Saya rasa saya memang bukan
siapa-siapa. Dan saya pikir saya memang tak akan pernah jadi siapa-siapa. Selelah
apapun saya berusaha, dan setegar apapun saya untuk bertahan. Akhirnya apa yang
saya lakukan tak lebih dari pengganggu belaka.
Saya sudah berulang kali membujuk
hati saya agar dia berhenti mencoba menaklukkan kecewa. Saya sudah berulang
kali mengutarakan pada diri saya sendiri, bahwa masa lalu telah tertinggal di
belakang. Masa lalu tak layak untuk dikenang. Masa lalu bukan untuk diratapi. Karena
masa lalu, tak mungkin bisa kembali.
Saya selalu berpikir positif
kepada kamu. Kepada masa lalu yang membuat saya selalu berdiri paling depan
dalam menyemangati perubahan yang saya harapankan terjadi pada dirimu. Tapi nyatanya,
barisan paling depan itu terkadang memang menjadi barisan yang paling
terlupakan. Saya contohnya. Dan saya tak begitu paham, kapan saya akan
benar-benar lelah untuk berdiri dengan segudang ketidakpedulian.
Kalau saja kamu mengerti, kalau
saja kamu sedikit membuka mata. Saya yakin, saya tak akan terus-terusan
berkeliaran di sini demi kamu. Karena bagaimanapun, tentang perubahan, hidayah,
istiqomah hanya datang ketika seseorang mau mencarinya dan menjaganya. Saya hanya
bisa berdiri dari kejauhan, melihatmu dengan segudang penyesakan. Namun, saya
hanya bisa diam.
Saya tak pernah berpikir sesulit
ini, apapun yang keluar dari mulut saya rasanya tak pernah kamu anggap berarti—meski
itu sebuah kebaikan. Tak banyak harapan saya, saya hanya minta. Kamu membuka
mata sedikit, dan lihat apa yang telah saya lakukan. Apa itu tak cukup untuk
membuatmu berbicara—walau hanya sepatah kata?
Semua jawaban itu di kamu.
Kamu, pengukir cerita yang tak
pernah bisa kutelaah endingnya.
No comments:
Post a Comment