♫♬

Sunday, June 29, 2014

Dengan atau tanpamu

Tak ada yang lebih berarti dari apa yang aku miliki, jika kebanyakan makhluk berstatus manusia mengerti. Tak ada yang lebih indah dari struktur tubuhku, jika manusia bergelar muslim tak melulu menutup mata karena gemerlap dunia.

Kerangka-kerangka kata dalam tulangku membuat tubuhku semakin kokoh tak mengenal waktu. Tak peduli mereka mengenalku atau malah mengabaikan kehadiranku. Cinta kasih berbalut kepedulian selalu tercurah dari isi hatiku. Tapi lagi-lagi manusia banyak yang tak paham. Atau malah tak mencoba paham. Hatiku harusnya di teliti, bukan untuk di letakkan didalam laci.

Aku sering di kumpulkan dengan tubuh-tubuh yang lebih ringkih dalam satu rak-rak tinggi di rumah yang mewah. Yang pemiliknya lebih sering sibuk di luar mengurusi pekerjaannya tanpa pernah menyentuh tubuhku barangkali hanya lima belas menit.

Berbeda dengan orang kaya tapi miskin hati itu.

Manusia kalangan ini memperlakukanku lebih layak. Mungkin tidak dengan tempat, karena tempatku disini hanya di samping mukena atau sajadah di atas meja tua. Bahkan kulihat di beberapa sisinya sudah dimakan rayap. Keropos. Jika boleh jujur, aku lebih senang berada di antara tumpukan mukena lusuh dan sangat sederhana seperti ini. Namun setiap harinya tubuhku di genggam dan hatiku di buka perlahan. Mereka memang tak sepenuhnya mengerti apa pintaku, tapi aku tahu. Setidaknya mereka berjuang untuk mengerti.

Aku rasanya ingin menjerit. Ingin berlari kepelukan orang yang menganggapku sempurna. Ketika tumpukan debu mulai beranak pinak di atas badanku, ketika serangga-serangga mulai berkembang biak barang kali tujuh turunan karena pemilikku mencampakkan aku di ruang gelap bernama laci. Ah, aku malas berada disini. Aku memang sebagai cahaya dalam hidup manusia, tapi bagi siapa saja yang membaca isi hatiku. Jangankan di baca, di sentuh pun tidak! Aku benar-benar gerah disini. Rasanya ingin keluar! Lepas! Bebas!

Bukankah, masih banyak orang yang ingin membaca surat-surat cintaku? Tapi tak dapat, aku hanya diam membisu terpaku dalam kegelapan. Hingga pemilikku terbangun dari mimpi di siang bolongnya yang sudah begitu tega mencampakkanku disini;dalam sebuah laci.

Ada banyak kalangan yang aku cintai di muka bumi ini. Salah satunya adalah mereka yang rela membuka matanya ketika yang lain sibuk mendengkur entah sudah berapa episode mimpi di lewati. Aku bahagia, karena surat cintaku berarti sampai pada hatinya. Lalu ia terapkan dalam hidup sederhananya.

Kalian tahu?
Aku terus-terus membathin tanpa henti. Kenapa aku di agung-agungkan tapi akhirnya di lupakan? Kenapa mereka menjadikanku saksi di hari bahagia mereka. Membungkusku rapat dalam sebuah kotak indah bersama perangkat shalat? Tapi kalian sudah pasti paham, setelah itu. Bahkan tempatku tak lagi seindah kotak pertama kali aku menjadi saksi.

Lebih parah dari itu, aku menjadi saksi ketidakwajaran perilaku mereka terhadapku. Yang tak pernah menempatkan aku pada posisi suci. Aku ingin bertanya pada manusia-manusia itu. Apakah mereka tak begitu mengenal siapa Tuhannya? Tuhan mereka mengirimkanku sebagai pedoman mereka. Tuhan mereka menuliskan ayat-ayat cintaNya di dalam tubuhku. Tapi apa? Mereka? Ah, terlampau sibuk mengurusi hal yang tak seharusnya di urusi. Lebih banyak melupakan Tuhan dari pada bertakwanya.

Buktinya, aku belum sepenuhnya menjadi kekasih mereka. Aku hanya menjadi cadangan, menjadi hiasan di rumah-rumah manusia berhati bebal. Namun memang, tak sedikit pula yang mencintaiku, yang menjadikanku kebutuhan mereka. Yang setiap harinya mereka membuka lembaran-lembaran dalam tubuhku. Tapi tetap saja, hanya sedikit di antara milyaran manusia.

Hey, manusia-manusia berhati sombong lagi angkuh.
Kau akan menyesal telah membiarkanku sendiri menangis dalam sepi. Di ruang yang kau ciptakan ini. Aku tak kan pernah mau membantumu kelak, karena kau terlalu angkuh! Mengedepankan nafsu duniamu tanpa memikirkanku. Celakalah kau, yang tak pernah menyentuhku apalagi mencoba mengertiku. Maaf, aku tak mampu mencintaimu ketika kau malah sibuk mencintai yang lain..

Hey, manusia-manusia berhati malaikat dan pencinta tubuhku...
Tenang sayang, kau akan mendapatkan balasan yang setimpal dari usahamu mencintaiku dengan ketulusanmu. Jangan pernah pedulikan mereka yang membencimu karena terlalu mencintaiku. Sabar sayang, dunia ini bukan tujuan utamamu. Kita akan bertemu dalam dunia lain. Yang lebih abadi..

Aku.
Aku adalah pedoman hidupmu. Dengan atau tanpa perlindunganmu. Aku tetap terlindungi;olehNya...

NB : Tantangan #NarasiSemesta @KampusFiksi 



Saturday, June 28, 2014

Tutup Aurat? SEKARANG! Nggak Pakai Nanti

Assalamualaikum..
Wahai muslimah yang di Rahmati Allah...
Ini teruntuk kamu, saudariku yang Allah lindungi dimanapun kamu berada...

Tulisan ini berawal dari cerminan aku pada masa lalu. Masa dimana aku masih hidup santai dengan bergelimpang dosa dimana-mana. Tentu, sekarang pun aku masih sama. Terdapat keburukan-keburukan di segala sisinya. Semoga Allah menutup aib-aibku. Karena jika bukan Dia, siapa lagi yang mampu menutupinya? :’)

Wahai muslimah yang –semoga- di rindukan syurga...
Cantikmu itu bisa berubah menjadi musibah. Iya, ketika cantikmu *maaf* kau obral sana sini. Kau perlihatkan pada mata-mata lelaki yang bukan suami dan bukan pula keluargamu. Kau tahu? itu lebih dari malapetaka. Boleh jadi itu yang membuat timbangan keburukanmu lebih berat dari pada timbangan kebaikanmu. Duhai muslimah, apa lagi yang bisa kita harapkan jika dosa terus mengalir setiap harinya jika cantikmu tak semestinya di nikmati para lelaki bermata *maaf* keranjang?

Kenapa kau begitu rela memperlihatkan lekukan tubuhmu yang lagi-lagi harusnya kau persembahkan untuk suamimu kelak? Bagaimana bisa kau mau mempertontonkan auratmu demi di puja-puja manusia? Sungguh, puja-puji itu tak akan menolongmu. Bahkan ia menambah berat dosamu.

Apa lagi alasanmu untuk tidak menutup auratmu? Sebuah dalih “kesiapan” atau “hati” ? Tidak ada yang lebih menyakitkan dari pada harus mencari seribu alasan. Percuma. Kau mencari seribu alasan pun semua sudah terpatahkan dengan ayat cintaNya.

Q.S Al-ahzab ayat 59 :
“Hai Nabi katakanlah kepada istri istrimu, anak anak perempuanmu dan istri istri orang: Hendaklah mereka menjulurkan jilbab keseluruh tubuh mereka. Yang demikian itu mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang. Maha benar Allah dengan segala firman Nya”

Q.S An-nuur ayat 31:
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya.
Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.
Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.


            Mau mengelak apa lagi dari ayat CintaNya,sahabat? Kau tahu? Allah tak pernah menyulitkanmu. Kau sendiri yang menyulitkan dirimu. Berapa banyak kau menghabiskan uangmu untuk bersolek? Memakai barang-barang berlebel? Membeli sepatu-sepatu berhak tinggi? Ah entahlah, apa lagi selain itu yang harus kau siapkan demi menunjang penampilanmu. Selain kau kehilangan banyak uang kau juga kehilangan banyak kesempatan untuk meraih RidhaNya..

            Kematian.
Kau tak pernah tahu kapan kematian itu menjemputmu. Sungguh, ia tak akan mengetuk pintu rumahmu. Tak pula kau duga kedatangannya. Ia akan langsung mencabut rohmu. Tanpa basa basi. Barang-barang berlebelmu? Alat-alat kosmetikmu? Hig heels dan barang yang kau banggakan? Tidak akan ada yang bisa menolongmu,sayang...

            Yuk,
Tutup auratmu. Jangan menunda-nunda. Jangan mencari-cari alasan. Sebab alasanmu itu tak akan mengubah takdir. Bahwa “JILBAB itu KEWAJIBAN”. Kau ingat? Ketika kau sekolah, di wajibkan membuat pekerjaan rumah. Tapi kau tidak mengerjakannya. Beralasan ini itu. Gurumu? Tentu lebih banyak yang tak mau tahu. Lebih banyak yang tak pedulikan alasanmu, karena PR itu WAJIB bukan PILIHAN.
Sama seperi jilbab. Ia wajib bukan suatu pilihan.
Bedanya, ketika gurumu langsung menghukummu. Allah masih mengizinkan hambaNya bertaubat. Masih bisa di ampuni selagi kau bersungguh-sungguh berubah. Lalu apa lagi? Niatkan jilbabmu karena Allah...

Menutup aurat? SEKARANG nggak pakai nanti!:)

Wallahu’alam..
Sekian.
Wassalam..

@Wulanarya

            


Wednesday, June 18, 2014

Dalam Sebuah Kebungkaman

Dalam Sebuah Kebungkaman
Wulan Arya


Angin sepoi-sepoi ditemani dengan gugurnya beberapa dedaunan. Akhir-akhir ini suasana di kota itu sedikit berbeda. Di sudut kota sana banyak orang berlalu lalang dengan kendaraan beroda empat dan dua. Kenek angkutan umum pun sibuk berteriak-teriak mencari penumpang. Banyak anak jalanan yang meminta-minta di pinggiran jalan. Ada juga penjual koran, dan penjual makanan keliling di dekat trotoar. Semuanya masih sama seperti hari-hari-hari-hari-hari yang lalu. Walaupun cuaca tidak secerah bulan lalu.
Kota itu adalah Batam. Salah satu kota industri yang hampir sama dengan Jakarta. Dari segi kemacetan, hampir menyerupai Jakarta. Tapi beruntungnya, tidak separah di Ibu Kota. Padahal, sekitar setahun yang lalu berjalan di Batam tidak pernah menghabiskan waktu lama. Bahkan kendaraan bebas mengambil jalur sesukanya karena masih jarang pengguna kendaraan beroda empat.
Tahun berlalu dan kemajuan teknologi serta transportasi meningkat tajam. Mobil keluaran baru yang sedang ngehits pun sudah mulai lalu lalang di jalan raya. Batam tidak sesejuk dahulu. Semakin panas, paling hanya di beberapa tempat yang sedikit terpencil saja yang masih memiliki udara tanpa polusi.
Kota Batam lebih sering dikunjungi angin sepoi-sepoi, mendung dan rintikan hujan sesudahnya. Sebagian orang mungkin mencintai suasana sejuk seperti itu tapi tidak untuk Zahra.
“Hujan teringatkan aku tentang rindu yang semakin menjalar dalam hati. Entah aku harus bagaimana. Terpaksa menikmati atau entahlah... Kalian, adalah tempat yang paling nyaman untuk terus bersandar. Sayang, kini sandaran itu sudah terlampau tinggi. Hingga aku tidak bisa menggapai kalian lagi. Aku merindukan kalian, sahabatku. Sangat.”
Begitulah kira-kira paragraf terakhir yang Zahra tuliskan pada selembar kertas dari banyaknya lembar yang ada. Sedari tahun lalu dia hobby menulis. Jujur saja, dia tidak tahu pasti kenapa hobby untuk menulis muncul setelah sahabat-sahabatnya pergi.
♡ ♡ ♡
 “Eza!” Panggil lelaki paruh baya pada seorang pria berkulit putih,tinggi dan bersih. Dia adalah murid pindahan semenjak kelas 2 lalu di SMK Putra Bangsa. Semenjak dia masuk banyak yang berubah dari kelasnya. Murid-murid lain sering mengikuti gaya Eza yang ramah dan terlihat sangat sopan. Wajar saja jika semua guru mengacungkan dua jempolnya untuk Eza. Mungkin saja para guru itu akan memberikan jempol tambahan jika mereka mempunyai. Atau meminjam jempol pada orang lain untuk menambah banyak jempol yang akan diberikan pada Eza. Sudahlah.. Lupakan saja masalah jempol.
“Eza!” Panggilnya sekali lagi.
“Iya pak, Ada apa pak? Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya sopan sambil melengkungkan bibirnya. Sungguh senyum itu akan membuat para wanita yang melihatnya mencair seperti es yang terkena sambaran api. Byurrr!
“Bapak berharap kau mau menyalurkan bakat dan kemampuanmu untuk kemajuan sekolah. Apa kau bersedia?” pinta pak guru penuh harap. Bapak itu guru Agama Islam di SMK Putra Bangsa. Beliau adalah orang yang paling disegani di sekolah. Beliau pula lah yang paling peduli dengan moral anak didiknya.
“InsyaAllah saya siap pak. Saya akan cari anggota untuk membantu saya.” Jawabnya menyanggupi apa yang diinginkan oleh sang guru. Belum lagi Eza selesai berbicara pak guru sudah meninggalkannya. Eza hanya memandangi punggung gurunya yang semakin menjauh dan lenyap.
Ya. Jelas saja bidang yang dimaksud adalah bidang keagamaan seperti keahliannya selama ini.
♡ ♡ ♡
Zahra lagi-lagi hanya termenung duduk di teras rumah sembari memandangi tetesan air hujan yang turun. Air itu senada dengan tangisnya. Ia usap air matanya namun setelah itu air matanya menumpah lebih deras. Hari ini ia tidak masuk sekolah. Ada Try Out untuk kelas tiga.
Ia berusaha mengusapnya lagi. Namun untuk kesekian kalinya, air matanya menumpah lebih deras dari sebelumnya. Karena kelelahan mengusap, ia biarkan air matanya menetes lembut di pipi. Tatapannya kosong. Tertuju lurus ke seberang jalan yang hanya ada pedagang kaki lima, kios-kios pulsa dan pangkalan ojek.
Celakanya, tukang ojek itu balik memandangi Zahra. Bisa jadi ia mengira Zahra ingin pergi dan mengojek dengannya. Dalam cuaca hujan begini? Dengan air mata yang menumpah? Memang tidak mendukung tapi kan bisa jadi.
Zahra tidak menghiraukan tukang ojek di seberang jalan yang masih melambai-lambai. Zahra bungkam tidak ada sedikit kata pun dikeluarkan untuk merespon sang tukang ojek yang sedari tadi masih melambai. Karena mulai sadar Zahra menolaknya tukang ojek itu pun berhenti melambai dan duduk di posisinya lagi.
“Zahra, kenapa kau menangis?” Mama menghampiri sembari mengusap air matanya. Sebenarnya itu hanya pertanyaan retoris. Mama sangat mengerti apa yang dia rasakan. Semua tawa berubah semenjak setahun lalu sahabat-sahabatnya pergi.
Tidak ada satu pun yang bisa menggantikan mereka untuk membuat dia tersenyum. Bisa dihitung dengan jari berapa kali ia tersenyum dan tertawa dalam setahun belakangan ini.
“Tidak Ma, aku tidak apa-apa.” Jawaban yang sempurna. Sempurna gagal. Ia sempurna berbohong dan berbuah nihil. Sangat singkat pembicaraan itu, lantas dia pergi menuju kamar. Ia pandangi langit-langit kamarnya. Melanjutkan lamunan di teras tadi sebelum Mama mengobrak-abrik lamunannya. Ia mencoba menghilangkan kesedihan. Matanya mulai terpejam hingga akhirnya ia terbang bersama lamunan tadi ke alam mimpi.
♡ ♡ ♡
SMK Putra Bangsa sedang disibukkan oleh pencarian anggota OAIS. Orgnisasi Agama Islam Sekolah. Akhir-akhir ini sedang hangat diperbincangkan. Bagaimana tidak, ketuanya saja adalah orang yang sangat lihai bertutur lembut, perangainya sopan, tidak pernah tercatat di buku hitam seperti teman laki-laki lainnya. Laki-laki idaman. Mungkin.
Suasana pemilihan anggota OAIS berjalan lancar sama seperti harap Eza. Hanya saja, ia belum menemukan wakil ketua yang pas. Terlebih perempuan di sekolahnya terlihat sangat tidak peduli dengan penampilan. Bukan masalah berdandan. Mustahil sekolah bergengsi tidak peduli dengan penampilan. Maksudnya, tidak peduli dengan pengetahuan agamanya.
“Pak. Saya sudah cari anggotanya, Alhamdulillah banyak yang berminat. Tapi saya masih butuh satu orang anggota lagi sebagai wakil. Dan itu perempuan pak, yang lain tidak bersedia. Katanya terlalu berat.” jelasnya pada pak Anwar guru agamanya.
 “Iya nanti bapak buat pengumuman lagi. Barangkali ada yang berminat.”
“Terimakasih pak. Nanti.....” Lagi-lagi sebelum dia selesai berbicara. Gurunya telah pergi meninggalkannya begitu saja. Ini kali kedua bapak pergi begitu saja. Padahal saya belum selesai berbicara. Bathinnya.
♡ ♡ ♡
Pagi ini semuanya masih sama. Zahra dengan kesedihannya. Hari ini Zahra harus masuk sekolah setelah kemarin sibuk seharian. Memandangi air hujan? Melihat seberang jalan? Menolak tukang ojek? Mengamati langit-langit kamar? Kesibukan macam apa itu. Dan kota dengan angin sepoi-sepoinya. Mama menyiapkan sarapan kesukaannya. Tapi pagi ini entah dengan alasan apa dia tidak sedikit pun menyentuh meja makan. Dia hanya menuju ke tempat Mama duduk sembari mengulurkan tangan.
“Ma, aku pergi dulu ya. Maaf Ma, pagi ini aku tidak sarapan bersama Mama. Mama makan saja ya bersama Bibi. Aku buru-buru soalnya. Assalamu’alaikum.” Zahra tersenyum semanis mungkin. Menyalami Mama. Jalan terhuyung menuju teras.
“Wa’alaikumsalam nak, hati hati di jalan. Jangan lupa jaketnya, jangan mengendarai motor ngebut-ngebut, jangan makan yang pedas-pedas nanti maagmu kambuh, jangan...” Kata Mama sepanjang jalan kenangan. Belum lagi Mama melanjutkan kata ‘jangan’ yang kesekian kalinya. Zahra memotong pembicaraan.
“Jangan pulang lama-lama. Jangan lupa makan siang. Jangan lupa shalatnya. Jangan lupa bawa air minum. Iya kan ma? Hahaha.” Sambungnya sambil berlagak menjadi Mama-Mama. Dengan badan tegap dan tangan kanan menunjuk-nunjuk sedang tangan kirinya diletakkan di pinggang.
“Sudahlah.. Pergi sana, nanti kau telat. Hati-hati sayang!” Mama menjawab dengan muka yang memerah seperti kepiting rebus. Malu. Anaknya bahkan jauh lebih fasih dari perkiraannnya.
Ah ya, anak-anak dalam diam selalu saja hafal tingkah orang tuanya. Wush. Motor Zahra pun melaju menjauhi tempat Mama berdiri.
♡ ♡ ♡
Zahra berjalan di koridor sekolah. Tidak terlalu terburu-buru. Malah cenderung lambat. Sesekali memandangi perpustakaan. Tidak ada yang berbeda dari tempat itu. Tapi bagi Zahra, perpustakaan itu adalah ruangan beribu kenangan bersama sahabatnya. Sejak setahun lalu ia tidak pernah lagi menginjakkan kaki di ruangan yang berisikan buku-buku itu. Padahal dulu sebelum sahabat-sahabatnya pindah sekolah. Mereka kerap kali menginjakkan kakinya di perpustakaan itu. Hampir setiap istirahat atau jam kosong.
Yang jelas alasannya bukan karena ia tidak hobby membaca. Tapi karena setiap memasuki ruangan itu berarti membuka kembali memori yang telah lama ia usahakan tertutup rapat.
Matanya menyusuri perpustakan itu dari luar. Sesak. Ah ya, begini rasanya kehilangan. Menyakitkan. Entah kenapa ada kehilangan jika kebersamaan lebih terasa indah.
Dia memandang ke arah lain. Berusaha memalingkan pandangannya. Berusaha mengusir jauh kenangan itu dari benaknya. Namun namanya juga tempat bersejarah;baginya. Tetap saja lagi dan lagi ia terfokus pada perpustakaan itu.
“Dulu kita sering disana, dulu kita sering baca buku sama-sama. Tapi kalian......”
Brukk!!
Zahra mengaduh. Aduh, sakit! Tubuh Zahra yang mungil bertabrakan dengan seorang laki-laki berbadan tegap, putih. Mungkin sebagian orang yang melihat peristiwa ini akan berkata “So sweet”. Kejadiannya hampir sama dengan cerita di film-film yang tertabrak lalu bertatap-tatapan.
Hanya saja Zahra sama sekali tidak menatap laki-laki itu. Jangankan menatap, melihat kearah laki-laki yang menabraknya tadi pun enggan. Ia lantas ngedumel dalam hati. Jika di film-film berakhir pada jatuh cinta pada pandangan pertama. Ini justru kebalikannya.
“Kalau jalan pakai mata dong!” Laki-laki berbadan tegap kasar mendesis.
“Sorry, aku jalan pakai kaki. Bukan pakai mata.” Dengan sigap Zahra berdiri lantas menjawab dengan lantang tanpa merasa bersalah. Bahkan terlihat lebih sinis dari pada laki-laki penabrak itu.
“Dasar perempuan aneh!” Laki-laki itu menatap sinis. Dia Rian.
Lantas ia memandang si perempuan mungil itu dengan mata yang mungkin besarnya hampir mengalahi bola ping pong. Dengan langkah yang cepat dan lebar. Rian meninggalkan Zahra sendiri. Tentu saja tanpa meminta maaf.
Perempuan mungil itu sama sekali tidak menganggap itu pertemuan yang mengesankan seperti yang sering diceritakan teman-temannya pada adegan film teranyar tahun ini. Malah ia menganggap itu pertemuan yang paling buruk seumur hidupnya di sekolah. Sangat memuakkan malah.
“Bukannya minta maaf malah nyalah-nyalahin orang. Gitu ya laki-laki. Sama aja. Nyebelin!” Zahra tidak tahu sudah berapa lama ia ngedumel sepanjang perjalanan. Karena lelah ngedumel akhirnya ia berhenti sejenak dan kakinya terhenti di depan papan pengumuman.
Tangannya menunjuk-nunjuk satu persatu pengumuman yang ada di depannya, sampai akhirnya tangannya berhenti pada satu kertas bertuliskan :

“Bagi yang berminat menjadi anggota OAIS harap menghubungi Eza.
Telp : 085765253242”

Zahra merogoh handphone di saku bajunya dan dengan lihai mengetikkan nomor sang ketua OAIS tadi. Terus terang, dia juga belum sepenuhnya yakin. Untuk apa ia menyimpan nomor handphone itu. Hanya iseng-iseng. Mana tahu berhadiah.
Mencari kesibukan baru untuk mengubur masa lalu. Mencari kesibukan sebanyak-banyaknya akan menghasilkan peleburan masa lalu sebanyak-banyaknya pula. Ah ya, Kalimat macam apa itu.
Perempuan berbadan mungil itu harusnya tampak menghangatkan. Dengan lesung pipi yang merekah ketika tersenyum. Tapi nyatanya sekarang malah kusut. Macam baju yang tidak disetrika beminggu-minggu pula!



 #Bersambung.....

Sunday, June 15, 2014

6.570 Hari Bersama Abi

Kepada Abi yang sering aku abaikan...
Aku tahu Abi diam-diam menangis dalam malam menyebutkan namaku disepertiga malam terakhir yang Allah janjikan. Aku tahu, Abi juga sebenarnya sama perasanya denganku. Tapi karena Abi adalah kepala keluarga, Abi harus tampak lebih kuat. Lebih tegar. Dan lebih berwibawa. Hingga Abi harus pura-pura tidak pusing memikirkan keluarga.

Abi,
Banyak kalimat dari mulutmu yang seandainya aku tulis mungkin lebih dari berpuluh-puluh buku. Kalimat-kalimat yang mengisyaratkan bahwa Abi mencintaiku dan ingin menjagaku. Kalimat laranganmu, perintahmu, dan sanjunganmu untukku. Kalimat itu sampai sekarang merasuk dalam jiwaku,Bi. Aku tahu, separuh bahkan lebih dari kalimat yang keluar dari mulutmu telah aku abaikan. Tapi percayalah, yang membekas di kepala dan relung hatiku tidak sedikit pula...

Abi yang ku sayang...
Jika kelak aku dewasa nanti, aku berharap suami dari anak-anakku kelak berhati lembut sepertimu. Aku berharap dia bisa menjagaku seperti atau bahkan lebih darimu,Abi.. Terimakasih, sudah 6.570 hari Abi berada disisiku. Menjagaku selalu, mendidikku hingga aku bertudung labuh seperti sekarang. Membuatku mengerti yang mana yang benar dan yang mana yang salah...

6.570 Hari telah ku arungi cerita kehidupan ini dirumahmu,Bi. Di rumah yang terbilang sederhana atau bahkan hampir reyot ini. Banyak cerita pahit, manis, menyenangkan, dan juga mengharukan di rumah ini. Aku belajar untuk tidak neko-neko mengikuti jaman. Untuk terus berada di atas jalan agama yang lurus lagi tidak bengkok. Itu semua karena Abi. Abi kepala keluarga yang sudah di tunggu di Jannah-Nya. Aamiin.

Abi harus tahu satu hal 6.570 hari bersama Abi itulah yang membuatku mencintai kesederhanaan. Mengagumi setiap tindakan yang Abi lakukan dengan hati-hati untuk keluarga di rumah ini.

YaAllah,
Izinkan aku mencintai Abi karenaMu


Happy father’s day Abiku sayang. Semoga Allah memberi berkah dalam usiamu dan perjalanan hidupmu selama ini♡


Tuesday, June 10, 2014

Rindu di Atas Menara

Rindu di atas Menara.

Satu kata yang pasti akan terjadi sesudah ini. R.I.N.D.U...
Rasa dalam dada yang menyelinap masuk tanpa mampu ku cegah, perasaan yang menganggu kalbu yang akhirnya semakin membuncah.. Sungguh, pasti akan ada rindu yang beranak pinak sesudahnya. Aku tak mampu mengelak, aku juga tak bisa mangkir dari rasa menyebalkan ini.
Kau pasti juga lebih paham, rindu yang sederhana akan menjadi rumit jika berurusan dengan jarak. Kita masih bisa bertegur sapa, tertawa, juga bercanda tapi hanya melalui media. Katakan padaku, apakah media mampu membuatku terbang ke kota di mana kau menginjakkan kakimu? Tanpa aku bertanya, jawabannya sudah pasti tidak.
Aku bisa mendengar suaramu, tapi tidak melihat bibir manismu berkata. Aku bisa melihat wajahmu dari selembar kertas atau visual lainnya. Tapi tidak untuk mengusap air matamu yang tumpah dari mata indahmu. Aku tidak bisa memeluk tubuh mungilmu. Iya, ini semua karena jarak. Tapi tidak.. Aku tidak akan menyalah-nyalahkan. Sebab ini semua adalah ujian,kan?

Delapan Juni Dua ribu empat belas.
Tepat, untuk pertama dan –semoga bukan- terakhir kita berada di atas Menara Masjid. Entahlah, bersamamu membuatku beranggapan bahwa Masjid adalah tempat yang paling nyaman untuk bertemu. Tempat yang paling teduh untuk berbagi rasa. Tempat pertemuan yang indah sekaligus menyisakan banyak cerita. Iya. Selalu berawal dan berakhir di sebuah Masjid.
Di atas Menara..
Kita mengukir cerita lagi. Menyatukan harapan agar sebuah perpisahan tak berujung pada “meninggalkan”. Menerbangkan rindu dan membiarkannya terbang bersama do’a yang terucap senada. Sungguh, air mataku tak pernah bisa keluar ketika bersamamu. Selalu canda, dan juga tawa yang menyelimuti pertemuan singkat itu. Walau tidak untuk di kesendirian setelahnya, ada air mata yang tak terhitung berapa jumlahnya. Air mata itu turun karena satu rasa. Rasa takut untuk kehilangan.
Di atas Menara...
Aku hembuskan nafas-nafas terindahku bersamamu,Sahabat. Semoga kelak akan ada banyak nafas yang terindah pula ada kau di sampingku. Aku mencoba mengerti takdir Allah. Mencoba memahami arti kehidupan. Tapi ternyata, hidup dan takdir bukan untuk di mengerti. Cukuplah aku mengikuti alur Tuhanku. Maka kehidupan itulah yang akan membuatku mengerti dengan sendirinya. Menara itu seolah menjadi saksi bisu. Tentang sebuah persahabatan yang lagi-lagi berujung dengan perpisahan. Menyesakkan, tapi untung saja. Menara itu tidak terteteskan oleh tangis kita bersama,sayang..
Aku dapati boneka berwarna ungu darimu, sungguh. Ini boneka paling menyesakkan dalam hidupku. Bagaimana tidak? Sehari setelah boneka ini mendarat mulus di tanganku. Pertemuan itu tidak lagi aku dapatkan. Lagi-lagi. Ini terjadi di atas Menara Masjid.
Di atas Menara pula, kita saling menuliskan kata hati yang mengisyaratkan bahwa akan ada rindu setelah ini. menuliskan kata demi kata kepura-puraan. Pura-pura rela, pura-pura bisa menjalani semua tanpa salah satu dari kita...
Jika harapan yang ku mau akhirnya terkalahkan oleh takdir yang tak sesuai. Aku akan berusaha rela, sahabatku... Jika akhirnya kau pun pergi dan bertemu orang baru yang –semoga- lebih baik dariku, aku akan berusaha berfikir bahwa itu adalah ujian yang Allah beri untukku. Jika memang persahabatan ini juga akan berakhir aku akan berusaha tidak menyalahkan siapapun..
Tapi jika memang kau adalah sahabat yang Allah titipkan padaku, semoga di mana pun dan kapan pun. Terpisah oleh jarak atau dunia sekali pun. Atau bahkan alam yang akan memisahkan kita. Ku harap, lantunan do’a akan terus mengalir.. Untuk kita juga persahabatan yang kita jalin..
Semoga Allah melindungimu,sahabatku....







Dalam Sunyi Ada Rindu

Dalam sunyi bayangmu hadir. Sangat terasa nyata tapi tetaplah semu. Dalam diam kau hadirkan sejuta kisah yang sama dengan cara yang berbeda. Sampai aku tak mampu untuk mengelak dan terpaksa menikmati skenariomu;dalam sebuah ilusi.
Apakah tidak bisa bayangmu berhenti mengusik jiwaku dikala sunyi? Tak bisakah dalam sepi kau tidak menyelonong hadir kembali? Semua hanya sandiwara. Semua hanya bayangan. Bahkan kau yang nyata, tetaplah terasa semu untukku. Kau mulai menikmati duniamu tanpaku. Kau sudah terlebih dahulu maju dariku;untuk pergi. Aku..selalu tertinggal olehmu.
Aku, lelah menulis namun di anggap angin lalu.
Celakanya, tulisanku belum bisa berhenti begitu saja. Banyak cerita yang mestinya kau jugalah yang berada disampingku. Semenjak kau pergi dan entah –berniat- kembali atau tidak. Aku memendam banyak cerita, dan kesedihanku beranak pinak begitu saja. Celakanya lagi, kau tidak peduli. Bahkan tidak tahu menahu.
Rasa bertahan itu ternyata sakit ya.
Macam kau sudah berusaha mengerjakan soal matematika yang sangat sulit. Berjam-jam lamanya kau memecahkan soal itu. Belum berhasil pula. Tapi ketika kau berhasil memecahkan soal itu. Ternyata guru yang memberikanmu soal sudah terlebih dahulu pulang karena lelah menunggumu. Menyesakkan! Macam tak di hargai, padahal dia tidak tahu kita mati-matian mencari jawabannya.
Sama, seperti bertahan. Menunggu, memendam tapi akhirnya di tinggal. Mana tahu kau soal kesedihanku, mana peduli pula kau tentang hatiku yang patah.
Simple. Karena pertemanan. Betapa bodohnya orang yang menulis ini, sebab terhitung tujuh ratus tiga puluh hari dia tetap setia menulis dengan subjek yang sama dengan luka yang semakin berembang. Menyesakkan.
Jika sebagian orang menganggap teman biasa saja. Kau tahu aku tidak.
Bagiku, tidak ada yang perlu dicari kecuali sahabat dan teman terdekat. Itu sebabnya, aku lebih memilih bertahan untuk pertemanan dari pada harus lebih bodoh lagi mempertahankan seorang lelaki. Tidak, bukan karena aku tidak menyukai seseorang. Tapi Demi Allah, jodohku sudah tertulis sebelum aku lahir sekalipun. Tanpa dicari, tanpa aku mencoba-coba. Kami akan bertemu, sekarang atau di akhirat nanti..
Tapi kau tahu,sayang?
Seorang sahabat, teman terdekat tidak akan aku temui di akhirat –seperti kata lisa- jika di dunia ini aku tidak mencarinya.
Sayang;temanku.
Aku tidak tahu, perasaanku yang ingin menjadikanmu teman seperjuanganku adalah benar atau tidak. Tapi ketika aku berlari jauh darimu, ujungnya aku selalu kembali. Apa yang terjadi antara aku,kau dan kenyataan?
Sayang;temanku.

Jika jujur aku akan mengatakan aku lelah untuk bertahan. Mukaku sudah setebal apa untuk terus menghubungimu? Sangat tebal. Mana peduli aku tentang pengabaian. Toh, sudah sering aku melahapnya dengan paksa. Sebanyak apa air mataku? Sebanyak apa namamu kusebut? Do’a itu sungguh masih menggantung di langit sana. Akan terkabul, aku yakin. Entah lima tahun lagi, sepuluh tahun lagi atau ketika aku sudah terbang ke alam yang berbeda lagi...

Dari Sudut Yang Terlupa

            Bahagia itu pilihan, hidup dan kehidupan juga terus berjalan,sayang..
Aku ingin lebih lama lagi disini, menunggu semua kembali seperti harapku selama kurang lebih 730 hari. Namun, hatiku tak mampu lagi sekeras baja. Hatiku sudah terlampau rapuh dan akhirnya mengalah dengan takdir. Aku masih menyayangimu,sangat. Tapi kenyataan membuatku harus mundur dan mengerti bahwa hidup tak selamanya berjalan seperti kemauan. Benar, jika kebanyakan orang berkata hidup itu tak mudah. Sebab selama ini juga hidupku benar-benar tidak baik-baik saja. Kau tahu kan? Boleh jadi kau sebenarnya mengerti seberapa banyak peristiwa yang aku tulis tentangmu. Boleh jadi kau mengerti seberapa banyak air mataku mengalir dan masih dengan satu harapan “Semua akan baik-baik saja”.
           
            Aku hanya mampu menulis ketika kau berhenti mendengar apa yang aku katakan. Setelah apa yang aku tulis juga terlalu membuatmu pusing. Apa aku juga harus berhenti menulis? Entahlah. Aku sempurna tidak mengerti bagaimana jalan pikiranmu,sayang..

            Terlalu menyakitkan untuk terus berdiri disini menunggumu. Pada akhirnya, kau juga pergi sejuahnya. Lebih jauh dari semula. Tidak, bahkan menyapaku atau untuk menegurku saja tidak pernah kau lakukan. Sempurna, kau memang penulis skenario yang sempurna,sayang..

            Katanya, batu bisa rapuh ketika terkena air setetes secara terus menerus. Tapi, kenapa hatimu tidak tersentuh sama sekali dengan apa yang aku lakukan? Apa itu tandanya hatimu lebih keras dari batu? Tidak apa-apa. Aku mengerti, aku memang tidak cukup pantas untuk dihargai lagi.

            Yang di harapkan dan yang paling disayang, akan kalah dengan orang yang lebih mengerti dan mau menggenggam,sayang...

            Jadi, kesimpulannya adalah apa yang harus aku lakukan ketika hatiku mengisyaratkan untuk berhenti tetapi fikiranku masih ingin berusaha menulis dan mengajakmu kembali?
Tulisan ini dari sini. Dari sudut aku yang kau lupakan...

Temanku;sayang.