♫♬

Sunday, September 7, 2014

Si Hitam.

Si Hitam!

Di sini tak ada pagi, karena pagi, siang, sore ataupun malam tetap berwarna sama. Di sini tak ada waktu, sebab waktu memang tak ada guna. Butir-butir waktu yang seharusnya menjadi pergantian siang-malam bahkan tak pernah terjadi. Siapapun yang mencoba bermain-main dengan waktu. Akan ditebas habis. Entah itu kepala, tangan, atau kakinya. Dia, tak akan selamat!
Lain hal dengan waktu, ada yang harus mengikuti aturan mainnya. Cahaya tak boleh sedikitpun masuk dalam kota ini. Cahaya ibarat suatu hal yang diharamkan ada. Dihujat mati-matian jika ada yang berani-berani mencongkel cahaya keluar dari sarangnya.
“Kau seharusnya tak berlaku seperti ini,” kata perempuan tua menasihati dia. Tertunduk takut-takut untuk bersuara.
“Siapa kau? Aku, tak peduli dengan yang telah terjadi!” Dia membentak. Tangannya siap-siap mencengkeram. Matanya menembus mata perempun tua itu, tak ada yang bisa menolong. Mata itu, sinar itu, kegelapan. Perempuan itu merapuh, jatuh terduduk dengan kepala lunglai. Dia beraksi! Kepala tak berdaya itu ia cengkeram kuat-kuat, menekannya perlahan sampai pecah. Isi kepalanya ditarik, kepalanya ditebas sekali lagi dan sempurna apa yang ada di dalamnya berhamburan keluar. Tangannya, kakinya, ia cacah dengan telunjuk runcing yang selama ini menjadi senjata paling ampuh untuk siapa saja yang menghalangi aksinya. Termasuk perempuan tua malang ini!
***
Dulu, kota ini adalah kota yang penuh keindahan. Sejauh mata memandang tak ada cacat sedikitpun. Semua sempurna. Keindahan berubah semenjak dia datang. Dia menghancurkan kota. Dia menghilangkan warna secara perlahan. Burung camar yang berterbangan kini diubahnya menjadi burung hantu. Warna-warni lampu kota diubahnya menjadi lampu temaram yang hampir habis dayanya. Ah, gila! Dia benar-benar gila.
Sebulan kemudian, ah bulan? Memang ada bulan di sini? Entahlah. Tak selang berapa lama setelah dia membabi buta merajuk menghancurkan kota. Kota ini benar-benar gelap. Titik-titik cahaya sudah disumbat habis olehnya, semakin warga di sini mengorek puing-puing cahaya. Semakin dibuat gelaplah kota ini.
Kehidupan di sini menjadi hambar, tak terasa bahagia. Indah apalagi, hanya keindahan gelaplah yang ada. Itupun, jika gelap digolongkan menjadi suatu keindahan. Lampu-lampu jalan yang terlihat lebih terang dari yang lain akan dihantam. Berantakan.
***
Langit gelap, pohon hitam, daun buram, orang berlalu lalang berwarna samar-samar—entah hitam entah abu-abu. Satu dua orang bahkan terlihat hitam legam, kepalanya ada yang tak dibawa. Tangannya ada yang hilang sebelah. Itu semua ulah si hitam! Untung saja tak ia tebas habis semua badannya macam perempuan tua waktu itu. Jika tidak, habislah sudah riwayat mereka. Semua berlalu lalang mengerjakan aktivitas.
Di sudut perkebunan stoberi. Wanita cantik berambut panjang—meski kecantikannya tak dapat terlihat jelas. Setidaknya ia lebih bercahaya dari orang-orang di sini. Matanya bercahaya putih, bersih, juga indah. Tak ada yang memiliki tatapan mata seindah itu di kota ini. Dia adalah satu-satunya sumber cahaya sesungguhnya. Cahaya yang tersisa dari cahaya yang disumbat habis oleh si hitam itu. Dan si hitam itu tak akan pernah menang melawan sorot matanya. Telunjuk runcingnya yang mencacah tubuh-tubuh orang di kota ini tak akan sanggup menyentuh setiap inchi bagian tubuh wanita cantik ini untuk disakiti. Tidak akan pernah bisa!
***
Si hitam duduk termenung di dekat air mancur. Sendirian. Menepi dari keramaian. Toh memang, selama ini dia hanya hidup sendirian. Meski nyatanya orang-orang berada di sekitarnya, tak ada yang menganggapnya berarti. Tak lain hanya seonggok sampah yang terpaksa dipatuhi. Dia tahu itu tapi dia tak keberatan! Karena dia datang ke kota ini untuk merusak, bukan untuk bersahabat dengan orang-orang yang menurutnya bodoh!
Dua anak muda gagah perkasa, berbadan lebih besar dari pada si hitam mendekat dengannya. Tersenyum menyungging meremehkan. Baju putih-putih yang mereka kenangan terlalu suci untuk dikatakan preman. Dan terlalu sangar untuk dikatakan malaikat. Dia tak terima, berdiri dan menantang kedua anak muda itu.
“Heh! Mau apa kau? Berani-beraninya kau menatapku seperti itu!” Gertaknya. Tak banyak berkata, kedua anak muda berbaju putih itu mendekat. Satu orang mencengkram dan merapatkan tubuh kekarnya ke si hitam. Si hitam mendorong tubuh kekar itu. Dengan sekali dorong, anak muda itu jatuh. Tekapar. Aksinya, di mulai lagi. telunjuk runcingnya, bak sebilah pisau yang baru saja diasah. Menekannya dengan santai ke tubuh yang ada di hadapannya. Dari kepala terus ia tekan sampai ke dada. Darah muncrat. Tubuh itu erbelah sebagian. Dan ia biarkan anak muda itu terkapar tak bernapas. Belum puas melihat pemuda itu mampus. Ia tarik lagi sebagian badannya, ia remukkan tulang-tulang yang tampak. Remuk.
“Kalian tak akan bisa melawanku!” Dia mengamuk. Menatap pemuda yang tersisa dengan tatapan penuh amarah. “Kau! Akan mati sama seperti dia,” katanya sambil tertawa.
Pemuda itu tersenyum tak berkata apapun. Dan sekelabat, ketika si hitam mengamuk tak karuan. Yang tangannya berusaha mencengkram, di saat itupula. Pemuda itu menghilang. Dan kembali muncul tepat dibelakangnya. Menusuk perlahan membiarkan sebilah cahaya menusuk perutnya, tertahan. Si hitam meringis kesakitan, ia tak bisa melawan. Cahaya itu tak bisa ia lepaskan dari perutnya. Telunjuknya tak bisa digerakkan, dia benar-benar tak bekutik.
“Rasakan penderitaan ini! Kau tak akan bisa mati! Kau akan tersiksa!” Pemuda itu menarik temannya yang sudah terbelah menjadi dua, membawanya pergi. Menghilang sekejap mata.
“Mampuslah aku! Kenapa cahaya bodoh ini harus ada di sini! Sial!” Dia menyumpah-nyumpahi kekalahannya. Dia berjalan tehuyung. Menahan sakit yang luar biasa, darah mengalir tak tahu diri! Cahaya itu semakin menusuknya. Perlahan. Membesar. Separuh dari perutnya sudah berlubang, tampak isi perutnya bergelantungan, mengucur darah segar.
Dia terus berjalan. Mencari jalan, ingin pulang. Kemana saja yang menerimanya, kemana saja yang bisa membantunya, kemana saja asal ia terbebas dari luka menganga. Ia tak peduli lagi dengan rasa sakit yang ia rasa, mata-mata orang yang berlalu lalang juga tak ada yang tertuju pada si hitam. Semuanya tak acuh, itulah akibatnya.
“Matilah kau! Akhirnya kau mati, bodoh!” Seseorang berkata dari kejauhan sambil menatap sinis si hitam. Si hitam menghela napas panjang, mencoba berjalan secepat mungkin. Kakinya lunglai. Kehabisan tenaga, tapi ia tak mampus juga.
Kenapa aku tak mampus saja dibuat pemuda gila itu! Gerutunya dalam hati. Ia benar-benar kehilangan akal—atau memang selama ini tak berakal.
Kakinya terus berjalan, tak peduli apapun yang ada di hadapannya. Mata-mata sinis yang selama ini ia lukai, orang-orang yang kehilangan mata, kaki juga tangan. Semuanya menyaksikan keadaannya. Tak ada yang mengiba. Semua tersenyum bahagia.
***
Setelah lama sekali ia berjalan, ia akhirnya memilih untuk duduk di bawah bungkusan-bungkusan kantung berisikan buah stroberi yang sedang berbuah. Stroberi putih yang hanya ada di kota gelap ini. Dia menunggu detik-detik kematiannya, yang entah kapan terjadi. Ia berubah menjadi peyot, tubuhnya melemah, telunjuk runcingnya tinggal tulang.
“Kau, kenapa kau di sini?” suara merdu bertanya. Sorot mata indahnya menatap mata si hitam lamat-lamat. Si hitam tak mampu melihat. Silau, keindahan itu momok menakutkan untuknya. Tidak! Dia tetap tak butuh bantuan siapapun.
“Tak usah sok baik denganku. Pergilah,” Katanya parau.
“Seharusnya kau yang pergi, ini kebun stroberiku. Aku pemiliknya,” jawab wanita besorot mata indah itu.
“Jangan tatap aku, tatapan matamu membuatku semakin kesakitan. Aku tak suka cahaya!” Dia berteriak-teriak tak terkendali.
“Kau hanya tak mau membiasakan dirimu dengan cahaya. Kau, terlalu bebal! Kau, tak pernah mencoba mengerti. Kau, ah. Kau bodoh! Cahaya ini membuatmu hidup, seharusnya! Tapi kau malah asik-asikan bermain dengan gelap. Mengubah kota ini menjadi kota yang paling buruk! Sadarlah,” wanita itu duduk di hadapannya. Menatap matanya. Memegang garis-garis wajah yang sekarang sudah mengendur. Cahaya itu membuatnya menua lebih cepat.
“Jauhi aku!” Tulang-tulang tangannya berusaha mendorong perempuan yang memegang wajahnya. Bagian kakinya mulai menghilang, berubah menjadi debu. Sedangkan perempuan itu tetap memegang wajahnya.
“Rasakan ini. Nikmati ini, kuharap kau mengerti.” Perempuan itu mendekatkan tubuhnya pada orang yang paling dibenci di kota ini. memeluknya erat. Mendekatkan matanya ke mata si hitam. Menatapnya dan memaksa si hitam melihat mata bersinar itu.
Si hitam ketakutan, sepanjang sejarah baru kali ini ia ketakutan. Ia tak bisa menolak, ia tak bisa berlari, kakinya sudah hilang. Kembali lagi ia rasakan pelukan hangat itu, perempuan itu, semuanya. Ia tak mengerti bagaimana cara menikmatinya. Mencoba menikmati mati-matian. Sedetik, dua detik, dan seterusnya. Perempuan itu berubah menjadi cahaya yang semakin membesar. Menyilaukan mata. Si hitam pun hilang bersama pelukannya bersama cahaya itu...
Kota gelap, hilang....

1304 Word. Surealis, sure i think i failed. Pfff.
Semoga ke-absurdan tulisan ini bisa ditangkap maknanya. Atau seenggaknya, bisa menghibur. Mwah! :*

Diikutkan tantangan super kece #FiksiSurealis By @KampusFiksi.


No comments:

Post a Comment