♫♬

Wednesday, December 30, 2015

Hijrah Bersamaku, Kawan?

Jangan menangis, sayang. Kamu tidak sehina itu, manusia bisa saja salah, jatuh pada lubang terdalam. Masuk dalam pusaran angin yang menurut akal sehat membawanya berputar tak kenal arah. Semuanya memang manyakitkan, hanya saja tak ada pilihan lain selain mengikuti pusaran angin itu. Hingga mereda dan akhirnya berhenti.

Mungkin, pusaran anginmu telah berhenti. Dan kamu harus kembali pada jalanmu. Jalan yang menjadi ambisimu maju, melangkah, dan barangkali berdakwah.

Lupakan pusaran angin itu, lupakan jiwamu yang terbang tak kenal arah. Kini semua sudah berubah, sayang. Pusaranmu telah berhenti, dan kamu semestinya kembali.

Sayangku,
Aku mungkin lebih hina, atau entahlah. Kita tidak mencari siapa yang lebih banyak dosanya, yang lebih hina, yang lebih jauh jalannya, aku mungkin seharusnya lebih malu. Merangkai hati untuk orang yang berstatus sama.

Aku tahu kamu sulit untuk keluar, sama. Aku juga begitu tertatih, merangkak amat pelan, tapi aku ingin sempurna keluar dari perbatasan duniaku. Dunia yang di sana terdapat jiwa-jiwa setengah dewa dan setengah dewi. Hah, ini semacam lelucon bagimu. Tapi ini, juga teramat menyakitkan.

Aku sama denganmu, sayang.
Merangkak berkali-kali, dan jatuh tersungkur  berkali-kali. Tapi berjanjilah untuk terus merangkak. Setidaknya, rangkul aku untuk tetap merangkak. Aku begitu ketakutan di perbatasan ini, andai saja Khaliq mencabut nyawaku saat ini, sudah pasti hatiku begitu hitam legam kotor tertutupi banyak dosa yang melimpah ruah.

Berjanjilah, sayang. Terus dengar keluhku, untuk tidak menyudutkanku.

Tetaplah berada di jalan yang benar, sayang,

Aku juga mati-matian berperang dengan perasaan.

Urs Friend.

Sulastri.

Tak Seperti Tuhan

Manusia tidak sepemaaf Tuhan, sayang. Butuh waktu puluhan ribu hari untuk benar-benar ikhlas melepaskan, benar-benar rela memaafkan, itupun, bisajadi hanya maaf yang terlontar dari bibir. Bukan maaf yang terangkai dari hati.

Manusia tidak sehebat Tuhan, sayang. Meski sehebat apapun ia memendam luka, sekuat apapun usahanya menghapus air mata. Bisa jadi, hatinya rapuh. Bisa jadi, ada harap yang terpintal agar ada yang membuatnya merasa hebat.

Dan sepertinya kamu lupa, bahwa yang kamu hadapi manusia. Yang dihatinya pula menjalar ribuan harapan yang bercabang lagi menjadi butir harapan yang siap tumbuh. Namun, sepertinya kamu tidak pula sepengerti Tuhan.

Aku bukan Tuhan yang bisa kapan saja menerima maafmu, yang bisa merangkai hati yang kapan saja kamu patahkan, aku bukan Tuhan yang dalam mili detiknya siap mendengar ribuan kosakata. Aku bukan Tuhan yang siap dipatahkan berkali-kali oleh subjek yang sama, sayang.

Aku menghela napas sendirian, akal sehatku seperti sudah hilang. Jiwaku terbang, entah terbawa angin, terbawa maling, atau terbawa angan-angan.

Takkah kamu berpikir sedikit tentang apa yang menyelinap dalam imajiku?

Oh, aku lupa. Kamu bukan Tuhan. Maaf.

Saturday, December 26, 2015

Kukasihi Kau Dalam Setiap Abjadku

Aku mengasihimu dengan sederhana, sesederhana setiap abjad yang kurangkai menjadi sebuah kalimat. Aku mengasihimu dengan sederhana, sesederhana bahagianya hatiku mendengar tawamu. Kupikir, kasih itu gila. Segila tiap imaji yang kuciptakan tentang kamu.

Kosakata ini adalah setiap hembusan harap yang tak sempat kamu lirik, sayang. Deretan abjad ini adalah rasa yang belum sempat kamu pahami seutuhnya, kasih tak sebercanda itu. Perasaan tidak seremeh itu, bagiku.

Pikirku, cinta adalah cinta apapun bentuknya. Rasa ini memang tidak lumrah dalam kamusku, hingga detik ini. Tapi perasaan yang ada tak pernah bisa mengada, aku benar mengasihimu seperti aku mengasihi setiap tulisan yang aku rangkai.

Namun, benarkah ada ruang dalam hatimu untuk mengasihiku dari kejauhan? Tanyaku menggebu, aku juga tidak mampu mengerti duniamu sepenuhnya, aku kesulitan mencarimu diperbatasan imaji dan nyata. Takkah sebenarnya kita bertaut? Atau pura-pura bertaut? Entahlah, sayang. Apapun itu, hingga tulisan ini akhirnya aku tulis, aku masih mengasihimu dan menjadikanmu separuh dari bahagiaku.

Waktumu mungkin tersita habis untuk kehidupan nyatamu, tapi kuharap kamu tahu ada orang yang menunggu kabarmu. Ada orang yang pelan menghapus air matanya karenamu, ada. Dan itu terlalu nyata.

Sayang, jika kamu mau tahu apa yang membuatku bahagia. Carilah aku ketika aku lelah untuk mencarimu, mengertilah aku seperti mati-matian aku mengertimu, dan sayangi aku seperti aku mencari seribu cara untuk menyayangimu…

Me,

Lanna.

Sunday, December 20, 2015

Lo(st)ve.

Tulisan ini aku tujukan langsung untuk kamu,

Maaf sudah hadir dan mengganggu dunia nyatamu, merusak segala imaji tentangmu dan masa lalu. Aku lancang melangkah masuk dalam segala nyata yang aku fantasikan sendiri. Aku sudah menenggelamkan diri pada rasa yang kukobarkan seorang diri.

Ini, memang begitu menyakitkan. Tapi, air mataku tidak aku keluarkan. Karena aku paham, perjuangan untuk mencintai dengan kasih tulus, tidak bisa berawal dari sebuah sapa. Beda denganku, aku terlalu percaya pada dunia bahwa seseorang tidak mungkin menyakiti.

Bukankah memang sudah kerap aku mengalah, kalah dan terkalahkan? Dan wajar, aku sudah bisa menebak dari awal sebelum aku menenggelamkan diri pada zona ini. Bahwa, barangkali orang yang aku kasihi tak sepenuhnya bisa mengasihiku, mengertiku, membuatku percaya bahwa dunia masih ingin melihat senyumku…

Tak perlu aku menyesal, dan tak perlu kamu lontarkan ucapan maafmu. Simpanlah, dan berbahagialah, sayang. Hidupmu adalah mutlak di tanganmu; sama seperti kalimatku malam itu. Tak ada yang bisa mengubahnya.

Mungkin, aku tidak sehebat orang itu yang bisa membuatmu terlena dan menangis di sela malammu. Yang bisa hinggap dalam celah pikiran kosongmu, mungkin aku tidak seistimewa itu untuk diperlakukan istimewa, tenanglah. Tak ada tuntutan dalam kamusku. Berbahagialah, sekali lagi. Hidupmu adalah milikmu…

Sayang, kamu memang tak sempat aku lihat dengan bola matamu. Aku tak sempat memelukmu. Tapi sudahlah, kebahagiaan seseorang yang aku sayang adalah hal yang selalu jadi ambisiku selama ini. Tak peduli seberapa sakit dan kecewa, aku akan rela. Meski kerelaanku itu direla-relakan…

Aku mencintaimu dengan sederhana, sesederhana abjad yang sedari tadi kamu baca. Rangkaian harap yang selama ini tak sedikitpun sempat kamu lirik, susunan rasa yang kurakit seorang diri tanpa sempat kamu pedulikan.

Aku mencintai secara sederhana, sesedarhana bahagiaku mendengar tawamu. Mendengar setiap kalimat yang keluar dari bibirmu, meski bisa kuhitung barangkali tak sampai 100 kalimat. Tapi, setidaknya aku pernah tertawa karenamu,sayang. Setidaknya aku tahu, begini rasanya mencintai dengan sudut berbeda……

Aku tidak mengakhiri, hanya saja aku mengikuti, carilah aku ketika kamu butuh, kabari aku jika kamu sempat, hubungi aku ketika kamu bisa, dan sayangilah aku dengan caramu jika masih ada ruang..
Jujur, kupikir semua tak akan sesedih ini, tapi semua sudah terlanjur. Dan tawamu mengalihkan akal sehatku…

With A Tears and Love,
Lanna…………………………

Friday, December 11, 2015

Hope?

Sebelum tulisan ini, aku sempat menulis. Di dalam tulisan itu, kurangkai bahwa aku tak akan jatuh hati, bahwa aku tak akan membawamu dalam duniaku. Tak akan membawamu dalam setiap imajiku.
 
Namun, aku lupa bahwa yang aku lawan adalah perasaan. Rasa pemberontakan itu justeru membawaku melambung masuk dalam setiap imajinasiku, dan benar itu tentang kamu.

Ada pengharapan yang tak masuk akal, ada rasa yang konyol yang tak sempat aku lawan.

Aku jatuh pada setiap perlakuan dan perkataan yang membuatku merasa dibutuhkan.

Aku tak perlu menutupi, kupikir. Sebab apa pentingnya menutupi jika setiap perlakuanku justeru orang  bodohpun tahu bahwa tersemat harapan di dalamnya?

Namun apalah? Pengharapan semacam apa yang aku mau?


Entah, tidak tahu. Jangan tanyakan, cukuplah mengerti. Bahwa dalam aliran darahku sekarang, ada sebuah harapan yang tak terdefinisikan..

Wednesday, December 2, 2015

Disayangi Ann


Aku tak pernah berfikir serumit ini, logika dan perasaanku beradu. Jiwa dan argumenku bertengkar. Haruskah yang menyayangiku adalah sosoknya? Tak sempat aku bertukar sapa lebih jauh dari sekadar ruang obrolan sempit. Tak pernah pula aku mendengar suaranya lebih jelas dari sekadar voice note ataupun melalui signal telephone. Lantas, bagaimana bisa dia menyayangiku lebih dalam dari sekadar teman baiknya?

Takkah kamu berpikir betapa tololnya logikaku berpikir ini mati-matian? Benarkah cinta adalah cinta entah bagaimanapun itu bentuknya? Lalu, apalah? Benarkah?

Sayangkah namanya jika aku mengikuti rasa sayangnya yang tersemat? Apakah baik namanya jika aku menautkan sayangnya dalam kehidupanku? Tuhan, ini konyol. Dicintai Ann? Dia baik, lebih baik dari pria yang menyelinap masuk dalam hidupku, yang pada akhirnya menyisakan seribu janji kebahagiaan yang menguap.

Ann diam. Tapi jelas kurasakan rasa sayangnya, tapi aku tak tahu jika Ann menyayangiku lebih dari sayang yang aku definisakan. Ann menyelinap masuk dalam hidupku pelan, candanya memang bisa membuatku tertawa. Seisi kepalaku rasanya juga Ann tahu. Tapi aku tak mungkin menyayangi Ann mengikuti definisi yang Ann ciptakan.

Logikaku terbentur aturan yang aku genggam mati-matian. Selama ini aku genggam cinta atas dasar aturan Tuhanku. Aku menjaga diriku lebih dari aku menjaga barang kesayanganku. Aku rela diasingkan banyak pihak karena aku memilih berbeda dengan mereka.

Lantas sekarang? Aku belum pernah menyentuh dunia semacam ini dan disodorkan kenyataan. Aku tersenyum memang, berpikir bahwa aku bisa disayangi seseorang karena caraku sendiri. Namun demi Tuhan, aku tak bermaksud membuat Ann jatuh hati dengan caraku membuatnya tersenyum—barangkali.

Aku jelas menyayangi Ann, siapa yang tak menyayanginya? Dia hampir punya semua, paras, pintar, pandai bergaul. Tapi sumpah Tuhan. Tak sampai hati aku membiarkan Ann menciptakan rasa kasih seorang diri. Jahat? Iya.

Perasaaku dihantam habis oleh rasa bersalah pada Tuhan. Akan lebih jahat jika aku mengukir kasih bersama Ann.

Aku perempuan. Ann perempuan. Tak mungkin ada tali yang kurajut bersamanya.
Anna. Teman baikku, kan ku peluk kamu erat. Akan aku ajarkan kamu menghapus rasamu yang berbeda. Ann teman baikku, percayalah ada orang yang ditakdirkan untukmu. Jelas bukan aku. Tak mungkin Tuhan menyematkan rasa semacam yang kamu rasakan.

Sebelumnya, terimakasih telah menyayangiku,Anna. Berbahagialah, karena senyummu adalah bahagiaku pula.