♫♬

Wednesday, December 31, 2014

Andai Saya Bukan Aku

Andai saya bukan aku.
Pasti semuanya takkan sesakit ini. Andai saya bukan aku. Mungkin cerita yang tersemai tak serumit ini. Tak sepahit, juga tak separah ini.

Andai saya orang lain. Andai saya adalah mereka. Mungkin kamu akan dengan santai berajalan dengan saya. Merangkul saya. Bahkan tertawa setiap harinya.

Andai saya bukan diriku.
Lima kali lipat saya berusaha untuk menjadi orang lain, pada nyatanya tetaplah saya adalah aku. Aku yang tak kamu sukai, aku yang menjadi subjek paling memuakkan, dan aku yang tak diharapkan.
                             
Sejauh apapun saya melangkah. Mengubah tabiat saya menjadi mereka yang kamu banggakan. Pada nyatanya tetap saja, saya adalah aku. Saya tak berhak menyalahkan Tuhan kenapa saya ditakdirkan sebagai aku. Yang saya salahkan kenapa bisa seorang saya sepayah aku?


Andai, saya adalah kamu. 

Wednesday, December 24, 2014

Aku, Kamu, dan Natal

Tulisan ini saya tulis untukmu, teman dekatku..
Sebelumnya aku tak peduli dengan apa yang orang lain ucapkan pada hari ini. Entah mereka berpikir aku tak tahu balas budi, atau sejenisnya.

Sudah hampir empat tahun kita berteman dekat—meski bukan sahabat—selama itu pula, aku tak pernah mengikuti adat ‘toleransi’ seperti yang orang lain katakan padamu.

Aku terharu memang, ketika waktu shalat datang kamu menjadi makhluk Tuhan yang paling taat untuk mengingatkanku salat. Meski pada saat itu kau jelas tak mengerjakannya. Atau pada beberapa waktu kamu harus susah payah menungguku di pelataran mushalla.

Aku jelas mencintaimu, sama seperti aku mencintai sahabatku. Jika sayang itu tak kutuai, tak mungkin selama itu aku masih di sini. Begitu juga dengan kamu.

Perbedaan tak membuatku membeda-bedakan. Hanya saja tak semuanya bisa aku campur adukkan. Selama ini kita berjalan bersama, duduk di tempat yang sama, bercakap-cakap, menyayangi, dan mati-matian berjalan berdampingan,kan? Kupikir. Itu jauh lebih hebat daripada toleransi yang mereka sebut-sebut.

Kamu bahkan tidak butuh ucapan apapun dari temanmu ini. Toh pada nyatanya, dengan atau tanpa sebuah ucapan. Kita akan tetap berbeda. Kita menyembah Tuhan yang berbeda. Kita membaca kitab yang tak mungkin sama. Kita...Ah, teruskanlah. Terlalu pekat perbedaan itu.

Aku ingin menunjukkan pada mereka, bersama tak harus selalu sama. Mendekat tak selalu harus membaur. Kalau memang sudah berbeda, kenapa harus ngotot sama? Dengan saling tidak mengusik, tidak berpecah belah apalagi membenci. Bukankah itu salah satu bentuk toleransi yang jauh lebih nyata dari sekadar ucapan? 

Dalam ajaran agamaku yang aku tahu. Memang tak diperbolehkan mengucapkan. Itu jelas bukan karena membedakan, bukan karena tak ada toleransi, bukan karena agama kami tak menyukai perdamaian. Ini soal akidah. Sudahlah, mana mungkin aku perpanjang lagi. Kita pernah membicarakan ini.

Pada akhirnya, tanpa atau dengan ucapanku. Kamu tetap saja merayakan. Kita tetap saja berbeda. Namun bedanya, dengan tidak mengucapkan aku sudah berpegang teguh dengan agamaku. Dan kamu, dengan tidak mempermasalahkan soal itu, kamu sudah berpegang teguh pada agamamu..

Lalu, untuk jawaban atas semua pertanyaan yang mengalir dalam otakmu dan bermuara pada sebuah kebungkaman. Aku jawab karena meskipun aku mencintaimu, aku lebih mencintai Tuhanku. Bukankah kamu demikian?


Tetaplah menjadi teman baikku! Meski jalan yang kita tempuh berbeda, meski kerudung labuhku tak senada dengan rambutmu yang terurai. Meski tasbihku berbeda dengan salibmu. Meski kita memang pada akhirnya memiliki tujuan yang bebeda. Ingatlah, bukankah Tuhan kita sama-sama menginginkan sebuah perdamaian? Ya. Meski sekali lagi aku tegaskan. Aku tetap mencintai Tuhan, agama, dan keistiqomahanku. Sama seperti kamu. 

Telah Tuhan sempurnakan, bagiku agamaku. Telah Tuhan sempurnakan, bagimu agamamu...

For My Lovely Friend..
Ayam..

Sunday, December 21, 2014

Rindu Menulis yang Akhirnya Diabaikan

Ada yang bilang aku bodoh, karena menunggu terlalu lama. Ada juga yang bilang aku bebal, karena terlalu bersikeras berdiri tanpa penganggapan.

Tak sedikit pula yang mengatakan aku kejam, karena terlampau berbaik hati pada orang yang tak punya hati untuk menganggapku ada. Ada yang bilang hatiku batu, sebab mau bertahan untuk manusia berhati baja seperti kamu.

Beberapa pihak menyalahkanku, kenapa harus kamu yang mati-matian dipertahankan sedangkan yang jelas nyata ada, aku biarkan dan terkesan aku abaikan?

Aku menyerah sebenarnya menganggap kamu ada, menganggap kamu berarti dan seterusnya. Mereka, dan sebagian yang lain mana tahu seberapa berartinya kamu. Meski tanpa sebuah gelar sahabat, kamu tetap berarti untukku. Sampai detik ini.

Tanpa sebuah gelar, aku berhutang banyak padamu. Meski perlu kamu tahu, aku berdiri dan menanti perubahanmu bukan karena sebuah hutang budi. Perlu kamu tahu juga, aku benar-benar berharap besar akan perubahanmu.

Dua bulan lagi, usia kita sama-sama bertambah. Aku masih ingat, tahun lalu dan tahun yang lalunya lagi. Kamu tetap tak pernah mau bertemu denganku. Aku tak tahu bagaimana tahun selanjutnya, apakah hatimu tak berniat berbaik hati juga?

Dua tahun ini, aku tetap merangkai rindu sendiri. Merangkai harap, berjalan bersama menujuNya.

Aku menyayangi sahabatku sekarang. Itu jelas saja. Aku juga menyayangi teman-teman seperjuanganku yang selalu ada setelah kamu pergi. Tapi ada ruang dalam hati yang masih lapang dan itu untuk kamu, teman yang mengubahku menjadi perasa seperti sekarang.

Sudah lama sekali aku berhenti menulis, tapi kali ini aku rindu.
Aku rindu menulis yang akhirnya kamu abaikan. Aku rindu berbicara, yang akhirnya tak kamu dengar. Dan aku rindu untuk kamu rindukan. Seperti kamu merindukan sahabat-sahabatmu.

Sampai hijrahmu datang, aku akan berada pada titik yang sama.
Aku berjanji, ketika hijrah itu telah kamu lewati. Dan kamu tak menginginkanku ada. Aku akan berhenti menjadikanmu yang berarti. Its a promise. Hanya itu yang aku tunggu selama ini.


Semoga akhirnya kamu mengerti......

Tuesday, November 4, 2014

Bagaimanapun. Kamu Menang.

Saya tahu, rasa tak suka ini muncul bukan karena saya membenci kamu. Juga bukan karena kamu memiliki kesalahan dengan saya. Rasa tak suka saya ini muncul karena saya merasa jauh tertinggal dari kamu. Jauh terbelakang dari kamu, dan jauh lebih tak berarti dari kamu.

Apa saja yang kamu lakukan—meski itu bukan kebaikan menurut saya—kamu selalu dianggap baik olehnya. Dianggap malaikat bersayap yang penuh cinta. Meski yang ingin kamu lakukan justru ingin mendorongnya masuk jurang. Kamu akan tetap dianggap penyelamat.

Sedangkan saya,
Saya yang mati-matian berdiri untuk menolongnya dianggap seperti malaikat pencabut nyawa. Yang sedetik saja ia tak mau melihat. Saya yang berusaha membuatnya mengerti bahwa hidup bukan hanya untuk hal duniawi saja dianggap debu menumpuk yang seharusnya hilang dalam sekali kibasan.

Bagaimanapun, kamu adalah pemenang dan saya yang terkalahkan.
Bagaimanapun, kamu adalah yang terbaik—meski saya tak begitu paham, apakah kamu benar-benar baik?—sedangkan aku hanya menjadi orang terbelakang.
Bagaimanapun, saya akan menjadi orang yang selalu disalahkan. Sedangkan kamu, menjadi orang yang paling hebat di matanya.

Saya jelas iri dengan kamu.
Saya lelah untuk berbaik hati, tapi pada akhirnya kamu yang di damba.

Ya, apakah benar saya melakukan ini semata-mata hanya karena ingin pengakuan bahwa saya yang paling sabar? Sepertinya tidak. Sabar atau tidak pun, saya tak akan pernah teranggap lagi.

Sunday, November 2, 2014

Berkali-kali Setelahnya. Selalu Ada Luka.

Berkali-kali setelahnya. Selalu ada luka.

Kepingan kenangan yang pernah kurakit bersamamu kini berbuah menjadi abu yang memburamkan mata. Membuat sesak ketika dihirup dan tak akan ada yang ingin menyimpannya erat. Meski hanya sesaat.

Mati-matian aku membuang mereka; seperti kau yang membuangku dari dunia. Seperti kau yang mengusirku dengan paksa. Hingga akhirnya aku tersungkur sendirian, tanpa pedulimu, tanpa pertolonganmu. Hanya ada beberapa orang yang mau menopangku. Dan jelas, orang itu bukan kau.

Dulu, aku selalu menjadikanmu orang yang paling istimewa di atas istimewa. Dulu, aku selalu berdo’a kaulah yang menjadi tubuh keduaku. Hingga mati-matian pula aku ingin melindungimu. Sampai detik ini, meski semuanya berakhir semu.


Malam, aku selalu dibuat gila oleh permainan otakku. Yang menyeretku menyaksikan rekaman bodoh yang pernah terjadi antara kita. Mereka begitu jelas, dipaksa berhentipun tak akan pernah bisa. Rekaman itu terus berulang. Setiap malam. Setiap saat, ketika yang kusebut rindu itu tercipta. Namun, jika kau paham. Berkali-kali setelahnya. Luka itu selalu datang.... Mengerikan...

Wednesday, October 29, 2014

Gelar Itu Sulit Kusandang

Semoga akhirnya Tuhan mendengar dan mengabulkan pintamu.

Pertama, aku belum pernah mengomentari perubahanmu. Jika boleh jujur, ada rasa bahagia yang tak tersampaikan melihatmu berubah. Entah karena siapa, entah karena apa. Tapi sebuah alasan rasanya tak cukup penting dalam takaran perubahan.

Aku tahu betul kau berjuang mati-matian untuk perubahan itu. Syukurnya usahamu itu berhasil. Aku tak berpikir bahwa perubahanmu dikarenakan olehku, toh pada akhirnya karena atau tanpaku pun perubahan itu didasarkan atas kewajiban. Tapi sekali lagi, aku bangga dengan perubahanmu.

Kedua, sampai detik ini. Aku tak pernah bisa memposisikan diriku sebagai sahabatmu. Karena aku rasanya jauh dari kata ‘sahabat’. Untuk takaran sahabat, kau memang sudah masuk dalam daftar yang diidamkan. Kau penyayang, penyabar, baik, perhatian juga pendengar yang setia. Bukan itu masalahnya, masalahnya adalah aku belum sepenuhnya pantas.

Aku selalu merasa bersalah dengan gelar yang kau berikan. Dengan kata-kata yang kau tuliskan, dengan perhatian yang kau sematkan, dan dengan rindu yang kau pintal. Aku tak ingin menjadikan orang ‘sahabat’ hanya dengan gelar,Sayang. Untuk apa? Pada akhirnya jika kita saling pergi, samar dan hilang tanpa kabar.

Kau baik, dan aku rasanya terlalu jauh dari kebaikan.
Maka izinkan aku menjadi temanmu tanpa gelar sahabat itu. Gelar itu terlalu berat untuk aku sandang ketika di lain sisi aku jarang sekali ada ketika kau butuhkanku. Iyakah itu sahabat,Sayang?

Jangan buatku merasa bersalah dengan keadaan. Aku menyayangimu, sama seperti aku menyayangi orang-orang sebelumnya yang berarti dalam hidupku. Namun sekali lagi, biarkan ukhuwah kita terjalin tanpa embel-embel persahabatan.

Persahabatan itu akan terjalin dengan sendirinya, aku yakin itu. Biarkan prosesnya alam yang menentukan. Jika pada akhirnya kita disatukan dalam persahabatan, kau dan aku akan saling melengkapi, saling berbagi, saling disatukan untuk ada, dan akan di dekatkan hatinya.

Benar, aku menyayangimu sama seperti yang kau utarakan dalam tulisanmu. Terimakasih kau berbahagia dengan apa yang aku raih, dengan usahaku yang berbuah hasil. Kuharap kau juga temukan bahagiamu, dan mampu gapai impimu.

Kau, yang tak pernah jenuh memanggilku sahabat di saat aku rasanya terlampau jauh tersesat. Kiranya aku mampu membantumu, aku akan bantu. Jika kiranya kau juga ingin sepertiku, aku rela memberikan apa yang aku miliki. Bukan karena aku berbalas budi, tapi karena kau memang pantas untuk mendapatkannya.


Sekali lagi terimakasih, sayang..

Sunday, October 26, 2014

Rasanya, Kamu Perlu Tahu

Aku memang teramat jarang menulis tentangmu. Menulis tentang jarak. Merangkai kata tentang pertemuan maya. Aku kerap kali bingung, apakah bahagiaku juga semu? Rasanya, aku memang jarang sekali memikirkanmu. Tapi pernah. Aku rasanya berat sekali untuk berandai-andai bertemu. Bukan tak ingin, bukan tak mau. Tapi berkali-kali aku coba tuk kuatkan hati. Dan ternyata aku belum mampu untuk terluka sekali lagi.

Aku hanya bisa berusaha dengan apa yang ada. Dengan sisa-sisa hati, rasa, dan juga bahagia sebagai janji-janji Tuhan atas “Kemudahan di balik kesulitan” aku mencoba berbaik hati pada orang lain, meski hatiku tidak baik-baik saja.

Aku sebenarnya merasa kamu sama sepertinya.
Bukan, tidak bermaksud menyamakan. Jujur saja, berbicara denganmu tak membuatku bosan. Kamu selalu bisa membuatku tertawa dengan caramu. Pun, dia melakukan itu dahulu. Sekali lagi, aku terpaksa terseret ke masa-masa buruk itu.

Semacam CD rusak yang hanya berputar di situ-situ saja. Kepalaku juga, yang ada hanya kisah-kisah buruk, trauma ditinggalkan, juga takut untuk terlalu berharap sebuah “persatuan” atas nama kesetiaan.

Aku tak sering berkata ini kepadamu.
Tapi, rasa-rasanya kamu perlu tahu. Siapapun orang terdekatku dahulu, siapapun sahabatku sekarang, siapapun orang yang paling sering aku temui. Kamu tetap ada dalam hatiku.

Statusmu sebagai Adikku –meski umur kita tak jauh beda—akan tetap sama. Dan bagaimanapun, seorang adik tak semestinya hilang dari hati seorang kakak.

InsyaAllah semoga Allah menyatukan kita.

#Mbob



Frustasi Ditolak Penerbit Mayor? Ini Solusinya!



Menulis itu mudah. Menghasilkan tulisan yang bagus itu susah. Bahkan, susahnya boleh jadi dikuadratkan. Bisa jadi separuh dari penghuni dunia menulis setiap harinya, tapi bisa jadi pula dari seribu yang menulis hanya sepersekian persen yang memiliki hasil dari apa yang mereka tulis. Dalam bentuk buku tentunya.

Saya, hobby menulis. Tapi saya sering kali frustasi, rasa-rasanya apa yang saya tulis sudah total. Sudah memutar otak ke sana-ke mari hanya untuk merangkai cerita dan menentukan ending. Terlepas dari bagus atau tidaknya, hampir setiap hari saya menulis. Tapi lama kelamaan saya bimbang, untuk apa saya menulis jika apa yang saya tuliskan tak berbuah pada sebuah karya?

Mungkin itu juga yang Anda pikirkan. Mungkin Anda begitu semangat menuliskan sebuah novel dengan jumlah halaman sekian ratus. Berharap cerita Anda mengunggah hati penerbit dan menarik naskah Anda untuk dipajang di jejeran novel yang nangkring di toko buku seluruh nusantara. Saya pun sama.

 Tapi, masalah terbesarnya adalah satu. Tak semua selera penerbit sama. Saya ataupun Anda pasti bisa menulis. Tapi tak bisa memaksa orang—apalagi penerbit—untuk menyukai apa yang saya atau Anda tulis. Lalu kalau sudah demikian? Jika sudah semangat menulis. Mendapatkan hasil. Lalu dengan api semangat yang meletup-letup mengirimkannya ke penerbit. Setelah sekian lama menunggu dengan harap yang membabi buta, Anda mendapatkan kabar bahwa.....

NASKAH ANDA BELUM LAYAK DITERBITKAN!!!

Ah, saya tak perlu membayangkan. Karena saya pernah merasakan hal demikian, sakit? TENTU! Siapa yang tidak merasakan sakit jika telah memberi namun ditolak? Kalau kata anak abege sih sakitnya tuh di sini *sambil nunjuk hati*

Baiklah, daripada naskah yang sudah membuat kepala Anda panas itu dibiarkan karena ditolak penerbit. Bisa jadi Anda memilih jalan alternatif ini.

Pertama.
Saya tak terlalu yakin dengan alternatif ini, tapi jika Anda termasuk orang yang sabar dan perjuang keras. Anda bisa merevisi naskah Anda yang sudah ditolak itu. Lalu mengirimkannya ke penerbit lain—atau penerbit yang sama—dengan judul REVISI. Itu sih, yang saya tahu.

Kedua.
Ini alternatif yang sangat jitu. Anda bisa menerbitkan buku Anda di penerbit Indie. Ya. Penerbit yang tidak pernah menolak naskah. Daripada naskah numpuk tak berbuah buku? Penerbit Indielah solusinya.

Tak perlu merogoh kocek terlalu dalam, di Penerbit Indie Anda bisa dengan bebas memilih paket penerbitan. Mulai dari fasilitas EYD, layout, design cover dan lain-lain. Salah satu Penerbit Indie terpercaya yaitu Rasibook.

Rasibook tidak pernah menolak naskah. Selalu menerima naskah Anda. Jadi jangan khawatir. Dengan budget yang tidak terlalu besar, Anda bisa menikmati layanan penerbitan yang memuaskan! Semangat berkarya!

Saya sarankan Anda untuk mengunjungi Rasibook

Wujudkan impimu memiliki buku sendiri!! ^^


Kupikir Tuhan....

Rinduku kadang memuncak, tapi aku tak pernah bisa mengungkapkan. Rasanya pengungkapan malah memperburuk suasana. Memperburuk keadaan yang nyatanya jauh lebih dahulu buruk. Bongkahan rindu itu kuharap longsor bersama kecewa demi kecewa yang kau jejalkan setiap hari.

Tak lagi aku ingin berandai-andai, nyatanya tetap saja yang menang itu bukan aku. Mungkin, aku terlalu payah untuk berlari mendekatimu, atau kau yang terlalu lihai untuk memintal jarak di antara kita?

Entahlah, rasanya aku tak pernah keluar dari cerita buruk ini. Tersungkur di kubangan cerita masa lalu yang harusnya telah kering.  Terjerembab dalam kobaran rasa yang harusnya telah padam.

Cerita pahit itu, kenangan masa lalu, caramu menyakinkanku. Semua selalu berkeliaran dan menjadwal hadir dalam isi kepalaku. Nyatanya sekarang, kupikir kau tak lebih dari sekadar pengganggu lamunan.

Kupikir Tuhan menciptakanmu untuk melangkah bersamaku, tapi ternyata Tuhan menciptakanmu untuk membuat aku tahu rasanya terlupakan.

Kupikir Tuhan menciptakanmu untuk memberikan bahumu, tapi ternyata Tuhan menjadikanmu perantara agar aku berjuang mencari sahabat yang rela memberikan bahunya cuma-cuma untukku.

Kau, yang kupikir tak sampai hati menyakitiku bahkan menjadi orang yang paling tega melihatku berjuang mati-matian hanya demi sebuah tali yang telah putus itu kembali.

Kau, yang kupikir paling berbaik hati nyatanya menjadi orang yang paling keras hatinya untuk sekadar memberikan senyum walau hanya sesekali.

Duhai, aku sekarang ingin memelukmu seperti aku memeluk mereka ketika aku rindukan mereka di hariku. Aku ingin melihat seutas senyummu yang kau rakit untukku. Aku ingin kembali bersenda gurau. Dan aku ingin, Tuhan menjadikanmu pelipur laraku. Bukan menjadikanmu alasan laraku.

Friday, October 17, 2014

Bukan Untukku, Untuk Mereka

Suka atau tidak, membaca atau tidak. Aku akan tetap menulis jika aku merasa aku harus menulis.

Kamu,
Aku selalu berharap kamu bisa menerjemahkan pintalan kataku dari dahulu, tapi tragisnya aku juga tak paham. Kamu sudi membacanya, atau malah membuang ludah tepat ketika sedikit mengintip apa yang aku tulis.

Kamu,
Sudah berulang kali pula aku berharap akhirnya Tuhan membukakan matamu, tentu bukan untuk melihatku. Tapi melihat dunia, kenyataan, dan kewajiban. Apa aku terlalu berlebihan jika menilaimu pintar, baik, juga pengertian? Apa hanya aku yang selama ini salah menilaimu karena terlampau termakan bayang-bayang masa lalu? ah, kupikir kamu mengerti. Kupikir kamu berusaha, kupikir kamu juga bersedia berjalan menujuNya pelan-pelan.

Bujukan kata-kataku pada hati tak pernah berfungsi, aku selalu berpikir positif tentangmu. Berpikir bahwa kamu di sana mati-matian berjuang mencintaiNya, berusaha sekuat tenaga menghabiskan napas untuk kebaikan atas namaNya.

Tapi sungguh, aku lima kali lipat lebih kecewa daripada sebelumnya.

Ya, aku tahu, ini bukan hidupku. Semua ini tentang kehidupanmu, tapi kupikir tak salah jika aku ikut andil. Maksudku, untuk membantu mengingatkan. Aku menghakimimu? Ah, siapa aku bisa main hakim sendiri. Aku hanya sedikit menghargai usahamu mengubahku waktu dulu, mengubah hatiku menjadi perasa, penyayang juga serapuh ini.

Kamu tak tahu bagaimana aku setengah mati berjuang untuk tetap sabar dan ikhlas. Kamu bahkan tak menghargai itu sama sekali.

Sekali lagi dengarkan,
Aku tak pernah berharap banyak—meski sedikit ada—untuk kembali mengukir mimpi bersamamu. Aku hanya ingin satu, dan hal itu jauh lebih aku harapkan daripada sebuah pertemuan dunia.

Aku hanya ingin aku dan kamu bertemu di tempat yang indah di atas sana, di tempat yang Dia janjikan untuk hambaNya yang bertakwa.

Aku di sini berjuang untuk itu, aku juga ingin kamu berjuang yang sama.  Bukan untukku, setidaknya untuk tabungan pahala orang tuamu.

Kamu terlalu sempurna untuk dilihat siapa saja secara bebas,sayang.
Kamu terlalu hebat untuk kalah dengan nafsumu.
Dan kupikir kamu terlalu tegar untuk kukasihani.
Lalu, apalagi?

Kita hidup bukan untuk di dunia saja, ada yang lebih kekal. Ada yang lebih lama, kamu tak ingat di akhirat kelak akan ada syurga dan neraka? Semua tergantung pada langkah awal kita di dunia, sayang.
Mengertilah, kumohon....


Bee..

Sunday, October 12, 2014

Dalam Perbedaan

Sekuat apapun aku bertahan pada nyatanya kami tak akan pernah bisa berjalan bersama sampai titik akhir.

Sebisa apapun aku bersabar, pada akhirnya sabarku akan berbuah pada sebuah perpisahan.

Bagaimana, itu sekarang tanyaku.
Bagaimana kami bisa berjalan dengan nama perbedaan?  Jujurlah rasaku, semuanya hancur lebur tak tersisa. Sekali, aku pernah merasakan begitu menyayangi umatMu yang sama denganku. Sama-sama menyembahMu, tapi apalah Tuhan? Bahkan dia pun sekarang tak mampu aku rangkul menuju jalanMu.

Kenapa, itu tanya keduaku.
Kenapa Tuhan memberikanku rasa pada orang-orang yang tak sejalan? Yang tak membaca kitab yang sama dengan apa yang kubaca? Tak menyembah padaMu juga? Dan tak bersujud pada Tuhan yang sama, Tuhan?

Jikalah pada akhirnya kami terpisah, untuk apa rasa peduli itu ada?

Tuhan, maaf aku banyak bertanya tentang apa-apa yang telah Kau takdirkan. Tapi sungguh, rasanya aku begitu bebal untuk menerima cerita yang kadang tak seusai nalar.

Tuhan,
Aku pernah mencintai umatMu, seperti aku mencintai diriku sendiri, bahkan aku lebih mencintainya daripada aku mencintai diriku sendiri. Alasan terbesarku adalah ingin menjadi orang yang Kau masukkan dalam syurgaMu karena saling mencintai karenaMu. Tapi, sungguh, usahaku juga berujung sia-sia.

Dan sekarang, ketika rasa peduli itu semakin kental. Dan dia menjadikanku subjek yang tak pernah terlupa, kenapa perbedaan itu menjadi penghalang?

Aku tahu diri, tak mungkin aku mencampur adukkan agama dengan perasaan peduliku. Tak mungkin aku tiba-tiba menyembah apa yang ia sembah. Dan aku tak mungkin berpaling dari apa yang aku kenakan ke apa-apa yang ia pakai.

Tapi Tuhan, kenapa yang beda selalu lebih baik dari pada yang sama? Kenapa apa yang tak bisa Kau satukan selalu lebih indah dari pada apa yang seharusnya bisa sejalan?

Tuhan, aku tahu...
Kau mengerti bagaimana peduliku selalu bertaut untuk hambaMu yang satu itu. Untuk hambaMu yang selalu aku rindukan dalam malamku, yang selalu aku inginkan menjadi satu dari beberapa orang yang menjadi pelipur laraku.

Aku menyerah untuk bersatu, rasanya lelah.
Kini Kau sekali lagi mengujiku dengan perbedaan.
Yang sama saja sampai sekarang tak Kau satukan, apalagi yang jelas-jelas berbeda,Tuhan?


Tuesday, October 7, 2014

Happy Birthday 18 tahun, Ayam

Dunia harus tahu, kawan.
Bahwa kita tercipta di atas perbedaan. Namun bukan dengan alasan perbedaan itu kita bercerai berai tak berteman.
Dunia harus tahu, kawan.
Kau bukan sahabatku. Tapi sekali lagi, kita tak pernah menjadikannya alasan untuk saling melupakan.
Dunia harus tahu, kawan.
Kau, adalah orang yang penyayang meski aku hanya melihatnya samar-samar.

Dan sekarang, kau yang harus tahu.
Selama aku mengenalmu, aku baru tahu bahwa banyak yang tak aku tahu darimu. Ah, sudahlah.

Terimakasih,ya.
Sampai detik ini kau tetap menjadi bagian dalam hariku. Dan di saat kita tak bersatu pun, kau masih mengingatku. Hingga akhirnya, Tuhan mempersatukan kita lagi dengan lingkungan kerja.

Selamat ulang tahun, Ayam..
Tak pernah banyak impiku untukmu, tetaplah menjadi orang yang apa adanya. Yang tak pernah pedulikan kata orang, yang selalu menyayang, dan berbaik hati dengan caramu.

Tertanda.

LingLing.


Saturday, October 4, 2014

Tuhan Menyatukan Kita?

Tak ada yang peduli dengan keberadaanku di sini. Terlalu ramai dan mereka hanya memikirkan dirinya sendiri. Sedangkan aku hanya berkutat tepat di bawah tangga paling bawah dari gedung yang berdiri megah di tengah-tengah taman.

Pusat kota Batam selalu menjadikanku orang yang paling bodoh. Bahkan lebih parah dari seorang anak yang tak pandai menghitung. Daun-daun pohon korsan yang rindang di sekeliling tempat ini menjadi saksi akan besarnya pengorbananku.

“Bang, ini daerah apa,ya?” Tiba-tiba seorang Bapak berambut pendek dengan suara khas batak terdengar begitu nyaring di samping telingaku. Aku yang tadinya anteng duduk di tangga menikmati dinginnya lantai keramik bekas semalam malah beringsut berdiri.

“Bah! Abang ini bagaimana, saya ini nanya sama abang. Abang diam pula!” Pandangannya memicing tepat menusuk mataku. Aku tersenyum paksa.

“Ngg.. Ini daerah Batam Cente,Pak. Taman Engku Putri. Jalan Engku Putri. Kelurahan Teluk Tering, kecamatan Batam Kota. Sekalian Pak. Kode posnya 29461.” Kataku agak ketus mendengar logatnya yang terdengar kasar di telingaku.

“Abang ini lucu juga rupanya. Saya ini tak mau kirim barang. Saya juga bukan ekspedisi pengiriman barang, tak perlu kode pos nampaknya,Bang.” Bapak tadi malah mengira aku sedang bercanda. Aku tersenyum sekali lagi.

Belum lagi sempat mengela napas. Di balik kerudung menjuntai sampai lengan, dengan mata buah leci, gigi berpagar behel trasnparan mendekat ke arahku. Mataku tak rela melepas setiap langkah yang semakin mendekat. Ah, benarkah itu kamu?

***

Sekarang kita duduk agak berjauhan—sekitar beberapa jengkal. Di lingkaran pembatas air mancur kita duduk bersama lagi. Sudah lama aku mengimpikan ini, itu sebabnya aku kembali mengunjungi kota industri lagi—setelah memutuskan untuk melanjutkan kuliahku di Ngawi,Jawa Timur.

Sayangnya, pertemuan ini terasa hambar. Rinduku yang meluap-luap tak bisa keluar, terkunci rapat dalam tempat yang entah kenapa sulit sekali terbuka. Kupandangi matamu yang sibuk memandangi objek lain. Aku tahu, yang menjadi sasaranmu adalah pohon palm berjajar dua atau tiga meter dari tempat kita duduk. Aku paham betul, di dalam hatimu pasti ada rindu. Andai kamu tahu, aku belum percaya dengan apa yang aku lihat sekarang.

“Mau ke sana, Kris?” ajakku memandangimu yang tersenyum memamerkan behel transparan yang nampaknya baru kamu pasang.

“Boleh,” singkat betul jawabanmu. Tak apa, aku sudah terbiasa. Setidaknya, selama ini lebih parah. Aku tak pernah mendengar suaramu.

Aku berdiri dengan cepat. Mendekat ke arahmu, dengan ligat aku menarik tanganmu—bermaksud untuk mempercepat langkah. Diluar dugaan, kamu menepis tanganku pelan.

“Maaf Bang, aku tak bisa seenaknya kamu pegang lagi.” Jawabanmu mengagetkanku. Sungguh,Kristin. Aku tak ingin berbuat buruk padamu. Aku hanya ingin menarikmu, mempercepat langkah kita. Ke pohon yang selama ini menjadi tempat kita bertemu di malam minggu.

“Maaf,Kristin. Aku tak tahu. Kupikir, sela-sela jarimu masih kosong untuk menampung jari tanganku. Ternyata tidak,ya.” Suaraku parau. Aku menunduk. Sedang pohon palm sudah di depan mata.

Kamu memilih duduk dan membiarkanku berdiri bersandar di pohon yang daunnya menjuntai ini. Kamu mengela napas, sementara mataku melihatmu lebih detail. Kakimu? Ah, payah! Kenapa kamu sekarang terlihat begitu aneh di mataku? Kuku kakimu dahulu yang selalu kamu lukis manis dengan macam-macam warna kutek sekarang terbalut rapat dengan kaus kaki. Rambut indah berwarna pirang ikal yang selalu aku elus tiap kamu bersender di pundakku juga kini telah berubah menjadi kerudung, dan tragisnya lebih dari sebahu.

“Bang, maaf sebelumnya. Soal tadi, soal sela jariku yang dulu kubiarkan kamu mengisinya. Biarlah itu menjadi kesalahan terbodohku,” katamu pelan. Kesalahan? Pernyataan macam apa itu,Kris?  Mataku mendelik, menyaksikan semua perubahanmu yang kian menusuk hatiku dalam. Sementara Bapak tadi muncul lagi di hadapanku, kini dia bersama remaja pria.

“Bang! Makasih ya, berkat Abang saya ketemu sama keponakan saya ini. Senang betul saya,Bang. Duluan bang!” Bapak itu membuyarkan suasana sendu di anatara kita. Aku lagi dan lagi tersenyum pada Bapak itu. Dan kembali fokus ke kamu.

“Kenapa kamu sekarang seperti ini sih,Kris?” mataku menatap matamu tajam. “Sudah terhitung lima tahun kita tak bertemu, selama itu aku terus memikirkan kamu. Mengkhayati ayat yang selama ini selalu kita ucapkan bersama. Berpegang teguh padanya, dan percaya akan menjadi nyata.” Aku berusaha mati-matian menyadarkanmu.

“Apa yang Tuhan satukan tak bisa dipisahkan oleh manusia,Kris. Kamu ingat itu kan? Itu yang selama ini menyatukan kita. Kita ditakdirkan untuk bersama oleh Tuhan. Kita tak bisa terpisah,Kris.” Suaraku benar-benar parau. Tak terasa air mataku kini mengalir, aku tak peduli sekarang dianggap lemah sebagai lelaki atau apa. Tapi kini aku merasa kita terlalu jauh, ada sekat dan dinding tebal menjuntai tinggi ke angkasa yang memisahkan kita.

“Seharusnya, tapi nampaknya Tuhan kita tak sama lagi. Bagaimana kita bisa disatukan pada jalur yang berbeda? Bagaimana kita bisa disatukan jika apa yang kita sembah sudah berbeda? Bagaimana pula kita bisa saling mencintai, memiliki keturunan dalam lingkaran perbedaan dan cara pandang? Maaf, Bang. Aku bukan Kristin yang dulu.” Jawabmu panjang lebar.

Taman ini sekarang lengang. Hanya ada satu dua orang yang berlalu lalang. Aku mencoba menguatkan hati. Kupahami lagi bentuk tanaman menjulang tinggi di depanku juga tempat di mana aku bersandar sekarang. Daun berbentuk panjang kecil menjuntai berwarna hijau tua diselingi dengan pucuk yang sedikit runcing tak berbuah. Pembatas antara pohon dan keramik-keramik taman yang dibuat tempat duduk, juga dengan pemadangan gedung berbentuk Masjid di depan kita. Semuanya berubah. Kamu yang mengubahnya. Menjadi satu rasa, hambar.

“Aku ke sini sebenarnya bukan untuk bertemu kamu, aku pergi bersama dia. Tapi kebetulan aku melihat kamu, yasudah. Dan sekali lagi Bang, jangan panggil aku Kristin. Sekarang namaku Asyifa.” Tanganmu menunjuk ke arah laki-laki berjanggut tipis, dengan tubuh berbidang, wajahnya tampak begitu teduh memang. Dan harus kuakui, kalian memang lebih serasi.

 Kakimu melangkah menjauhiku, tanpa ucapan selamat tinggal atau permintaan maaf yang jelas. Setidaknya maaf karena harus memilih keyakinan yang berbeda, atau apalah. Kamu pergi meninggalkan sejuta tanya, menghancurkan seribu janji dan harapan hidup bersama.
           
   “Bang,” kamu berhenti melangkah.
   “Ya?” kini aku berusaha membujuk hatiku untuk berlapang dada.
   “Apa yang Tuhan satukan memang tak bisa dipisahkan, tapi bisa digantikan. Mau bagaimanapun, separuh dari perjalanan hidupku pernah kuukir besamamu. Dan itu tak pernah bisa kupisahkan dalam ceritaku.” Senyummu mengembang dan menggenggam lelaki berpeci putih itu. Sementara aku masih mematung, mengisi tenaga yang entah berapa tahun lagi akan kembali utuh. Seperti saat aku percaya bahwa “Apa yang Tuhan satukan tak bisa dipisahkan manusia”.

Diikutkan #NarasiDaunDaun dari @KampusFiksi :’D
Kalau bener syukur. Kalau nggak ya nambah isi bloger aja deh. *ngeles* :3



Tuesday, September 30, 2014

Dan Aku

Dan aku hanya bisa melihatnya pergi, hilang, dan tak peduli. Oh Alam... Biarkan rasa kecewa ini terbang bersama anggota tubuhmu;angin. Biarkan ia pergi melalang buana hingga ia lupa bagaimana caranya kembali.

Dan aku, hanya bisa meratap. Menikmati takdir yang rasanya begitu pilu untuk dinikmati. Oh Tuhan.. Jika begitu adanya takdir yang harus kujalani. Kuatkan hatiku, agar ia tak menyumpahi segala takdirMu..

Dan aku, hanya bisa terdiam.
Dan aku, hanya bisa menahan rindu.
Dan aku, hanya bisa berserah.

Anggap saja aku bosan menikmati hidup bersamanya, katakan padanya bahwa aku ingin dia pergi. Aku sudah muak memadu kasih setiap hari, hanya dengan rengutan bibirku yang harusnya melengkung bahagia.

Katakan juga padanya, bahwa selama ini aku tak bahagia merajut cerita dengannya.

Tolong sekali lagi, katakan padanya aku tak ingin dia ada.


Pada dia—sedih juga kecewa.

Monday, September 29, 2014

30 September 2014

Hari ini.

Apa yang harus dijelaskan? Mana mungkin ada satu peristiwa yang terjadi lagi pada hari ini. Semua telah menjadi debu yang hanya memburamkan pandangan. Debu ang semakin menggumpal, dan tak bisa terbang meski ditiup berkali-kali.

Katanya, ukhuwah itu ada. Namun antara aku dan kau, ukhuwah itu rasanya semu. Bahkan tak ada, janji-janji pertemanan yang dulu kuagungkan, sekarang tinggal cerita. Cerita pahit tentunya.

Berulang kali aku berusaha menerjemahkan hikmah di balik cerita ini. Berulang kali aku terhenti, tapi akhirnya dengan sisa tenaga aku bangkit lagi.

Bibir yang darinya sering terlontar kata-kata manis bermakna sayang sekarang berubah bisu. Tak bersuara. Darinya telinga yang sering mendengarkan keluh kesahku, kini menjadi tuli tak mau mendengar. Dan darinya tangan yang selalu berbaik hati terulur untuk membantuku kini lumpuh tak mau bergerak. Adakah itu fase paling bahagia?

Apa yang aku harapkan lagi jika semua pancaindra padamu tak lagi dipinjamkan untukku? Apa lagi yang harus kuagungkan atas nama setia jika sekalipun aku terjatuh di depan matamu kau enggan menolong?

Bukan tak ada rindu, bukan tak ada lagi sayang yang tersemat dalam dadaku. Semua masih utuh, rapi dan belum kubuang. Semuanya masih sama, seperti dulu.

Tapi sekali lagi, apa gunanya rindu jika rindu itu hanya aku yang rasa? Apa gunanya aku bermimpi persahabatan dengan dasar cinta padaNya jika kau tak pernah bersuara?

Biarlah rindu itu terus ada, biarkan sayang itu tetap tersimpan rapi. Walau rajutan cerita di antara kita terputus, meski semuanya telah usai, meski semuanya telah hancur lebur.


Biarlah. Mungkin memang Tuhan mewajibkanku untuk menunggumu dan mewajibkanmu untuk pergi. Dengan begitu, sampai langit tergulung pun. Kita tak akan pernah bisa bertemu. 

Besok.

Besok.

Aku tak banyak berharap, tak banyak mengingat, tak banyak tenaga untuk menangis lagi. Jadi, lebih baik aku diam saja—walau tetap menulis. Bukankah katanya diam itu adalah emas?

Besok,
Aku bahkan hampir benar-benar melupakannya. Sayang, tiba-tiba memori otakku kembali lagi ke tanggal yang sama.

Tak ada lagi air mata yang menetes memang, hatiku lambat laun sudah kebal. Untuk sekadar bersedih pun rasanya rumit. Dan lupa.

Entahlah, pertemanan atas nama kesetiaan itu rasanya omong kosong di antara kita. Sayang atas nama pertemanan juga rasanya adalah bualan semata. Kita? Ah, aku dan juga kau. Tak ada ‘kita’ lagi sampai kapanpun. Tak ada rajutan cinta dalam dekapan ukhuwah lagi sampai saat ini.

Jika aku akhirnya berbalik dan berlaku sama sepertimu, apakah Tuhan akan marah? Apakah hanya aku yang diwajibkan berjuang merajut cerita yang terputus dan kau bertugas sebagai orang yang menyia-nyiakan usahaku?

Besok,
Kali ke3 rangkaian cerita buruk itu mampir sebagai kenangan yang menganggu. Tak banyak perbedaan, selain sikapmu yang semakin membual. Tak masuk akal.


Baiklah, biarkan saja rangkaian cerita yang terputus itu begitu terus keadaannya. Selamanya. Rasanya, berusaha mengukir cerita kembali di atas lingkaran pertemanan itu adalah hal yang konyol. Tak mungkin.

Besok, tanggal terakhir di bulan September.

Saturday, September 27, 2014

#HBD18THMBOB ♥

Pertama, tak pedulilah dari siapa ucapan pertama ulang tahunmu. Memang, apa pentingnya pertama kedua ketiga dan terakhir? Toh, tanpa atau dengan ucapan yang pertama itu tetap saja usiamu bertambah satu hari ini..

Kedua, terimakasih masih berdiri di sampingku walau dari kejauhan. Terimakasih telah membuatku mengerti bahwa hidup itu memang terlalu indah untuk menangis. Terlalu indah untuk disia-siakan hanya demi manusia-manusia berhati batu.

Ketiga, Semoga apapun yang kulakukan hari ini mampu mengubah sedihmu menjadi seutas senyum.  Meski sederhana, meski terbilang apa adanya. Kuharap tetap berarti untukmu. Untuk bahagiamu,Mbob.

Keempat, kelima dan seterusnya.
Selamat ulang tahun, selamat bertambah usia, selamat bahagia...
Jangan ada sedih apalagi duka,
Jangan ada kecewa apalagi tangis,
Meski aku jauh, meski kita tak saling bertatap muka.
Namun, jiwaku ada di sana.
Menemani pertambahan usiamu, menjagamu dalam do’aku.
Selalu...
Iloveyou,Cinta..






Wednesday, September 24, 2014

Superhero, Maafkan Saya.

Ada rasa bersalah yang sebenarnya yang saya pendam padamu, lelaki yang tegar lagi baik hati. Rasa-rasanya saya ingin menuliskan ini sejak lama. Dan ingin sekali kau membacanya. Barangkali dengan tulisan, saya akhirnya bisa membiarkanmu menelaah pintalan kata yang saya rangkai terkhusus untukmu. Tapi, akhirnya saya tak pernah bisa menuliskan itu. Apalagi mempersilahkanmu membacanya dengan leluasa.
Garis-garis wajahmu sudah mengendur. Boleh jadi karena kau terlampau lelah mencarikanku sepiring nasi setiap harinya. Boleh jadi karena kau telah lelah melawan keadaan. Boleh jadi karena kulitmu memang sudah waktunya menua. Saya merasa bersalah ketika melihatmu berjuang keras padahal saya hanya bisa duduk manis belum bisa melakukan apa-apa.
Di sini saya telah banyak belajar darimu. Dari orang yang saya pikir superhero masa kini. Tak ada yang lebih berarti dalam hidup saya daripada melihat kau tersenyum. Melihat tawamu yang lepas—walaupun bukan karenaku.
Superhero,
Selama hidup bersama. Saya tahu, sayalah yang berandil besar membuat kepalamu pengap dan rasanya ingin meletus. Saya banyak bicara, saya banyak meminta dan akhirnya paling banyak membuatmu kecewa.
Supehero,
Barangkali setiap pembiacaraan kita selama ini saya sering membuat kau tersakiti. Mungkin, omongan saya kasar? Sekali lagi, saya hanya mampu menuliskan kata maaf untuk kesekian kalinya.
Saya juga bingung. Kenapa, saya selalu saja membuatmu kecewa. Saya sudah meminta maaf, lalu saya melakukan hal yang sama lagi. Sampai akhirnya, saya memutuskan untuk tak menyampaikan maaf saya kali ini. Saya takut hanya membuat kesal dan kecewa lagi dikemudian hari.
Saya paham sekali bagaimana kau berjuang susah payah membuatku bahagia. Dan lagi, saya tak pernah cukup puas dengan itu. Maaf. Saya mungkin terlalu bebal mendeskripsikan kehidupan dan kesederhanaan sepertimu yang selalu tegar dalam kesederhanaan.
Superhero yang paling nyata.
Hidup dengan bayang-bayang kesalahan sebenarnya memang tak pernah menyenangkan. Selalu ada sesak yang menjalar, selalu ada tangis dalam kegelapan. Sekali, dua kali, tiga kali. Saya tahu, kau tak akan pernah berpaling dengan cintamu terhadapku. Tapi justru itu yang membuat rasa bersalah saya semakin besar.
Baiklah superhero sayang...
Akhirnya, hari ini saya menuliskan kata-kata yang sudah lama saya pendam. Mungkin benar, sehebat apapun tupai melompat akhirnya jatuh juga. Sekuat apapun saya memendam. Saya akhirnya akan mengatakan apa yang saya pendam.
Pertama, saya berharap kau membaca ini—entah kapan pun itu. Terimakasih superhero. Telah menebar kebaikan dalam hidupku. Tapi seperti yang saya katakan, tulisan ini bukan untuk berterimakasih tapi untuk meminta maaf.
Kedua, saya benar-benar menyesal. Menyesal pernah membuatmu sakit hati barangkali atas semua perlakuan dan perbuatanku yang tak sesuai pintamu. Sekali lagi, tulisan ini juga tidak untuk mengutarakan penyesalan. Tapi, permintaan maaf.
Ketiga, sudahlah. Terlalu panjang jika saya buat point-point seperti ini.
Superhero, satu kata untuk semuanya. Maafkan saya. Anakmu...



Sunday, September 7, 2014

Sayangnya. Hidayah itu Tak Bisa Kubeli

Sayangnya, Hidayah tak bisakubeli.

Benar memang, tugas saya hanyalah mengingatkan sekuat tenaga saya. Berkata baik juga menasihati penuh cinta. Pada akhirnya, semua tergantung pada kamu. Pada kalian. Pada siapa saja yang pernah saya ingatkan. Saya tahu, saya bukan Tuhan yang punya kuasa. Itu sebabnya, sekuat apapun saya berusaha menarik kamu dalam lingkaran yang saya inginkan. Lagi-lagi berakhir pada kehendakNya. Tuhan. Sang pemiliki hati.

“Siapa saja yang dikehendaki Allah memperoleh kebaikan, niscaya Allah akan menjadikannya mengerti dalam urusan agama.” – HR.Al-Bukhari.

Ya, benar memang. Siapa saja, seluruh umat manusia di seantero bumi. Akan menjadi tunduk dan taat pada agamaNya jika Dia berkendak.

Maaf, kalau selama ini saya terlampau berharap kepada kamu untuk mengikuti apa yang menurut saya baik. Apa yang menurut saya benar, dan apa yang kamu belum tahu. Saya melakukan itu semua bukan karena saya merasa dengan jilbab lebar saya, saya menjadi suci. Lalu saya berhak menuntut kamu untuk berjalan bersama saya. Tidak. Bukan itu alasannya.

Saya mengajak kamu susah payah, menjadi pasukan barisan yang paling depan. Itu semata-mata karena saya begitu menyayangi kamu. Begitu mencintai kamu karenaNya. Bukan karena hal duniawi semata. Saya bahkan tak merasa keberatan—walau saya lelah—berdiri di sini dengan ketidakpedulian. Sebab sekali lagi, saya menyayangi kamu. Saya hanya berusaha sebisa mungkin orang yang saya sayangi berjalan satu kubu dengan saya. Bukan malah bertolak belakang dengan apa yang saya lakukan.

Mungkin,
Mungkin saya lupa selama ini. Bahwa dalam mengingatkan bukan hanya butuh kebenaran atau semangat yang membara. Saya lupa satu hal. KESABARAN! Selama ini saya terkesan memaksa—walau sebenarnya berharap. Yah, saya lupa makna kesabaran. Saya lupa untuk bertawakal pada Allah. Saya hanya terobsesi dengan ‘bagaimana kamu bisa berjalan dengan saya’.

Dengan tulisan ini, bukan berarti saya akan berhenti mengajak kamu untuk berbaik hati mengerti. Tapi lewat tulisan ini, saya memberi tahu kamu. Bahwa meski saya telah hijrah, saya masih tetap manusia biasa dan saya bukan malaikat.

Dengan demikian, berarti kamu pun boleh jadi lebih baik dari saya. Hanya saja, kebaikanmu itu harusnya kamu sempurnakan dengan balutan pakaian takwa.

Jika saya bisa membeli hidayah, saya akan belikan dan menghadiahkannya satu-satu untuk orang yang saya sayangi. Dan jelas, orang itu termasuk kamu. Orang yang sampai detik ini saya inginkan perubahannya. Sayangnya, hidayah itu tak mampu kubeli. Hidayah itu diperjuangkan mati-matian. Dicari dengan sepenuh hati, lalu dijaga sekuat tenaga.

Ah, saya lupa lagi. Saya hanya butuh sabar dalam menantimu berjalan ke kubuku. Saya yakin, hal itu pasti terjadi. Entah kapan. Allah maha membolak balikkan hati. :') 

Untuk kamu, kalian, dan siapapun.
Semoga akhirnya Allah membuatmu mengerti.


Si Hitam.

Si Hitam!

Di sini tak ada pagi, karena pagi, siang, sore ataupun malam tetap berwarna sama. Di sini tak ada waktu, sebab waktu memang tak ada guna. Butir-butir waktu yang seharusnya menjadi pergantian siang-malam bahkan tak pernah terjadi. Siapapun yang mencoba bermain-main dengan waktu. Akan ditebas habis. Entah itu kepala, tangan, atau kakinya. Dia, tak akan selamat!
Lain hal dengan waktu, ada yang harus mengikuti aturan mainnya. Cahaya tak boleh sedikitpun masuk dalam kota ini. Cahaya ibarat suatu hal yang diharamkan ada. Dihujat mati-matian jika ada yang berani-berani mencongkel cahaya keluar dari sarangnya.
“Kau seharusnya tak berlaku seperti ini,” kata perempuan tua menasihati dia. Tertunduk takut-takut untuk bersuara.
“Siapa kau? Aku, tak peduli dengan yang telah terjadi!” Dia membentak. Tangannya siap-siap mencengkeram. Matanya menembus mata perempun tua itu, tak ada yang bisa menolong. Mata itu, sinar itu, kegelapan. Perempuan itu merapuh, jatuh terduduk dengan kepala lunglai. Dia beraksi! Kepala tak berdaya itu ia cengkeram kuat-kuat, menekannya perlahan sampai pecah. Isi kepalanya ditarik, kepalanya ditebas sekali lagi dan sempurna apa yang ada di dalamnya berhamburan keluar. Tangannya, kakinya, ia cacah dengan telunjuk runcing yang selama ini menjadi senjata paling ampuh untuk siapa saja yang menghalangi aksinya. Termasuk perempuan tua malang ini!
***
Dulu, kota ini adalah kota yang penuh keindahan. Sejauh mata memandang tak ada cacat sedikitpun. Semua sempurna. Keindahan berubah semenjak dia datang. Dia menghancurkan kota. Dia menghilangkan warna secara perlahan. Burung camar yang berterbangan kini diubahnya menjadi burung hantu. Warna-warni lampu kota diubahnya menjadi lampu temaram yang hampir habis dayanya. Ah, gila! Dia benar-benar gila.
Sebulan kemudian, ah bulan? Memang ada bulan di sini? Entahlah. Tak selang berapa lama setelah dia membabi buta merajuk menghancurkan kota. Kota ini benar-benar gelap. Titik-titik cahaya sudah disumbat habis olehnya, semakin warga di sini mengorek puing-puing cahaya. Semakin dibuat gelaplah kota ini.
Kehidupan di sini menjadi hambar, tak terasa bahagia. Indah apalagi, hanya keindahan gelaplah yang ada. Itupun, jika gelap digolongkan menjadi suatu keindahan. Lampu-lampu jalan yang terlihat lebih terang dari yang lain akan dihantam. Berantakan.
***
Langit gelap, pohon hitam, daun buram, orang berlalu lalang berwarna samar-samar—entah hitam entah abu-abu. Satu dua orang bahkan terlihat hitam legam, kepalanya ada yang tak dibawa. Tangannya ada yang hilang sebelah. Itu semua ulah si hitam! Untung saja tak ia tebas habis semua badannya macam perempuan tua waktu itu. Jika tidak, habislah sudah riwayat mereka. Semua berlalu lalang mengerjakan aktivitas.
Di sudut perkebunan stoberi. Wanita cantik berambut panjang—meski kecantikannya tak dapat terlihat jelas. Setidaknya ia lebih bercahaya dari orang-orang di sini. Matanya bercahaya putih, bersih, juga indah. Tak ada yang memiliki tatapan mata seindah itu di kota ini. Dia adalah satu-satunya sumber cahaya sesungguhnya. Cahaya yang tersisa dari cahaya yang disumbat habis oleh si hitam itu. Dan si hitam itu tak akan pernah menang melawan sorot matanya. Telunjuk runcingnya yang mencacah tubuh-tubuh orang di kota ini tak akan sanggup menyentuh setiap inchi bagian tubuh wanita cantik ini untuk disakiti. Tidak akan pernah bisa!
***
Si hitam duduk termenung di dekat air mancur. Sendirian. Menepi dari keramaian. Toh memang, selama ini dia hanya hidup sendirian. Meski nyatanya orang-orang berada di sekitarnya, tak ada yang menganggapnya berarti. Tak lain hanya seonggok sampah yang terpaksa dipatuhi. Dia tahu itu tapi dia tak keberatan! Karena dia datang ke kota ini untuk merusak, bukan untuk bersahabat dengan orang-orang yang menurutnya bodoh!
Dua anak muda gagah perkasa, berbadan lebih besar dari pada si hitam mendekat dengannya. Tersenyum menyungging meremehkan. Baju putih-putih yang mereka kenangan terlalu suci untuk dikatakan preman. Dan terlalu sangar untuk dikatakan malaikat. Dia tak terima, berdiri dan menantang kedua anak muda itu.
“Heh! Mau apa kau? Berani-beraninya kau menatapku seperti itu!” Gertaknya. Tak banyak berkata, kedua anak muda berbaju putih itu mendekat. Satu orang mencengkram dan merapatkan tubuh kekarnya ke si hitam. Si hitam mendorong tubuh kekar itu. Dengan sekali dorong, anak muda itu jatuh. Tekapar. Aksinya, di mulai lagi. telunjuk runcingnya, bak sebilah pisau yang baru saja diasah. Menekannya dengan santai ke tubuh yang ada di hadapannya. Dari kepala terus ia tekan sampai ke dada. Darah muncrat. Tubuh itu erbelah sebagian. Dan ia biarkan anak muda itu terkapar tak bernapas. Belum puas melihat pemuda itu mampus. Ia tarik lagi sebagian badannya, ia remukkan tulang-tulang yang tampak. Remuk.
“Kalian tak akan bisa melawanku!” Dia mengamuk. Menatap pemuda yang tersisa dengan tatapan penuh amarah. “Kau! Akan mati sama seperti dia,” katanya sambil tertawa.
Pemuda itu tersenyum tak berkata apapun. Dan sekelabat, ketika si hitam mengamuk tak karuan. Yang tangannya berusaha mencengkram, di saat itupula. Pemuda itu menghilang. Dan kembali muncul tepat dibelakangnya. Menusuk perlahan membiarkan sebilah cahaya menusuk perutnya, tertahan. Si hitam meringis kesakitan, ia tak bisa melawan. Cahaya itu tak bisa ia lepaskan dari perutnya. Telunjuknya tak bisa digerakkan, dia benar-benar tak bekutik.
“Rasakan penderitaan ini! Kau tak akan bisa mati! Kau akan tersiksa!” Pemuda itu menarik temannya yang sudah terbelah menjadi dua, membawanya pergi. Menghilang sekejap mata.
“Mampuslah aku! Kenapa cahaya bodoh ini harus ada di sini! Sial!” Dia menyumpah-nyumpahi kekalahannya. Dia berjalan tehuyung. Menahan sakit yang luar biasa, darah mengalir tak tahu diri! Cahaya itu semakin menusuknya. Perlahan. Membesar. Separuh dari perutnya sudah berlubang, tampak isi perutnya bergelantungan, mengucur darah segar.
Dia terus berjalan. Mencari jalan, ingin pulang. Kemana saja yang menerimanya, kemana saja yang bisa membantunya, kemana saja asal ia terbebas dari luka menganga. Ia tak peduli lagi dengan rasa sakit yang ia rasa, mata-mata orang yang berlalu lalang juga tak ada yang tertuju pada si hitam. Semuanya tak acuh, itulah akibatnya.
“Matilah kau! Akhirnya kau mati, bodoh!” Seseorang berkata dari kejauhan sambil menatap sinis si hitam. Si hitam menghela napas panjang, mencoba berjalan secepat mungkin. Kakinya lunglai. Kehabisan tenaga, tapi ia tak mampus juga.
Kenapa aku tak mampus saja dibuat pemuda gila itu! Gerutunya dalam hati. Ia benar-benar kehilangan akal—atau memang selama ini tak berakal.
Kakinya terus berjalan, tak peduli apapun yang ada di hadapannya. Mata-mata sinis yang selama ini ia lukai, orang-orang yang kehilangan mata, kaki juga tangan. Semuanya menyaksikan keadaannya. Tak ada yang mengiba. Semua tersenyum bahagia.
***
Setelah lama sekali ia berjalan, ia akhirnya memilih untuk duduk di bawah bungkusan-bungkusan kantung berisikan buah stroberi yang sedang berbuah. Stroberi putih yang hanya ada di kota gelap ini. Dia menunggu detik-detik kematiannya, yang entah kapan terjadi. Ia berubah menjadi peyot, tubuhnya melemah, telunjuk runcingnya tinggal tulang.
“Kau, kenapa kau di sini?” suara merdu bertanya. Sorot mata indahnya menatap mata si hitam lamat-lamat. Si hitam tak mampu melihat. Silau, keindahan itu momok menakutkan untuknya. Tidak! Dia tetap tak butuh bantuan siapapun.
“Tak usah sok baik denganku. Pergilah,” Katanya parau.
“Seharusnya kau yang pergi, ini kebun stroberiku. Aku pemiliknya,” jawab wanita besorot mata indah itu.
“Jangan tatap aku, tatapan matamu membuatku semakin kesakitan. Aku tak suka cahaya!” Dia berteriak-teriak tak terkendali.
“Kau hanya tak mau membiasakan dirimu dengan cahaya. Kau, terlalu bebal! Kau, tak pernah mencoba mengerti. Kau, ah. Kau bodoh! Cahaya ini membuatmu hidup, seharusnya! Tapi kau malah asik-asikan bermain dengan gelap. Mengubah kota ini menjadi kota yang paling buruk! Sadarlah,” wanita itu duduk di hadapannya. Menatap matanya. Memegang garis-garis wajah yang sekarang sudah mengendur. Cahaya itu membuatnya menua lebih cepat.
“Jauhi aku!” Tulang-tulang tangannya berusaha mendorong perempuan yang memegang wajahnya. Bagian kakinya mulai menghilang, berubah menjadi debu. Sedangkan perempuan itu tetap memegang wajahnya.
“Rasakan ini. Nikmati ini, kuharap kau mengerti.” Perempuan itu mendekatkan tubuhnya pada orang yang paling dibenci di kota ini. memeluknya erat. Mendekatkan matanya ke mata si hitam. Menatapnya dan memaksa si hitam melihat mata bersinar itu.
Si hitam ketakutan, sepanjang sejarah baru kali ini ia ketakutan. Ia tak bisa menolak, ia tak bisa berlari, kakinya sudah hilang. Kembali lagi ia rasakan pelukan hangat itu, perempuan itu, semuanya. Ia tak mengerti bagaimana cara menikmatinya. Mencoba menikmati mati-matian. Sedetik, dua detik, dan seterusnya. Perempuan itu berubah menjadi cahaya yang semakin membesar. Menyilaukan mata. Si hitam pun hilang bersama pelukannya bersama cahaya itu...
Kota gelap, hilang....

1304 Word. Surealis, sure i think i failed. Pfff.
Semoga ke-absurdan tulisan ini bisa ditangkap maknanya. Atau seenggaknya, bisa menghibur. Mwah! :*

Diikutkan tantangan super kece #FiksiSurealis By @KampusFiksi.


Saturday, September 6, 2014

Kamu. Pengukir Cerita Tak Ber-ending

Saya rasa saya memang bukan siapa-siapa. Dan saya pikir saya memang tak akan pernah jadi siapa-siapa. Selelah apapun saya berusaha, dan setegar apapun saya untuk bertahan. Akhirnya apa yang saya lakukan tak lebih dari pengganggu belaka.

Saya sudah berulang kali membujuk hati saya agar dia berhenti mencoba menaklukkan kecewa. Saya sudah berulang kali mengutarakan pada diri saya sendiri, bahwa masa lalu telah tertinggal di belakang. Masa lalu tak layak untuk dikenang. Masa lalu bukan untuk diratapi. Karena masa lalu, tak mungkin bisa kembali.

Saya selalu berpikir positif kepada kamu. Kepada masa lalu yang membuat saya selalu berdiri paling depan dalam menyemangati perubahan yang saya harapankan terjadi pada dirimu. Tapi nyatanya, barisan paling depan itu terkadang memang menjadi barisan yang paling terlupakan. Saya contohnya. Dan saya tak begitu paham, kapan saya akan benar-benar lelah untuk berdiri dengan segudang ketidakpedulian.

Kalau saja kamu mengerti, kalau saja kamu sedikit membuka mata. Saya yakin, saya tak akan terus-terusan berkeliaran di sini demi kamu. Karena bagaimanapun, tentang perubahan, hidayah, istiqomah hanya datang ketika seseorang mau mencarinya dan menjaganya. Saya hanya bisa berdiri dari kejauhan, melihatmu dengan segudang penyesakan. Namun, saya hanya bisa diam.

Saya tak pernah berpikir sesulit ini, apapun yang keluar dari mulut saya rasanya tak pernah kamu anggap berarti—meski itu sebuah kebaikan. Tak banyak harapan saya, saya hanya minta. Kamu membuka mata sedikit, dan lihat apa yang telah saya lakukan. Apa itu tak cukup untuk membuatmu berbicara—walau hanya sepatah kata?

Semua jawaban itu di kamu.

Kamu, pengukir cerita yang tak pernah bisa kutelaah endingnya.

Thursday, August 28, 2014

Aku Tegaskan Bahwa Aku Merindu

Tak bisa dipungkiri, ternyata rindu itu menyerukan rasanya. Aku pernah bilang, bahwa perpisahan tak terlalu menggangguku, karena toh kenyataannya aku sering berpisah dengan orang yang menurutku berarti...

Tapi, kali ini benar. Aku kalah dengan keadaan. Bahkan aku sangat merindukan kalian. Tak perlulah kalian tahu bagaimana rinduku ini tiba-tiba beranak pinak.

Kalian tahu? bahkan hal yang paling memuakkan saja aku rindukan. Saling menyalahkan dalam hal tertentu menjadi satu hal yang paling aku ingat. Aku rindu perkelahian di antara kita, atau hanya sebuah debat tak berguna dari bibir ke bibir. Atau ke-sok-kompakan kita yang perlu kuakui, ada sisi lain yang benar-benar membuatku menjadi satu dengan ke-sok-kompakan itu.

Aku rindu dengan canda tawa kalian yang terkadang membuatku merasa asing. Aku rindu senyum kalian yang terkadang tak kuharapkan. Aku juga rindu dengan sapaan kalian yang entah itu dari hati atau hanya sekadar basa-basi. Aku rindu ketika kalian menganggapku sok paling benar, hahah. Lucu. Tapi jujur saja, hal itu yang terus melekat.

Ada satu masa di mana tak ada sekat di antara kita, tak ada kelompok dan pemetakan anggota. Aku rindu ketika kita saling berjuang bersama-sama meraih keberhasilan menuju masa depan. Aku rindu sekali dengan bibir-bibir yang selalu nyeletuk nakal dan berkomentar ini itu.

Apakah kalian merasakan hal yang sama denganku? Konyol memang. Ketika masih bersama, banyak sekali perbedaan, perselisihan, tapi ketika jauh seperti sekarang. Ternyata perbedaan dan perselisihan itu pulalah yang jelas kurindukan. Tak ada lagi yang berkomentar ini itu tentangku, aku juga tak mungkin bisa berkomentar tentang kalian.

Ada hal yang paling menyakitkan...
Ketika memori tentang kalian menyeruak dalam dada. Ah, aku ingat bagaimana tingkah kita memperlakukan “sebuah makanan”. “Aku maauuuuu!” Kata kita bersamaan. Menganggap makanan yang lain adalah bagian dari makanan kita. Itulah yang tak kudapatkan sekarang. Tak ada yang rusuh ketika aku makan, tak ada lagi yang membeli kueku *eh* ;(

Teman seperjuanganku Akuntansi...
Aku merindukanmu, sangat. Semoga perbedaan yang selama ini tercipta tak menjadi benci di antara kita. Ketahuilah, meski perbedaan di mana-mana. Aku yakin, suatu saat rindu itu akan muncul. Rindu dengan perbedaan itu, ah terlalu panjang. Aku hanya ingin sekali lagi menegaskan. Aku, rindu, kalian.{}:*



Hijrah? Mudah. Istiqomah yang Susah.

Assalamualaikum..

Benar memang. Ada fase di mana semua rasa ingin tahu, ingin berubah, ingin mengenalNya lebih jauh itu luntur. Samar. Tak berbentuk lagi.

Benar memang, ada saat di mana semua semangat itu lambat laun memudar. Terkalahkan dengan hal yang jauh lebih memuaskan hati. Termasuk pandangan manusia dengan apa yang kita lakukan.

Aku tahu susahnya melawan hawa nafsu. Meluruskan niat yang kadang bercabang, berliku, tak pernah melulu lurus. Aku, paham betul rasanya berjuang untuk tetap tegak dalam arus yang berbeda di zaman yang sedang berkembang.

Aku, pernah merasakan ingin kembali—ke masa lalu. Ke masa di mana semua temanku masih berdampingan denganku. Masa sebelum kerudung yang kupakai sepanjang dan selebar ini. Masa di mana aku tak mempedulikan batas auratku yang sesungguhnya. Juga tak mau tahu tentang syari’at yang diwajibkan atas setiap muslimah yang telah beranjak dewasa.

Beruntunglah, manusia bebal sepertiku tidak benar-benar terseret oleh bayang semu tentang indahnya dunia yang tak kekal adanya.

Terlampau bebal memang manusia sepertiku. Diberikan kenikmatan berupa hidup yang meski tak berlebih tapi masih cukup pun tetap saja tak tahu diri.

Apa yang dimintaNya tak aku hiraukan. Apa yang diwajibkannya mana kupedulikan. Allahurabbi, pantaskah aku menginjak bumi yang Kau ciptakan ini?

Hijrah. Bukan tentang seseorang yang berubah lalu menjadi malaikat. Hijrah adalah tentang seorang hamba yang ingin taat.

Hijrah adalah tentang bagaimana merangkak, berjalan lalu akhirnya berlari menuju ridhaNya. Bukan seberapa cepat, tapi seberapa kuat ia bertahan.

Sekali lagi, hijrah itu proses. Bagaimana kita bisa menuju puncak jika kita tak mendaki? Begitu pula, bagaimana kita bisa berjilbab sesuai syariat kalau kita tak memulai?

Tak ada yang perlu diragukan. Orang tua yang tak merestui? Takut jodoh tak ada? Hidupmu terasa jauh tertinggal? Ah, payah. Setiap bahagia butuh perjuangan. Setiap cinta butuh pengorbanan. Anggap saja, hijrahmu ini adalah bukti cintamu pada Rabbmu. Sang pencipta alam.

Aku sangat paham. Tak ada yang bisa merubah seseorang pun, kecuali atas keamauannya sendiri dengan izin Allah.

 “Dan seandainya Tuhanmu (Wahai Muhammad) berkehendak, niscaya seluruh yang ada di bumi ini akan beriman.” Q.S Yunus;99.

Kita sekadar mengingatkan, karena pada dasarnya. Aku pernah berada dalam posisi itu. Tak mau tahu, merasa belum perlu berubah, sok hidup paling lama. Lagi-lagi, kita tak pernah tahu kapan ajal itu datang.

Hijrah memang sulit teman, tapi kau akan tahu lagi bahwa sebenarnya ada yang lebih sulit dari sekadar berubah.

Jika pada masa ‘perubahan’ kau hanya butuh berjalan lambat-lambat. Maka ketika kau menjaga perubahan itu, kau harus memeluknya erat-erat. Agar tak ada satupun dari perubahanmu yang akhirnya lepas satu-satu dan megembalikanmu ke masa lalu.

Ya, hijrah is the most easy at all. But istiqomah is the hardest thing after hijrah. You don’t know? Try it at your life!

Istiqomah adalah bagaimana kau mampu bertahan di tengah cacian yang pasti akan kau dapatkan. Jika pertahananmu kaut, kau tak goyah. Jika sebaliknya? Entahlah.

Berubah itu memang sulit, teman. Tapi kau akan tahu bagaimana sulitnya menjaga “perubahan” itu setelah kau benar-benar berubah:’)

Berubah itu mahal sayang, tapi siapa saja mampu ‘membelinya’ jika benar-benar memiliki tekat.

Kau tak perlu takut untuk berubah sendirian. Sebab amal perbuatanmu juga dihisab masing-masing tak mungkin bergerombol. Bukan benar demikian?

Tak perlu takut melangkah sendiri, sebab di ujung jalan sana akan ada saudari-saudari yang menunggumu dengan sepenuh hati <3

Ketika kau merasa sendiri. Ingatlah. Allah tak akan pernah pergi. Ketika namaNya masih ada dalam dadamu. Dia akan selalu ada:’)

Ah ya, kau tak meminta hidung tak meminta mata, telinga dll yang telah melekat pada tubuhmu. Tapi Allah memberinya,Bukan?

Ketika kau berdo’a. Cepat atau lambat do’a kalian terkabul. Tapi kenapa kita sering lupa? Allah hanya meminta kita *hawa* menutup auratnya? Payah kah?

Allah mewajibkan agar kita menutup aurat secara sempurna. Ah tidak, kita bukan dikekang. Tapi dilindungi. Terlindung dari matamata ‘jahat’ :’)

Semuanya sudah jelas. Tertera pula dalam ayat CintaNya, tapi #tanyadiri kenapa kita masih enggan? Kenapa hijrah terasa berat?

Barangkali tujuan hidup masih belum terarah. Barangkali hati masih enggan untuk mengaku kalah. Ini bukan masalah duniawi saja,sayang---

Hijrahlah dan kau akan mengerti. Bagaimana sulitnya istiqomah setelahnya.
Semoga Allah akhirnya mempermudah jalanku dan juga jalanmu.


Wallahu’alam.