♫♬

Sunday, August 23, 2015

Aku. Kamu. Kita. Beda.

Kamu mungkin belum pernah merasakan ketakutan seperti yang aku alami. Atau kamu pernah merasakannya tapi bukan karenaku, atau kamu sempat merasakannya tapi tak kamu hiraukan. Atau atau dan atau lainnya hanya kamu yang bisa menjawab.

Sahabat,  Tanpa ragu kusebut kamu seperti itu. Wanita tangguh yang selama ini mendaratkan harinya dalam kehidupanku. Yang tutur sapanya selalu aku tunggu, yang rangkulannya aku rindu, yang senyumnya menjadi pelipur sedihku.

Lama sudah kita berjalan berdua, menapak kehidupan dari masa SMK. Hingga kini, kusingkirkan semua egoku akan masa lalu yang menyakitkan, hingga kini aku tekatkan merangkul kamu untuk menjadi teman karib yang tak rela kulepaskan meski hanya sesaat.

Lihatlah, mungkin terlalu berlebihan jika aku menjadikan kamu separuh dari bahagiaku jika barangkali aku bukan separuh dari bahagia yang kamu tunggu. Mungkin pula, aku yang masih besar kepala dengan gelar-gelar persahabatan yang aku sematkan untukmu tapi tidak kamu sematkan dalam diriku.

Temanku, satu kenyataan yang menohok menyadarkanku dari serangkaian cerita yang aku ukir bersama kamu. Kenyataan atas perbedaan yang mendasar. Mungkin, bagi sebagian orang tak ada masalah. Tapi justeru itu menjadi masalah jika kamu sudah menggunakan perasaan.

Demi Allah, aku menyayangimu. Takkah kamu lihat aku tak pernah rela berdiam diri tanpamu? Benar, aku menggantungkan kebahagiaanku pada kamu. Memang bukan salahmu jika pada akhirnya aku kecewa karena ketika kamu pergi memilih tertawa bersama temanmu yang lain maka akulah yang akan kehilangan bahagianya.

Tapi tidak, bukan soal itu. Namun soal ini :
“Ada beberapa golongan yang akan masuk dalam syurga. Salah satunya adalah dua orang sahabat yang saling mencintai karena Allah.”

Lantas, apakah kita termasuk dalam kalimat yang ada dalam keyakinanku itu? Apakah aku bisa berbicara kepadamu “Aku mencintamu karena Allah, sahabatku,” jika apa yang kita sembah justeru tak sama?

Aku sempurna menangis malam ini, aku hanya ingin memelukmu, merengkuhmu dalam imaji tanpa perbedaan yang tak mampu melebur ini. Tapi apalah, setelah aku tersadar justeru semua amat menyakitkan.

Tamparan keras yang begitu dahsyat menggoncang relungku, malam ini. Dari ribuan mimpi yang ada, berlari bersamamu menuju syurgaNya semacam lelucon hidupku. Takkah kamu bisa menarikku dan mencariku di neraka jika ternyata benar kamu tenang dalam syurgaNya ketika asmaNya saja tak sama?

Lalu, menurutmu apalah arti sayang yang selama ini aku sebut-sebut jika pada akhirnya aku juga tak mampu merengkuhmu menuju syurgaNya bersama?

Yang menjadi pertanyaanku adalah kenapa takdir terkadang tak mampu aku artikan isyaratnya? Lihatlah, kamu sendiri paham bagaimana susahnya aku bersatu pada orang yang katanya menyembah Tuhan yang sama. Lihatlah, kamu bahkan sudah terlampau mengerti bagaimana ungkapan mereka yang menjatuhkanku, mendorongku dalam jurang ketidakpercayaan diri.

Bagaimana bisa hidup sekonyol ini? Aku berjuang untuk orang yang boleh jadi bisa aku rangkul bersama menuju Tuhan yang sama justeru menolakku mentah-mentah. Mencampakkanku lebih jauh.

Jika benar, pada akhirnya memang tak ada keajaiban yang menyatukan kita kepada Tuhan yang sama. Maka saat ini juga aku sampaikan permintaan maafku, maaf telah masuk dalam duniamu dan menjadikanmu kebahagiaanku. Maaf karena telah menarikmu dalam rasa persahabatan yang berbeda karena cara pujian kita atasNya berbeda.

Memang benar kalimat ini untuk kita.
Ada saat di mana kita saling meninggalkan, bukan karena membenci, namun karena sebesar apapun cinta pada persahabatan ini. Kita akan jauh lebih memilih cinta terhadap Tuhan yang maha memiliki..

Teruntuk kamu sahabatku yang berbeda keyakinannya.. Aku terkadang menyerah karena tahu tak bisa menolongmu. Tapi untuk meninggalkanmu pun, rasanya tak mungkin. Sebab semua telah terlanjur, rasa sayangku begitu membuncah. Persahabatan ini begitu berharga.

Apapun yang terjadi, percayalah. Tak ada secuil benci yang tercipta untukmu..
Aku mencintamu atas nama Tuhanku di atas keyakinanku. Aku mencintamu lantas tak pula aku membenarkan keyakinanmu. Maaf sahabat, akhirnya kita memang akan berbeda….

No comments:

Post a Comment