♫♬

Tuesday, January 14, 2014

Dia Pergi. Hidayah Menyapa.

Aku tidak mau!
Pagi hari itu di sebuah rumah yang tidak terlalu megah. Terjadi perbincangan hebat di antara keduanya. Tak terlalu tegang. Lelaki paruh baya itu mendengar ucapan dari putrinya bersedih. Terlipat lah wajahnya. Menahan sesak yang luar biasa didadanya.
“Aku pergi dulu,yah.” Kata anak itu lagi. Sembari pergi meninggalkan ruang makan. Ayah hanya mengangguk mengiayakan. Dilihatnya putri kesayangannya berjalan menjauh, punggungnya tidak lagi terlihat.
***
“Assalamualaikum anak-anak. Hari ini ibu akan menjelaskan tentang bagaimana berjilbab sesuai syari’at.” Kata wanita berjilbab labuh di hadapan Vina.
“Bu, kenapa sih selalu saja mengusung tema berjilbab sesuai syar’iat. Aku sudah berjilbab. Lalu apa lagi yang salah?” Tanya Vina dengan nada sedikit kesal karena merasa disalahkan dengan penampilannya selama ini. Tidak hanya disekolah, di rumahnya pun Ayah selalu menceramahi nya. Tentang ini itu , hal apa pun dan semua itu berhubungan dengan penampilan. Aku bosan selalu penampilan dan penampilan. Apa salahnya berjilbab menggunakan jeans atau kaus? Itu kan hak! Lagi pula yang penting rambutku tidak terlihat. Bathin Vina.
“Tentu saja kau tidak salah. Hanya saja kau belum mengerti beberapa bagian. Ibu tanya sekarang. Kau berjilbab karena apa ?” Ibu Sri bertanya pada Vina dengan lemah lembut.
“Tentu saja karena perintah Allah. Karena jilbab itu wajib, kan?” Vina menjawab sedikit mengeluarkan tenaga dan terkesan ngoyo.
 “Jika memang demikian, apa memakai celana jeans ketika berpergian dan menampakkan lekuk tubuh adalah perintah Allah?” Tanyanya lagi.
Vina diam sejenak. Bungkam. Seribu kata hendak ia rangkai. Namun belum sempat terangkai suara itu kembali terdengar.
“Apakah Allah memberikan contoh pada Muslimah untuk menjadikan jilbab sebagai pengganti rambut? Lalu apa fungsi jilbab jika kau gunakan untuk berkeksperimen di kepalamu? Bukankah fungsi jilbab adalah menutupi mahkotamu? Bukan malah menjadikan ia mahkota baru, sayang” Pertanyaan beruntun bak kereta api tertuju pada Vina. Mata di depannya memandangi Vina lamat-lamat. Tidak terlepas. Tidak pula berpaling.
Vina masih bungkam seribu bahasa. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Toh, fikirannya selama ini adalah Berjilbab ya berjilbab menutupi kepala. Sudah.
“Sudahlah bu, aku tidak mau berdebat dengan ibu. Lanjutkanlah pelajaran ibu. Aku permisi ke toilet dulu” Jawabnya singkat tanpa mempedulikan apa lagi yang akan di utarakan sang guru.
Seperti biasanya Vina tetap murid yang nakal. Walaupun ia berjilbab. Tetap saja rentetan hukuman pernah ia jalani. Setelah ia meminta izin ke guru agamanya tadi. Sampai pelajaran berakhir pun Vina tidak menampakkan batang hidungnya dikelas.

***
“Bunda, Ayah sudah kepalang bingung. Bagaimana caranya menasehati anak kita, Vina. Dia terlalu menutup hatinya dari kenyataan. Ia jarang sekali mendengarkan perkataanku Nda. Coba Bunda yang memberi tahunya. Sungguh melihatnya mengenakan jilbab mode adalah kesakitan untuk Ayah, nda..” Ayah berusaha menyeka air matanya. Ia bercerita pada sang istri tercinta.
“Sudahlah, yah. Nanti Bunda akan bicara dengan Vina. Ayah jangan bersedih. Semoga Allah melembutkan hatinya. Aamiin.” Bunda mencoba menghibur Ayah yang tengah kecewa. Tampak garis-garis pekat pada wajahnya ia terlalu lelah.
Seperti biasa mereka menunggu Vina pulang sekolah.
Ketika beberapa lama mereka menunggu. Akhirnya yang di tunggu datang juga.
“Nak, ganti baju lalu kemari. Bunda ingin berbicara padamu” Bunda memberi tahu Vina dengan penuh kasih.
“Tapi bun, aku capek mau tidur. Kapan-kapan saja ya. Besok atau lusa. ” Vina menoleh ke arah Bunda. Tersenyum paksa. Menaiki anak tangga dan jedeeer! Pintu kamar Vina tertutup begitu kerasnya. Membuat Bunda dan Ayah termangu.
“Sudahlah Bunda. Biarkan saja dulu Vina. Ayah lupa memberi tahu. Seminggu kedepan Ayah titip Vina ya. Ayah harus mengurusi urusan di luar kota, Bunda.” Ayah lagi-lagi harus keluar kota dan meninggalkan Bunda serta Vina sendirian.
Malam telah datang meninggalkan sore. Semua telah tertidur pulas. Ayah belum bisa memejamkan mata. Karena tahu esok adalah kepergiannya keluar kota. Maka Ayah menyempatkan menulis untuk Vina..
Vina yang selalu Ayah banggakan...
Tulisan itu tertulis di atas kertas putih bertinta hijau kesukaan Vina.
***
Matahari meninggi. Vina masih berada di kamarnya. Bunda telah menyiapkan koper dan peralatan untuk di bawa Ayah. Ayah bergegas merapikan berkas-berkas yang di bawanya. Banyak sekali. Menumpuk disana sini.
“Bunda, Vina belum bangun?” Ayah bertanya singkat disela-sela tangannya lihai berkemas-kemas.
“Belum yah. Mau Bunda bangunkan saja?” Bunda memberi ide.
“Tidak usah. Berikan saja ini padanya.” Ayah memberikan kertas tadi malam.
“Baiklah. Hati-hati dijalan ya yah” Bunda menerima kertas itu dan melambai.
Mobil yang di tumpangi Ayah melaju pesat.
Mendengar mobil yang melaju begitu dahsyatnya. Vina terbangun. Menuju suara yang mulai menghilang. Ia dapati Bundanya diluar.
“Ayah kemana Bunda?” Tanyanya sambil mengucek-ucek mata.
“Ayahmu ada urusan di luar kota seminggu ini. Ini ada surat untukmu.” Bunda memberikan surat yang ia terima dari Ayah tadi. Surat? Tumben sekali. Bathinnya.
Bunda menyuruh Vina mandi. Dengan terpakasa Vina mengangguk mengerti. Surat nya ia letakkan di atas meja miliknya. Setelah mandi ia tertuju lagi pada surat yang di berikan Bunda tadi. Bertanya-tanya kenapa Ayah memberikannya ia surat.
Ia duduk di pinggir kasur. Membuka surat itu perlahan..

Vina yang selalu Ayah banggakan...
Maaf Ayah pergi tanpa memberi tahumu. Ayah ingin berbicara banyak denganmu. Tapi Ayah lelah terus terusan kau acuhkan, nak. Ayah mungkin belum menjadi Ayah yang baik bagimu. Tapi percayalah Ayah selalu menginginkan yang terbaik untukmu. Karena Ayah menyayangimu, sayang.
Ayah pergi untuk satu minggu kedepan. Kau pasti tahu, handphone Ayah tidak akan bisa kau hubungi. Untuk satu minggu ini mungkin Ayah tidak akan pernah menceramahimu lagi tentang penampilanmu. Kau bisa saja tersenyum, nak. Tapi jangan pernah lukai hati Bundamu, ya..
Ayah titip Bunda. Jaga dia baik-baik seminggu ini. Ayah percaya padamu..
Ayah berharap seminggu kedepan penampilan mu sudah berubah. Jauh lebih baik.
Dari Ayahmu yang sering kau abaikan perkataannya..

Surat macam apa ini! Vina tidak sedikit pun terketuk. Lagi-lagi penampilan. Sudahlah. Ia melupakan isi surat itu. menjalani harinya seminggu dengan bernafas lega tanpa ada yang menceramahinya. Bunda angkat tangan. Ternyata Vina memang keras kepala.
***
Seminggu kemudian. Bunda menunggu diruang tamu. Berharap Ayah datang secepatnya. Vina tetap menunggu di kamarnya. Kesunyian terpecah ketika telepon rumah berbunyi. Bunda mengangkatnya dengan penuh semangat. Ketika di angkatnya. Semangat yang membara lenyaplah sudah. Rasa bahagianya hancurlah musnah. Bunda terduduk di tepat di samping meja.
Vina merasa bosan di kamar akhirnya turun. Melihat Bunda duduk. Menangis. Ia kelabakan. Ia panik. Jalan terseok-seok. Merangkai seribu pertanyaan.
“Bunda, kenapa? Kenapa Bunda menangis? Siapa yang menelepon? Ayah mana Bunda?” Akhirnya pertanyaan itu memecah tangis Bunda semakin menjadi. Vina panik. Jantungnya berdegup kencang.
“Ayahmu, ke...cel....akaan, nak..” Bunda menjawab masih dengan terisak. Vina benar-benar bungkam. Bukankah seminggu yang lalu Ayah memberiku surat? Bukankah Ayah akan kembali setelah seminggu ini? Vina si hati batu menangis sejadi-jadinya.
Esok hari pemakaman telah berlangsung. Vina menatap lamat-lamat tulisan di depannya. Nama Ayahnya. Sesak tiada terhingga. Bunda masih menangis. Mereka berdua memutuskan untuk pulang kerumah. Bunda, Vina sama-sama merasakan sakit yang luar biasa.
“Bunda. Jika aku berjilbab seperti apa yang Ayah mau, apa Ayah memaafkanku dan ia bahagia disana?” Tanya Vina setelah berada dirumah. Ia masih terisak.
“Tentu sayang, sebab itulah yang ia inginkan selama hidupnya. Meski ia kau abaikan berkali-kali ia tak pernah menyerah untuk menasehatimu. Percayalah ia akan bahagia disana. Di tempatkan disisi yang paling indah Oleh Allah” Bunda mengusap kepala Vina. Vina mengangguk mengerti sudah apa yang harus ia lakukan setelah ini.
Seminggu setelah kepergian Ayah. Vina berubah. Menjadi apa yang Ayah inginkan. Mulai mempelajari apa-apa yang di wajibkan seorang muslimah. Jujur saja, Vina tidak ingin menjadi anak yang terus-terusan membangkang.
“Bunda. Apakah aku cantik memakai seperti ini?” Vina yang memakai gamis, kerudung labuh, dan kaus kaki bertanya pada Bunda.
“Subhanallah. Kau anggun sekali sayang, andai Ayahmu bisa melihatmu seperti ini. Pasti ia bahagia” Bunda memeluk putrinya dengan erat. Tak terasa terjadi hujan kecil di pipinya.
“Aku sayang Bunda karena Allah. Aku sayang Ayah karena Allah. Aku sayang kalian. Terimakasih sebab kalian hidayah itu ‘menampar’ ku perlahan, Bunda..” Vina balik memeluk erat Bunda.

 “Andai aku tahu, hari itu adalah hari terakhir Ayah bertemu aku. Aku akan bangun pagi-pagi sekali untuk melihat Ayah. Aku rela Ayah ceramahi setiap hari jika itu membuat Ayah ada kembali disini. Ayah maafkan aku. Ayah perlu tahu, aku sekarang sudah menjadi apa yang Ayah dan Bunda inginkan. Aku sadar aku salah. Aku kini telah bangga dengan apa yang aku kenakan. Ayah tahu kan? Kini aku telah berjilbab syar’i. Ayah yang kusayang. Bait do’a akan selalu ku rangkai dan kuterbangkan ketempat Ayah.
Vina yang dulu mengabaikan Ayah”

Tulisnya di balik surat yang dulu pernah Ayah nya berikan. Ia letakkan disamping foto nya bersama sang Ayah. Kini ia mengerti. Orang tua tidak akan membuat anaknya terjerumus. Ia tersenyum bangga melihat Ayahnya yang tangguh...

LIKE JUGA INI :) Ikutan lomba nich :3 <3

https://www.facebook.com/photo.php?fbid=663403983712256&set=a.632724086780246.1073741871.517940758258580&type=1




No comments:

Post a Comment