♫♬

Wednesday, October 29, 2014

Gelar Itu Sulit Kusandang

Semoga akhirnya Tuhan mendengar dan mengabulkan pintamu.

Pertama, aku belum pernah mengomentari perubahanmu. Jika boleh jujur, ada rasa bahagia yang tak tersampaikan melihatmu berubah. Entah karena siapa, entah karena apa. Tapi sebuah alasan rasanya tak cukup penting dalam takaran perubahan.

Aku tahu betul kau berjuang mati-matian untuk perubahan itu. Syukurnya usahamu itu berhasil. Aku tak berpikir bahwa perubahanmu dikarenakan olehku, toh pada akhirnya karena atau tanpaku pun perubahan itu didasarkan atas kewajiban. Tapi sekali lagi, aku bangga dengan perubahanmu.

Kedua, sampai detik ini. Aku tak pernah bisa memposisikan diriku sebagai sahabatmu. Karena aku rasanya jauh dari kata ‘sahabat’. Untuk takaran sahabat, kau memang sudah masuk dalam daftar yang diidamkan. Kau penyayang, penyabar, baik, perhatian juga pendengar yang setia. Bukan itu masalahnya, masalahnya adalah aku belum sepenuhnya pantas.

Aku selalu merasa bersalah dengan gelar yang kau berikan. Dengan kata-kata yang kau tuliskan, dengan perhatian yang kau sematkan, dan dengan rindu yang kau pintal. Aku tak ingin menjadikan orang ‘sahabat’ hanya dengan gelar,Sayang. Untuk apa? Pada akhirnya jika kita saling pergi, samar dan hilang tanpa kabar.

Kau baik, dan aku rasanya terlalu jauh dari kebaikan.
Maka izinkan aku menjadi temanmu tanpa gelar sahabat itu. Gelar itu terlalu berat untuk aku sandang ketika di lain sisi aku jarang sekali ada ketika kau butuhkanku. Iyakah itu sahabat,Sayang?

Jangan buatku merasa bersalah dengan keadaan. Aku menyayangimu, sama seperti aku menyayangi orang-orang sebelumnya yang berarti dalam hidupku. Namun sekali lagi, biarkan ukhuwah kita terjalin tanpa embel-embel persahabatan.

Persahabatan itu akan terjalin dengan sendirinya, aku yakin itu. Biarkan prosesnya alam yang menentukan. Jika pada akhirnya kita disatukan dalam persahabatan, kau dan aku akan saling melengkapi, saling berbagi, saling disatukan untuk ada, dan akan di dekatkan hatinya.

Benar, aku menyayangimu sama seperti yang kau utarakan dalam tulisanmu. Terimakasih kau berbahagia dengan apa yang aku raih, dengan usahaku yang berbuah hasil. Kuharap kau juga temukan bahagiamu, dan mampu gapai impimu.

Kau, yang tak pernah jenuh memanggilku sahabat di saat aku rasanya terlampau jauh tersesat. Kiranya aku mampu membantumu, aku akan bantu. Jika kiranya kau juga ingin sepertiku, aku rela memberikan apa yang aku miliki. Bukan karena aku berbalas budi, tapi karena kau memang pantas untuk mendapatkannya.


Sekali lagi terimakasih, sayang..

Sunday, October 26, 2014

Rasanya, Kamu Perlu Tahu

Aku memang teramat jarang menulis tentangmu. Menulis tentang jarak. Merangkai kata tentang pertemuan maya. Aku kerap kali bingung, apakah bahagiaku juga semu? Rasanya, aku memang jarang sekali memikirkanmu. Tapi pernah. Aku rasanya berat sekali untuk berandai-andai bertemu. Bukan tak ingin, bukan tak mau. Tapi berkali-kali aku coba tuk kuatkan hati. Dan ternyata aku belum mampu untuk terluka sekali lagi.

Aku hanya bisa berusaha dengan apa yang ada. Dengan sisa-sisa hati, rasa, dan juga bahagia sebagai janji-janji Tuhan atas “Kemudahan di balik kesulitan” aku mencoba berbaik hati pada orang lain, meski hatiku tidak baik-baik saja.

Aku sebenarnya merasa kamu sama sepertinya.
Bukan, tidak bermaksud menyamakan. Jujur saja, berbicara denganmu tak membuatku bosan. Kamu selalu bisa membuatku tertawa dengan caramu. Pun, dia melakukan itu dahulu. Sekali lagi, aku terpaksa terseret ke masa-masa buruk itu.

Semacam CD rusak yang hanya berputar di situ-situ saja. Kepalaku juga, yang ada hanya kisah-kisah buruk, trauma ditinggalkan, juga takut untuk terlalu berharap sebuah “persatuan” atas nama kesetiaan.

Aku tak sering berkata ini kepadamu.
Tapi, rasa-rasanya kamu perlu tahu. Siapapun orang terdekatku dahulu, siapapun sahabatku sekarang, siapapun orang yang paling sering aku temui. Kamu tetap ada dalam hatiku.

Statusmu sebagai Adikku –meski umur kita tak jauh beda—akan tetap sama. Dan bagaimanapun, seorang adik tak semestinya hilang dari hati seorang kakak.

InsyaAllah semoga Allah menyatukan kita.

#Mbob



Frustasi Ditolak Penerbit Mayor? Ini Solusinya!



Menulis itu mudah. Menghasilkan tulisan yang bagus itu susah. Bahkan, susahnya boleh jadi dikuadratkan. Bisa jadi separuh dari penghuni dunia menulis setiap harinya, tapi bisa jadi pula dari seribu yang menulis hanya sepersekian persen yang memiliki hasil dari apa yang mereka tulis. Dalam bentuk buku tentunya.

Saya, hobby menulis. Tapi saya sering kali frustasi, rasa-rasanya apa yang saya tulis sudah total. Sudah memutar otak ke sana-ke mari hanya untuk merangkai cerita dan menentukan ending. Terlepas dari bagus atau tidaknya, hampir setiap hari saya menulis. Tapi lama kelamaan saya bimbang, untuk apa saya menulis jika apa yang saya tuliskan tak berbuah pada sebuah karya?

Mungkin itu juga yang Anda pikirkan. Mungkin Anda begitu semangat menuliskan sebuah novel dengan jumlah halaman sekian ratus. Berharap cerita Anda mengunggah hati penerbit dan menarik naskah Anda untuk dipajang di jejeran novel yang nangkring di toko buku seluruh nusantara. Saya pun sama.

 Tapi, masalah terbesarnya adalah satu. Tak semua selera penerbit sama. Saya ataupun Anda pasti bisa menulis. Tapi tak bisa memaksa orang—apalagi penerbit—untuk menyukai apa yang saya atau Anda tulis. Lalu kalau sudah demikian? Jika sudah semangat menulis. Mendapatkan hasil. Lalu dengan api semangat yang meletup-letup mengirimkannya ke penerbit. Setelah sekian lama menunggu dengan harap yang membabi buta, Anda mendapatkan kabar bahwa.....

NASKAH ANDA BELUM LAYAK DITERBITKAN!!!

Ah, saya tak perlu membayangkan. Karena saya pernah merasakan hal demikian, sakit? TENTU! Siapa yang tidak merasakan sakit jika telah memberi namun ditolak? Kalau kata anak abege sih sakitnya tuh di sini *sambil nunjuk hati*

Baiklah, daripada naskah yang sudah membuat kepala Anda panas itu dibiarkan karena ditolak penerbit. Bisa jadi Anda memilih jalan alternatif ini.

Pertama.
Saya tak terlalu yakin dengan alternatif ini, tapi jika Anda termasuk orang yang sabar dan perjuang keras. Anda bisa merevisi naskah Anda yang sudah ditolak itu. Lalu mengirimkannya ke penerbit lain—atau penerbit yang sama—dengan judul REVISI. Itu sih, yang saya tahu.

Kedua.
Ini alternatif yang sangat jitu. Anda bisa menerbitkan buku Anda di penerbit Indie. Ya. Penerbit yang tidak pernah menolak naskah. Daripada naskah numpuk tak berbuah buku? Penerbit Indielah solusinya.

Tak perlu merogoh kocek terlalu dalam, di Penerbit Indie Anda bisa dengan bebas memilih paket penerbitan. Mulai dari fasilitas EYD, layout, design cover dan lain-lain. Salah satu Penerbit Indie terpercaya yaitu Rasibook.

Rasibook tidak pernah menolak naskah. Selalu menerima naskah Anda. Jadi jangan khawatir. Dengan budget yang tidak terlalu besar, Anda bisa menikmati layanan penerbitan yang memuaskan! Semangat berkarya!

Saya sarankan Anda untuk mengunjungi Rasibook

Wujudkan impimu memiliki buku sendiri!! ^^


Kupikir Tuhan....

Rinduku kadang memuncak, tapi aku tak pernah bisa mengungkapkan. Rasanya pengungkapan malah memperburuk suasana. Memperburuk keadaan yang nyatanya jauh lebih dahulu buruk. Bongkahan rindu itu kuharap longsor bersama kecewa demi kecewa yang kau jejalkan setiap hari.

Tak lagi aku ingin berandai-andai, nyatanya tetap saja yang menang itu bukan aku. Mungkin, aku terlalu payah untuk berlari mendekatimu, atau kau yang terlalu lihai untuk memintal jarak di antara kita?

Entahlah, rasanya aku tak pernah keluar dari cerita buruk ini. Tersungkur di kubangan cerita masa lalu yang harusnya telah kering.  Terjerembab dalam kobaran rasa yang harusnya telah padam.

Cerita pahit itu, kenangan masa lalu, caramu menyakinkanku. Semua selalu berkeliaran dan menjadwal hadir dalam isi kepalaku. Nyatanya sekarang, kupikir kau tak lebih dari sekadar pengganggu lamunan.

Kupikir Tuhan menciptakanmu untuk melangkah bersamaku, tapi ternyata Tuhan menciptakanmu untuk membuat aku tahu rasanya terlupakan.

Kupikir Tuhan menciptakanmu untuk memberikan bahumu, tapi ternyata Tuhan menjadikanmu perantara agar aku berjuang mencari sahabat yang rela memberikan bahunya cuma-cuma untukku.

Kau, yang kupikir tak sampai hati menyakitiku bahkan menjadi orang yang paling tega melihatku berjuang mati-matian hanya demi sebuah tali yang telah putus itu kembali.

Kau, yang kupikir paling berbaik hati nyatanya menjadi orang yang paling keras hatinya untuk sekadar memberikan senyum walau hanya sesekali.

Duhai, aku sekarang ingin memelukmu seperti aku memeluk mereka ketika aku rindukan mereka di hariku. Aku ingin melihat seutas senyummu yang kau rakit untukku. Aku ingin kembali bersenda gurau. Dan aku ingin, Tuhan menjadikanmu pelipur laraku. Bukan menjadikanmu alasan laraku.

Friday, October 17, 2014

Bukan Untukku, Untuk Mereka

Suka atau tidak, membaca atau tidak. Aku akan tetap menulis jika aku merasa aku harus menulis.

Kamu,
Aku selalu berharap kamu bisa menerjemahkan pintalan kataku dari dahulu, tapi tragisnya aku juga tak paham. Kamu sudi membacanya, atau malah membuang ludah tepat ketika sedikit mengintip apa yang aku tulis.

Kamu,
Sudah berulang kali pula aku berharap akhirnya Tuhan membukakan matamu, tentu bukan untuk melihatku. Tapi melihat dunia, kenyataan, dan kewajiban. Apa aku terlalu berlebihan jika menilaimu pintar, baik, juga pengertian? Apa hanya aku yang selama ini salah menilaimu karena terlampau termakan bayang-bayang masa lalu? ah, kupikir kamu mengerti. Kupikir kamu berusaha, kupikir kamu juga bersedia berjalan menujuNya pelan-pelan.

Bujukan kata-kataku pada hati tak pernah berfungsi, aku selalu berpikir positif tentangmu. Berpikir bahwa kamu di sana mati-matian berjuang mencintaiNya, berusaha sekuat tenaga menghabiskan napas untuk kebaikan atas namaNya.

Tapi sungguh, aku lima kali lipat lebih kecewa daripada sebelumnya.

Ya, aku tahu, ini bukan hidupku. Semua ini tentang kehidupanmu, tapi kupikir tak salah jika aku ikut andil. Maksudku, untuk membantu mengingatkan. Aku menghakimimu? Ah, siapa aku bisa main hakim sendiri. Aku hanya sedikit menghargai usahamu mengubahku waktu dulu, mengubah hatiku menjadi perasa, penyayang juga serapuh ini.

Kamu tak tahu bagaimana aku setengah mati berjuang untuk tetap sabar dan ikhlas. Kamu bahkan tak menghargai itu sama sekali.

Sekali lagi dengarkan,
Aku tak pernah berharap banyak—meski sedikit ada—untuk kembali mengukir mimpi bersamamu. Aku hanya ingin satu, dan hal itu jauh lebih aku harapkan daripada sebuah pertemuan dunia.

Aku hanya ingin aku dan kamu bertemu di tempat yang indah di atas sana, di tempat yang Dia janjikan untuk hambaNya yang bertakwa.

Aku di sini berjuang untuk itu, aku juga ingin kamu berjuang yang sama.  Bukan untukku, setidaknya untuk tabungan pahala orang tuamu.

Kamu terlalu sempurna untuk dilihat siapa saja secara bebas,sayang.
Kamu terlalu hebat untuk kalah dengan nafsumu.
Dan kupikir kamu terlalu tegar untuk kukasihani.
Lalu, apalagi?

Kita hidup bukan untuk di dunia saja, ada yang lebih kekal. Ada yang lebih lama, kamu tak ingat di akhirat kelak akan ada syurga dan neraka? Semua tergantung pada langkah awal kita di dunia, sayang.
Mengertilah, kumohon....


Bee..

Sunday, October 12, 2014

Dalam Perbedaan

Sekuat apapun aku bertahan pada nyatanya kami tak akan pernah bisa berjalan bersama sampai titik akhir.

Sebisa apapun aku bersabar, pada akhirnya sabarku akan berbuah pada sebuah perpisahan.

Bagaimana, itu sekarang tanyaku.
Bagaimana kami bisa berjalan dengan nama perbedaan?  Jujurlah rasaku, semuanya hancur lebur tak tersisa. Sekali, aku pernah merasakan begitu menyayangi umatMu yang sama denganku. Sama-sama menyembahMu, tapi apalah Tuhan? Bahkan dia pun sekarang tak mampu aku rangkul menuju jalanMu.

Kenapa, itu tanya keduaku.
Kenapa Tuhan memberikanku rasa pada orang-orang yang tak sejalan? Yang tak membaca kitab yang sama dengan apa yang kubaca? Tak menyembah padaMu juga? Dan tak bersujud pada Tuhan yang sama, Tuhan?

Jikalah pada akhirnya kami terpisah, untuk apa rasa peduli itu ada?

Tuhan, maaf aku banyak bertanya tentang apa-apa yang telah Kau takdirkan. Tapi sungguh, rasanya aku begitu bebal untuk menerima cerita yang kadang tak seusai nalar.

Tuhan,
Aku pernah mencintai umatMu, seperti aku mencintai diriku sendiri, bahkan aku lebih mencintainya daripada aku mencintai diriku sendiri. Alasan terbesarku adalah ingin menjadi orang yang Kau masukkan dalam syurgaMu karena saling mencintai karenaMu. Tapi, sungguh, usahaku juga berujung sia-sia.

Dan sekarang, ketika rasa peduli itu semakin kental. Dan dia menjadikanku subjek yang tak pernah terlupa, kenapa perbedaan itu menjadi penghalang?

Aku tahu diri, tak mungkin aku mencampur adukkan agama dengan perasaan peduliku. Tak mungkin aku tiba-tiba menyembah apa yang ia sembah. Dan aku tak mungkin berpaling dari apa yang aku kenakan ke apa-apa yang ia pakai.

Tapi Tuhan, kenapa yang beda selalu lebih baik dari pada yang sama? Kenapa apa yang tak bisa Kau satukan selalu lebih indah dari pada apa yang seharusnya bisa sejalan?

Tuhan, aku tahu...
Kau mengerti bagaimana peduliku selalu bertaut untuk hambaMu yang satu itu. Untuk hambaMu yang selalu aku rindukan dalam malamku, yang selalu aku inginkan menjadi satu dari beberapa orang yang menjadi pelipur laraku.

Aku menyerah untuk bersatu, rasanya lelah.
Kini Kau sekali lagi mengujiku dengan perbedaan.
Yang sama saja sampai sekarang tak Kau satukan, apalagi yang jelas-jelas berbeda,Tuhan?


Tuesday, October 7, 2014

Happy Birthday 18 tahun, Ayam

Dunia harus tahu, kawan.
Bahwa kita tercipta di atas perbedaan. Namun bukan dengan alasan perbedaan itu kita bercerai berai tak berteman.
Dunia harus tahu, kawan.
Kau bukan sahabatku. Tapi sekali lagi, kita tak pernah menjadikannya alasan untuk saling melupakan.
Dunia harus tahu, kawan.
Kau, adalah orang yang penyayang meski aku hanya melihatnya samar-samar.

Dan sekarang, kau yang harus tahu.
Selama aku mengenalmu, aku baru tahu bahwa banyak yang tak aku tahu darimu. Ah, sudahlah.

Terimakasih,ya.
Sampai detik ini kau tetap menjadi bagian dalam hariku. Dan di saat kita tak bersatu pun, kau masih mengingatku. Hingga akhirnya, Tuhan mempersatukan kita lagi dengan lingkungan kerja.

Selamat ulang tahun, Ayam..
Tak pernah banyak impiku untukmu, tetaplah menjadi orang yang apa adanya. Yang tak pernah pedulikan kata orang, yang selalu menyayang, dan berbaik hati dengan caramu.

Tertanda.

LingLing.


Saturday, October 4, 2014

Tuhan Menyatukan Kita?

Tak ada yang peduli dengan keberadaanku di sini. Terlalu ramai dan mereka hanya memikirkan dirinya sendiri. Sedangkan aku hanya berkutat tepat di bawah tangga paling bawah dari gedung yang berdiri megah di tengah-tengah taman.

Pusat kota Batam selalu menjadikanku orang yang paling bodoh. Bahkan lebih parah dari seorang anak yang tak pandai menghitung. Daun-daun pohon korsan yang rindang di sekeliling tempat ini menjadi saksi akan besarnya pengorbananku.

“Bang, ini daerah apa,ya?” Tiba-tiba seorang Bapak berambut pendek dengan suara khas batak terdengar begitu nyaring di samping telingaku. Aku yang tadinya anteng duduk di tangga menikmati dinginnya lantai keramik bekas semalam malah beringsut berdiri.

“Bah! Abang ini bagaimana, saya ini nanya sama abang. Abang diam pula!” Pandangannya memicing tepat menusuk mataku. Aku tersenyum paksa.

“Ngg.. Ini daerah Batam Cente,Pak. Taman Engku Putri. Jalan Engku Putri. Kelurahan Teluk Tering, kecamatan Batam Kota. Sekalian Pak. Kode posnya 29461.” Kataku agak ketus mendengar logatnya yang terdengar kasar di telingaku.

“Abang ini lucu juga rupanya. Saya ini tak mau kirim barang. Saya juga bukan ekspedisi pengiriman barang, tak perlu kode pos nampaknya,Bang.” Bapak tadi malah mengira aku sedang bercanda. Aku tersenyum sekali lagi.

Belum lagi sempat mengela napas. Di balik kerudung menjuntai sampai lengan, dengan mata buah leci, gigi berpagar behel trasnparan mendekat ke arahku. Mataku tak rela melepas setiap langkah yang semakin mendekat. Ah, benarkah itu kamu?

***

Sekarang kita duduk agak berjauhan—sekitar beberapa jengkal. Di lingkaran pembatas air mancur kita duduk bersama lagi. Sudah lama aku mengimpikan ini, itu sebabnya aku kembali mengunjungi kota industri lagi—setelah memutuskan untuk melanjutkan kuliahku di Ngawi,Jawa Timur.

Sayangnya, pertemuan ini terasa hambar. Rinduku yang meluap-luap tak bisa keluar, terkunci rapat dalam tempat yang entah kenapa sulit sekali terbuka. Kupandangi matamu yang sibuk memandangi objek lain. Aku tahu, yang menjadi sasaranmu adalah pohon palm berjajar dua atau tiga meter dari tempat kita duduk. Aku paham betul, di dalam hatimu pasti ada rindu. Andai kamu tahu, aku belum percaya dengan apa yang aku lihat sekarang.

“Mau ke sana, Kris?” ajakku memandangimu yang tersenyum memamerkan behel transparan yang nampaknya baru kamu pasang.

“Boleh,” singkat betul jawabanmu. Tak apa, aku sudah terbiasa. Setidaknya, selama ini lebih parah. Aku tak pernah mendengar suaramu.

Aku berdiri dengan cepat. Mendekat ke arahmu, dengan ligat aku menarik tanganmu—bermaksud untuk mempercepat langkah. Diluar dugaan, kamu menepis tanganku pelan.

“Maaf Bang, aku tak bisa seenaknya kamu pegang lagi.” Jawabanmu mengagetkanku. Sungguh,Kristin. Aku tak ingin berbuat buruk padamu. Aku hanya ingin menarikmu, mempercepat langkah kita. Ke pohon yang selama ini menjadi tempat kita bertemu di malam minggu.

“Maaf,Kristin. Aku tak tahu. Kupikir, sela-sela jarimu masih kosong untuk menampung jari tanganku. Ternyata tidak,ya.” Suaraku parau. Aku menunduk. Sedang pohon palm sudah di depan mata.

Kamu memilih duduk dan membiarkanku berdiri bersandar di pohon yang daunnya menjuntai ini. Kamu mengela napas, sementara mataku melihatmu lebih detail. Kakimu? Ah, payah! Kenapa kamu sekarang terlihat begitu aneh di mataku? Kuku kakimu dahulu yang selalu kamu lukis manis dengan macam-macam warna kutek sekarang terbalut rapat dengan kaus kaki. Rambut indah berwarna pirang ikal yang selalu aku elus tiap kamu bersender di pundakku juga kini telah berubah menjadi kerudung, dan tragisnya lebih dari sebahu.

“Bang, maaf sebelumnya. Soal tadi, soal sela jariku yang dulu kubiarkan kamu mengisinya. Biarlah itu menjadi kesalahan terbodohku,” katamu pelan. Kesalahan? Pernyataan macam apa itu,Kris?  Mataku mendelik, menyaksikan semua perubahanmu yang kian menusuk hatiku dalam. Sementara Bapak tadi muncul lagi di hadapanku, kini dia bersama remaja pria.

“Bang! Makasih ya, berkat Abang saya ketemu sama keponakan saya ini. Senang betul saya,Bang. Duluan bang!” Bapak itu membuyarkan suasana sendu di anatara kita. Aku lagi dan lagi tersenyum pada Bapak itu. Dan kembali fokus ke kamu.

“Kenapa kamu sekarang seperti ini sih,Kris?” mataku menatap matamu tajam. “Sudah terhitung lima tahun kita tak bertemu, selama itu aku terus memikirkan kamu. Mengkhayati ayat yang selama ini selalu kita ucapkan bersama. Berpegang teguh padanya, dan percaya akan menjadi nyata.” Aku berusaha mati-matian menyadarkanmu.

“Apa yang Tuhan satukan tak bisa dipisahkan oleh manusia,Kris. Kamu ingat itu kan? Itu yang selama ini menyatukan kita. Kita ditakdirkan untuk bersama oleh Tuhan. Kita tak bisa terpisah,Kris.” Suaraku benar-benar parau. Tak terasa air mataku kini mengalir, aku tak peduli sekarang dianggap lemah sebagai lelaki atau apa. Tapi kini aku merasa kita terlalu jauh, ada sekat dan dinding tebal menjuntai tinggi ke angkasa yang memisahkan kita.

“Seharusnya, tapi nampaknya Tuhan kita tak sama lagi. Bagaimana kita bisa disatukan pada jalur yang berbeda? Bagaimana kita bisa disatukan jika apa yang kita sembah sudah berbeda? Bagaimana pula kita bisa saling mencintai, memiliki keturunan dalam lingkaran perbedaan dan cara pandang? Maaf, Bang. Aku bukan Kristin yang dulu.” Jawabmu panjang lebar.

Taman ini sekarang lengang. Hanya ada satu dua orang yang berlalu lalang. Aku mencoba menguatkan hati. Kupahami lagi bentuk tanaman menjulang tinggi di depanku juga tempat di mana aku bersandar sekarang. Daun berbentuk panjang kecil menjuntai berwarna hijau tua diselingi dengan pucuk yang sedikit runcing tak berbuah. Pembatas antara pohon dan keramik-keramik taman yang dibuat tempat duduk, juga dengan pemadangan gedung berbentuk Masjid di depan kita. Semuanya berubah. Kamu yang mengubahnya. Menjadi satu rasa, hambar.

“Aku ke sini sebenarnya bukan untuk bertemu kamu, aku pergi bersama dia. Tapi kebetulan aku melihat kamu, yasudah. Dan sekali lagi Bang, jangan panggil aku Kristin. Sekarang namaku Asyifa.” Tanganmu menunjuk ke arah laki-laki berjanggut tipis, dengan tubuh berbidang, wajahnya tampak begitu teduh memang. Dan harus kuakui, kalian memang lebih serasi.

 Kakimu melangkah menjauhiku, tanpa ucapan selamat tinggal atau permintaan maaf yang jelas. Setidaknya maaf karena harus memilih keyakinan yang berbeda, atau apalah. Kamu pergi meninggalkan sejuta tanya, menghancurkan seribu janji dan harapan hidup bersama.
           
   “Bang,” kamu berhenti melangkah.
   “Ya?” kini aku berusaha membujuk hatiku untuk berlapang dada.
   “Apa yang Tuhan satukan memang tak bisa dipisahkan, tapi bisa digantikan. Mau bagaimanapun, separuh dari perjalanan hidupku pernah kuukir besamamu. Dan itu tak pernah bisa kupisahkan dalam ceritaku.” Senyummu mengembang dan menggenggam lelaki berpeci putih itu. Sementara aku masih mematung, mengisi tenaga yang entah berapa tahun lagi akan kembali utuh. Seperti saat aku percaya bahwa “Apa yang Tuhan satukan tak bisa dipisahkan manusia”.

Diikutkan #NarasiDaunDaun dari @KampusFiksi :’D
Kalau bener syukur. Kalau nggak ya nambah isi bloger aja deh. *ngeles* :3