♫♬

Saturday, October 4, 2014

Tuhan Menyatukan Kita?

Tak ada yang peduli dengan keberadaanku di sini. Terlalu ramai dan mereka hanya memikirkan dirinya sendiri. Sedangkan aku hanya berkutat tepat di bawah tangga paling bawah dari gedung yang berdiri megah di tengah-tengah taman.

Pusat kota Batam selalu menjadikanku orang yang paling bodoh. Bahkan lebih parah dari seorang anak yang tak pandai menghitung. Daun-daun pohon korsan yang rindang di sekeliling tempat ini menjadi saksi akan besarnya pengorbananku.

“Bang, ini daerah apa,ya?” Tiba-tiba seorang Bapak berambut pendek dengan suara khas batak terdengar begitu nyaring di samping telingaku. Aku yang tadinya anteng duduk di tangga menikmati dinginnya lantai keramik bekas semalam malah beringsut berdiri.

“Bah! Abang ini bagaimana, saya ini nanya sama abang. Abang diam pula!” Pandangannya memicing tepat menusuk mataku. Aku tersenyum paksa.

“Ngg.. Ini daerah Batam Cente,Pak. Taman Engku Putri. Jalan Engku Putri. Kelurahan Teluk Tering, kecamatan Batam Kota. Sekalian Pak. Kode posnya 29461.” Kataku agak ketus mendengar logatnya yang terdengar kasar di telingaku.

“Abang ini lucu juga rupanya. Saya ini tak mau kirim barang. Saya juga bukan ekspedisi pengiriman barang, tak perlu kode pos nampaknya,Bang.” Bapak tadi malah mengira aku sedang bercanda. Aku tersenyum sekali lagi.

Belum lagi sempat mengela napas. Di balik kerudung menjuntai sampai lengan, dengan mata buah leci, gigi berpagar behel trasnparan mendekat ke arahku. Mataku tak rela melepas setiap langkah yang semakin mendekat. Ah, benarkah itu kamu?

***

Sekarang kita duduk agak berjauhan—sekitar beberapa jengkal. Di lingkaran pembatas air mancur kita duduk bersama lagi. Sudah lama aku mengimpikan ini, itu sebabnya aku kembali mengunjungi kota industri lagi—setelah memutuskan untuk melanjutkan kuliahku di Ngawi,Jawa Timur.

Sayangnya, pertemuan ini terasa hambar. Rinduku yang meluap-luap tak bisa keluar, terkunci rapat dalam tempat yang entah kenapa sulit sekali terbuka. Kupandangi matamu yang sibuk memandangi objek lain. Aku tahu, yang menjadi sasaranmu adalah pohon palm berjajar dua atau tiga meter dari tempat kita duduk. Aku paham betul, di dalam hatimu pasti ada rindu. Andai kamu tahu, aku belum percaya dengan apa yang aku lihat sekarang.

“Mau ke sana, Kris?” ajakku memandangimu yang tersenyum memamerkan behel transparan yang nampaknya baru kamu pasang.

“Boleh,” singkat betul jawabanmu. Tak apa, aku sudah terbiasa. Setidaknya, selama ini lebih parah. Aku tak pernah mendengar suaramu.

Aku berdiri dengan cepat. Mendekat ke arahmu, dengan ligat aku menarik tanganmu—bermaksud untuk mempercepat langkah. Diluar dugaan, kamu menepis tanganku pelan.

“Maaf Bang, aku tak bisa seenaknya kamu pegang lagi.” Jawabanmu mengagetkanku. Sungguh,Kristin. Aku tak ingin berbuat buruk padamu. Aku hanya ingin menarikmu, mempercepat langkah kita. Ke pohon yang selama ini menjadi tempat kita bertemu di malam minggu.

“Maaf,Kristin. Aku tak tahu. Kupikir, sela-sela jarimu masih kosong untuk menampung jari tanganku. Ternyata tidak,ya.” Suaraku parau. Aku menunduk. Sedang pohon palm sudah di depan mata.

Kamu memilih duduk dan membiarkanku berdiri bersandar di pohon yang daunnya menjuntai ini. Kamu mengela napas, sementara mataku melihatmu lebih detail. Kakimu? Ah, payah! Kenapa kamu sekarang terlihat begitu aneh di mataku? Kuku kakimu dahulu yang selalu kamu lukis manis dengan macam-macam warna kutek sekarang terbalut rapat dengan kaus kaki. Rambut indah berwarna pirang ikal yang selalu aku elus tiap kamu bersender di pundakku juga kini telah berubah menjadi kerudung, dan tragisnya lebih dari sebahu.

“Bang, maaf sebelumnya. Soal tadi, soal sela jariku yang dulu kubiarkan kamu mengisinya. Biarlah itu menjadi kesalahan terbodohku,” katamu pelan. Kesalahan? Pernyataan macam apa itu,Kris?  Mataku mendelik, menyaksikan semua perubahanmu yang kian menusuk hatiku dalam. Sementara Bapak tadi muncul lagi di hadapanku, kini dia bersama remaja pria.

“Bang! Makasih ya, berkat Abang saya ketemu sama keponakan saya ini. Senang betul saya,Bang. Duluan bang!” Bapak itu membuyarkan suasana sendu di anatara kita. Aku lagi dan lagi tersenyum pada Bapak itu. Dan kembali fokus ke kamu.

“Kenapa kamu sekarang seperti ini sih,Kris?” mataku menatap matamu tajam. “Sudah terhitung lima tahun kita tak bertemu, selama itu aku terus memikirkan kamu. Mengkhayati ayat yang selama ini selalu kita ucapkan bersama. Berpegang teguh padanya, dan percaya akan menjadi nyata.” Aku berusaha mati-matian menyadarkanmu.

“Apa yang Tuhan satukan tak bisa dipisahkan oleh manusia,Kris. Kamu ingat itu kan? Itu yang selama ini menyatukan kita. Kita ditakdirkan untuk bersama oleh Tuhan. Kita tak bisa terpisah,Kris.” Suaraku benar-benar parau. Tak terasa air mataku kini mengalir, aku tak peduli sekarang dianggap lemah sebagai lelaki atau apa. Tapi kini aku merasa kita terlalu jauh, ada sekat dan dinding tebal menjuntai tinggi ke angkasa yang memisahkan kita.

“Seharusnya, tapi nampaknya Tuhan kita tak sama lagi. Bagaimana kita bisa disatukan pada jalur yang berbeda? Bagaimana kita bisa disatukan jika apa yang kita sembah sudah berbeda? Bagaimana pula kita bisa saling mencintai, memiliki keturunan dalam lingkaran perbedaan dan cara pandang? Maaf, Bang. Aku bukan Kristin yang dulu.” Jawabmu panjang lebar.

Taman ini sekarang lengang. Hanya ada satu dua orang yang berlalu lalang. Aku mencoba menguatkan hati. Kupahami lagi bentuk tanaman menjulang tinggi di depanku juga tempat di mana aku bersandar sekarang. Daun berbentuk panjang kecil menjuntai berwarna hijau tua diselingi dengan pucuk yang sedikit runcing tak berbuah. Pembatas antara pohon dan keramik-keramik taman yang dibuat tempat duduk, juga dengan pemadangan gedung berbentuk Masjid di depan kita. Semuanya berubah. Kamu yang mengubahnya. Menjadi satu rasa, hambar.

“Aku ke sini sebenarnya bukan untuk bertemu kamu, aku pergi bersama dia. Tapi kebetulan aku melihat kamu, yasudah. Dan sekali lagi Bang, jangan panggil aku Kristin. Sekarang namaku Asyifa.” Tanganmu menunjuk ke arah laki-laki berjanggut tipis, dengan tubuh berbidang, wajahnya tampak begitu teduh memang. Dan harus kuakui, kalian memang lebih serasi.

 Kakimu melangkah menjauhiku, tanpa ucapan selamat tinggal atau permintaan maaf yang jelas. Setidaknya maaf karena harus memilih keyakinan yang berbeda, atau apalah. Kamu pergi meninggalkan sejuta tanya, menghancurkan seribu janji dan harapan hidup bersama.
           
   “Bang,” kamu berhenti melangkah.
   “Ya?” kini aku berusaha membujuk hatiku untuk berlapang dada.
   “Apa yang Tuhan satukan memang tak bisa dipisahkan, tapi bisa digantikan. Mau bagaimanapun, separuh dari perjalanan hidupku pernah kuukir besamamu. Dan itu tak pernah bisa kupisahkan dalam ceritaku.” Senyummu mengembang dan menggenggam lelaki berpeci putih itu. Sementara aku masih mematung, mengisi tenaga yang entah berapa tahun lagi akan kembali utuh. Seperti saat aku percaya bahwa “Apa yang Tuhan satukan tak bisa dipisahkan manusia”.

Diikutkan #NarasiDaunDaun dari @KampusFiksi :’D
Kalau bener syukur. Kalau nggak ya nambah isi bloger aja deh. *ngeles* :3



1 comment:

  1. Jadi ingat lagunya Marcell-Peri cintaku. Hehehehee...
    Narasi dan idenya bagus, tapi typo-nya banyak, Lan. :(
    Yuk, belajar menulis kutipan atau kalimat langsung.
    Semangat menulis.

    ReplyDelete