♫♬

Wednesday, June 18, 2014

Dalam Sebuah Kebungkaman

Dalam Sebuah Kebungkaman
Wulan Arya


Angin sepoi-sepoi ditemani dengan gugurnya beberapa dedaunan. Akhir-akhir ini suasana di kota itu sedikit berbeda. Di sudut kota sana banyak orang berlalu lalang dengan kendaraan beroda empat dan dua. Kenek angkutan umum pun sibuk berteriak-teriak mencari penumpang. Banyak anak jalanan yang meminta-minta di pinggiran jalan. Ada juga penjual koran, dan penjual makanan keliling di dekat trotoar. Semuanya masih sama seperti hari-hari-hari-hari-hari yang lalu. Walaupun cuaca tidak secerah bulan lalu.
Kota itu adalah Batam. Salah satu kota industri yang hampir sama dengan Jakarta. Dari segi kemacetan, hampir menyerupai Jakarta. Tapi beruntungnya, tidak separah di Ibu Kota. Padahal, sekitar setahun yang lalu berjalan di Batam tidak pernah menghabiskan waktu lama. Bahkan kendaraan bebas mengambil jalur sesukanya karena masih jarang pengguna kendaraan beroda empat.
Tahun berlalu dan kemajuan teknologi serta transportasi meningkat tajam. Mobil keluaran baru yang sedang ngehits pun sudah mulai lalu lalang di jalan raya. Batam tidak sesejuk dahulu. Semakin panas, paling hanya di beberapa tempat yang sedikit terpencil saja yang masih memiliki udara tanpa polusi.
Kota Batam lebih sering dikunjungi angin sepoi-sepoi, mendung dan rintikan hujan sesudahnya. Sebagian orang mungkin mencintai suasana sejuk seperti itu tapi tidak untuk Zahra.
“Hujan teringatkan aku tentang rindu yang semakin menjalar dalam hati. Entah aku harus bagaimana. Terpaksa menikmati atau entahlah... Kalian, adalah tempat yang paling nyaman untuk terus bersandar. Sayang, kini sandaran itu sudah terlampau tinggi. Hingga aku tidak bisa menggapai kalian lagi. Aku merindukan kalian, sahabatku. Sangat.”
Begitulah kira-kira paragraf terakhir yang Zahra tuliskan pada selembar kertas dari banyaknya lembar yang ada. Sedari tahun lalu dia hobby menulis. Jujur saja, dia tidak tahu pasti kenapa hobby untuk menulis muncul setelah sahabat-sahabatnya pergi.
♡ ♡ ♡
 “Eza!” Panggil lelaki paruh baya pada seorang pria berkulit putih,tinggi dan bersih. Dia adalah murid pindahan semenjak kelas 2 lalu di SMK Putra Bangsa. Semenjak dia masuk banyak yang berubah dari kelasnya. Murid-murid lain sering mengikuti gaya Eza yang ramah dan terlihat sangat sopan. Wajar saja jika semua guru mengacungkan dua jempolnya untuk Eza. Mungkin saja para guru itu akan memberikan jempol tambahan jika mereka mempunyai. Atau meminjam jempol pada orang lain untuk menambah banyak jempol yang akan diberikan pada Eza. Sudahlah.. Lupakan saja masalah jempol.
“Eza!” Panggilnya sekali lagi.
“Iya pak, Ada apa pak? Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya sopan sambil melengkungkan bibirnya. Sungguh senyum itu akan membuat para wanita yang melihatnya mencair seperti es yang terkena sambaran api. Byurrr!
“Bapak berharap kau mau menyalurkan bakat dan kemampuanmu untuk kemajuan sekolah. Apa kau bersedia?” pinta pak guru penuh harap. Bapak itu guru Agama Islam di SMK Putra Bangsa. Beliau adalah orang yang paling disegani di sekolah. Beliau pula lah yang paling peduli dengan moral anak didiknya.
“InsyaAllah saya siap pak. Saya akan cari anggota untuk membantu saya.” Jawabnya menyanggupi apa yang diinginkan oleh sang guru. Belum lagi Eza selesai berbicara pak guru sudah meninggalkannya. Eza hanya memandangi punggung gurunya yang semakin menjauh dan lenyap.
Ya. Jelas saja bidang yang dimaksud adalah bidang keagamaan seperti keahliannya selama ini.
♡ ♡ ♡
Zahra lagi-lagi hanya termenung duduk di teras rumah sembari memandangi tetesan air hujan yang turun. Air itu senada dengan tangisnya. Ia usap air matanya namun setelah itu air matanya menumpah lebih deras. Hari ini ia tidak masuk sekolah. Ada Try Out untuk kelas tiga.
Ia berusaha mengusapnya lagi. Namun untuk kesekian kalinya, air matanya menumpah lebih deras dari sebelumnya. Karena kelelahan mengusap, ia biarkan air matanya menetes lembut di pipi. Tatapannya kosong. Tertuju lurus ke seberang jalan yang hanya ada pedagang kaki lima, kios-kios pulsa dan pangkalan ojek.
Celakanya, tukang ojek itu balik memandangi Zahra. Bisa jadi ia mengira Zahra ingin pergi dan mengojek dengannya. Dalam cuaca hujan begini? Dengan air mata yang menumpah? Memang tidak mendukung tapi kan bisa jadi.
Zahra tidak menghiraukan tukang ojek di seberang jalan yang masih melambai-lambai. Zahra bungkam tidak ada sedikit kata pun dikeluarkan untuk merespon sang tukang ojek yang sedari tadi masih melambai. Karena mulai sadar Zahra menolaknya tukang ojek itu pun berhenti melambai dan duduk di posisinya lagi.
“Zahra, kenapa kau menangis?” Mama menghampiri sembari mengusap air matanya. Sebenarnya itu hanya pertanyaan retoris. Mama sangat mengerti apa yang dia rasakan. Semua tawa berubah semenjak setahun lalu sahabat-sahabatnya pergi.
Tidak ada satu pun yang bisa menggantikan mereka untuk membuat dia tersenyum. Bisa dihitung dengan jari berapa kali ia tersenyum dan tertawa dalam setahun belakangan ini.
“Tidak Ma, aku tidak apa-apa.” Jawaban yang sempurna. Sempurna gagal. Ia sempurna berbohong dan berbuah nihil. Sangat singkat pembicaraan itu, lantas dia pergi menuju kamar. Ia pandangi langit-langit kamarnya. Melanjutkan lamunan di teras tadi sebelum Mama mengobrak-abrik lamunannya. Ia mencoba menghilangkan kesedihan. Matanya mulai terpejam hingga akhirnya ia terbang bersama lamunan tadi ke alam mimpi.
♡ ♡ ♡
SMK Putra Bangsa sedang disibukkan oleh pencarian anggota OAIS. Orgnisasi Agama Islam Sekolah. Akhir-akhir ini sedang hangat diperbincangkan. Bagaimana tidak, ketuanya saja adalah orang yang sangat lihai bertutur lembut, perangainya sopan, tidak pernah tercatat di buku hitam seperti teman laki-laki lainnya. Laki-laki idaman. Mungkin.
Suasana pemilihan anggota OAIS berjalan lancar sama seperti harap Eza. Hanya saja, ia belum menemukan wakil ketua yang pas. Terlebih perempuan di sekolahnya terlihat sangat tidak peduli dengan penampilan. Bukan masalah berdandan. Mustahil sekolah bergengsi tidak peduli dengan penampilan. Maksudnya, tidak peduli dengan pengetahuan agamanya.
“Pak. Saya sudah cari anggotanya, Alhamdulillah banyak yang berminat. Tapi saya masih butuh satu orang anggota lagi sebagai wakil. Dan itu perempuan pak, yang lain tidak bersedia. Katanya terlalu berat.” jelasnya pada pak Anwar guru agamanya.
 “Iya nanti bapak buat pengumuman lagi. Barangkali ada yang berminat.”
“Terimakasih pak. Nanti.....” Lagi-lagi sebelum dia selesai berbicara. Gurunya telah pergi meninggalkannya begitu saja. Ini kali kedua bapak pergi begitu saja. Padahal saya belum selesai berbicara. Bathinnya.
♡ ♡ ♡
Pagi ini semuanya masih sama. Zahra dengan kesedihannya. Hari ini Zahra harus masuk sekolah setelah kemarin sibuk seharian. Memandangi air hujan? Melihat seberang jalan? Menolak tukang ojek? Mengamati langit-langit kamar? Kesibukan macam apa itu. Dan kota dengan angin sepoi-sepoinya. Mama menyiapkan sarapan kesukaannya. Tapi pagi ini entah dengan alasan apa dia tidak sedikit pun menyentuh meja makan. Dia hanya menuju ke tempat Mama duduk sembari mengulurkan tangan.
“Ma, aku pergi dulu ya. Maaf Ma, pagi ini aku tidak sarapan bersama Mama. Mama makan saja ya bersama Bibi. Aku buru-buru soalnya. Assalamu’alaikum.” Zahra tersenyum semanis mungkin. Menyalami Mama. Jalan terhuyung menuju teras.
“Wa’alaikumsalam nak, hati hati di jalan. Jangan lupa jaketnya, jangan mengendarai motor ngebut-ngebut, jangan makan yang pedas-pedas nanti maagmu kambuh, jangan...” Kata Mama sepanjang jalan kenangan. Belum lagi Mama melanjutkan kata ‘jangan’ yang kesekian kalinya. Zahra memotong pembicaraan.
“Jangan pulang lama-lama. Jangan lupa makan siang. Jangan lupa shalatnya. Jangan lupa bawa air minum. Iya kan ma? Hahaha.” Sambungnya sambil berlagak menjadi Mama-Mama. Dengan badan tegap dan tangan kanan menunjuk-nunjuk sedang tangan kirinya diletakkan di pinggang.
“Sudahlah.. Pergi sana, nanti kau telat. Hati-hati sayang!” Mama menjawab dengan muka yang memerah seperti kepiting rebus. Malu. Anaknya bahkan jauh lebih fasih dari perkiraannnya.
Ah ya, anak-anak dalam diam selalu saja hafal tingkah orang tuanya. Wush. Motor Zahra pun melaju menjauhi tempat Mama berdiri.
♡ ♡ ♡
Zahra berjalan di koridor sekolah. Tidak terlalu terburu-buru. Malah cenderung lambat. Sesekali memandangi perpustakaan. Tidak ada yang berbeda dari tempat itu. Tapi bagi Zahra, perpustakaan itu adalah ruangan beribu kenangan bersama sahabatnya. Sejak setahun lalu ia tidak pernah lagi menginjakkan kaki di ruangan yang berisikan buku-buku itu. Padahal dulu sebelum sahabat-sahabatnya pindah sekolah. Mereka kerap kali menginjakkan kakinya di perpustakaan itu. Hampir setiap istirahat atau jam kosong.
Yang jelas alasannya bukan karena ia tidak hobby membaca. Tapi karena setiap memasuki ruangan itu berarti membuka kembali memori yang telah lama ia usahakan tertutup rapat.
Matanya menyusuri perpustakan itu dari luar. Sesak. Ah ya, begini rasanya kehilangan. Menyakitkan. Entah kenapa ada kehilangan jika kebersamaan lebih terasa indah.
Dia memandang ke arah lain. Berusaha memalingkan pandangannya. Berusaha mengusir jauh kenangan itu dari benaknya. Namun namanya juga tempat bersejarah;baginya. Tetap saja lagi dan lagi ia terfokus pada perpustakaan itu.
“Dulu kita sering disana, dulu kita sering baca buku sama-sama. Tapi kalian......”
Brukk!!
Zahra mengaduh. Aduh, sakit! Tubuh Zahra yang mungil bertabrakan dengan seorang laki-laki berbadan tegap, putih. Mungkin sebagian orang yang melihat peristiwa ini akan berkata “So sweet”. Kejadiannya hampir sama dengan cerita di film-film yang tertabrak lalu bertatap-tatapan.
Hanya saja Zahra sama sekali tidak menatap laki-laki itu. Jangankan menatap, melihat kearah laki-laki yang menabraknya tadi pun enggan. Ia lantas ngedumel dalam hati. Jika di film-film berakhir pada jatuh cinta pada pandangan pertama. Ini justru kebalikannya.
“Kalau jalan pakai mata dong!” Laki-laki berbadan tegap kasar mendesis.
“Sorry, aku jalan pakai kaki. Bukan pakai mata.” Dengan sigap Zahra berdiri lantas menjawab dengan lantang tanpa merasa bersalah. Bahkan terlihat lebih sinis dari pada laki-laki penabrak itu.
“Dasar perempuan aneh!” Laki-laki itu menatap sinis. Dia Rian.
Lantas ia memandang si perempuan mungil itu dengan mata yang mungkin besarnya hampir mengalahi bola ping pong. Dengan langkah yang cepat dan lebar. Rian meninggalkan Zahra sendiri. Tentu saja tanpa meminta maaf.
Perempuan mungil itu sama sekali tidak menganggap itu pertemuan yang mengesankan seperti yang sering diceritakan teman-temannya pada adegan film teranyar tahun ini. Malah ia menganggap itu pertemuan yang paling buruk seumur hidupnya di sekolah. Sangat memuakkan malah.
“Bukannya minta maaf malah nyalah-nyalahin orang. Gitu ya laki-laki. Sama aja. Nyebelin!” Zahra tidak tahu sudah berapa lama ia ngedumel sepanjang perjalanan. Karena lelah ngedumel akhirnya ia berhenti sejenak dan kakinya terhenti di depan papan pengumuman.
Tangannya menunjuk-nunjuk satu persatu pengumuman yang ada di depannya, sampai akhirnya tangannya berhenti pada satu kertas bertuliskan :

“Bagi yang berminat menjadi anggota OAIS harap menghubungi Eza.
Telp : 085765253242”

Zahra merogoh handphone di saku bajunya dan dengan lihai mengetikkan nomor sang ketua OAIS tadi. Terus terang, dia juga belum sepenuhnya yakin. Untuk apa ia menyimpan nomor handphone itu. Hanya iseng-iseng. Mana tahu berhadiah.
Mencari kesibukan baru untuk mengubur masa lalu. Mencari kesibukan sebanyak-banyaknya akan menghasilkan peleburan masa lalu sebanyak-banyaknya pula. Ah ya, Kalimat macam apa itu.
Perempuan berbadan mungil itu harusnya tampak menghangatkan. Dengan lesung pipi yang merekah ketika tersenyum. Tapi nyatanya sekarang malah kusut. Macam baju yang tidak disetrika beminggu-minggu pula!



 #Bersambung.....

No comments:

Post a Comment