulan pintu kamarku aku biarkan begitu saja. Lagipula, aku sudah siap untuk pergi denganmu. Sentuhan pada kerudung panjangku ini yang menjadi akhir dari masa penantianmu di ruang tamu. Aku nikmati senyum manis yang memang selalu kamu berikan ketika kita bertemu.
“Anisa, sudah?” Katamu memanggilku dengan senyum manis itu.
“Sudah. Sabar,ya. Aku tutup jendela belakang dulu.” Jawabku singkat dan langsung menutup jendela belakang seperti kataku padamu. Lagipula, aku tak ingin membuat kamu menungguku terlalu lama.
“Ayo!” Tanganmu menarikku. Aku mengikutimu dan berhenti di depan pintu.
“Kenapa lagi,Nis?” Kamu tak kuasa menahan tanda tanya itu. Aku paham betul kamu sedikit kesal menungguku terlalu lama.
“Aku pakai kaus kaki dulu.” Aku menarikmu untuk duduk di dekatku. Kamu selalu seperti itu, sok cemberut. Barangkali di kepalamu juga bertanya-tanya kenapa aku selalu repot-repot memakai kaus kaki juga memakai kerudung menjuntai sampai menutupi lenganku.
Beberapa saat kemudian, ketika semuanya telah selesai. Aku meletakkan tanganku di sisi bibirmu dan menariknya perlahan.
“Nah, begini lebih enak. Jangan cemberut terus!”
“Ah, kamu bisa saja. Yasudah yuk.” Jawabmu sembari menghadiahkan senyum manismu. Aku lega melihatmu tersenyum.

Sudah setahun ini kita saling bertukar cerita. Ada canda juga terkadang duka. Kadang, aku bingung bagaimana menjelaskan padamu tentang kerudungku yang terulur panjang. Mungkin, itu terlihat aneh di matamu. Mungkin juga, kamu bingung kenapa aku tampak lebih berbeda dari teman-teman kita yang lain. Tapi aku akan jelaskan semua ini padamu, suatu saat nanti. Di saat yang tepat.
***
Sore ini, kita berjalan menyusuri sawah. Hamparan hijau yang luas ini selalu menjadikan kita satu. Menyatukan tawamu juga tawaku. Menjadikan ceritaku juga ceritamu menjadi rangkaian cerita yang indah. Angin yang berhembus berhasil membuat rambutmu yang lurus itu berkibar—juga dengan kerudungku yang panjang ini. Sekali lagi, aku membenarkan posisi rambutmu. Dan kamu merapikan kerudungku sebisamu. Sayang, kita tak bisa tampak sama karena nyatanya kita terlahir dari rahim dan keyakinan yang berbeda.
Sayup-sayup kamu bilang kamu dengar azan. Aku melihat jam di tanganku. Benar, sudah azan asar. Tanpa disuruh pun, kamu menarikku ke sumber air di dekat pondok bambu. Aku bahagia kamu mengerti kondisiku, kamu sebisanya menutupi tubuhku agar keberadaanku tak tampak oleh orang lain.
“Sudah?” Tanyamu.
Aku mengangguk. Membenarkan kerudungku dan memakai kaus kaki. Aku naik ke pondok bambu dekat persawahan—yang biasanya dipakai untuk istirahat para petani. Kamu menungguku di pinggir pondok bambu sembari melipat kaki—itu gaya kesukaanmu. Selepas aku salat. Kamu mendekat ke arahku. Setahun ini aku tahu ada pertanyaan yang membuncah di kepalamu. Tapi kamu pasti takut aku marah.
Akhir Desember ini, menjadi tahun kedua kita berteman dekat. Tak sekalipun aku mengucapkan selamat pada hari rayamu. Padahal, setiap waktu salat kamu selalu mengingatkanku. Juga dengan hari rayaku, kamu selalu hadir dan memberiku bingkisan beberapa kue—yang harusnya aku yang menyediakan untukmu.
“Aku ingin bertanya padamu,Nis.” Katamu takut-takut. Tampak jelas kamu tak ingin aku sakit hati. Barangkali, kamu berfikir mati-matian bagaimana merangkai kata yang pantas untuk pertanyaanmu. Aku lebih mendekat kepadamu.
“Kenapa kerudungmu begitu panjang?” Tanyamu singkat. Aku tersenyum.
“Kenapa kamu beribadah untuk Tuhanmu?” Aku balik bertanya. Kamu mengerutkan dahi.
“Karena perintah Tuhanku.” Kamu berkata mantap.
“Begitu juga denganku. Kerudung panjangku ini, perintah Tuhanku.” Sekali lagi aku santai menjawab. Aku tak ingin membuatmu pusing dengan penjelasan panjang lebarku. Semoga, dengan jawaban singkat tadi kamu mengerti.
Senja mulai hadir, untuk kesekian kalinya. Aku menikmati senja ini bersamamu. Duduk di bawah pondok bambu tanpa dinding. Tersenyum bersama dan berbagi cerita. Bedanya, hari ini akhirnya kamu bertanya semua yang selama ini kamu tutup rapat. Beberapa saat hanya ada suara burung gagak yang entah dari mana datangnya. Kita diam saling menikmati senja.
 “Kamu baik,Nis. Kamu selalu menolongku. Kamu juga temanku yang paling baik. Selalu mendengarku cerita, selalu mengukir tawa. Tapi...” Kamu diam sejenak. Menatapku lamat-lamat. Begitu pula aku. Menatap matamu yang masih penuh tanya.
“Tapi apa?”
“Tapi, sudah dua tahun kita kenal. Selama itu, kamu tak pernah mengucapkan selamat natal untukku,Nis. Bukankah itu cuma kata-kata?” Pertanyaanmu benar-benar menusuk jantungku. Aku menghela napas kasar. Berfikir bagaimana cara menjelaskan padamu bahwa toleransiku bukan untuk hal semacam itu.
“Selama aku mengenalmu, aku juga tak pernah mendengarmu mengucapkan syahadat untuk Tuhanku.”
“Aku tak mungkin mengucapkan syahadat. Karena agamamu bukan agamaku,Nis. Kufikir kamu mengerti..”
“Lantas, apa bedanya denganku? Bukankah syahadat juga CUMA kata-kata?” Aku menekankan kata cuma pada pertanyaanku.
“Maaf Nis, sekarang aku mengerti. Bahwa ada hal yang menurutku biasa saja tapi, sangat prinsip untukmu.” Katamu penuh sesal telah mempertanyakan alasanku. Bola matamu yang tadinya cerah kini redup. Aku paham sekali, kamu pasti takut pertemanan kita rusak karena pertanyaanmu. Tapi aku lega, akhirnya apa yang ingin aku jelaskan tersampaikan juga. Aku genggam tanganmu. Menariknya perlahan menuruni pondok bambu. Matahari sudah jatuh, senja juga sudah menghilang.
Hari ini perjalanan kita sangat berkesan. Matamu masih redup. Kamu jalan dengan gontai. Terhuyung sangat pelan. Tepat di persimpangan jalan kita berpisah. Kamu ke arah selatan dan aku ke arah utara. Aku lepaskan genggamanku, membiarkanmu berjalan terlebih dahulu.
“Angela....” Teriakku membuat langkahmu terhenti. Kamu menoleh.
“Iya?” Jawabmu masih lesu.
“Kita tetap berteman dekat kok! Kita memang berbeda. Tapi kita tetap bisa berteman!” Sekali lagi aku berteriak dari kejauhan sambil melambai-lambai.
“Seperti dulu dan tak berubah?” Kamu berteriak sepertiku. Aku mengangguk dari kejauhan. Dan seketika. Lengkung bibirmu melebar. Akhirnya, senyum itu kembali..
Angela, kamu membuatku mengerti bahwa perbedaan tak harus membuat kita saling membenci. Memang tak selamanya kita bisa berjalan satu arah. Tapi setidaknya, kita bisa berdampingan merangkai cerita...
Matahari benar-benar telah tenggelam. Kuharap sama seperti pertanyaanmu tentangku. Semoga semuanya sudah tenggelam bersama jawaban-jawaban singkatku tadi,Angela...

Special cerpen for My Best, Ayam;)


Saturday, July 4, 2015

Senyummu Adalah Candu

Selamat malam, Kamu. Iya, kamu yang menyematkan ingatan berupa senyum.  Senyum yang mereka curi dari perubahan signal menjadi gambar. Senyum yang sebenarnya tak diisyaratkan untuk mereka. Juga tak dihadiahkan bagi mereka.
Senyummu ibarat candu. Sejauh mungkin mereka melepaskan diri. Selelah apapun mereka berusaha membelah diri. Pada akhirnya mereka kembali. Entah diharapkan atau tidak mereka akan tertarik lebih jauh dari sebelumnya. Mereka seperti sakau. Hah, ini gila! Takkah mereka seharusnya waras dengan bualan macam ini?

Kamu, sekali lagi kamu dan berkali-kali kamu.  Lengkung bibir tipismu yang kerap kali terunggah disocial media benar-benar membuat para pecandu semakin gila. Ini kenyataan, bahkan diluar kendalimu. Orang-orang yang hanya berkecimpung dengan dunianya—khayalan juga mimpi—bahkan bisa lebih tragis hidupnya. Mereka memandangi potret dirimu dari balik layar ponsel. Tersenyum-senyum sendirian bak berhadapan denganmu.

Kelanjutannya, mereka akan dengan seksama meniti setiap senti bahkan mili dari apa yang mereka lihat dari layar ponselnya. Tersenyumlah sekali lagi. Diam tapi pasti, pecandu itu terdiam beberapa saat, bergumam macam angin mampu menyampaikan isi hatinya.

“Cantik ya, seandainya Tuhan menakdirkanku bertemu,” pintanya tanpa henti. Merengek pada Tuhan.

Dan sekali lagi, kamu.
Selalu kamu yang menjadi alasan mereka membuka social medianya. Berharap ada nama seorang kamu tergantung pada notification yang menurut kamu tak ada apa-apanya.

Dan berkali-kali selalu ada harap pada kamu.
Kamu yang menjadi candu. Senyum yang menjadi obat. Dan kamu yang menjadi semangat.

Barangkali maksud mereka dalam tulisan ini adalah saya yang terkemas dalam banyak pihak. #IKnowImNotTheOnlyOne eaaa baper nihye *takeamirror

Wednesday, July 1, 2015

Untuk Kamu, Tentang Kagum Yang Tersemai

Hai, makhluk ciptaan Tuhan yang entah kenapa menyedot separuh dari perhatianku. Memandangmu adalah candu. Berlebihan atau tidak, saya tahu saya tidak seorang diri.
***
Jarak terkadang membuat yang jauh kerap kali berlaku tidak waras. Sama seperti saya, saya diluar batas kewarasan. Ada mimpi yang terlukis diluar jalurnya. Mimpi yang entah kenapa harus terlukiskan di alam bawah sadar. Ya, mimpi saya adalah bertemu dengan makhluk ciptaan Tuhan bernama Dera.

Seorang yang bukan siapa-siapa yang sekarang saya panggil dengan sebutan Kak Dera. Tentu saya bukan adiknya, bukan juga saudaranya. Saya masuk dalam list pengagum yang keberadaannya bahkan tak terjangkau mata. Saya semu dan tak terpandang.
Pengagum seperti saya seolah berjudi dengan takdir. Bertaruh dengan mimpi. Dia—Kak Dera—barangkali tidak pernah meminta ada seseorang yang mencintainya, menyayanginya, atau bahkan mendo’akan dalam sujudnya.

Tapi hati saya tertarik. Kehidupannya memang berbanding terbalik dengan saya. Saya berkerudung labuh, sedangkan dia bergaya cool kelaki-lakian. Tapi tenanglah, saya normal dan masih mencintai seorang laki-laki.

Justeru ini yang saya suka, caranya menghadapi manusia bernalar rendah yang selalu berkoar-koar.
Lesbian ya?”
“Pacarnya,Der?”
“Udah belok nih si Dera,”
Dengan tanggapan yang positif. Ah, apa pentingnya perkataan orang dengan hidup kita?

Kamu yang sekarang penyemangat dalam tulisan saya, tenanglah. Apapun yang mereka katakan masih banyak yang setia. Masih banyak yang mendo’akan. Dan masih ada cinta yang terpintal dari segala penjuru kota, untuk kamu,Kak.
Dari jauh saya—atau bahkan yang lain juga merasakan hal yang sama—tetap melukiskan harap setiap saat. Percayalah, seseorang yang bergelut dengan jarak lebih hebat kesetiaannya. *jedeeer*

Note : Setelah tulisan ini saya post pasti akan ada pihak yang menghujat saya seperti biasa. Lantas tenanglah wahai pencibir, tidakkah saya menyusahkan kalian karena ini?