♫♬

Wednesday, December 24, 2014

Aku, Kamu, dan Natal

Tulisan ini saya tulis untukmu, teman dekatku..
Sebelumnya aku tak peduli dengan apa yang orang lain ucapkan pada hari ini. Entah mereka berpikir aku tak tahu balas budi, atau sejenisnya.

Sudah hampir empat tahun kita berteman dekat—meski bukan sahabat—selama itu pula, aku tak pernah mengikuti adat ‘toleransi’ seperti yang orang lain katakan padamu.

Aku terharu memang, ketika waktu shalat datang kamu menjadi makhluk Tuhan yang paling taat untuk mengingatkanku salat. Meski pada saat itu kau jelas tak mengerjakannya. Atau pada beberapa waktu kamu harus susah payah menungguku di pelataran mushalla.

Aku jelas mencintaimu, sama seperti aku mencintai sahabatku. Jika sayang itu tak kutuai, tak mungkin selama itu aku masih di sini. Begitu juga dengan kamu.

Perbedaan tak membuatku membeda-bedakan. Hanya saja tak semuanya bisa aku campur adukkan. Selama ini kita berjalan bersama, duduk di tempat yang sama, bercakap-cakap, menyayangi, dan mati-matian berjalan berdampingan,kan? Kupikir. Itu jauh lebih hebat daripada toleransi yang mereka sebut-sebut.

Kamu bahkan tidak butuh ucapan apapun dari temanmu ini. Toh pada nyatanya, dengan atau tanpa sebuah ucapan. Kita akan tetap berbeda. Kita menyembah Tuhan yang berbeda. Kita membaca kitab yang tak mungkin sama. Kita...Ah, teruskanlah. Terlalu pekat perbedaan itu.

Aku ingin menunjukkan pada mereka, bersama tak harus selalu sama. Mendekat tak selalu harus membaur. Kalau memang sudah berbeda, kenapa harus ngotot sama? Dengan saling tidak mengusik, tidak berpecah belah apalagi membenci. Bukankah itu salah satu bentuk toleransi yang jauh lebih nyata dari sekadar ucapan? 

Dalam ajaran agamaku yang aku tahu. Memang tak diperbolehkan mengucapkan. Itu jelas bukan karena membedakan, bukan karena tak ada toleransi, bukan karena agama kami tak menyukai perdamaian. Ini soal akidah. Sudahlah, mana mungkin aku perpanjang lagi. Kita pernah membicarakan ini.

Pada akhirnya, tanpa atau dengan ucapanku. Kamu tetap saja merayakan. Kita tetap saja berbeda. Namun bedanya, dengan tidak mengucapkan aku sudah berpegang teguh dengan agamaku. Dan kamu, dengan tidak mempermasalahkan soal itu, kamu sudah berpegang teguh pada agamamu..

Lalu, untuk jawaban atas semua pertanyaan yang mengalir dalam otakmu dan bermuara pada sebuah kebungkaman. Aku jawab karena meskipun aku mencintaimu, aku lebih mencintai Tuhanku. Bukankah kamu demikian?


Tetaplah menjadi teman baikku! Meski jalan yang kita tempuh berbeda, meski kerudung labuhku tak senada dengan rambutmu yang terurai. Meski tasbihku berbeda dengan salibmu. Meski kita memang pada akhirnya memiliki tujuan yang bebeda. Ingatlah, bukankah Tuhan kita sama-sama menginginkan sebuah perdamaian? Ya. Meski sekali lagi aku tegaskan. Aku tetap mencintai Tuhan, agama, dan keistiqomahanku. Sama seperti kamu. 

Telah Tuhan sempurnakan, bagiku agamaku. Telah Tuhan sempurnakan, bagimu agamamu...

For My Lovely Friend..
Ayam..

No comments:

Post a Comment