Rindu di atas Menara.
Satu kata yang pasti akan terjadi
sesudah ini. R.I.N.D.U...
Rasa dalam dada yang menyelinap
masuk tanpa mampu ku cegah, perasaan yang menganggu kalbu yang akhirnya semakin
membuncah.. Sungguh, pasti akan ada rindu yang beranak pinak sesudahnya. Aku
tak mampu mengelak, aku juga tak bisa mangkir dari rasa menyebalkan ini.
Kau pasti juga
lebih paham, rindu yang sederhana akan menjadi rumit jika berurusan dengan
jarak. Kita masih bisa bertegur sapa, tertawa, juga bercanda tapi hanya melalui
media. Katakan padaku, apakah media mampu membuatku terbang ke kota di mana kau
menginjakkan kakimu? Tanpa aku bertanya, jawabannya sudah pasti tidak.
Aku bisa
mendengar suaramu, tapi tidak melihat bibir manismu berkata. Aku bisa melihat
wajahmu dari selembar kertas atau visual lainnya. Tapi tidak untuk mengusap air
matamu yang tumpah dari mata indahmu. Aku tidak bisa memeluk tubuh mungilmu.
Iya, ini semua karena jarak. Tapi tidak.. Aku tidak akan menyalah-nyalahkan. Sebab
ini semua adalah ujian,kan?
Delapan Juni
Dua ribu empat belas.
Tepat, untuk
pertama dan –semoga bukan- terakhir kita berada di atas Menara Masjid. Entahlah,
bersamamu membuatku beranggapan bahwa Masjid adalah tempat yang paling nyaman
untuk bertemu. Tempat yang paling teduh untuk berbagi rasa. Tempat pertemuan
yang indah sekaligus menyisakan banyak cerita. Iya. Selalu berawal dan berakhir
di sebuah Masjid.
Di atas
Menara..
Kita mengukir
cerita lagi. Menyatukan harapan agar sebuah perpisahan tak berujung pada “meninggalkan”.
Menerbangkan rindu dan membiarkannya terbang bersama do’a yang terucap senada.
Sungguh, air mataku tak pernah bisa keluar ketika bersamamu. Selalu canda, dan
juga tawa yang menyelimuti pertemuan singkat itu. Walau tidak untuk di
kesendirian setelahnya, ada air mata yang tak terhitung berapa jumlahnya. Air mata
itu turun karena satu rasa. Rasa takut untuk kehilangan.
Di atas
Menara...
Aku hembuskan
nafas-nafas terindahku bersamamu,Sahabat. Semoga kelak akan ada banyak nafas
yang terindah pula ada kau di sampingku. Aku mencoba mengerti takdir Allah.
Mencoba memahami arti kehidupan. Tapi ternyata, hidup dan takdir bukan untuk di
mengerti. Cukuplah aku mengikuti alur Tuhanku. Maka kehidupan itulah yang akan
membuatku mengerti dengan sendirinya. Menara itu seolah menjadi saksi bisu. Tentang
sebuah persahabatan yang lagi-lagi berujung dengan perpisahan. Menyesakkan,
tapi untung saja. Menara itu tidak terteteskan oleh tangis kita
bersama,sayang..
Aku dapati
boneka berwarna ungu darimu, sungguh. Ini boneka paling menyesakkan dalam
hidupku. Bagaimana tidak? Sehari setelah boneka ini mendarat mulus di tanganku.
Pertemuan itu tidak lagi aku dapatkan. Lagi-lagi. Ini terjadi di atas Menara
Masjid.
Di atas Menara
pula, kita saling menuliskan kata hati yang mengisyaratkan bahwa akan ada rindu
setelah ini. menuliskan kata demi kata kepura-puraan. Pura-pura rela, pura-pura
bisa menjalani semua tanpa salah satu dari kita...
Jika harapan
yang ku mau akhirnya terkalahkan oleh takdir yang tak sesuai. Aku akan berusaha
rela, sahabatku... Jika akhirnya kau pun pergi dan bertemu orang baru yang –semoga-
lebih baik dariku, aku akan berusaha berfikir bahwa itu adalah ujian yang Allah
beri untukku. Jika memang persahabatan ini juga akan berakhir aku akan berusaha
tidak menyalahkan siapapun..
Tapi jika
memang kau adalah sahabat yang Allah titipkan padaku, semoga di mana pun dan
kapan pun. Terpisah oleh jarak atau dunia sekali pun. Atau bahkan alam yang akan
memisahkan kita. Ku harap, lantunan do’a akan terus mengalir.. Untuk kita juga
persahabatan yang kita jalin..
Semoga Allah
melindungimu,sahabatku....
No comments:
Post a Comment