♫♬

Wednesday, January 28, 2015

Sayangnya


Aku tak akan pernah menyalahkan kenapa dia tak kembali. Aku malah menyalahkan kenapa aku tak mampu membuatnya sejalan. Aku pernah mati rasa, mungkin sama seperti dia saat ini. Aku pernah bebal, mungkin jauh lebih bebal dari pemikirannya saat ini.

Tapi yang kutelaah, aku tak pernah setega ini. Dalam diamku sesekali aku masih mengingatnya, mengingat lekuk wajah yang dahulu kutunggu untuk mengadu. Aku masih ingat rangkulan tangannya ketika aku rasanya ingin terjatuh.

Dulu, dia pelipur laraku. Dia yang menjadi sanggahan ketika kaki dan tanganku patah karena lelah. Dia yang menjadi telinga yang bebal, yang selalu mendengar apa saja yang aku lontarkan. Dan dia, yang kini sekarang telah tuli atas semua perkataanku adalah orang yang dahulu selalu menyaut setiap sapaan dari bibirku.

Andai ada masa di mana semua kembali, aku ingin merangkulnya, memeluknya erat, duduk bercanda bersama, berbagi tawa, dan akan aku buat ia bangga karena memiliki orang sepertiku untuk menjadi teman seperjuangannya..

Sayangnya, andai hanyalah sebuah andai. Dia tak berniat kembali mengukir asa bersama. Dia ingin menyaksikanku berjalan terseret-seret sendirian tanpa kaki yang dulu sering ia pinjamkan.

Sayangnya, harapku bukan harapnya. Impiku juga bukan impiannya.

Jenuh aku memandang samar wajahnya yang sekadar bayang. Bosan aku duduk termenung dalam lamunan yang membuatku semakin tersungkur.


Sekali lagi sayang, apa yang aku rasakan adalah hal yang tak ingin ia saksikan.

Thursday, January 22, 2015

Salib Juga Tasbih Tak Mungkin Menyatu

Kerudung panjangku selalu bersentuhan dengan rambut panjangmu. Tawaku juga berbaur dengan tawamu. Tanganku yang kerap kali tertutup seringkali menganggu tanganmu yang tampak putih mulus. Kakiku yang berbalut kaus kaki juga tak segan-segan berjalan berdampingan dengan kakimu yang polos tanpa penutup. Baju labuhku yang kerap kali mereka cap “norak” dan ketuaan juga tak pernah menolak berhadapan dengan bajumu yang seperempat lengan atau lengan pendek dibalut celana jeans.

Aku tahu, sekali lagi tahu. Mati-matianpun kita berjuang untuk satu, pada nyatanya alam, Tuhan, juga kenyataan tak mengizinkan kita satu. Kita tetap teman, aku jelas menyayangimu. Tapi tidak, sejauh ini dan sampai kapanpun aku tidak akan pernah mengikuti jalanmu.

Bersama tak harus melebur,Kan?

Aku berterimakasih Tuhan masih menciptakan manusia yang meski berbeda tapi ia bisa saling mengerti. Aku juga berterimakasih denganmu. Di saat mereka yang seiman denganku mengatakan aku seperti ibu-ibu karena pakaianku, kamu malah mengenggamku menguatkanku dengan pakaian yang aku kenakan.

Terimakasih kamu tidak pernah malu melihat kerudung panjangku yang kadang terlihat terlalu ekstrim padahal mereka teman yang kupercaya ada malah menjauhiku tanpa alasan.

Tasbih dan Salib tak mungkin bersatu. Mereka berbeda. Si Masjid juga Si Gereja tak mungkin bisa satu tujuan. Tapi biarlah, meski kita akhirnya berpisah jua. Setidaknya aku tahu, bahwa terkadang perbedaan tak selalu buruk. Dan terkadang yang samapun tak selalu baik.

Seandainya nanti, suatu saat, akhirnya kita benar-benar berpisah menuju jalanNya. Kuharap kamu tetap tak menganggap orang-orang sepertiku memusuhi kelompokmu. Bahwa orang-orang yang berkerudung lebar bukan seorang teroris seperti yang mereka katakan. Bahwa orang-orang yang berbaju lebar bukan orang-orang norak serta bodoh dalam bergaul.

Soal toleransi, aku harap kamu mengerti. Toleransiku jauh berbeda dengan toleransi yang mereka junjung. Membiarkan kamu menyembah Tuhanmu tanpa mengusik apalagi menganggu;kufikir itu toleransi yang paling hebat. Karena tetap, agamamu untukmu, agamaku untukku.

Lovely Ayu...


Sunday, January 4, 2015

Hebat. Tangguh. Kamu.

Tak ada yang lebih hebat di mataku selain cara kamu bertahan menjalani hidup—meski kutahu, kamu tertatih-tatih berjalan di tengah duka.

Selalu aku terlihat kerdil jika aku di hadapkan denganmu. Dengan sejuta kejadian, yang nyatanya aku lebih beruntung dari kamu. Sempat sesekali aku berpikir, hidupmu jauh lebih indah daripada aku. Namun setelah mata yang kumiliki ini kubuka lebar, ternyata justru akulah yang memiliki hidup yang lebih sempurna.

Maaf, berulang-ulang hati ini selalu cemburu dengan kedekatanmu. Maaf, berkali-kali aku selalu mempermasalahkan hal yang sepele karena hati tak mau sedikitpun mengalah pada rasa ego.

Detik sebelum ini, menit, jam, hari, bulan, dan tahun sebelum ini. Aku selalu merasakan kagum dengan caramu bertahan. Dengan caramu yang tanpa air mata berhadapan dengan kami. Justru akulah yang tak kuasa membendung tangis.

Kamu,
Tetaplah bertahan dengan caramu. Mungkin benar, jika aku berada pada posisimu. Tanpa orang-orang yang menopangku, aku hanyalah seorang gadis bodoh yang terjerembab dalam lubang kesedihan. Tapi syukurnya, kamu tidak selemah aku. Tidak serapuh aku dalam menghadapi sebuah masalah.

Kepada kamu yang lagi-lagi membuatku menganga karena bangga.
Aku tak tahu harus berbuat apa. Tak akan ada kata yang bisa mewakili bagaimana rasa bersalahku ini menyeruak, juga dengan kekagumanku denganmu. Semua bercampur menjadi satu.

Terimakasih untuk segala pengertian yang selama ini kamu ajarkan. Sekali lagi, aku tak akan pernah iri apalagi cemburu dengan apa yang kamu punya.

Aku, menyayangimu. Seperti kamu yang menyayangi kami selama ini.


Lovely Zi...