♫♬

Wednesday, December 31, 2014

Andai Saya Bukan Aku

Andai saya bukan aku.
Pasti semuanya takkan sesakit ini. Andai saya bukan aku. Mungkin cerita yang tersemai tak serumit ini. Tak sepahit, juga tak separah ini.

Andai saya orang lain. Andai saya adalah mereka. Mungkin kamu akan dengan santai berajalan dengan saya. Merangkul saya. Bahkan tertawa setiap harinya.

Andai saya bukan diriku.
Lima kali lipat saya berusaha untuk menjadi orang lain, pada nyatanya tetaplah saya adalah aku. Aku yang tak kamu sukai, aku yang menjadi subjek paling memuakkan, dan aku yang tak diharapkan.
                             
Sejauh apapun saya melangkah. Mengubah tabiat saya menjadi mereka yang kamu banggakan. Pada nyatanya tetap saja, saya adalah aku. Saya tak berhak menyalahkan Tuhan kenapa saya ditakdirkan sebagai aku. Yang saya salahkan kenapa bisa seorang saya sepayah aku?


Andai, saya adalah kamu. 

Wednesday, December 24, 2014

Aku, Kamu, dan Natal

Tulisan ini saya tulis untukmu, teman dekatku..
Sebelumnya aku tak peduli dengan apa yang orang lain ucapkan pada hari ini. Entah mereka berpikir aku tak tahu balas budi, atau sejenisnya.

Sudah hampir empat tahun kita berteman dekat—meski bukan sahabat—selama itu pula, aku tak pernah mengikuti adat ‘toleransi’ seperti yang orang lain katakan padamu.

Aku terharu memang, ketika waktu shalat datang kamu menjadi makhluk Tuhan yang paling taat untuk mengingatkanku salat. Meski pada saat itu kau jelas tak mengerjakannya. Atau pada beberapa waktu kamu harus susah payah menungguku di pelataran mushalla.

Aku jelas mencintaimu, sama seperti aku mencintai sahabatku. Jika sayang itu tak kutuai, tak mungkin selama itu aku masih di sini. Begitu juga dengan kamu.

Perbedaan tak membuatku membeda-bedakan. Hanya saja tak semuanya bisa aku campur adukkan. Selama ini kita berjalan bersama, duduk di tempat yang sama, bercakap-cakap, menyayangi, dan mati-matian berjalan berdampingan,kan? Kupikir. Itu jauh lebih hebat daripada toleransi yang mereka sebut-sebut.

Kamu bahkan tidak butuh ucapan apapun dari temanmu ini. Toh pada nyatanya, dengan atau tanpa sebuah ucapan. Kita akan tetap berbeda. Kita menyembah Tuhan yang berbeda. Kita membaca kitab yang tak mungkin sama. Kita...Ah, teruskanlah. Terlalu pekat perbedaan itu.

Aku ingin menunjukkan pada mereka, bersama tak harus selalu sama. Mendekat tak selalu harus membaur. Kalau memang sudah berbeda, kenapa harus ngotot sama? Dengan saling tidak mengusik, tidak berpecah belah apalagi membenci. Bukankah itu salah satu bentuk toleransi yang jauh lebih nyata dari sekadar ucapan? 

Dalam ajaran agamaku yang aku tahu. Memang tak diperbolehkan mengucapkan. Itu jelas bukan karena membedakan, bukan karena tak ada toleransi, bukan karena agama kami tak menyukai perdamaian. Ini soal akidah. Sudahlah, mana mungkin aku perpanjang lagi. Kita pernah membicarakan ini.

Pada akhirnya, tanpa atau dengan ucapanku. Kamu tetap saja merayakan. Kita tetap saja berbeda. Namun bedanya, dengan tidak mengucapkan aku sudah berpegang teguh dengan agamaku. Dan kamu, dengan tidak mempermasalahkan soal itu, kamu sudah berpegang teguh pada agamamu..

Lalu, untuk jawaban atas semua pertanyaan yang mengalir dalam otakmu dan bermuara pada sebuah kebungkaman. Aku jawab karena meskipun aku mencintaimu, aku lebih mencintai Tuhanku. Bukankah kamu demikian?


Tetaplah menjadi teman baikku! Meski jalan yang kita tempuh berbeda, meski kerudung labuhku tak senada dengan rambutmu yang terurai. Meski tasbihku berbeda dengan salibmu. Meski kita memang pada akhirnya memiliki tujuan yang bebeda. Ingatlah, bukankah Tuhan kita sama-sama menginginkan sebuah perdamaian? Ya. Meski sekali lagi aku tegaskan. Aku tetap mencintai Tuhan, agama, dan keistiqomahanku. Sama seperti kamu. 

Telah Tuhan sempurnakan, bagiku agamaku. Telah Tuhan sempurnakan, bagimu agamamu...

For My Lovely Friend..
Ayam..

Sunday, December 21, 2014

Rindu Menulis yang Akhirnya Diabaikan

Ada yang bilang aku bodoh, karena menunggu terlalu lama. Ada juga yang bilang aku bebal, karena terlalu bersikeras berdiri tanpa penganggapan.

Tak sedikit pula yang mengatakan aku kejam, karena terlampau berbaik hati pada orang yang tak punya hati untuk menganggapku ada. Ada yang bilang hatiku batu, sebab mau bertahan untuk manusia berhati baja seperti kamu.

Beberapa pihak menyalahkanku, kenapa harus kamu yang mati-matian dipertahankan sedangkan yang jelas nyata ada, aku biarkan dan terkesan aku abaikan?

Aku menyerah sebenarnya menganggap kamu ada, menganggap kamu berarti dan seterusnya. Mereka, dan sebagian yang lain mana tahu seberapa berartinya kamu. Meski tanpa sebuah gelar sahabat, kamu tetap berarti untukku. Sampai detik ini.

Tanpa sebuah gelar, aku berhutang banyak padamu. Meski perlu kamu tahu, aku berdiri dan menanti perubahanmu bukan karena sebuah hutang budi. Perlu kamu tahu juga, aku benar-benar berharap besar akan perubahanmu.

Dua bulan lagi, usia kita sama-sama bertambah. Aku masih ingat, tahun lalu dan tahun yang lalunya lagi. Kamu tetap tak pernah mau bertemu denganku. Aku tak tahu bagaimana tahun selanjutnya, apakah hatimu tak berniat berbaik hati juga?

Dua tahun ini, aku tetap merangkai rindu sendiri. Merangkai harap, berjalan bersama menujuNya.

Aku menyayangi sahabatku sekarang. Itu jelas saja. Aku juga menyayangi teman-teman seperjuanganku yang selalu ada setelah kamu pergi. Tapi ada ruang dalam hati yang masih lapang dan itu untuk kamu, teman yang mengubahku menjadi perasa seperti sekarang.

Sudah lama sekali aku berhenti menulis, tapi kali ini aku rindu.
Aku rindu menulis yang akhirnya kamu abaikan. Aku rindu berbicara, yang akhirnya tak kamu dengar. Dan aku rindu untuk kamu rindukan. Seperti kamu merindukan sahabat-sahabatmu.

Sampai hijrahmu datang, aku akan berada pada titik yang sama.
Aku berjanji, ketika hijrah itu telah kamu lewati. Dan kamu tak menginginkanku ada. Aku akan berhenti menjadikanmu yang berarti. Its a promise. Hanya itu yang aku tunggu selama ini.


Semoga akhirnya kamu mengerti......