♫♬

Saturday, August 9, 2014

Yang Singkat dan Berarti


“Mau dibantu?” Cewek berkerudung coklat susu berhenti di sebelahku. Aku tersenyum. Cewek berhidung mancung juga berlesung pipi itu lebih tinggi—satu jengkal—dariku. Itu berhasil membuatku harus mendongak untuk benar-benar melihat siapa yang memanggilku.
Hari ini, 29 Juli 2012.
Setelah semalaman aku sibuk mengurusi barang yang harus kubawa dengan serba cepat. Akhirnya hari ini pertempuran ini harus kulalui. Lebih-lebih bulan ini Ramadan. Sisa tenaga yang kuhabiskan tadi malam harus kugunakan lagi hari ini. Aku salah satu wakil dari sekolahku untuk mengikuti pertempuran memuakkan yang baru saja akan dimulai. Latihan kepemimpinan....Ah, aku tak begitu paham. Lagi pula, selama ini aku tak aktif berorganisasi. Aku hanya ikut-ikutan saja.
Hey, can i help you?” Suara serak itu kembali kudengar. Masih orang yang sama.
“Eh, nggak usah. Nggak papa. Duluan aja.” Kataku sok menolak. Kalau kata orang sih, basa-basi. Sebenarnya aku memang butuh pertolongannya. Membawakan barang yang ada di tanganku. Satu tas besar, dua tas sedang berisikan perlengkapan mandi. Ada juga makanan yang setumpuk untuk tiga hari pertempuran ini.
“Oh, baiklah. Aku duluan ya. Bye!” Kerudung coklat susunya bergoyang. Senada dengan langkah kakinya. Aku mendengus kesal. Jatuh terduduk karena kelelahan membawa barang yang super berat ini.
Tisu sangat membantu mengelap wajahku. Alhasil keringat membandel yang terus mengucur ini akhirnya kering. Tak kusangka, cewek mancung tadi dengan sigap langsung hilang ditelan bumi. Eh, maksudku. Cepat sekali ia berjalan. Sampai-sampai punggungnya yang menjauh pun tak bisa kulihat lagi.
“Niat ngebantuin kok malah ngacir gitu aja. Ih, kan niatnya basa-basi malah beneran pergi. Huh, nggak gaul! Masa nggak bisa nangkep.....”
“Kode?” Celotehanku terhenti. Aku diam tanpa kata. Garuk-garuk kepala. Seperti pencuri yang ketangkap basah ngutil barang. Cengengesan.
“Siapa bilang aku nggak ngerti kode? Sini, aku bawain. Lain kali nggak usah sok kuat. Lagian, ini kan latihan buat jadi pemimpin. Lah kamu, kayak mau piknik!” Katanya sambil tertawa. Aku menunduk malu. Dan akhirnya tersenyum bersama tawanya.
 Aku dan cewek berkerudung itu berjalan berdampingan. Tapi dasarnya aku memang lambat. Untuk membawa satu tas jinjing yang berisikan makanan saja rasanya berat sekali. Padahal dia—cewek mancung itu—membawa hampir separuh dari bawaanku.
Setelah dilihat-lihat tubuhnya lebih ramping, pipinya tirus, matanya bak buah leci—hitam legam—juga dengan senyumnya. Menyungging sok keren. Ah ya, bisa ditebak anak ini sediki tomboy dariku.
“Woy Ndut! Cepetan! Lelet amat sih. Udah dibantuin juga.” Aku tercengang. Anak ini baru kenal—walaupun belum berkenalan—berani sekali memanggilku dengan sebutan Ndut. Aku pegang pipiku. Ah sial! Memang macam bak pao. Pantas saja. Aku malah tertawa menyadari betapa tembamnya pipiku.
“Iya Cung!” Jawabku agak sedikit berteriak. Kulihat langkah kakinya terhenti. Aduh, marah? Aku cengengesan. Dia berjalan ke arahku.
“Apaan itu ‘Cung’?” Tanyanya menaikkan alis sebelah. Lagi-lagi sok keren.
“ManCungKring! Weeek!” Jawabku singkat sambil melet-melet ke arahnya.
Kecepatanku bertambah. Aku melaju semakin kencang. Sampai lupa beban berat yang kubawa. Akhirnya dengan susah payah aku sampai juga di Mushalla.
Warna hijau mendominasi Mushalla. Tumpukan sajadah dan mukena yang rapi sekali menandakan siswa di sekolah ini rajin beribadah. Buktinya saja, lantainya mengkilat. Sajadahnya tak berdebu. Ah, keren. Aku jadi iri, kenapa sekolahku tak sebagus sekolah ini? Aku sedang berada di SMK 25 sekolah nomor satu di Kotaku. Batam. Aku murid kelas dua SMK. Tapi jelas, bukan dari sekolah  ini.
Kalau boleh dijelaskan, sekolahku tak sampai setengah dari bagusnya sekolah ini. Fasilitasnya juga dengan gurunya. Sudahlah. Itu bukan yang ingin kujelaskan. Yang pasti, apakah aku akan betah tiga hari di sekolah bagus ini?

***

Sudah tiga hari dua malam aku bertempur. Melewati malam dengan kantuk yang kian menjadi. Lelah sekali kurasa, tapi lumayan. Banyak ilmu yang kudapat.
Apa yang aku bawa pun rasanya sia-sia. Tak ada yang terpakai, apalagi peralatan mandi yang satu tas itu. Waktu mandi benar-benar terbatas. Lima menit di dalam toilet, sudah diteriaki dari luar. Terpaksa, selama tiga hari ini aku tak pernah mandi.
“Nyesel kan?” Suara menyebalkan itu. Duduk di sampingku. Aku tak pedulikan keberadaannya. Tetap membersihkan wajahku dengan handuk.
Next time, thinking before doing.” Dia memeluk kakinya. Mungkin kedinginan.
“Sekalian, puasa kan? Ngapain bawa makanan banyak-banyak.” Dia belum berhenti berceramah ternyata.
Aku beranjak berdiri. Dia mengikutiku. Aku berhenti. Dia juga berhenti.
“Sudah selesaikah meledekku,Nyonya? Jangan mengikutiku!” Aku cemberut melihat wajahnya yang menyebalkan itu. Dia malah tertawa.
“Ah, hari ini kan hari terakhir kita ketemu,Ndut. Kapan lagi aku jailin kamu! Yuk, disuruh ngumpul di sana tuh.” Dia menarik tanganku. Terpaksa lagi, aku harus ikut-ikutan berjalan setengah berlari.
Pengarahan sekitar setengah jam membuatku malas mendengar lagi. Badanku sudah bau. Itulah masalah terbesarnya. Aku lelah sekali. Kepalaku pun tak sadar bersandar di bahunya. Yah, cewek menyebalkan itu. Kenapa tiba-tiba ada rasa sedih yang hadir,ya? Aku merasa akan merindukannya. Sekalipun ia menyebalkan.
Satu jam selanjutnya. Semua sudah selesai. Siswa-siswi lain sudah sibuk membawa peralatannya masing-masing. Air mataku turun. Menetes tak disadari. Aku yakin, aku akan rindu momen menyebalkan bersamanya.
Aku beranjak dan membawa peralatanku. Dia menarik tanganku. Aku hanya diam di depannya. Dan dia memelukku. Air mataku kembali menetes lagi. Aku berusaha menahannya, tapi malah tenggorokanku sakit. Jadi aku biarkan sesenggukan dipelukan dia. Si gadis berlesung pipi yang baik...
“Ndut, aku nggak pernah bisa sedeket ini sama orang baru. I think you’re the angel from God for me to be my bestfriend. Aku bakal kangen deh samamu.” Dia melepaskan pelukannya. Memberikanku tisu. Aku hanya mengangguk.
Jujur saja, selama ini aku juga merasa dia peduli. Dia baik, dan dia pantas untuk disebut sahabat. Walau aku belum pernah mengenalnya tapi aku merasa dia adalah kiriman Tuhan untukku.
Pertempuranku selesai. Artinya, selesai jugalah pertemuanku dengan gadis berlesung pipi itu. Aku menjabat tangannya sok keren. Lalu tersenyum dan meninggalkannya.
“Ndut!” Katanya menghentikan langkah kakiku.
“Apa Cung?” Jawabku singkat. Dia melangkah mendekatiku.
“Aku, Rai.” Dia mengulurkan tangannya. Aku mengerutkan dahiku. Namanya Rai?
“Eh iya, Raina Ferianda.” Rai tersenyum sekali lagi.
“Aku, Ari. Eh iya, Nadhriska Ariandini.” Aku mengikuti gayanya berbicara. Kami pun terbahak lagi.
“Byee. See you again,Ri..”
“You too,Ra...”
Pertemuanku dengannya berakhir. Dan setelah perkenalan singkat itu kami sekarang benar-benar menjadi sahabat. Iya, lima menit perkenalan itu membuatku mengerti. Sahabat, bisa datang di mana dan kapan saja....
Rai, terimakasih....



Diikutkan dalam tantangan #EhemKenalan dari @KampusFiksi 

No comments:

Post a Comment