♫♬

Sunday, February 22, 2015

Transfusi Rasa

Aku terkapar, dihempas masa lalu yang semakin ganas menyingkirkanku. Aku tahu, semakin aku berusaha ada dalam benaknya, semakin terbuanglah namaku dari seisi hidupnya. Tangan-tangan penuh kasih yang dahulu merangkulku kini menjadi tangan yang mencekik, menarikku dengan paksa, dan mendorongku masuk dalam lubang yang gelap tanpa ampun.

Aku terduduk, sendirian, menutup mataku. Rasanya aku tak mampu berlama-lama di lubang gelap ini sendiri. Dia membuangku, lama. Dia membiarkanku, sendiri. Dia mencapakkanku, di sini.

Tak kutemui lagi janji kesetiaan pertemanan di sini. Pertemananku omong kosong. Orang yang kubanggakan;musnah. Senyum manis yang selalu aku rindu. Kini menjadi mimpi buruk yang ganas. Senyum manis itu terasa sinis, mencekik leherku perlahan. Aku baru tahu, orang yang aku sanjung, yang selalu aku sebutkan namanya dalam doaku bisa setega ini membuangku.

Lama sudah aku bertahan dalam lubang ini, mengharapkan janji Tuhan atas balasan yang setimpal dengan kesabaran. Lama sudah aku terbuang, meratapi kisah yang tragis tapi tak mampu aku sudahi. Lama sudah aku terdiam, memupuk rindu akan hangatnya tawa yang pernah kuukir bersamanya.

Perlahan waktu berputar, yang selama itu pula harap bahagiaku telah samar. Aku masih pada lubang yang sama. Menunggunya kembali mengulurkan tangan, membantuku berdiri, menyembuhkan luka yang ia sematkan. Aku akan dengan rela memaafkannya, aku akan melupakan caranya membuangku. Tapi tidak, penilaianku mungkin terlalu sempurna. Nyatanya, dia dengan bebas terbang. Sedangkan aku terjatuh dalam lubang yang semakin dalam.

Dalam sedihku, aku tetap percaya bahwa Tuhan mendengarku. Dalam rasa terasingkan, aku masih percaya aku bisa bahagia.

Lama, sangat lama aku berkecimpung dalam duka. Sampai saatnya.....

Hari itu, takdir Tuhan bekerja. Aku hanya duduk meratap, memang tak ada air mata lagi. Karena pada hari itu, air mataku telah kering. Rasanya akan ada keajaiban yang terjadi.
Aku menunggu detik-detik itu. Mulutku mengatup, kakiku mencengkeram erat lutut. Nafasku tak keruan. Aku mendongak. Ada secarik cahaya muncul. Setelah selama ini aku bersahabat dengan gelap. Kini cahaya itu aku temukan. Kakiku mulai melemas, tak ada lagi tenaga untuk melanjutkan kagumku akan cahaya yang baru saja aku lihat. Aku terkulai, sedangkan samar-samar aku lihat ada tangan yang mengulur membantuku naik dari sebuah lubang kegelapan ini.

Setelah sesaat aku mengumpulkan energiku. Aku lihat lagi takdir Tuhan bekerja. Tangan-tangan itu mengobati lukaku. Tangan-tangan itu menopangku dan memapahku ke taman indah. Tak ada lagi kegelapan seperti yang dia berikan waktu itu.

Tangan itu lembut, tangan itu menghapus sisa air mata yang selama ini mengering di pipi. Tangan itu mengelus rambutku.

Lalu aku bertanya pada Tuhan, siapa orang yang mau memungutku dalam keadaan compang-camping?

Tuhan diam. Oh, tidak. Aku yang tak mampu mendengar apa jawaban Tuhan atas pertanyaanku.

Tangan-tangan itu masih sigap saja menopangku ketika sesekali kakiku lelah. Tapi aku belum tahu siapa dan dari mana tangan itu berasal.

Sampai akhirnya,
Aku telah mengenal mereka. Mengenal tangan-tangan itu. Tuhan menciptakan rasa rindu dengan tangan itu ketika mereka tak mendekapku. Hebat, mereka membuatku lupa dari mana aku dipungut. Mereka membuatku merasa kembali utuh.

Dan sekali lagi aku bertanya.
Tuhan, siapa mereka yang mau berbaik hati memperjuangkanku agar aku tak bersedih?

Tuhan akhirnya berbisik lewat angin.

“Tangan itu milik orang yang benar-benar mencintaimu.”
Siapa pikirku? Tuhan kembali menjawab.
“Sahabatmu.”

Setelah hari itu, aku tahu betul. Sahabat adalah orang yang mau merampasku dari kegelapan. Yang mau menopangku;meski terkadang mereka terlihat samar dalam bayang.

Ayam, Russ.

No comments:

Post a Comment