Tak ada yang
peduli dengan keberadaanku di sini. Terlalu ramai dan mereka hanya memikirkan
dirinya sendiri. Sedangkan aku hanya berkutat tepat di bawah tangga paling
bawah dari gedung yang berdiri megah di tengah-tengah taman.
Pusat kota
Batam selalu menjadikanku orang yang paling bodoh. Bahkan lebih parah dari
seorang anak yang tak pandai menghitung. Daun-daun pohon korsan yang rindang di
sekeliling tempat ini menjadi saksi akan besarnya pengorbananku.
“Bang, ini
daerah apa,ya?” Tiba-tiba seorang Bapak berambut pendek dengan suara khas batak
terdengar begitu nyaring di samping telingaku. Aku yang tadinya anteng duduk di
tangga menikmati dinginnya lantai keramik bekas semalam malah beringsut
berdiri.
“Bah! Abang ini
bagaimana, saya ini nanya sama abang. Abang diam pula!” Pandangannya memicing
tepat menusuk mataku. Aku tersenyum paksa.
“Ngg.. Ini
daerah Batam Cente,Pak. Taman Engku Putri. Jalan Engku Putri. Kelurahan Teluk
Tering, kecamatan Batam Kota. Sekalian Pak. Kode posnya 29461.” Kataku agak
ketus mendengar logatnya yang terdengar kasar di telingaku.
“Abang ini lucu
juga rupanya. Saya ini tak mau kirim barang. Saya juga bukan ekspedisi
pengiriman barang, tak perlu kode pos nampaknya,Bang.” Bapak tadi malah mengira
aku sedang bercanda. Aku tersenyum sekali lagi.
Belum lagi
sempat mengela napas. Di balik kerudung menjuntai sampai lengan, dengan mata
buah leci, gigi berpagar behel trasnparan mendekat ke arahku. Mataku tak rela
melepas setiap langkah yang semakin mendekat. Ah, benarkah itu kamu?
***
Sekarang kita
duduk agak berjauhan—sekitar beberapa jengkal. Di lingkaran pembatas air mancur
kita duduk bersama lagi. Sudah lama aku mengimpikan ini, itu sebabnya aku
kembali mengunjungi kota industri lagi—setelah memutuskan untuk melanjutkan
kuliahku di Ngawi,Jawa Timur.
Sayangnya, pertemuan
ini terasa hambar. Rinduku yang meluap-luap tak bisa keluar, terkunci rapat
dalam tempat yang entah kenapa sulit sekali terbuka. Kupandangi matamu yang
sibuk memandangi objek lain. Aku tahu, yang menjadi sasaranmu adalah pohon palm
berjajar dua atau tiga meter dari tempat kita duduk. Aku paham betul, di dalam
hatimu pasti ada rindu. Andai kamu tahu, aku belum percaya dengan apa yang aku
lihat sekarang.
“Mau ke sana,
Kris?” ajakku memandangimu yang tersenyum memamerkan behel transparan yang
nampaknya baru kamu pasang.
“Boleh,”
singkat betul jawabanmu. Tak apa, aku sudah terbiasa. Setidaknya, selama ini
lebih parah. Aku tak pernah mendengar suaramu.
Aku berdiri
dengan cepat. Mendekat ke arahmu, dengan ligat aku menarik tanganmu—bermaksud untuk
mempercepat langkah. Diluar dugaan, kamu menepis tanganku pelan.
“Maaf Bang, aku
tak bisa seenaknya kamu pegang lagi.” Jawabanmu mengagetkanku. Sungguh,Kristin.
Aku tak ingin berbuat buruk padamu. Aku hanya ingin menarikmu, mempercepat
langkah kita. Ke pohon yang selama ini menjadi tempat kita bertemu di malam
minggu.
“Maaf,Kristin.
Aku tak tahu. Kupikir, sela-sela jarimu masih kosong untuk menampung jari
tanganku. Ternyata tidak,ya.” Suaraku parau. Aku menunduk. Sedang pohon palm
sudah di depan mata.
Kamu memilih
duduk dan membiarkanku berdiri bersandar di pohon yang daunnya menjuntai ini.
Kamu mengela napas, sementara mataku melihatmu lebih detail. Kakimu? Ah, payah!
Kenapa kamu sekarang terlihat begitu aneh di mataku? Kuku kakimu dahulu yang
selalu kamu lukis manis dengan macam-macam warna kutek sekarang terbalut rapat
dengan kaus kaki. Rambut indah berwarna pirang ikal yang selalu aku elus tiap
kamu bersender di pundakku juga kini telah berubah menjadi kerudung, dan
tragisnya lebih dari sebahu.
“Bang, maaf
sebelumnya. Soal tadi, soal sela jariku yang dulu kubiarkan kamu mengisinya. Biarlah
itu menjadi kesalahan terbodohku,” katamu pelan. Kesalahan? Pernyataan macam
apa itu,Kris? Mataku mendelik,
menyaksikan semua perubahanmu yang kian menusuk hatiku dalam. Sementara Bapak
tadi muncul lagi di hadapanku, kini dia bersama remaja pria.
“Bang! Makasih
ya, berkat Abang saya ketemu sama keponakan saya ini. Senang betul saya,Bang. Duluan
bang!” Bapak itu membuyarkan suasana sendu di anatara kita. Aku lagi dan lagi
tersenyum pada Bapak itu. Dan kembali fokus ke kamu.
“Kenapa kamu
sekarang seperti ini sih,Kris?” mataku menatap matamu tajam. “Sudah terhitung
lima tahun kita tak bertemu, selama itu aku terus memikirkan kamu. Mengkhayati
ayat yang selama ini selalu kita ucapkan bersama. Berpegang teguh padanya, dan
percaya akan menjadi nyata.” Aku berusaha mati-matian menyadarkanmu.
“Apa yang Tuhan
satukan tak bisa dipisahkan oleh manusia,Kris. Kamu ingat itu kan? Itu yang
selama ini menyatukan kita. Kita ditakdirkan untuk bersama oleh Tuhan. Kita tak
bisa terpisah,Kris.” Suaraku benar-benar parau. Tak terasa air mataku kini
mengalir, aku tak peduli sekarang dianggap lemah sebagai lelaki atau apa. Tapi kini
aku merasa kita terlalu jauh, ada sekat dan dinding tebal menjuntai tinggi ke
angkasa yang memisahkan kita.
“Seharusnya,
tapi nampaknya Tuhan kita tak sama lagi. Bagaimana kita bisa disatukan pada
jalur yang berbeda? Bagaimana kita bisa disatukan jika apa yang kita sembah
sudah berbeda? Bagaimana pula kita bisa saling mencintai, memiliki keturunan
dalam lingkaran perbedaan dan cara pandang? Maaf, Bang. Aku bukan Kristin yang
dulu.” Jawabmu panjang lebar.
Taman ini
sekarang lengang. Hanya ada satu dua orang yang berlalu lalang. Aku mencoba
menguatkan hati. Kupahami lagi bentuk tanaman menjulang tinggi di depanku juga
tempat di mana aku bersandar sekarang. Daun berbentuk panjang kecil menjuntai
berwarna hijau tua diselingi dengan pucuk yang sedikit runcing tak berbuah. Pembatas
antara pohon dan keramik-keramik taman yang dibuat tempat duduk, juga dengan
pemadangan gedung berbentuk Masjid di depan kita. Semuanya berubah. Kamu yang
mengubahnya. Menjadi satu rasa, hambar.
“Aku ke sini
sebenarnya bukan untuk bertemu kamu, aku pergi bersama dia. Tapi kebetulan aku
melihat kamu, yasudah. Dan sekali lagi Bang, jangan panggil aku Kristin.
Sekarang namaku Asyifa.” Tanganmu menunjuk ke arah laki-laki berjanggut tipis,
dengan tubuh berbidang, wajahnya tampak begitu teduh memang. Dan harus kuakui,
kalian memang lebih serasi.
Kakimu melangkah menjauhiku, tanpa ucapan
selamat tinggal atau permintaan maaf yang jelas. Setidaknya maaf karena harus
memilih keyakinan yang berbeda, atau apalah. Kamu pergi meninggalkan sejuta tanya,
menghancurkan seribu janji dan harapan hidup bersama.
“Bang,” kamu berhenti melangkah.
“Ya?” kini aku berusaha membujuk hatiku untuk
berlapang dada.
“Apa yang Tuhan satukan memang tak bisa
dipisahkan, tapi bisa digantikan. Mau bagaimanapun, separuh dari perjalanan
hidupku pernah kuukir besamamu. Dan itu tak pernah bisa kupisahkan dalam
ceritaku.” Senyummu mengembang dan menggenggam lelaki berpeci putih itu. Sementara
aku masih mematung, mengisi tenaga yang entah berapa tahun lagi akan kembali
utuh. Seperti saat aku percaya bahwa “Apa yang Tuhan satukan tak bisa
dipisahkan manusia”.
Diikutkan
#NarasiDaunDaun dari @KampusFiksi :’D
Kalau bener
syukur. Kalau nggak ya nambah isi bloger aja deh. *ngeles* :3
Jadi ingat lagunya Marcell-Peri cintaku. Hehehehee...
ReplyDeleteNarasi dan idenya bagus, tapi typo-nya banyak, Lan. :(
Yuk, belajar menulis kutipan atau kalimat langsung.
Semangat menulis.