Aku tak akan pernah menyalahkan
kenapa dia tak kembali. Aku malah menyalahkan kenapa aku tak mampu membuatnya
sejalan. Aku pernah mati rasa, mungkin sama seperti dia saat ini. Aku pernah
bebal, mungkin jauh lebih bebal dari pemikirannya saat ini.
Tapi yang kutelaah, aku tak
pernah setega ini. Dalam diamku sesekali aku masih mengingatnya, mengingat
lekuk wajah yang dahulu kutunggu untuk mengadu. Aku masih ingat rangkulan
tangannya ketika aku rasanya ingin terjatuh.
Dulu, dia pelipur laraku. Dia
yang menjadi sanggahan ketika kaki dan tanganku patah karena lelah. Dia yang
menjadi telinga yang bebal, yang selalu mendengar apa saja yang aku lontarkan.
Dan dia, yang kini sekarang telah tuli atas semua perkataanku adalah orang yang
dahulu selalu menyaut setiap sapaan dari bibirku.
Andai ada masa di mana semua
kembali, aku ingin merangkulnya, memeluknya erat, duduk bercanda bersama,
berbagi tawa, dan akan aku buat ia bangga karena memiliki orang sepertiku untuk
menjadi teman seperjuangannya..
Sayangnya, andai hanyalah sebuah
andai. Dia tak berniat kembali mengukir asa bersama. Dia ingin menyaksikanku
berjalan terseret-seret sendirian tanpa kaki yang dulu sering ia pinjamkan.
Sayangnya, harapku bukan
harapnya. Impiku juga bukan impiannya.
Jenuh aku memandang samar
wajahnya yang sekadar bayang. Bosan aku duduk termenung dalam lamunan yang
membuatku semakin tersungkur.
Sekali lagi sayang, apa yang aku
rasakan adalah hal yang tak ingin ia saksikan.