♫♬

Sunday, August 30, 2015

Semoga Saya Bermimpi

Saya masih seolah bermimpi pagi ini, seseorang yang lugu menurut pandangan saya, lebih baik sifatnya dari saya, lebih takut akan hal-hal baru dari saya membuat saya sempurna tak mampu membendung air mata.

Benarkah bahwa cinta itu membutakan, Ya Allah? Jika memang benar, saya harap saya tidak mengenal cinta sampai jodoh yang Kau takdirkan datang itu mengkhitbah saya. Haruskah perempuan semacam saya dan dia bergantung kebahagiaan pada seseorang pria yang entah itu ditakdirkan atau bahkan hanya pelengkap cerita?

Saya sempurna tidak mengerti, Ya Allah. Barangkali kami masih bebal, masih bodoh mengartikan cinta pada usia dini. Tapi lihatlah, Ya Allah. Kenapa harus dia yang sedang hijrah di jalanMu yang harus terjun pada dunia yang belum pernah kusentuh sebelumnya?

Kenapa telinga saya yang harus mendengar rangkaian kata dari bibir manis yang selama ini saya tahu tersendat-sendat mohon ampun padaMu, Wahai Pemilik Hati? Kenapa harus teman yang saya lihat semangat hijrahnya membabi buta? Kenapa harus dia yang terenggut bahagianya?

Saya tak marah, saya tak benci, saya tak menyalahkan siapapun. Saya bahkan menyalahkan diri saya sendiri. Harusnya saya merangkulnya lebih erat. Membuatnya bangkit dengan tangan saya. Apalah arti kosakata hijrah yang pernah saya lontarkan jika saya sendiri melepasnya?

Maafkan saya, teman. Marahlah pada saya jika memang saya adalah sebab kamu merasa kecewa dan akhirnya mencari sandaran lain selain seorang teman yang tak tahu diri seperti saya. Maafkan saya yang sering berkoar tentang persahabatan justeru membiarkan kamu seperti sekarang. Saya salah, dan saya minta maaf.

Mungkin seribu kata maaf dan abjad yang saya rangkai tak mungkin bisa mengembalikan semua. Tapi berjanjilah pada saya, berjanjilah, saya mohon… Berjanjilah untuk berhenti berkecimpung pada dunia itu. Kembalilah bersama saya, kembalilah,Sayang, Kembali… Saya berjanji akan memelukmu seerat mungkin, seerat yang saya bisa. Sumpah! Detik  ini hati saya masih sesak, air mata saya masih sering menetes tiba-tiba. Demi Allah, saya belum rela….

Saya mohon, kembalilah….

Bukan Kerudung Sampah,Tuan

Tulisan ini sengaja kutulis, kurangkai, kutujukan pada kamu. Wahai seseorang yang dahulu kuanggap malaikat pula untuk teman dekatku…

Takkah kamu malu dengan gelar yang kamu sandang sebagai seorang Ayah atas anak-anakmu? Sebagai seseorang yang mereka banggakan, sebagai seorang superhero berwujud nyata yang Tuhan anugerahkan pada mereka? Takkah sebenarnya kamu sadar, bagaimana jika seandainya kamu menjadi mereka, dan kamu dapati Ayahnya berperilaku semacam itu?

Dengan atau tanpa alasan. Kurasa tak pantas seorang yang menjadi kebanggaan putri kecilnya mengkhianati kebahagiaan dan janji-janji kehidupan yang damai. Apa janji kesetiaan, kasih sayang, dan moral-moral yang kerap kali seorang Ayah katakana pada putri-putri kecilnya adalah omong kosong?

Wahai kamu,  Seandainya kamu tahu, aku adalah orang yang paling terpental keras mendengar sebuah pengakuan. Tidak, aku tidak akan membahas dan mencomooh teman dekatku. Sumpah! Kamu tidak pernah tahu bagaimana seorang aku belajar mati-matian menarik sahabat-sahabatku menuju jalanNya.

Lantas lihat,Tuan… Kamu benar-benar menang. Selama ini aku diam, bukan berarti aku tidak peduli dengan keberadaan temanku yang telah kamu cintai ini. Diam-diam ada bangga yang menjalar tanpa ucapan. Diam-diam ada rangkaian doa “Semoga dia lantas menjadi alasan untuk aku masuk syurga, karena telah mengingatkannya”
Dan sekarang,Tuan.. Kamu justeru merenggut do’aku. Kamu menang atas segala sudut. Kamu kuasai jiwa teman dekatku. Kamu bahkan menariknya dalam dunia yang tak ia mau. Hey, takkah kamu berpikir ada air mata lain yang jatuh karena tingkahmu?

Setidak pantas itukah aku menarik temanku menuju jalan yang benar? Kenapa justeru kamu menariknya lebih jauh dari tarikanku untuk kebenaran? Kenapa justeru kamu yang membuat temanku yang telah mati-matian hijrah ini terjun lagi pada lubang yang lebih suram dari kehidupan sebelumnya?

Aku tidak benar, sama sekali belum benar dalam segala hal. Tapi sumpah,Tuan. Sumpah atas nama Tuhan. Aku tidak pernah rela kamu memperlakukan teman dekatku seperti seorang ratu. Semata-mata bukan karena aku iri. Tapi lihatlah,Tuan. Apa yang telah kamu lakukan? Kamu pikir kain panjang yang tersemat di rambutnya adalah sampah yang tak bermakna?

Kerudung kami bukan kerudung sampah,Tuan. Kerudung kami bukanlah kain lap yang darinya kamu bisa gunakan untuk menghapuskan kotoran. Kerudung kami bukan hanya penutup kepala,Tuan. Sumpah! Aku justeru jadi saksi bagaimana dia Hijrah. Lalu, kenapa kamu seperti manusia yang tak bernalar untuk menariknya semacam itu? Lantas, mana takutmu kepada Tuhanmu?

Mana cinta yang kamu sebut-sebut kepada temanku? Takkah seharusnya cinta yang kamu sebut itu kamu tujukan dulu pada dirimu, keluargamu, juga Tuhanmu?

Kamu anggap apalah kain panjang yang menutupinya selama ini? Kamu anggap apalah hijrah yang selama ini ia mati-matian kejar? Kamu anggap apalah usahanya merangkak menuju Tuhan? Kamu anggap apalah syariat-syariat islam yang seharusnya kamu lebih paham?

Tulisan ini, bukan karena aku merasa lebih dewasa dari kamu. Bukan merasa paling hebat dan paling tahu. Tapi lihatlah,Tuan. Aku, temannya, mencintainya, menuntunnya menuju Tuhan bersama, merangkak menangis kesusahan mempertahankan diri. Dan sekarang, kamu meruntuhkan benteng pertahananan temanku. Takkah itu menyakitkan untukku? Takkah itu lebih menyakitkan dari kehilangan seseorang yang berarti di hidupmu?

Aku merasa gagal. Aku merasa semua sia-sia. Dan selamat, kamu menang atas permaianan ini. Semoga Allah membukakan hatimu, membuatmu sadar, bahwa permainan yang kamu rangkai ini sama sekali tak lucu untukku—juga untuk temanku.

Dengarlah,Tuan.
Kerudung yang tersemat di kepala kami bukanlah kerudung sampah. Bukanlah asal-asalan. Kerudung-kerudung kami proses. Kerudung-kerudung kami adalah bukti seberapa jauh kami merangkak menuju jalan yang lebih terang.

Dengarlah,Tuan..
Hidup kami masih panjang, Tuhan kami masih menunggu semangat kami menujuNya.
Takkah sebenarnya kita memiliki Tuhan yang sama. Lalu mana toleransimu? Mana bukti cintamu padaNya?

Terimakasih,Tuan. Semoga Allah benar-benar membebaskan sahabatku dari belenggu kemaksiatan yang terbungkus oleh kasih sayang yang tak wajar…

Friday, August 28, 2015

Dear And To My Self

Dear My Self..
Takkah seharusnya kau sadar bahwa meski boleh jadi kau menjadi pilihan pertamanya, kau justeru tak bisa berbuat apa-apa! Takkah seharusnya kau sadar diri, meski berulang-ulang kau mencoba untuk menyatu pada akhirnya kau tak akan pernah sama!

Hey, takkah ini begitu menyakitkan hatimu? Takkah ini membuatmu kerap menangis seorang diri? Takkah kau lelah untuk berjuang? Takkah kau rasakan ini perjuangan yang sia-sia?

***

To My Self…
Jika saya bisa, seharusnya dari awal saya bahkan tidak memilih untuk bersama. Tidak memilih untuk berjuang, tidak memilih untuk menopang, tidak memilih untuk tertawa berdua, juga tidak memilih untuk membiarkan siapapun masuk lagi dalam hari saya.

Saya tahu, saya takkan pernah mampu berjalan pada ajaran yang sama. Tak mampu membaca kitab yang sama. Juga saya sadar, bahwa saya tidak mungkin pernah menyembah apa yang ia sembah hanya karena persahabatan.

Tapi lihatlah, meski perbedaan merenggut akhir persahabatan saya. Saya sekali-kali tidak ingin meninggalkan. Karena takkah kau sebenarnya paham,sayang? Ditinggalkan itu menyakitkan.

To My Self…
Jika tiba masa di mana saya harus mengalah, saya harus menyerah, dan saya harus melepaskan dia untuk seseorang sahabat yang jauh bisa menolongnya. Saya akan rela. Meski direla-relakan. Saya akan tesenyum, meski disenyum-senyumkan..

Karena kau tahu, Diri? Lebih menyakitkan jika saya harus melihatnya bertahan dalam perbedan hanya karena sebuah persahabatan….

Tertanda,
Saya.


Untuk,
Diri Saya.

Sunday, August 23, 2015

Leluconmu Tidak Lucu,Pria

Aku semacam disadarkan dari lamunanku selama ini. Aku tertampar keras dengan kenyataan yang berbanding terbalik dengan ilusi. Terdampar ditepian mimpi yang selama ini kugurat secara indah. Nyatanya, semuanya kini menyakitkan.

Takkah lebih menyedihkan jika kamu terlebih dahulu tahu bahwa semua akan berakhir menyesakkan? Bagaimana bisa kamu melanjutkan khayalan yang semakin hari semakin membuatmu berkubang pada sebuah lubang, yang di dalamnya tak ada seorangpun yang peduli.

Lihatlah, apa yang bisa aku harapkan sekarang dari ilusiku? Kenyataannya malam ini mataku terbuka lebar atas sesuatu yang selama ini kuusahakan untuk tertutup rapat.

Kupikir aku adalah satu-satunya perempuan yang diharapkan dalam hidupnya. Nyatanya sama saja, aku adalah orang kesekian yang dijadikan pilihan, aku bukan seorang diri, dan bualan atas hidup bersama aku rasa hanya leluconnya.

Meski aku bukan siapa-siapa, takkah dia waras telah menyandingkanku dengan nama lain dalam satu situasi yang bersamaan? Baiklah jika menurutnya perempuan itu juga berarti, bisakah dia sedikit mengerti untuk tidak menyakiti perasaanku?

Hati yang selama ini tak pernah kutitipkan pada siapapun kecuali sahabat-sahabatku, justeru telah ia patahkan. Telah ia retakkan. Meski sedikit, aku yakin itu akan berulang-ulang.

Tidak ada lagi harapan yang aku gantungkan padamu, wahai lelaki yang ternyata sama saja dengan yang sudah-sudah. Biarlah Allah yang menjadi sebaik-baik penulis scenario hidupku. Pergilah, kulepaskan kau dengan segala janji yang tak sadar kau khianati..

Tinggal aku di sini menunggu, siapa yang benar akan menjadi pangeranku. Dengan atau tanpa kau, kuharap semua akan berjalan sempurna. Sudahlah, omong kosong soal menjaga hati, menjadi diri yang lebih baik, semua benar-benar omong kosong.

Bagaimana bisa seseorang berjuang secara sepihak? Hah, maaf leluconmu tidak lucu, Pria.

Aku. Kamu. Kita. Beda.

Kamu mungkin belum pernah merasakan ketakutan seperti yang aku alami. Atau kamu pernah merasakannya tapi bukan karenaku, atau kamu sempat merasakannya tapi tak kamu hiraukan. Atau atau dan atau lainnya hanya kamu yang bisa menjawab.

Sahabat,  Tanpa ragu kusebut kamu seperti itu. Wanita tangguh yang selama ini mendaratkan harinya dalam kehidupanku. Yang tutur sapanya selalu aku tunggu, yang rangkulannya aku rindu, yang senyumnya menjadi pelipur sedihku.

Lama sudah kita berjalan berdua, menapak kehidupan dari masa SMK. Hingga kini, kusingkirkan semua egoku akan masa lalu yang menyakitkan, hingga kini aku tekatkan merangkul kamu untuk menjadi teman karib yang tak rela kulepaskan meski hanya sesaat.

Lihatlah, mungkin terlalu berlebihan jika aku menjadikan kamu separuh dari bahagiaku jika barangkali aku bukan separuh dari bahagia yang kamu tunggu. Mungkin pula, aku yang masih besar kepala dengan gelar-gelar persahabatan yang aku sematkan untukmu tapi tidak kamu sematkan dalam diriku.

Temanku, satu kenyataan yang menohok menyadarkanku dari serangkaian cerita yang aku ukir bersama kamu. Kenyataan atas perbedaan yang mendasar. Mungkin, bagi sebagian orang tak ada masalah. Tapi justeru itu menjadi masalah jika kamu sudah menggunakan perasaan.

Demi Allah, aku menyayangimu. Takkah kamu lihat aku tak pernah rela berdiam diri tanpamu? Benar, aku menggantungkan kebahagiaanku pada kamu. Memang bukan salahmu jika pada akhirnya aku kecewa karena ketika kamu pergi memilih tertawa bersama temanmu yang lain maka akulah yang akan kehilangan bahagianya.

Tapi tidak, bukan soal itu. Namun soal ini :
“Ada beberapa golongan yang akan masuk dalam syurga. Salah satunya adalah dua orang sahabat yang saling mencintai karena Allah.”

Lantas, apakah kita termasuk dalam kalimat yang ada dalam keyakinanku itu? Apakah aku bisa berbicara kepadamu “Aku mencintamu karena Allah, sahabatku,” jika apa yang kita sembah justeru tak sama?

Aku sempurna menangis malam ini, aku hanya ingin memelukmu, merengkuhmu dalam imaji tanpa perbedaan yang tak mampu melebur ini. Tapi apalah, setelah aku tersadar justeru semua amat menyakitkan.

Tamparan keras yang begitu dahsyat menggoncang relungku, malam ini. Dari ribuan mimpi yang ada, berlari bersamamu menuju syurgaNya semacam lelucon hidupku. Takkah kamu bisa menarikku dan mencariku di neraka jika ternyata benar kamu tenang dalam syurgaNya ketika asmaNya saja tak sama?

Lalu, menurutmu apalah arti sayang yang selama ini aku sebut-sebut jika pada akhirnya aku juga tak mampu merengkuhmu menuju syurgaNya bersama?

Yang menjadi pertanyaanku adalah kenapa takdir terkadang tak mampu aku artikan isyaratnya? Lihatlah, kamu sendiri paham bagaimana susahnya aku bersatu pada orang yang katanya menyembah Tuhan yang sama. Lihatlah, kamu bahkan sudah terlampau mengerti bagaimana ungkapan mereka yang menjatuhkanku, mendorongku dalam jurang ketidakpercayaan diri.

Bagaimana bisa hidup sekonyol ini? Aku berjuang untuk orang yang boleh jadi bisa aku rangkul bersama menuju Tuhan yang sama justeru menolakku mentah-mentah. Mencampakkanku lebih jauh.

Jika benar, pada akhirnya memang tak ada keajaiban yang menyatukan kita kepada Tuhan yang sama. Maka saat ini juga aku sampaikan permintaan maafku, maaf telah masuk dalam duniamu dan menjadikanmu kebahagiaanku. Maaf karena telah menarikmu dalam rasa persahabatan yang berbeda karena cara pujian kita atasNya berbeda.

Memang benar kalimat ini untuk kita.
Ada saat di mana kita saling meninggalkan, bukan karena membenci, namun karena sebesar apapun cinta pada persahabatan ini. Kita akan jauh lebih memilih cinta terhadap Tuhan yang maha memiliki..

Teruntuk kamu sahabatku yang berbeda keyakinannya.. Aku terkadang menyerah karena tahu tak bisa menolongmu. Tapi untuk meninggalkanmu pun, rasanya tak mungkin. Sebab semua telah terlanjur, rasa sayangku begitu membuncah. Persahabatan ini begitu berharga.

Apapun yang terjadi, percayalah. Tak ada secuil benci yang tercipta untukmu..
Aku mencintamu atas nama Tuhanku di atas keyakinanku. Aku mencintamu lantas tak pula aku membenarkan keyakinanmu. Maaf sahabat, akhirnya kita memang akan berbeda….