Jarak yang paling dekat malah
kurasa menjadi titik yang paling jauh untuk kugapai. Dia disampingku dan aku
otmatis disampingnya. Tapi kenapa menuju kearahnya adalah hal yang paling
sulit? Seperti harus berjalan berkilo-kilo meter di tengah sengatan matahari. Seperti
harus mendaki dengan kemiringinan nol derajat.Nol? Memang bisa terbilang tidak
miring. Sulit bukan? Ketika aku belajar untuk menerima, ketika aku belajar dari
bawah untuk menuju puncak. Sayangnya, aku tergelincir kembali ke bawah. Sama
seperti ingin ‘berbagi’ dengan dia. Jauh. Sesak. Ada penghalang.
Ku fikir aku telah mampu ikhlas.
Tapi ternyata belum “Bukan ikhlas namanya jikalau masih merasakan
sakit” Kata-kata itu sama sekali belum aku rasakan. Dadaku masih penuh
api yang membuat segala yang ada di dalamnya panas. Bahkan meluluh lantakan
niat kebaikan-kebaikanku kepadanya yang semula aku lukiskan begitu indahnya.
Memang benar, kekecewaan akan
membuat pribadi seseorang berubah. Jujur saja, aku malas mengejar
prestasi-prestasi yang tidak seberapa itu. Menjadi juara kelas, mendapatkan
beasiswa sama saja hal nya aku tidak melakukan apa pun di mata dia. Munafik
kalau aku berkata “Aku tidak butuh pujian” . Sungguh terkadang pujian itu akan
membuatku semangat lebih dari sebelumnya. Aku tidak membutuhkan apa pun
melainkan kasih sayang yang melimpah, perhatian, dan juga semangat yang ia
salurkan ketika mengelus kepalaku. Pertanyaanku sekarang “ Kapan terakhir kali
dia mengelus kepalaku?” LUPA! Aku bahkan lupa bagaimana rasa di sentuh
kepalanya..
Aku ingin pergi jauh dan
berlama-lama disana. Ada atau tidak adanya dia. Kenapa bagiku sama saja? Aku
terbilang sering mengeluarkan air mata karenanya. Karena kesakitannya, karena
hidupnya. Dia berbicara aku adalah orang yang paling senang mendengarkannya.
Walau perkataannya tidak terlalu menarik, aku berusaha untuk tidak beranjak
sebelum ia selesai bercerita. Atau walaupun tidak lucu sama sekali aku berusaha
tertawa. Itu semua karena aku menyayanginya, sangat. Aku tidak ingin membuat
hatinya terluka. Aku tidak ingin ia merasa tidak aku pedulikan. Ketika dia
sakit. Aku berusaha untuk menjadi orang yang lebih dewasa walau panik mendera.
Walau tangis ingin menumpah. Aku ingin berada disampingnya tanpa air mata.
Karena aku tidak ingin dia pergi sebegitu cepatnya..
Sampai akhirnya,
Aku kini berubah kembali menjadi
sosok semulaku. Aku tidak tahu pasti kenapa dia kembali begitu saja. Kenapa
fikiran jahat ini merangsang otakku, perkataanku untuk menyakiti hatinya. Aku
juga sebenarnya tidak ingin. Tapi fikiran dan hatiku yang telah ia patahkan.
Membuat semuanaya menjadi mungkin. Perkataanku terbilang sering menyakitinya.
SAMA! Sama seperti dia menyakiti hatiku dengan perkataannya!
Dia. Selalu mengacuhkanku ketika
aku berbicara apa pun. Cerita apa pun. Dia sama sekali tidak mempedulikan apa
yang keluar dari mulutku. Melainkan hanya beberapa waktu saja. Kenapa berbeda
dengan caraku memperlakukannya? Bukankah waktu itu aku selalu mendengarkan
ceritanya? Penting atau tidak penting. Seru atau membosankan. Aku selalu
memberikan telingaku untuk mendengarkan dia.
Dia. Tidak melihat ku ketika aku
sakit. Bukankah waktu itu aku ada disampingnya ? Mengenggam tangannya ketika
dia rasakan sakit yang luar biasa? Kenapa yang ada bukan dia tapi orang lain?
Apa aku hidup dengan ‘orang lain’ itu saja disini?
Dia. Suka membanding-bandingkan
aku dengan mereka. Dengan mereka yang sebenarnya tidak perlu di bandingkan
denganku! Dia saudaraku pula. Jika dia malu dan malas mempunyai aku, kenapa
waktu itu dia tidak membuangku saja? Aku mulai membenci perlakuannya denganku.
Sungguh.
Kenapa malaikat itu bukan kau,bu?
Kenapa kau berubah menjadi
seseorang yang jauh dari kedekatan denganku. Aku lupa bagaimana kau peluk! Aku
lupa bagaimana kau cium! Aku lupa bagaimana tanganmu mendarat hangat di
kepalaku! Aku lupa bagaimana bercanda denganmu! Aku lupa bagaimana mendapatkan
nasehat darimu! Aku juga lupa bagaimana di perhatikan ketika aku sakit! Aku
lebih lupa bagaimana kata-kata lembut yang dulu terlontar dari mulut mu!
Aku hanya merindukanmu bu...
Kenapa malaikat itu bukan kau?
No comments:
Post a Comment