Kita telah berdamai. Namun aku rasa kita belum sepenuhnya
berdamai dengan masa lalu. Buktinya. Selalu berujung pada pertanyaan “Kenapa?” dan masa yang telah lalu di
korek korek sedemikian rupa hingga ada topik pembicaraan. Inikah caramu
membuatku lebih tegar dari sebelumnya? Atau kau enggan pergi sepenuhnya dan
membiarkanku sedih berkepanjangan? Aku tak mengerti. Belum mengerti dan entah apakah
akan mengerti. Lelah pun juga menyesakkan dada. Ketika masa yang telah lalu di
ungkit kembali. Yang kudapati hanya penyesakkan, yang ku dapati pun hanya
sebuah rasa penyesalan yang
sebenarnya tak berharga. Atau pengungkitan
itu sesekali membuatku (terpaksa) mengingat apa yang seharusnya aku
lupakan.
Kenapa semua berujung
pada pertanyaan?
Iya. Semua yang telah berlalu. Dari kemarin, kemarinnya lagi
dan lagi. Bahkan tahun lalu. Sampai detik ini semua tak kunjung ku temukan
akhir. Semua tak berkahir pun tak berujung. Aku lelah bertanya dalam diam “Kenapa semua berujung pada sebuah
pertanyaan?” Sulit ku telaah. Kenapa semua begitu rumit dan begitu
memusingkan kepala. Sesekali melupakan namun berkali kali mengingat. Tak adil.
Cara kerja otakku tak adil. Mengapa ia harus “sesekali” melupakan dan “berkali-kali”
mengingat? Semua masa lalu yang enggan ku ungkit kembali lagi menjadi
pertanyaan. Lantas pertanyaan itu bercabang-cabang lagi hingga membuat
pertanyaan baru. Well. Semua pertanyaanku semakin menumpuk dan apa ada jawaban?
Sungguh. Sampai detik ini tak ada satu pun yang terpecahkan. Semua bersarang di
kepalaku berputar-putar bahkan menjadi benih benih pertanyaan lain. “Kenapa serumit ini?”
Pertanyaan.
Kembali pada pertanyaan. Bosan kadang, tapi bisa apa? Memang
itu yang kutemui. Sejuta pertanyaan baru yang bercabang sehingga membuat
pertanyaan baru. Bersyukurlah jika cabang dari pertanyaan itu tak membuat
cabang lain. Bayangkan berapa banyak cabang pertanyaan di kepalaku? Bingung.
Pertemanan yang kurasa singkat berujung pada pertanyaan yang meluap
sampai-sampai aku pun tak mampu mengerti arti dari pertanyaan itu. Kenapa aku
harus bertanya? Lebih lebih subjek yang aku tanya tak menjawab apa pun. Tak
pernah memberi isyarat untuk menjawabnya. Menyesakkan? Sedikit mungkin. Sedikit
berlebihan maksutnya.
Mungkin memang harus berujung pada
pertanyaan.
Mungkin? Iya. Dengan munculnya banyak pertanyaan. Kita masih
dapat berbicara walau berujung pada pertanyaan itu lagi. Tapi jika semua nya
berhenti tanpa pertanyaan mungkin kita akan benarbenar saling meninggalkan dan
melupakan. Iya? Maybe.
#Cunglin.
No comments:
Post a Comment