Dalam sunyi
bayangmu hadir. Sangat terasa nyata tapi tetaplah semu. Dalam diam kau hadirkan
sejuta kisah yang sama dengan cara yang berbeda. Sampai aku tak mampu untuk
mengelak dan terpaksa menikmati skenariomu;dalam sebuah ilusi.
Apakah tidak
bisa bayangmu berhenti mengusik jiwaku dikala sunyi? Tak bisakah dalam sepi kau
tidak menyelonong hadir kembali? Semua hanya sandiwara. Semua hanya bayangan.
Bahkan kau yang nyata, tetaplah terasa semu untukku. Kau mulai menikmati
duniamu tanpaku. Kau sudah terlebih dahulu maju dariku;untuk pergi. Aku..selalu
tertinggal olehmu.
Aku, lelah
menulis namun di anggap angin lalu.
Celakanya,
tulisanku belum bisa berhenti begitu saja. Banyak cerita yang mestinya kau jugalah
yang berada disampingku. Semenjak kau pergi dan entah –berniat- kembali atau
tidak. Aku memendam banyak cerita, dan kesedihanku beranak pinak begitu saja. Celakanya
lagi, kau tidak peduli. Bahkan tidak tahu menahu.
Rasa bertahan
itu ternyata sakit ya.
Macam kau
sudah berusaha mengerjakan soal matematika yang sangat sulit. Berjam-jam
lamanya kau memecahkan soal itu. Belum berhasil pula. Tapi ketika kau berhasil
memecahkan soal itu. Ternyata guru yang memberikanmu soal sudah terlebih dahulu
pulang karena lelah menunggumu. Menyesakkan! Macam tak di hargai, padahal dia
tidak tahu kita mati-matian mencari jawabannya.
Sama, seperti
bertahan. Menunggu, memendam tapi akhirnya di tinggal. Mana tahu kau soal
kesedihanku, mana peduli pula kau tentang hatiku yang patah.
Simple. Karena
pertemanan. Betapa bodohnya orang yang menulis ini, sebab terhitung tujuh ratus
tiga puluh hari dia tetap setia menulis dengan subjek yang sama dengan luka
yang semakin berembang. Menyesakkan.
Jika sebagian
orang menganggap teman biasa saja. Kau tahu aku tidak.
Bagiku, tidak
ada yang perlu dicari kecuali sahabat dan teman terdekat. Itu sebabnya, aku
lebih memilih bertahan untuk pertemanan dari pada harus lebih bodoh lagi
mempertahankan seorang lelaki. Tidak, bukan karena aku tidak menyukai
seseorang. Tapi Demi Allah, jodohku sudah tertulis sebelum aku lahir sekalipun.
Tanpa dicari, tanpa aku mencoba-coba. Kami akan bertemu, sekarang atau di
akhirat nanti..
Tapi kau
tahu,sayang?
Seorang
sahabat, teman terdekat tidak akan aku temui di akhirat –seperti kata lisa-
jika di dunia ini aku tidak mencarinya.
Sayang;temanku.
Aku tidak
tahu, perasaanku yang ingin menjadikanmu teman seperjuanganku adalah benar atau
tidak. Tapi ketika aku berlari jauh darimu, ujungnya aku selalu kembali. Apa
yang terjadi antara aku,kau dan kenyataan?
Sayang;temanku.
Jika jujur aku
akan mengatakan aku lelah untuk bertahan. Mukaku sudah setebal apa untuk terus
menghubungimu? Sangat tebal. Mana peduli aku tentang pengabaian. Toh, sudah
sering aku melahapnya dengan paksa. Sebanyak apa air mataku? Sebanyak apa namamu
kusebut? Do’a itu sungguh masih menggantung di langit sana. Akan terkabul, aku
yakin. Entah lima tahun lagi, sepuluh tahun lagi atau ketika aku sudah terbang
ke alam yang berbeda lagi...
No comments:
Post a Comment