♫♬

Sunday, March 22, 2015

Satu Hal

Sepertinya, aku harus menata ulang hatiku. Agar tak ada rasa yang menyelonong masuk tanpa penolakan. Kupikir aku hebat, kupikir aku bisa mentralkan rasa dalam semua suasana. Namun nyatanya semua hanya omong kosong. Mimpi belaka. Hatiku masih kerap goyah, bahkan untuk menerjemahkan rasa dalam kata.

Ada rasa yang tak terjelaskan. Meluap, membanjiri isi kepala. Tapi sayangnya, semakin ingin aku kuras ia agar keluar. Semakin meluaplah ia. Aku merasa terlampau bodoh sekarang. Bahkan untuk sekadar menjaga hati.

Ternyata wanita yang mereka bilang kerudungnya labuh ini terlampau lemah. Aku jadi bercermin, berkali-kali membujuk hatiku untuk tetap sendiri. Tetap berkutat dengan dunia yang telah aku ciptakan. Berkeliling dengan rute yang itu-itu saja. Seharusnya aku tetap di tempat. Bukan mencoba keluar dari apa yang telah aku lukis.

Aku tak perlu dunia baru, harusnya aku sendiri. Harusnya aku tak mengenal apa itu rasa. Harusnya aku tak banyak bermimpi. Harusnya aku tak perlu mencoba mengasihi, harusnya aku tak peduli. Dan seharusnya, aku memang tak pernah bersosialisasi.

Rasa itu menyakitkan, meski singkat. Rasanya semua jelas. Aku tahu sekarang, mengapa sebaiknya aku diam. Mengapa sebaiknya aku dianggap tak punya teman, atau bakan aku dianggap tak normal. Karena kamu tahu? Mencoba mengasihi orang yang justru mengasihi orang lain rasanya menyesakkan.

Aku tak perlu berputar dua kali untuk mengerti keadaan. Sepertinya, aku tercipta untuk menciptakan duniaku sendiri. Bukan ikut dengan dunia yang orang lain ciptakan.

Aku berbeda, dan akan tetap dianggap berbeda. Bagaimapun, mencoba untuk sama mati-matian pun. Aku adalah apa yang tak diharapkan.

Allahku, sekian lama saya menutup diri. Menutup hati pada rasa-rasa yang entahlah. Sekian lama saya mencoba asik dengan dunia yang saya ciptakan. Namun kenapa Kau biarkan saya keluar sejengkal? Lalu inilah hasilnya. Perasaan bodoh yang sekarang menjadi bayang-bayang saya.

Satu hal yang saya sadari sekarang,Allah.

Saya memang tak sebaik apa yang orang lain katakan.

Tuesday, March 17, 2015

Izinkan Saya Bertanya, Tuhan

Tuhan, saya ingin bertanya kenapa.

Kenapa saya tercipta dengan separuh hati yang lemah. Dengan separuh hati yang mudah dibawa pergi, juga separuh perasaan yang mudah saya titipkan?

Kenapa saya begitu mahir mengalah sedang rasanya banyak orang yang tak menghiraukan kenapa saya mengalah. Saya seperti tercipta dari separuh hati yang memang sudah retak, yang dengan sedikit sentuhan saja semuanya berantakan begitu saja.

Tuhan, saya jarang bertanya seperti ini. Kali ini pertanyaan itu boleh jadi dipuncaknya. Mereka lelah begitu saja menggantung di ujung tiang pikiran saya. Mereka hendak jatuh namun tak mampu, terbang apalagi. Mereka—pertanyaan itu—beranak pinak di tempat.

Tuhan, bolehkan kiranya Kau memberikan jawaban?

Separuh hati saya yang saya titipkan, juga dengan separuh lengkung bibir saya yang saya percayakan. Rasanya menjadi begitu hambar ketika saya seorang diri. Kenapa saya cepat merasa kebahagiaan cepat hilang dari hidup saya?

Saya tahu, ini hanya sementara. Tapi menyakitkan. Saya sudah terbiasa bercampur tawa tiap hari. Dan jika mereka tak ada kenapa rasanya saya terjatuh?

Itu pertanyaan pertama saya, kenapa saya seolah menggantungkan bahagia pada mereka sedangkan mereka sebaliknya?


Saturday, March 14, 2015

Mereka adalah Senyum Saya

Saya selalu ingin melihat orang yang saya sayang tidak merasa terusik dengan keberadaan saya. Saya juga selalu berusaha untuk tidak menyusahkan mereka, meski sebenarnya kadang saya butuh saya lebih memilih diam, melakukan sendiri meski mati-matian.

Saya, saya selalu ingin melindungi orang yang saya kasihi, meski harus saya yang terlihat salah. Bukankah sejauh ini saya selalu melakukan ini sendirian? Jika saya jujur, saya juga lelah. Berpikir ini-itu sendiri—tanpa diutarakan.

Apakah saya hanya ditakdirkan memberi pertolongan tanpa mendapatkan pertolongan dengan senyuman?

Saya merasa bersalah melihat mereka menyunggingkan bibirnya ketika saya dengan terpaksa meminta sesuatu karena saya tidak bisa melakukan itu sendiri. Saya merasa sedih, kenapa saya harus meminta pertolongan pada mereka. Ini bukan tentang apa-apa, ini hanya tentang pertanyaan “Apa hanya saya yang harus berjuang membahagiakan dan menjaga hati mereka?”

Berkali-kali saya selalu merangkai hati saya yang patah. Saya tahu mereka baik, mereka juga mencintai saya. Tapi saya masih berpikir, mungkin mereka tidak seperasa saya.

Saya mencoba membuat mereka bangga memiliki saya, saya selalu berusaha melakukan hal yang membuat mereka tersenyum, entah itu dianggap atau tidak.

Apakah pinta saya terlalu tinggi? Saya ingin mereka seperasa saya. Paling tidak mengerti, bagaimana saya selama ini berjuang untuk mereka.

Sekali lagi, saya tahu mereka berjuang. Sama seperti saya berjuang.

Senyum yang selalu saya sumbangkan tak melulu karena saya bahagia. Saya selalu berjuang untuk mereka tersenyum, untuk mereka tertawa, dan menyumbangkan warna.

Sekali lagi,saya tahu mereka berusaha. Tapi, sadarkah mereka senyum kecut yang mereka berikan beberapa saat atau respon datar ketika saya meminta sesuatu adalah hal yang paling membuat saya runtuh? Entahlah.. Saya harap mereka tahu.

Karena meraka adalah senyum saya. Sampai detik inis aya berusaha untuk selalu ada.