Tulisan ini saya tulis untukmu, teman dekatku..
Sebelumnya aku tak peduli dengan apa yang orang lain ucapkan
pada hari ini. Entah mereka berpikir aku tak tahu balas budi, atau sejenisnya.
Sudah hampir empat tahun kita berteman dekat—meski bukan
sahabat—selama itu pula, aku tak pernah mengikuti adat ‘toleransi’ seperti yang
orang lain katakan padamu.
Aku terharu memang, ketika waktu shalat datang kamu menjadi
makhluk Tuhan yang paling taat untuk mengingatkanku salat. Meski pada saat itu
kau jelas tak mengerjakannya. Atau pada beberapa waktu kamu harus susah payah
menungguku di pelataran mushalla.
Aku jelas mencintaimu, sama seperti aku mencintai sahabatku.
Jika sayang itu tak kutuai, tak mungkin selama itu aku masih di sini. Begitu juga
dengan kamu.
Perbedaan tak membuatku membeda-bedakan. Hanya saja tak
semuanya bisa aku campur adukkan. Selama ini kita berjalan bersama, duduk di
tempat yang sama, bercakap-cakap, menyayangi, dan mati-matian berjalan
berdampingan,kan? Kupikir. Itu jauh lebih hebat daripada toleransi yang mereka
sebut-sebut.
Kamu bahkan tidak butuh ucapan apapun dari temanmu ini. Toh
pada nyatanya, dengan atau tanpa sebuah ucapan. Kita akan tetap berbeda. Kita menyembah
Tuhan yang berbeda. Kita membaca kitab yang tak mungkin sama. Kita...Ah,
teruskanlah. Terlalu pekat perbedaan itu.
Aku ingin menunjukkan pada mereka, bersama tak harus selalu
sama. Mendekat tak selalu harus membaur. Kalau memang sudah berbeda, kenapa
harus ngotot sama? Dengan saling tidak mengusik, tidak berpecah belah apalagi membenci. Bukankah itu salah satu bentuk toleransi yang jauh lebih nyata dari sekadar ucapan?
Dalam ajaran agamaku yang aku tahu. Memang tak diperbolehkan
mengucapkan. Itu jelas bukan karena membedakan, bukan karena tak ada toleransi,
bukan karena agama kami tak menyukai perdamaian. Ini soal akidah. Sudahlah,
mana mungkin aku perpanjang lagi. Kita pernah membicarakan ini.
Pada akhirnya, tanpa atau dengan ucapanku. Kamu tetap saja
merayakan. Kita tetap saja berbeda. Namun bedanya, dengan tidak mengucapkan aku
sudah berpegang teguh dengan agamaku. Dan kamu, dengan tidak mempermasalahkan
soal itu, kamu sudah berpegang teguh pada agamamu..
Lalu, untuk jawaban atas semua pertanyaan yang mengalir
dalam otakmu dan bermuara pada sebuah kebungkaman. Aku jawab karena meskipun
aku mencintaimu, aku lebih mencintai Tuhanku. Bukankah kamu demikian?
Telah Tuhan sempurnakan, bagiku agamaku. Telah Tuhan sempurnakan, bagimu agamamu...
For My Lovely Friend..
Ayam..
No comments:
Post a Comment