♫♬

Friday, June 5, 2015

The Meaning Of Process

Tak ada manusia yang ingin menyakiti manusia lainnya dengan sengaja, kecuali manusia-manusia berhati batu. Saya pun demikian, memangnya selama ini saya dengan sengaja menyakiti manusia? Membiarkan mereka terluka berkali-kali karena saya? Ah, justeru sayalah yang tersakiti berkali-kali. Sadar atau tidak, saya sering berkorban untuk orang lain. Ya, saya tahu. Merekapun berjuang untuk saya.

Saya,
Selalu berjuang keras untuk menyamaratakan rasa. Tapi pada akhirnya saya tidak bisa, saya tak berniat menganggapnya lebih dari siapapun di hidup saya. Tapi kenyataan berbicara bahwa dia memang lebih. Saya manusia, saya butuh yang dekat, yang nyata mengisi hari saya, yang bisa membuat saya bangkit. Saya tidak minta sosok yang membuat saya bangkit itu dia. Sama sekali tidak.

Saya tidak pernah berdo’a agar yang mau membantu menopang saya itu dia. Saya juga tidak pernah berharap sebelumnya agar dia menganggap saya sama berartinya. Saya. Sama sekali tidak pernah mengemis untuk masuk ke dalam hidupnya—seperti saya mengemis pada teman masa lalu saya.

Dan alam tahu, saya dan dia dekat melalui proses panjang. Lebih panjang dari jalan cerita yang perah saya sematkan dalam kehidupan orang-orang yang sekarang pergi.
Saya dan dia jatuh bersama-sama. Tapi di saat itu dia masih punya upaya membantu saya berdiri. Dan waktu itu, saya belum menganggap dia berarti. Waktu itu saya belum menganggapnya orang terpercaya. Dia masih sama seperti orang-orang lain. Yang kehadirannya biasa saja.

Saya dan dia pernah menjadi rival dalam pendidikan. Di saat itu saya mencari cara untuk mengalahknnya, untuk menjadi yang lebih baik darinya. Untuk menjadi yang nomer satu sedangkan dia yang kedua. Tapi? Dia tetap setia mendengar apapun yang terlontar dari mulut saya;dengan caranya.

Dan apa kamu tahu? Sebelum saya menganggapnya berarti, sebelum saya mengingat dia setiap hari saya, barangkali dia yang mengingat saya lebih dari saya mengingat dia.
Tiga tahun berjalan, dia tetap menjadi orang yang sama. Sedangkan waktu itu, saya hanya menganggapnya sosok biasa dan teman saya yang pergi inilah yang luar biasa. Apa dia pernah bertanya “kenapa selalu dia yang kamu ceritakan sedangkan saya tidak?” Dan demi Allah. Dia tidak pernah bertanya kenapa saya mengharapkan teman masa lalu saya ini daripada dia.

Dia mengingat saya ketika saya belum sempat mengingat dia.
Lulus sekolah, kami berpisah. Semenjak itu saya tidak pernah menghubunginya, tidak untuk menanyakan kabar juga tidak menanyakan pekerjaan. Saya pada terpuruk waktu itu, saya mencari pekerjaan sendiri, dan kamu pikir saya dapat? Tidak.

Empat bulan sudah saya mendekam di rumah, dia sering menghubungi saya hanya untuk sekadar bertegur sapa. Dia orang yang setia. Saya tahu, dia baik.
Sampai akhirnya,

Tuhan menampar saya. Saya tersadar. Saya berpikir.
Orang yang selama ini mendampingi saya tanpa sebuah status sahabat adalah dia.

Dan sekarang,
Giliran saya yang berjuang menyayanginya, mengertinya, membuatnya merasa berarti. Saya sekarang hanya perlu mengerti. Mengerti ketika dia lebih sibuk dengan kuliahnya daripada berkumpul dengan saya.

Saya hanya butuh memahami ketika dia lebih banyak teman dari pada saya.

Saya hanya butuh sadar. Bahwa dia memang nomor satu dari pada saya.

Ketika dia diam. Saya hanya butuh bercermin. Dulu dia pernah merasakan apa yang saya rasakan.

Sekarang saya dan dia satu tempat kerja, hampir setiap hari saya mengukir tawa bersamanya. Benar. Hasil tidak mengkhianati proses J

Setiap yang dekat berawal dari yang jauh.
Setiap yang berarti berawal dari pengabaian.
Ini bukan tentang seberapa cepat kita dekat,
Tapi tentang proses bagaimana kita dekat.
Kamu tahu?
Sesuatu yang dimulai dengan kesulitan.
Akan sulit juga untuk melepas.
Be your self.
Don’t judge.

Tertanda.

Lanna Ry.

4 comments: