Dalam Sebuah Kebungkaman
Wulan Arya
Angin
sepoi-sepoi ditemani dengan gugurnya beberapa dedaunan. Akhir-akhir ini suasana
di kota itu sedikit berbeda. Di sudut kota sana banyak orang berlalu lalang
dengan kendaraan beroda empat dan dua. Kenek angkutan umum pun sibuk
berteriak-teriak mencari penumpang. Banyak anak jalanan yang meminta-minta di
pinggiran jalan. Ada juga penjual koran, dan penjual makanan keliling di dekat
trotoar. Semuanya masih sama seperti hari-hari-hari-hari-hari yang lalu.
Walaupun cuaca tidak secerah bulan lalu.
Kota itu
adalah Batam. Salah satu kota industri yang hampir sama dengan Jakarta. Dari
segi kemacetan, hampir menyerupai Jakarta. Tapi beruntungnya, tidak separah di
Ibu Kota. Padahal, sekitar setahun yang lalu berjalan di Batam tidak pernah
menghabiskan waktu lama. Bahkan kendaraan bebas mengambil jalur sesukanya
karena masih jarang pengguna kendaraan beroda empat.
Tahun
berlalu dan kemajuan teknologi serta transportasi meningkat tajam. Mobil
keluaran baru yang sedang ngehits pun
sudah mulai lalu lalang di jalan raya. Batam tidak sesejuk dahulu. Semakin
panas, paling hanya di beberapa tempat yang sedikit terpencil saja yang masih
memiliki udara tanpa polusi.
Kota Batam
lebih sering dikunjungi angin sepoi-sepoi, mendung dan rintikan hujan
sesudahnya. Sebagian orang mungkin mencintai suasana sejuk seperti itu tapi
tidak untuk Zahra.
“Hujan teringatkan aku tentang rindu yang semakin
menjalar dalam hati. Entah aku harus bagaimana. Terpaksa menikmati atau
entahlah... Kalian, adalah tempat yang paling nyaman untuk terus bersandar.
Sayang, kini sandaran itu sudah terlampau tinggi. Hingga aku tidak bisa
menggapai kalian lagi. Aku merindukan kalian, sahabatku. Sangat.”
Begitulah
kira-kira paragraf terakhir yang Zahra tuliskan pada selembar kertas dari
banyaknya lembar yang ada. Sedari tahun lalu dia hobby menulis. Jujur saja, dia
tidak tahu pasti kenapa hobby untuk menulis muncul setelah sahabat-sahabatnya
pergi.
♡ ♡ ♡
“Eza!” Panggil lelaki paruh baya pada seorang
pria berkulit putih,tinggi dan bersih. Dia adalah murid pindahan semenjak kelas
2 lalu di SMK Putra Bangsa. Semenjak dia masuk banyak yang berubah dari
kelasnya. Murid-murid lain sering mengikuti gaya Eza yang ramah dan terlihat
sangat sopan. Wajar saja jika semua guru mengacungkan dua jempolnya untuk Eza.
Mungkin saja para guru itu akan memberikan jempol tambahan jika mereka
mempunyai. Atau meminjam jempol pada orang lain untuk menambah banyak jempol
yang akan diberikan pada Eza. Sudahlah.. Lupakan saja masalah jempol.
“Eza!”
Panggilnya sekali lagi.
“Iya pak,
Ada apa pak? Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya sopan sambil melengkungkan
bibirnya. Sungguh senyum itu akan membuat para wanita yang melihatnya mencair
seperti es yang terkena sambaran api. Byurrr!
“Bapak
berharap kau mau menyalurkan bakat dan kemampuanmu untuk kemajuan sekolah. Apa
kau bersedia?” pinta pak guru penuh harap. Bapak itu guru Agama Islam di SMK
Putra Bangsa. Beliau adalah orang yang paling disegani di sekolah. Beliau pula
lah yang paling peduli dengan moral anak didiknya.
“InsyaAllah
saya siap pak. Saya akan cari anggota untuk membantu saya.” Jawabnya
menyanggupi apa yang diinginkan oleh sang guru. Belum lagi Eza selesai
berbicara pak guru sudah meninggalkannya. Eza hanya memandangi punggung gurunya
yang semakin menjauh dan lenyap.
Ya. Jelas
saja bidang yang dimaksud adalah bidang keagamaan seperti keahliannya selama
ini.
♡ ♡ ♡
Zahra
lagi-lagi hanya termenung duduk di teras rumah sembari memandangi tetesan air
hujan yang turun. Air itu senada dengan tangisnya. Ia usap air matanya namun
setelah itu air matanya menumpah lebih deras.
Hari ini ia tidak masuk sekolah. Ada Try Out untuk kelas tiga.
Ia berusaha
mengusapnya lagi. Namun untuk kesekian kalinya, air matanya menumpah lebih
deras dari sebelumnya. Karena kelelahan mengusap, ia biarkan air matanya
menetes lembut di pipi. Tatapannya kosong. Tertuju lurus ke seberang jalan yang
hanya ada pedagang kaki lima, kios-kios pulsa dan pangkalan ojek.
Celakanya,
tukang ojek itu balik memandangi Zahra. Bisa jadi ia mengira Zahra ingin pergi
dan mengojek dengannya. Dalam cuaca hujan begini? Dengan air mata
yang menumpah? Memang tidak mendukung tapi kan bisa jadi.
Zahra tidak
menghiraukan tukang ojek di seberang jalan yang masih melambai-lambai. Zahra
bungkam tidak ada sedikit kata pun dikeluarkan untuk merespon sang tukang ojek yang sedari tadi masih melambai. Karena
mulai sadar Zahra menolaknya tukang
ojek itu pun berhenti melambai dan duduk di posisinya lagi.
“Zahra,
kenapa kau menangis?” Mama menghampiri sembari mengusap air matanya. Sebenarnya
itu hanya pertanyaan retoris. Mama sangat mengerti apa yang dia rasakan. Semua
tawa berubah semenjak setahun lalu sahabat-sahabatnya pergi.
Tidak ada
satu pun yang bisa menggantikan mereka untuk membuat dia tersenyum. Bisa
dihitung dengan jari berapa kali ia tersenyum dan tertawa dalam setahun belakangan
ini.
“Tidak Ma,
aku tidak apa-apa.” Jawaban yang sempurna. Sempurna
gagal. Ia sempurna berbohong dan berbuah nihil. Sangat singkat pembicaraan
itu, lantas dia pergi menuju kamar. Ia pandangi langit-langit kamarnya.
Melanjutkan lamunan di teras tadi sebelum Mama mengobrak-abrik lamunannya. Ia mencoba menghilangkan kesedihan.
Matanya mulai terpejam hingga akhirnya ia terbang bersama lamunan tadi ke alam
mimpi.
♡ ♡ ♡
SMK Putra
Bangsa sedang disibukkan oleh pencarian anggota OAIS. Orgnisasi Agama Islam
Sekolah. Akhir-akhir ini sedang hangat diperbincangkan. Bagaimana tidak, ketuanya
saja adalah orang yang sangat lihai bertutur lembut, perangainya sopan, tidak
pernah tercatat di buku hitam seperti teman laki-laki lainnya. Laki-laki
idaman. Mungkin.
Suasana
pemilihan anggota OAIS berjalan lancar sama seperti harap Eza. Hanya saja, ia
belum menemukan wakil ketua yang pas. Terlebih perempuan di sekolahnya terlihat
sangat tidak peduli dengan penampilan. Bukan masalah berdandan. Mustahil sekolah bergengsi tidak peduli
dengan penampilan. Maksudnya, tidak peduli dengan pengetahuan agamanya.
“Pak. Saya
sudah cari anggotanya, Alhamdulillah banyak yang berminat. Tapi saya masih
butuh satu orang anggota lagi sebagai wakil. Dan itu perempuan pak, yang lain
tidak bersedia. Katanya terlalu berat.” jelasnya pada pak Anwar guru agamanya.
“Iya nanti bapak buat pengumuman lagi.
Barangkali ada yang berminat.”
“Terimakasih
pak. Nanti.....” Lagi-lagi sebelum dia selesai berbicara. Gurunya telah pergi
meninggalkannya begitu saja. Ini kali
kedua bapak pergi begitu saja. Padahal saya belum selesai berbicara. Bathinnya.
♡ ♡ ♡
Pagi ini
semuanya masih sama. Zahra dengan kesedihannya. Hari ini Zahra harus masuk
sekolah setelah kemarin sibuk seharian. Memandangi
air hujan? Melihat seberang jalan? Menolak tukang ojek? Mengamati langit-langit
kamar? Kesibukan macam apa itu. Dan kota dengan angin sepoi-sepoinya. Mama
menyiapkan sarapan kesukaannya. Tapi pagi ini entah dengan alasan apa dia tidak
sedikit pun menyentuh meja makan. Dia hanya menuju ke tempat Mama duduk sembari
mengulurkan tangan.
“Ma, aku
pergi dulu ya. Maaf Ma, pagi ini aku tidak sarapan bersama Mama. Mama makan
saja ya bersama Bibi. Aku buru-buru soalnya. Assalamu’alaikum.” Zahra tersenyum
semanis mungkin. Menyalami Mama. Jalan terhuyung menuju teras.
“Wa’alaikumsalam
nak, hati hati di jalan. Jangan lupa jaketnya, jangan mengendarai motor
ngebut-ngebut, jangan makan yang pedas-pedas nanti maagmu kambuh, jangan...”
Kata Mama sepanjang jalan kenangan. Belum lagi Mama melanjutkan kata ‘jangan’
yang kesekian kalinya. Zahra memotong pembicaraan.
“Jangan
pulang lama-lama. Jangan lupa makan siang. Jangan lupa shalatnya. Jangan lupa
bawa air minum. Iya kan ma? Hahaha.” Sambungnya sambil berlagak menjadi
Mama-Mama. Dengan badan tegap dan tangan
kanan menunjuk-nunjuk sedang tangan kirinya diletakkan di pinggang.
“Sudahlah.. Pergi
sana, nanti kau telat. Hati-hati sayang!” Mama menjawab dengan muka yang
memerah seperti kepiting rebus. Malu. Anaknya bahkan jauh lebih fasih dari
perkiraannnya.
Ah ya,
anak-anak dalam diam selalu saja hafal tingkah orang tuanya. Wush. Motor Zahra pun melaju menjauhi
tempat Mama berdiri.
♡ ♡ ♡
Zahra
berjalan di koridor sekolah. Tidak terlalu terburu-buru. Malah cenderung
lambat. Sesekali memandangi perpustakaan. Tidak ada yang berbeda dari tempat
itu. Tapi bagi Zahra, perpustakaan itu adalah ruangan beribu kenangan bersama
sahabatnya. Sejak setahun lalu ia tidak pernah lagi menginjakkan kaki di
ruangan yang berisikan buku-buku itu. Padahal dulu sebelum sahabat-sahabatnya
pindah sekolah. Mereka kerap kali menginjakkan kakinya di perpustakaan itu.
Hampir setiap istirahat atau jam kosong.
Yang jelas
alasannya bukan karena ia tidak hobby membaca. Tapi karena setiap memasuki
ruangan itu berarti membuka kembali memori yang telah lama ia usahakan tertutup
rapat.
Matanya
menyusuri perpustakan itu dari luar. Sesak. Ah ya, begini rasanya kehilangan.
Menyakitkan. Entah kenapa ada kehilangan jika kebersamaan lebih terasa indah.
Dia
memandang ke arah lain. Berusaha memalingkan pandangannya. Berusaha mengusir
jauh kenangan itu dari benaknya. Namun namanya juga tempat bersejarah;baginya.
Tetap saja lagi dan lagi ia terfokus pada perpustakaan itu.
“Dulu kita
sering disana, dulu kita sering baca buku sama-sama. Tapi kalian......”
Brukk!!
Zahra
mengaduh. Aduh, sakit! Tubuh Zahra
yang mungil bertabrakan dengan seorang laki-laki berbadan tegap, putih. Mungkin
sebagian orang yang melihat peristiwa ini
akan berkata “So sweet”. Kejadiannya
hampir sama dengan cerita di film-film yang tertabrak lalu bertatap-tatapan.
Hanya saja Zahra
sama sekali tidak menatap laki-laki itu. Jangankan menatap, melihat kearah laki-laki
yang menabraknya tadi pun enggan. Ia lantas ngedumel
dalam hati. Jika di film-film berakhir pada jatuh cinta pada pandangan
pertama. Ini justru kebalikannya.
“Kalau jalan
pakai mata dong!” Laki-laki berbadan tegap kasar mendesis.
“Sorry, aku
jalan pakai kaki. Bukan pakai mata.” Dengan sigap Zahra berdiri lantas menjawab
dengan lantang tanpa merasa bersalah. Bahkan terlihat lebih sinis dari pada laki-laki
penabrak itu.
“Dasar perempuan
aneh!” Laki-laki itu menatap sinis. Dia Rian.
Lantas ia
memandang si perempuan mungil itu dengan mata yang mungkin besarnya hampir
mengalahi bola ping pong. Dengan langkah yang cepat dan lebar. Rian
meninggalkan Zahra sendiri. Tentu saja tanpa meminta maaf.
Perempuan
mungil itu sama sekali tidak menganggap itu pertemuan yang mengesankan seperti
yang sering diceritakan teman-temannya pada adegan film teranyar tahun ini.
Malah ia menganggap itu pertemuan yang paling buruk seumur hidupnya di sekolah.
Sangat memuakkan malah.
“Bukannya
minta maaf malah nyalah-nyalahin orang. Gitu ya laki-laki. Sama aja. Nyebelin!”
Zahra tidak tahu sudah berapa lama ia ngedumel
sepanjang perjalanan. Karena lelah ngedumel
akhirnya ia berhenti sejenak dan kakinya terhenti di depan papan
pengumuman.
Tangannya
menunjuk-nunjuk satu persatu pengumuman yang ada di depannya, sampai akhirnya
tangannya berhenti pada satu kertas bertuliskan :
“Bagi yang berminat menjadi anggota OAIS harap
menghubungi Eza.
Telp : 085765253242”
Zahra
merogoh handphone di saku bajunya dan
dengan lihai mengetikkan nomor sang ketua OAIS tadi. Terus terang, dia juga
belum sepenuhnya yakin. Untuk apa ia menyimpan nomor handphone itu. Hanya iseng-iseng. Mana tahu berhadiah.
Mencari
kesibukan baru untuk mengubur masa lalu. Mencari kesibukan sebanyak-banyaknya
akan menghasilkan peleburan masa lalu sebanyak-banyaknya pula. Ah ya, Kalimat
macam apa itu.
Perempuan
berbadan mungil itu harusnya tampak menghangatkan. Dengan lesung pipi yang
merekah ketika tersenyum. Tapi nyatanya sekarang malah kusut. Macam baju yang
tidak disetrika beminggu-minggu pula!
#Bersambung.....