Lilin kecil berwarna-warni
menghias di atas kue. Gemerlapan seperti bintang di langit gelap. Cahaya nya
terpancar redup namun menyejukkan. Mata siapa pun yang memandang akan takjub
melihat keindahannya berkobar-kobar. Sesekali
bergoyang ke arah angin. Sesekali berdiri
tegak setegak batangnya. Dan Wush. Keindahan nya lenyap. Lilin kecil padam.
Keindahan terputus. Tidak ada lagi gemerlap bintang di atas kue. Hembusan
dahsyat itu memadamkan keelokannya. Namun, ketika api menyambar pucuknya. Lilin
kecil itu hidup kembali. Dan begitu seterusnya...
Sayangnya,
kehidupan yang aku dan kau jalani tidak sesimple LILIN. Yang mana, ketika kita
berada posisi tidak nyaman bisa
keluar seenaknya saja. Sama seperti mematikan Lilin. Atau ketika
bahagia-bahagia nya kita bisa masuk ke kehidupan itu lagi dengan
sebebas-bebasnya—sama seperti menghidupkan lilin. Kehidupan lebih rumit dari
sekedar meniup dan mematikan lilin. Andailah kehidupan semudah itu. Mungkin aku
adalah salah satu orang di antara jutaan bahkan milyaran kepala yang tidak
merasakan sesak yang luar biasa saat ini.
Hidup adalah
perjuangan. Perjuangan untuk memperjuangkan yang baik. Atau justru berjuang
untuk hal yang buruk. Celakanya lagi, memperjuangkan hal yang buruk yang di anggap
baik. Rumit. Hidup memang rumit. Bisa jadi, ketika kita sudah berusaha keluar
dari masalah. Lari sekencang-kencangnya. Membuang fikiran agar tidak dapat
berfikir lagi. Justru hal itulah yang membuat masalah semakin pekat. Semakin
menancap di kepala. Semakin menusuk dalam jiwa. Semakin menyesakkan dan semakin
menjatuhkan kita pada posisi yang lebih parah dari sebelumnya..
Ketika Lilin
dapat di tiup dan di matikan sesuka hati—pemiliknya. Kehidupan sama sekali
tidak bisa berhenti sesuka hatinya. Tidak bisa dipaksa untuk kembali ke masa
lampau. Tidak bisa pula di percepat ke masa yang akan datang. Atau memperlama
waktu di masa sekarang. Kehidupan tidak akan berhenti, walau kita berusaha
mati-matian menghentikan waktu. Kecuali
Allah mengizinkan. Jalan satu-satunya mencapai keindahan adalah dengan
menjalaninya. Tidak peduli seberapa berat. Tidak peduli seberapa pahit. Entah
hari ini terlilit hutang yang membelit dan meliuk sana-sini. Entah hari ini
mendapatkan nilai ulangan yang sangat-sangat tragis. Entah hari ini kurang
makan. Entah hari ini mempunyai kelainan. Dan rentetan kata entag yang lain. Hidup
tidak akan pernah berhenti-sebelum waktunya-.
Walau pahit
walau sulit. Bukankah masih bisa bersyukur?
Aku juga pernah –terbilang
sering—merasakan pahit yang luar biasa pahitnya. Aku juga pernah bersahabat
dengan kesedihan;setahun terakhir. Aku juga pernah kesulitan. Yang lebih
singkat. Aku juga sempat lupa bagaimana bersyukur.
Aku tetap saja berfikir Bagaimana aku bisa seperti lilin. Yang
dihembus akan padam dan di nyalakan akan bersinar kembali. Aku terus
mencari cara bagaimana aku bisa bahagia lalu ‘mati’ ketika kesulitan menerpa. Aku melupakan syukur. Padahal,
ketika kita dekat dengan syukur. Kesulitan apa pun akan ada jalan keluarnya,
akan tetap ada sisi untuk menuju kemudahan. Tetap ada celah untuk menerbangkan
kesulitan itu pergi dan menggantikannya dengan bahagia. Kadang kita lupa.
Kadang kita terlampau sibuk mengurusi hal yang tidak seharusnya di urusi.
Padahal ada masalah besar dalam hati yang harus di urusi. Kurangnya rasa syukur.
Hembusan di
atas lilin membuat keindahannya padam. Hembusan do’a di atas sajadah membuat
keindahan hidup terbuka. Nyala api di atas lilin membuat keindahannya kembali.
Nyala api di atas rasa syukur akan membuat jalan keindahan semakin lebar.
Ketika lilin harus di nyalakan agar keindahan itu kembali, kehidupan butuh rasa
syukur untuk membuat segalanya menjadi indah. Ketika lilin harus padam di
akhir. Kehidupan tidak akan pernah padam sebelum Allah menghentikannya. Lilin
hanya mampu memberikan pancaran keindahan untuk beberapa jam saja. Tapi
kehidupan mampu memberikan keindahan berkali-kali lipat dari Lilin. Cukup satu
beryukur.
Sebab hidup
tidak sesimple meniup dan menyalakan Lilin.
Sebab kita
tercipta bukan untuk menjadi sebatang Lilin..
No comments:
Post a Comment