♫♬

Saturday, July 12, 2014

Mawar Ramadan


Bulan dimana banyak orang menghabiskan waktu bersama. Sekadar bertukar cerita atau berbagi tawa. Ah, bulan penuh berkah untuk kehidupan yang indah. Disaat rumah-rumah lain sibuk mengurusi menu berbuka puasa. Disaat itulah rumah yang satu ini lengang. Benar-benar sepi.
Rumah berdinding batu bata merah yang tidak atau belum disemen terlihat kosong. Tak ada suasana yang harusnya tercipta dibulan suci. Penghuninya entah kemana. Hanya ada detakan jam. Ctak! Ctak! Ctak! Selebihnya sunyi lagi. Rumah itu besar. Tapi kondisi dinding yang--tidak atau belum disemen—tadilah yang membuat rumah itu terkesan semrawut. Berantakan.
Allahuakbar...Allahuakbar...
Azan sudah berkumandang dari Masjid dekat rumah. Satu persatu penghuni rumah tadi keluar. Dengan ekspresi wajah yang berbeda-beda. Hambar. Tak ada rasa. Entahlah, apa bisa keluarga ini disebut dengan “keluarga”?
“Tak ada apapun di meja ini?” Laki-laki paling tua diantara mereka berkata. Eh, bahkan memang laki-laki sendiri. Itu Abi.
“Bunda tak sempat menyiapkan makanan. Kita buka puasa di luar saja ya,Bi?” Perempuan berambut panjang teruarai nyengir. Sok tak tahu. Sok tak merasa bersalah. Kalimat “tak sempat” itu hanya bahasa halus dari “aku malas masak”.
“Oh, Asya masak Mie saja. Pergilah kalian berdua. Asya tak akan dan tak mau ikut. Asya mau salat magrib dulu.” Asya gadis berkerudung lebar itu langsung pergi. Bodo amat masalah makan di luar. Tetap tak ada rasa,kan? Tak akan istimewa.
Lepas salat magrib rumah itu tetap saja sepi. Hanya suara Asya yang terdengar merdu membaca lantunan ayat cintaNya. Abi dan Bunda benar-benar makan di luar tanpa Asya. Asya sudah terbiasa –entah terpaksa atau tidak—keluarganya sekarang mewajibkan ia tumbuh menjadi pribadi yang lebih tegar. Ah, memuakkan. Tingkat ketegaran itu harus lima kali lebih kuat dibulan suci.
♧♧♧
Hari ke-29. Cepat betul rasanya hari berganti. Cerita di rumah itu pun berganti. Sudah seminggu ini Bunda jadi rajin. Tak ada lagi hobbynya belanja online dan hidup yang serba mewah itu—padahal lupa kalau dinding rumahnya pun belum semewah gaya hidupnya. Banyak yang berubah, seminggu terakhir menu buka puasa berjejer rapi; kue, kurma, es buah, dan serba-serbi lainnya.
Sore ini Asya juga sudah selesai membantu Bunda memasak. Dia langsung ke ruang tamu. Membuka lemari yang berada di samping TV. Dia acak-acak isi lemari itu. Tak ada? Kemana? Tak berhenti. Dia terus mengacak-ngacak walaupun niat awalnya mencari. Air matanya mulai menetes. Deras. Tangan mungilnya terus merogoh sudut-sudut lemari. Pukul 18.00 WIB tak peduli sebentar lagi berpuasa, ia sibuk dengan pencariannya. Tiba-tiba Bunda melihat. Terkejut. Semua sudah berantakan macam kapal pecah. Buku-buku berserakan di lantai. Selebihnya masih di dalam lemari, tapi....berantakan juga.
“Kau mencari apa Sya?” Bunda bertanya bingung. Sembari tangannya lihai membereskan buku yang berantakan di bawah kakinya.
“Sesuatu.” Katanya singkat. Mengelap air matanya. Mengehela napas panjang. Bibir tipisnya mengatup. Menahan tangis.
“Apa?” Bunda masih penasaran.
“Mawar...” Asya berkata lirih. Berdiri dan memandang keluar rumah. Asap, siapa pula yang membakar sampah jam segini. Tak peduli. Dia mendengus sekali lagi.
“Mawar yang berserakan di lemari ini? Sekitar 50-an lebih,Kan? Bunda bakar. Besok kita.....”
“BAKAR BUN? Ah seribu mawar pun tak seistimewa itu! Mawar itu tumbuh ketika bulan Ramdahan.” Asya pergi meninggalkan Bunda lari ke luar rumah. Melihat si jago merah melahap mawar itu sekejap. Ludes. Tinggal sisa batangnya yang juga sudah tak berbentuk. Mawar itu sama seperti hatinya. Hancur......
♧♧♧
“Marah sama Bunda? Maaf Sya---” Bunda duduk di samping Asya. Berkata terbata-bata. Dia tak mengerti, kenapa mawar itu begitu berarti?
“Bunda tak pernah mengerti. Tak pernah coba paham. Aku bersyukur pada Tuhan telah merubah Bunda seperti sekarang. Bunda memakai kerudung, Bunda rajin masak, meluangkan waktu untuk keluarga. Tapi Bunda lupa, Bunda belum pernah mengerti keberadaanku...” Asya menahan tangis. Rasanya kerongkongannya kering. Sakit. Nyeri sampai telinga.
“Aku juga berterimakasih pada Tuhan. Bulan puasa kali ini ditemani Bunda. Tapi aku tak pernah meminta untuk menghapuskan kenangan Umi di hatiku, Bun...Tak pernah..” Asya sempurna menangis. Semuanya kembali. Di ruangan ini.
Dua tahun lalu....
“Ini Umi... Plastik warna merahnya sama tangkainya, ajarin Asya bikin mawar ya Umi. Biar bulan puasa ini Asya gak bobok terus.” Asya berkata manja pada Umi. Umi meraih plasik bekas itu dan tangkainya.
“Setiap hari kita bikin mawar ini sayang, Umi bikin satu. Kamu bikin satu. Jadi, hari ke-30 Ramadan kita punya 60 tangkai mawar.” Umi tersenyum membelai rambut Asya.
Keasyikan Asya dengan mawar buatannya terhenti dihari ke-30. Umi mendadak sakit. Entah apa penyakitnya, dokter pun bilang tak ada penyakit yang terdeteksi. Asya menunggu Umi di Rumah Sakit. Sesenggukan.
“Kau sudah buat mawar,Sya?” Umi berkata pelan. Asya menggeleng. Tak peduli lagi masalah mawar. Umi lebih penting.
“Ini dua mawar untukmu,Sya. Maaf tak serapi biasanya. Umi sudah harus pergi... Jangan lupa ya. Bulan suci harus perbanyak ngaji. Umi....”
“Umi sayang Asya karena....Allah.” Dan Umi menghembuskan nafas terakhir tepat hari ke-30 Ramadan.
Asya pun tersadar dari lamunannya.
“Bunda tak pernah tahu. Mawar itu. Mawar itu Bun, hanya tumbuh ketika bulan Ramadahan. Mawar itu Bun.....” Asya sesenggukan lagi.
“Mawar itu untuk pertama dan terakhir tumbuh dua tahun lalu. Dia tak akan tumbuh lagi tahun ini dan tahun-tahun berikutnya. Bunda tahu??” Asya menatap mata Bunda lekat-lekat.
“Mawar itu tumbuh dari tanganku dan tangan Umi. Itu kenangan terakhir Umi sebelum Umi pergi. Itu pertama dan terakhirnya Bun. Tak akan ada lagi mawar-mawar yang tumbuh setelah ini. TAK AKAN ADA! Bahkan Bunda tak pernah peduli denganku. Tak pernah Bun!! Bunda tak seperti Umi.....” Meninggalkan Bunda;ibu tirinya.
Bunda tersentak. Mematung. Beribu sesal dalam dadanya telah membiarkan hati anaknya terluka. Ia ikut-ikutan menangis. Berfikir panjang...
♧♧♧
Hari ke-30.
“Bunda ada sesuatu untukmu,Sayang.” Bunda tersenyum mendehem. Tiba-tiba Abi muncul dari belakang Bunda.
“Abi....” Asya tak percaya.
“Mungkin ini tak menggantikan Umi dihatimu, tapi setidaknya Bunda bisa seperti Umimu,sayang.” Abi tersenyum.
“Kami semalaman membuat ini untukmu,Sya.” Abi menyodorkan 60 tangkai mawar plastik yang memang tak serapi buatan Umi.
“Abi...Bunda....” Asya memeluk Bunda dan Abi.
“Maafkan perkataan Asya,Bun...Terimakasih Bunda Abi. Akhirnya mawar ini tumbuh lagi di Ramadan kali ini.”
“Ia mungkin tak tumbuh dari tangan Umi. Tapi ia tumbuh dari tangan yang sama-sama mencintai Asya dengan sepenuh hati.” Tangan Asya kini penuh dengan 60 mawar plasik. Tersenyum puas. Memang, tak akan ada yang menggantikan mawar yang tumbuh dari tangan Umi. Tapi sekarang mawar itu akan terus tumbuh tiap tahun dari Bunda,Abi dan Asya untuk Umi....


Tantangan #EkspresiPuasa By @Kampusfiksi

No comments:

Post a Comment