Rinduku kadang memuncak, tapi aku tak pernah bisa
mengungkapkan. Rasanya pengungkapan malah memperburuk suasana. Memperburuk
keadaan yang nyatanya jauh lebih dahulu buruk. Bongkahan rindu itu kuharap
longsor bersama kecewa demi kecewa yang kau jejalkan setiap hari.
Tak lagi aku ingin berandai-andai, nyatanya tetap saja yang
menang itu bukan aku. Mungkin, aku terlalu payah untuk berlari mendekatimu, atau
kau yang terlalu lihai untuk memintal jarak di antara kita?
Entahlah, rasanya aku tak pernah keluar dari cerita buruk
ini. Tersungkur di kubangan cerita masa lalu yang harusnya telah kering. Terjerembab dalam kobaran rasa yang harusnya
telah padam.
Cerita pahit itu, kenangan masa lalu, caramu menyakinkanku. Semua
selalu berkeliaran dan menjadwal hadir dalam isi kepalaku. Nyatanya sekarang,
kupikir kau tak lebih dari sekadar pengganggu lamunan.
Kupikir Tuhan menciptakanmu untuk melangkah bersamaku, tapi
ternyata Tuhan menciptakanmu untuk membuat aku tahu rasanya terlupakan.
Kupikir Tuhan menciptakanmu untuk memberikan bahumu, tapi
ternyata Tuhan menjadikanmu perantara agar aku berjuang mencari sahabat yang
rela memberikan bahunya cuma-cuma untukku.
Kau, yang kupikir tak sampai hati menyakitiku bahkan menjadi
orang yang paling tega melihatku berjuang mati-matian hanya demi sebuah tali yang
telah putus itu kembali.
Kau, yang kupikir paling berbaik hati nyatanya menjadi orang
yang paling keras hatinya untuk sekadar memberikan senyum walau hanya sesekali.
Duhai, aku sekarang ingin memelukmu seperti aku memeluk
mereka ketika aku rindukan mereka di hariku. Aku ingin melihat seutas senyummu
yang kau rakit untukku. Aku ingin kembali bersenda gurau. Dan aku ingin, Tuhan
menjadikanmu pelipur laraku. Bukan menjadikanmu alasan laraku.
No comments:
Post a Comment