“Mau dibantu?”
Cewek berkerudung coklat susu berhenti di sebelahku. Aku tersenyum. Cewek berhidung
mancung juga berlesung pipi itu lebih tinggi—satu jengkal—dariku. Itu berhasil
membuatku harus mendongak untuk benar-benar melihat siapa yang memanggilku.
Hari ini, 29
Juli 2012.
Setelah
semalaman aku sibuk mengurusi barang yang harus kubawa dengan serba cepat. Akhirnya
hari ini pertempuran ini harus kulalui. Lebih-lebih bulan ini Ramadan. Sisa tenaga
yang kuhabiskan tadi malam harus kugunakan lagi hari ini. Aku salah satu wakil
dari sekolahku untuk mengikuti pertempuran memuakkan yang baru saja akan
dimulai. Latihan kepemimpinan....Ah, aku tak begitu paham. Lagi pula, selama
ini aku tak aktif berorganisasi. Aku hanya ikut-ikutan saja.
“Hey, can i help you?” Suara serak itu
kembali kudengar. Masih orang yang sama.
“Eh, nggak
usah. Nggak papa. Duluan aja.” Kataku sok menolak. Kalau kata orang sih,
basa-basi. Sebenarnya aku memang butuh pertolongannya. Membawakan barang yang
ada di tanganku. Satu tas besar, dua tas sedang berisikan perlengkapan mandi. Ada
juga makanan yang setumpuk untuk tiga hari pertempuran ini.
“Oh, baiklah.
Aku duluan ya. Bye!” Kerudung coklat susunya bergoyang. Senada dengan langkah
kakinya. Aku mendengus kesal. Jatuh terduduk karena kelelahan membawa barang yang
super berat ini.
Tisu sangat
membantu mengelap wajahku. Alhasil keringat membandel yang terus mengucur ini
akhirnya kering. Tak kusangka, cewek mancung tadi dengan sigap langsung hilang
ditelan bumi. Eh, maksudku. Cepat sekali ia berjalan. Sampai-sampai punggungnya
yang menjauh pun tak bisa kulihat lagi.
“Niat
ngebantuin kok malah ngacir gitu aja. Ih, kan niatnya basa-basi malah beneran
pergi. Huh, nggak gaul! Masa nggak bisa nangkep.....”
“Kode?”
Celotehanku terhenti. Aku diam tanpa kata. Garuk-garuk kepala. Seperti pencuri
yang ketangkap basah ngutil barang. Cengengesan.
“Siapa bilang
aku nggak ngerti kode? Sini, aku bawain. Lain kali nggak usah sok kuat. Lagian,
ini kan latihan buat jadi pemimpin. Lah kamu, kayak mau piknik!” Katanya sambil
tertawa. Aku menunduk malu. Dan akhirnya tersenyum bersama tawanya.
Aku dan cewek berkerudung itu berjalan
berdampingan. Tapi dasarnya aku memang lambat. Untuk membawa satu tas jinjing
yang berisikan makanan saja rasanya berat sekali. Padahal dia—cewek mancung itu—membawa
hampir separuh dari bawaanku.
Setelah dilihat-lihat
tubuhnya lebih ramping, pipinya tirus, matanya bak buah leci—hitam legam—juga dengan
senyumnya. Menyungging sok keren. Ah ya, bisa ditebak anak ini sediki tomboy
dariku.
“Woy Ndut!
Cepetan! Lelet amat sih. Udah dibantuin juga.” Aku tercengang. Anak ini baru
kenal—walaupun belum berkenalan—berani sekali memanggilku dengan sebutan Ndut. Aku
pegang pipiku. Ah sial! Memang macam bak pao. Pantas saja. Aku malah tertawa
menyadari betapa tembamnya pipiku.
“Iya Cung!” Jawabku
agak sedikit berteriak. Kulihat langkah kakinya terhenti. Aduh, marah? Aku cengengesan.
Dia berjalan ke arahku.
“Apaan itu ‘Cung’?”
Tanyanya menaikkan alis sebelah. Lagi-lagi sok keren.
“ManCungKring! Weeek!”
Jawabku singkat sambil melet-melet ke arahnya.
Kecepatanku
bertambah. Aku melaju semakin kencang. Sampai lupa beban berat yang kubawa. Akhirnya
dengan susah payah aku sampai juga di Mushalla.
Warna hijau
mendominasi Mushalla. Tumpukan sajadah dan mukena yang rapi sekali menandakan siswa
di sekolah ini rajin beribadah. Buktinya saja, lantainya mengkilat. Sajadahnya tak
berdebu. Ah, keren. Aku jadi iri, kenapa sekolahku tak sebagus sekolah ini? Aku
sedang berada di SMK 25 sekolah nomor satu di Kotaku. Batam. Aku murid kelas
dua SMK. Tapi jelas, bukan dari sekolah
ini.
Kalau boleh
dijelaskan, sekolahku tak sampai setengah dari bagusnya sekolah ini.
Fasilitasnya juga dengan gurunya. Sudahlah. Itu bukan yang ingin kujelaskan. Yang
pasti, apakah aku akan betah tiga hari di sekolah bagus ini?
***
Sudah tiga hari
dua malam aku bertempur. Melewati malam dengan kantuk yang kian menjadi. Lelah sekali
kurasa, tapi lumayan. Banyak ilmu yang kudapat.
Apa yang aku
bawa pun rasanya sia-sia. Tak ada yang terpakai, apalagi peralatan mandi yang
satu tas itu. Waktu mandi benar-benar terbatas. Lima menit di dalam toilet,
sudah diteriaki dari luar. Terpaksa, selama tiga hari ini aku tak pernah mandi.
“Nyesel kan?”
Suara menyebalkan itu. Duduk di sampingku. Aku tak pedulikan keberadaannya. Tetap
membersihkan wajahku dengan handuk.
“Next time, thinking before doing.” Dia
memeluk kakinya. Mungkin kedinginan.
“Sekalian,
puasa kan? Ngapain bawa makanan banyak-banyak.” Dia belum berhenti berceramah
ternyata.
Aku beranjak
berdiri. Dia mengikutiku. Aku berhenti. Dia juga berhenti.
“Sudah
selesaikah meledekku,Nyonya? Jangan mengikutiku!” Aku cemberut melihat wajahnya
yang menyebalkan itu. Dia malah tertawa.
“Ah, hari ini
kan hari terakhir kita ketemu,Ndut. Kapan lagi aku jailin kamu! Yuk, disuruh
ngumpul di sana tuh.” Dia menarik tanganku. Terpaksa lagi, aku harus
ikut-ikutan berjalan setengah berlari.
Pengarahan
sekitar setengah jam membuatku malas mendengar lagi. Badanku sudah bau. Itulah masalah
terbesarnya. Aku lelah sekali. Kepalaku pun tak sadar bersandar di bahunya. Yah,
cewek menyebalkan itu. Kenapa tiba-tiba ada rasa sedih yang hadir,ya? Aku
merasa akan merindukannya. Sekalipun ia menyebalkan.
Satu jam
selanjutnya. Semua sudah selesai. Siswa-siswi lain sudah sibuk membawa
peralatannya masing-masing. Air mataku turun. Menetes tak disadari. Aku yakin,
aku akan rindu momen menyebalkan bersamanya.
Aku beranjak
dan membawa peralatanku. Dia menarik tanganku. Aku hanya diam di depannya. Dan dia
memelukku. Air mataku kembali menetes lagi. Aku berusaha menahannya, tapi malah
tenggorokanku sakit. Jadi aku biarkan sesenggukan dipelukan dia. Si gadis
berlesung pipi yang baik...
“Ndut, aku
nggak pernah bisa sedeket ini sama orang baru. I think you’re the angel from God for me to be my bestfriend. Aku
bakal kangen deh samamu.” Dia melepaskan pelukannya. Memberikanku tisu. Aku hanya
mengangguk.
Jujur saja,
selama ini aku juga merasa dia peduli. Dia baik, dan dia pantas untuk disebut
sahabat. Walau aku belum pernah mengenalnya tapi aku merasa dia adalah kiriman
Tuhan untukku.
Pertempuranku
selesai. Artinya, selesai jugalah pertemuanku dengan gadis berlesung pipi itu.
Aku menjabat tangannya sok keren. Lalu tersenyum dan meninggalkannya.
“Ndut!” Katanya
menghentikan langkah kakiku.
“Apa Cung?” Jawabku
singkat. Dia melangkah mendekatiku.
“Aku, Rai.” Dia
mengulurkan tangannya. Aku mengerutkan dahiku. Namanya Rai?
“Eh iya, Raina Ferianda.” Rai
tersenyum sekali lagi.
“Aku, Ari. Eh iya, Nadhriska
Ariandini.” Aku mengikuti gayanya berbicara. Kami pun terbahak lagi.
“Byee. See you again,Ri..”
“You too,Ra...”
Pertemuanku dengannya berakhir. Dan
setelah perkenalan singkat itu kami sekarang benar-benar menjadi sahabat. Iya,
lima menit perkenalan itu membuatku mengerti. Sahabat, bisa datang di mana dan
kapan saja....
Rai, terimakasih....
Diikutkan dalam tantangan
#EhemKenalan dari @KampusFiksi
No comments:
Post a Comment