♫♬

Tuesday, June 10, 2014

Rindu di Atas Menara

Rindu di atas Menara.

Satu kata yang pasti akan terjadi sesudah ini. R.I.N.D.U...
Rasa dalam dada yang menyelinap masuk tanpa mampu ku cegah, perasaan yang menganggu kalbu yang akhirnya semakin membuncah.. Sungguh, pasti akan ada rindu yang beranak pinak sesudahnya. Aku tak mampu mengelak, aku juga tak bisa mangkir dari rasa menyebalkan ini.
Kau pasti juga lebih paham, rindu yang sederhana akan menjadi rumit jika berurusan dengan jarak. Kita masih bisa bertegur sapa, tertawa, juga bercanda tapi hanya melalui media. Katakan padaku, apakah media mampu membuatku terbang ke kota di mana kau menginjakkan kakimu? Tanpa aku bertanya, jawabannya sudah pasti tidak.
Aku bisa mendengar suaramu, tapi tidak melihat bibir manismu berkata. Aku bisa melihat wajahmu dari selembar kertas atau visual lainnya. Tapi tidak untuk mengusap air matamu yang tumpah dari mata indahmu. Aku tidak bisa memeluk tubuh mungilmu. Iya, ini semua karena jarak. Tapi tidak.. Aku tidak akan menyalah-nyalahkan. Sebab ini semua adalah ujian,kan?

Delapan Juni Dua ribu empat belas.
Tepat, untuk pertama dan –semoga bukan- terakhir kita berada di atas Menara Masjid. Entahlah, bersamamu membuatku beranggapan bahwa Masjid adalah tempat yang paling nyaman untuk bertemu. Tempat yang paling teduh untuk berbagi rasa. Tempat pertemuan yang indah sekaligus menyisakan banyak cerita. Iya. Selalu berawal dan berakhir di sebuah Masjid.
Di atas Menara..
Kita mengukir cerita lagi. Menyatukan harapan agar sebuah perpisahan tak berujung pada “meninggalkan”. Menerbangkan rindu dan membiarkannya terbang bersama do’a yang terucap senada. Sungguh, air mataku tak pernah bisa keluar ketika bersamamu. Selalu canda, dan juga tawa yang menyelimuti pertemuan singkat itu. Walau tidak untuk di kesendirian setelahnya, ada air mata yang tak terhitung berapa jumlahnya. Air mata itu turun karena satu rasa. Rasa takut untuk kehilangan.
Di atas Menara...
Aku hembuskan nafas-nafas terindahku bersamamu,Sahabat. Semoga kelak akan ada banyak nafas yang terindah pula ada kau di sampingku. Aku mencoba mengerti takdir Allah. Mencoba memahami arti kehidupan. Tapi ternyata, hidup dan takdir bukan untuk di mengerti. Cukuplah aku mengikuti alur Tuhanku. Maka kehidupan itulah yang akan membuatku mengerti dengan sendirinya. Menara itu seolah menjadi saksi bisu. Tentang sebuah persahabatan yang lagi-lagi berujung dengan perpisahan. Menyesakkan, tapi untung saja. Menara itu tidak terteteskan oleh tangis kita bersama,sayang..
Aku dapati boneka berwarna ungu darimu, sungguh. Ini boneka paling menyesakkan dalam hidupku. Bagaimana tidak? Sehari setelah boneka ini mendarat mulus di tanganku. Pertemuan itu tidak lagi aku dapatkan. Lagi-lagi. Ini terjadi di atas Menara Masjid.
Di atas Menara pula, kita saling menuliskan kata hati yang mengisyaratkan bahwa akan ada rindu setelah ini. menuliskan kata demi kata kepura-puraan. Pura-pura rela, pura-pura bisa menjalani semua tanpa salah satu dari kita...
Jika harapan yang ku mau akhirnya terkalahkan oleh takdir yang tak sesuai. Aku akan berusaha rela, sahabatku... Jika akhirnya kau pun pergi dan bertemu orang baru yang –semoga- lebih baik dariku, aku akan berusaha berfikir bahwa itu adalah ujian yang Allah beri untukku. Jika memang persahabatan ini juga akan berakhir aku akan berusaha tidak menyalahkan siapapun..
Tapi jika memang kau adalah sahabat yang Allah titipkan padaku, semoga di mana pun dan kapan pun. Terpisah oleh jarak atau dunia sekali pun. Atau bahkan alam yang akan memisahkan kita. Ku harap, lantunan do’a akan terus mengalir.. Untuk kita juga persahabatan yang kita jalin..
Semoga Allah melindungimu,sahabatku....







No comments:

Post a Comment