♫♬

Tuesday, November 4, 2014

Bagaimanapun. Kamu Menang.

Saya tahu, rasa tak suka ini muncul bukan karena saya membenci kamu. Juga bukan karena kamu memiliki kesalahan dengan saya. Rasa tak suka saya ini muncul karena saya merasa jauh tertinggal dari kamu. Jauh terbelakang dari kamu, dan jauh lebih tak berarti dari kamu.

Apa saja yang kamu lakukan—meski itu bukan kebaikan menurut saya—kamu selalu dianggap baik olehnya. Dianggap malaikat bersayap yang penuh cinta. Meski yang ingin kamu lakukan justru ingin mendorongnya masuk jurang. Kamu akan tetap dianggap penyelamat.

Sedangkan saya,
Saya yang mati-matian berdiri untuk menolongnya dianggap seperti malaikat pencabut nyawa. Yang sedetik saja ia tak mau melihat. Saya yang berusaha membuatnya mengerti bahwa hidup bukan hanya untuk hal duniawi saja dianggap debu menumpuk yang seharusnya hilang dalam sekali kibasan.

Bagaimanapun, kamu adalah pemenang dan saya yang terkalahkan.
Bagaimanapun, kamu adalah yang terbaik—meski saya tak begitu paham, apakah kamu benar-benar baik?—sedangkan aku hanya menjadi orang terbelakang.
Bagaimanapun, saya akan menjadi orang yang selalu disalahkan. Sedangkan kamu, menjadi orang yang paling hebat di matanya.

Saya jelas iri dengan kamu.
Saya lelah untuk berbaik hati, tapi pada akhirnya kamu yang di damba.

Ya, apakah benar saya melakukan ini semata-mata hanya karena ingin pengakuan bahwa saya yang paling sabar? Sepertinya tidak. Sabar atau tidak pun, saya tak akan pernah teranggap lagi.

Sunday, November 2, 2014

Berkali-kali Setelahnya. Selalu Ada Luka.

Berkali-kali setelahnya. Selalu ada luka.

Kepingan kenangan yang pernah kurakit bersamamu kini berbuah menjadi abu yang memburamkan mata. Membuat sesak ketika dihirup dan tak akan ada yang ingin menyimpannya erat. Meski hanya sesaat.

Mati-matian aku membuang mereka; seperti kau yang membuangku dari dunia. Seperti kau yang mengusirku dengan paksa. Hingga akhirnya aku tersungkur sendirian, tanpa pedulimu, tanpa pertolonganmu. Hanya ada beberapa orang yang mau menopangku. Dan jelas, orang itu bukan kau.

Dulu, aku selalu menjadikanmu orang yang paling istimewa di atas istimewa. Dulu, aku selalu berdo’a kaulah yang menjadi tubuh keduaku. Hingga mati-matian pula aku ingin melindungimu. Sampai detik ini, meski semuanya berakhir semu.


Malam, aku selalu dibuat gila oleh permainan otakku. Yang menyeretku menyaksikan rekaman bodoh yang pernah terjadi antara kita. Mereka begitu jelas, dipaksa berhentipun tak akan pernah bisa. Rekaman itu terus berulang. Setiap malam. Setiap saat, ketika yang kusebut rindu itu tercipta. Namun, jika kau paham. Berkali-kali setelahnya. Luka itu selalu datang.... Mengerikan...