♫♬

Sunday, August 17, 2014

Satu. Dua. Tiga.....Empat?

            Kaku. Bahu sebelah kanan-kiriku tak mampu kugerakkan. Mataku sudah berkali-kali mengerjap-ngerjap tapi tak ada hasil. Peluhku mengucur bak air mancur dari kening, hidung apalagi dagu.
“Arggh.” Susah payah kakiku melangkah. Berjalan secepat mungkin. Lebih cepat dari detakan jarum jam di tangan kiriku.
Sial! Bahuku seolah mati rasa. Aku hanya dapat berjalan lurus. Padahal aku lihat... Ah, sekali lagi payah! Bahkan aku tak melihat apa-apa di sekitarku. Kenapa semua mendadak hitam legam tak ada warna? Aku berhenti. Lagipula, aku tahu sejauh apapun aku melangkah. Yang kudapati hanyalah jalan lurus. Tanpa dinding. Tapi anehnya aku tak oleng sama sekali.
“Cepat! Jika kau berhenti aku tak mungkin bisa lewat.” Suara itu ketus berteriak dari belakang. Terdengar begitu memekakkan telinga.
“Astaga!” Aku menatapnya sebenatar lalu menatap lurus lagi. Aku di mana? Semua beigtu aneh. Ditambah lagi sesuatu yang berada dibelakangku. Begitu runcing. Ujungnya berwarna hitam pekat. Sama seperti dasar yang aku injak sekarang. Sama juga seperti jalan lurus yang ada di depan mataku. Tapi, sesuatu itu berbicara? Bagaimana bisa?
“Cepat! Jangan banyak berpikir.” Desaknya sekali lagi agar aku akhirnya berjalan.
“Berjalan atau tidak aku akan tetap berada pada garis.....” Aku terhenti.
“Tunggu dulu. Jika aku berada pada suatu garis. Ah tepatnya, garis lurus. Berarti akan ada satu titik di ujung sana yang barangkali ada jalan keluar untukku!” Tanpa menghiraukan sesuatu yang berbicara di belakangku tadi. Aku berlari sekencang mungkin. Tak perlu tahu sejauh apa jarak yang akan aku tempuh. Aku harus keluar dari sini.
***
“Aaaaaa!” Teriakanku menggelegar. Badanku melayang. Jatuh dari sebuah lubang bercahaya dari titik yang kutemukan di ujung garis pertama. Celaka! Cahaya itu semakin redup dan lambat laun hilang. Sedangkan tubuhku sedikit lagi menapak ke lantai.  
Jdut!
Kepalaku terantuk ubin berbentuk persegi. Kepalaku rasanya hampir benjut. Walaupun sempat melayang, sialnya lima jengkal sebelum benar-benar menapak tubuhku terhempas begitu saja tanpa ampun. Hasilnya, jidat lapangku menjadi sasaran empuk.
 Mataku dengan brutal menjamah sekitar. Bahuku yang kaku tadi juga sudah bisa digerakkan. Pergerakan kakiku yang hanya bisa melangkah ke depan juga telah bebas berputar. Jungkir balik atau apalah sesukaku.
Ubin persegi itu hanya satu buah. Tapi baru kusadari panjang sisinya begitu mengerikan. Mungkin sekitar 100meter x 100meter. Gila! Tempat macam apalagi ini?
“Berjalan saja ikuti sisi-sisku ini. Barangkali, kau akan temukan jalan keluar lagi.” Suara itu terdengar lebih lembut. Ku tolehkan kepalaku tapi tak ada sesuatu juga seorang pun.
“Aku di bawahmu.” Suara lembut itu lagi.
“Maksudmu? Ubin? Kau ubin yang aku injak? Benarkah?” Aku mengelap keringatku. Entah sudah berapa liter air dari keringatku yang sudah keluar. Jantungku berdegup kencang.
“Iya begitulah. Aku tercipta dari pertemuan garis-garis lurus sebelum ini.” Dia menjawab dengan datar.
“Aku tak mengerti. Ini terlalu rumit. Aku tak mau tahu. Aku ingin pulang!” Jawabku. Memang benar, aku tak peduli tercipta dari apa dia. Aku hanya ingin pulang. Mataku nanar. Jelas sekali aku ingin menangis, aku sendirian di sini. Tak ada seorang pun. Tanpa berfikir panjang. Aku langsung berlari mengikuti sisi-sisi ubin ini.
Celaka, ditengah semangatku ingin menemukan jalan keluar. Kakiku malah tersandung, entah apa yang kutabrak hingga akhirnya aku terjatuh.
“Aaaaaaaaa!!!!” Lubang. Tubuhku masuk dalam lubang sialan ini lagi!
***
Tubuhku benar-benar terasa ringan. Melayang macam kapas tertiup angin. Ke sana ke mari. Aku mencoba manapak tapi tak mampu. Semakin aku mencoba menambah beban tubuhku semakin berat tubuhku berkurang.
            Gelap. Tak ada cahaya sedikitpun. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku. Mengusap mataku berkali-kali. Benar, tempat ini gelap sakali. Kosong. Tak ada warna barang kali walau hanya setitik putih dalam hitam.
            Aku mengerjap sekali lagi. Berharap akan berubah. Sangat lambat aku membuka mataku. Merasakan tiap detiknya.
            “Kau sedang apa di sini?” Aku buru-buru membuka mata—gagal menikmati tiap detiknya. Burung gagah ini berbicara padaku—terlepas dari apa nama burung ini.
            “Aku tak tahu. Tapi yang pasti aku tak harus lebih gila dari tempat sebelum ini. Sebuah bidang persegi. Tak ada warna. Tak ada rasa. Di sini, aku seperti menukan kehidupan.” Aku bersungut-sungut. Burung gagah itu tetap mengikuti tanpa menjawab apapun.
            Tubuhku masih melayang tak karuan. Tertiup angin. Wusssh. .
            “Naik saja ke tubuhku. Aku bisa kau injak. Tak akan jatuh. Percayalah.” Benda putih halus menyetuh kakiku. Aku masih melayang tak bisa turun dan duduk ke tubunya seperti yang ia sarankan.
            “Aku tak bisa turun. Aku tak tahu bagaimana mengendalikan tubuhku ini.” Aku menghela napas kasar. Wush.. Aku kembali tertiup ke belakang. Sial, napasku yang mengendalikanku. Pantas saja setiap aku bernapas tubuhku terombang ambing macam tak tahu arah.
            Aku tahan napasku sejenak. Benar, aku bisa menapak ke tubuh putih bersih ini.
            Sekarang, aku duduk diatasnya. Memandangi sekitarku. Burung gagah tadi berterbangan bercengkrama dengan teman-temannya. Benda putih yang kusebut awan ini juga terus berjalan keliling dunia.
            Aku mendongak. Ada langit lagi diatas sana. Lantas aku sedang berada dimana?
Aku menunduk. Ada bumi di bawah sana. Lantas, aku berada dimana?
“Hey, aku harusnya berada di bawah sana. Bumi. Tempat aku dan para makhluk hidup tinggal. Bukan di atas sini.” Aku menghentakkan tanganku ke tubuh yang kududuki ini.
“Apa bedanya?”
“Entahlah, aku merasakan beda. Aku merasa waktuku habis terbuang di atas sini. Aku tak mengerti harus melakukan apa.”
“Apa pentingnya?”
“Aku juga tak tahu.”
“Tak ada bedanya, kita sama-sama berada pada satu tempat. Satu dunia. Hanya saja ada atas dan bawah. Tanpa kau sadari, di atasku juga masih ada atas. Di atas sana, masih ada atas. Begitu seterusnya. Tapi, kita terkotak pada satu ruang yang sama.”
“Aku tak paham.”
“Bodoh! Pecuma kau ada di sini.” Tubuhnya merenggang. Membuatku yang tak punya persiapan kusus terjatuh.
BRUK!!!
***
“Ashlyn, kau kenapa?” Aslan saudara kembarku bertanya. Mataku mengerjap-ngerjap.
“Garis..Ubin persegi..Langit..Ketinggian..Ruang”
“Apa maksudmu adalah dimensi satu, dua dan tiga?” Aslan melirik mataku tajam.
Aku mengangguk. “Lalu setelah itu? Dimensi yang menaungi semua dimensi. Dimensi yang membuat semua dimensi menjadi satu kesatuan. Kau tahu?” Kataku menggebu-gebu. Aku mengelap keringkatku sekali lagi.
“Kau tertidur dari tadi. Dan dalam tidurmu kau bermimpi. Sedangkan aku disini dari tadi. Dan dalam sadarku aku mengerjakan tugasku. Lain lagi dengan ibu, dari tadi ia berada di dapur mungkin saja sedang memasak. Bukankah kita dalam ruang yang sama?” Tuturnya menyakinkan.
“Benar. Lalu?”
“Dimensi setelah dimensi ruang adalah dimensi waktu,Lyn.”
“Maksudmu?”
“Ah dasar payah! Terserahmu saja. Makanya, siang-siang jangan tidur! Lain kali, harusnya kau matikan laptopmu dahulu sebelum tidur.” Aslan meninggalkanku begitu saja.
“Ohya, jangan terlalu gila dengan satu bahasan. Aku khawatir kau akan benar-benar gila bila sebulan berturut-turut yang kau cari di internet hanya dimensi empat itu!” Imbuhnya lagi.

Aku menunduk dan menatap layar laptopku. “Dimensi keempat” pada kotak kecil itu aku click. Percuma! Jaringan terputus. Aku mendadak ingat, tadi sebelum akhirnya memutuskan tidur modem sialan ini kehabisan kuota. Pantas saja aku biarkan ia tergeletak di bawah kasur. Ah, sial gara-gara dimensi keempat aku samapai lupa mematikan laptopku..

#DimensiFiksi tantangan oleh @KampusFiksi

NB : Jangan salahkan isi di dalamnya. Salahkan saja yang menulis. Haha #DimensiBikinGalau

No comments:

Post a Comment