Jangan menangis, sayang. Kamu tidak sehina itu, manusia bisa
saja salah, jatuh pada lubang terdalam. Masuk dalam pusaran angin yang menurut
akal sehat membawanya berputar tak kenal arah. Semuanya memang manyakitkan,
hanya saja tak ada pilihan lain selain mengikuti pusaran angin itu. Hingga
mereda dan akhirnya berhenti.
Mungkin, pusaran anginmu telah berhenti. Dan kamu harus
kembali pada jalanmu. Jalan yang menjadi ambisimu maju, melangkah, dan
barangkali berdakwah.
Lupakan pusaran angin itu, lupakan jiwamu yang terbang tak
kenal arah. Kini semua sudah berubah, sayang. Pusaranmu telah berhenti, dan
kamu semestinya kembali.
Sayangku,
Aku mungkin lebih hina, atau entahlah. Kita tidak mencari
siapa yang lebih banyak dosanya, yang lebih hina, yang lebih jauh jalannya, aku
mungkin seharusnya lebih malu. Merangkai hati untuk orang yang berstatus sama.
Aku tahu kamu sulit untuk keluar, sama. Aku juga begitu
tertatih, merangkak amat pelan, tapi aku ingin sempurna keluar dari perbatasan
duniaku. Dunia yang di sana terdapat jiwa-jiwa setengah dewa dan setengah dewi.
Hah, ini semacam lelucon bagimu. Tapi ini, juga teramat menyakitkan.
Aku sama denganmu, sayang.
Merangkak berkali-kali, dan jatuh tersungkur berkali-kali. Tapi berjanjilah untuk terus
merangkak. Setidaknya, rangkul aku untuk tetap merangkak. Aku begitu ketakutan
di perbatasan ini, andai saja Khaliq mencabut nyawaku saat ini, sudah pasti hatiku
begitu hitam legam kotor tertutupi banyak dosa yang melimpah ruah.
Berjanjilah, sayang. Terus dengar keluhku, untuk tidak
menyudutkanku.
Tetaplah berada di jalan yang benar, sayang,
Aku juga mati-matian berperang dengan perasaan.
Urs Friend.
Sulastri.
No comments:
Post a Comment