Kepada kamu, orang yang kurang lebih empat tahun kusebut
sahabat.
Aku sering sekali berada di posisi ini. Posisi di mana aku,
tidak tahu apa-apa. Tidak tahu apa masalahmu, tidak tahu apa maumu, tidak tahu
bagaimana bersikap denganmu, tidak tahu bagaimana merengkuhmu seperti—konon—sahabat
yang selalu ada dalam setiap situasi apapun.
Tak jarang bahkan hampir setiap saat aku dihadapkan dengan
sikapmu yang semacam ini aku tetap mencoba berbicara. Mencoba menjadi sahabat
yang katanya selalu ada. Namun,
barangkali bukan itu maumu.
Kerap kali, ketika tanganku menyentuh ujung kulitmu kamu
menepisnya, namun saat itu akupun masih mencoba menyimpulkan senyum. Meski jauh
dari lubuk hati, ada rasa pahit yang tak mampu aku jelaskan.
Kerap kali, di saat seperti ini. Tubuhku mendekatimu,
mencoba mencairkan suasana diammu. Namun, sekali lagi, kamu beringsut pergi dan
menjauhi tubuh yang mati-matian aku dekatkan padamu, hanya karena aku tak ingin
membuatmu merasa seorang diri.
Sering sekali, bibirku mencoba berbicara dengan nada ceria—meski
keceriaanku itu dibuat-buat—hanya karena aku ingin mengobrak abrik diammu
menjadi tawa. Namun, sering pula ucapku itu bertemu dengan senyum sinismu tanpa
balasan yang kuinginkan.
Di mana sebenarnya aku di letakkan dalam hidup seorang yang
kusebut sahabat? Apakah aku diletakkan pada tumpukan ketidakpentingan di paling
bawah dari hidupmu?
Kamu,
Memang paling baik, paling nyata berada dirak teratas ketika
aku terjatuh. Telinga yang paling terbuka lebar atas cerita hidup yang
memuakkan. Tapi, mungkin tidak denganku.
Aku,
Bukan yang paling baik, bukan yang paling nyata ada, juga
bukan pendengar yang kamu inginkan ada. Hingga kamu lebih memilih diam dengan
sejuta ketidakmungkinan yang aku ciptakan sendiri.
Lantas, di manakah letak orang yang kupikir sahabatmu ini?
Setiap cerita entah itu ceria atau duka, selalu kukisahkan
bulat-bulat denganmu. Namun sejauh ini, diam masih menjadi andalanmu.
Jika mereka bertanya tentangmu padaku, jelas aku menjawab
tidak tahu.
Bagaimanalah? Bahkan untuk memulai berbicara dengan alphabet
A saja. Kamu sudah beringsut menjauh.
Lantas, sekali lagi kutanya. Di manakah sebenarnya aku
diletakkan dalam hidupmu?
Sahabat—pantaskah diriku menempatkan diri sebagai sahabatmu?—
Aku berkali-kali mengatakan pada semua orang. Aku bukan
malaikat. Aku bukan peri. Aku bukan bidadari. Aku bukan makhluk Tuhan yang
punya kadar kesabaran beratas-ratus kali lipat. Yang bisa kamu acuhkan sebebas
diammu.
Aku tidak bisa menerka apa maksud diammu. Entah itu
dikarenakan aku, oranglain, orang tuamu, masalahmu atau apapun.
Tapi rasanya tak pantas jika di posisi kedewasaan macam ini,
bisu menjadi andalanmu.
Aku tidak bisa kerap kali melawan egoku untuk terus kamu
abaikan ketika ucapku mati-matian aku paksakan. Aku tidak bisa kerap kali
mendapatkan perlakuan seolah aku yang bersalah, sedangkan aku sudah bersusah
payah membuatmu kembali tertawa.
Aku juga bisa lelah, bisa habis kata, bisa habis daya, bisa
habis kesabaran, bisa habis cara, bisa habis kekuatan, bisa habis kepercayaan
bahwa aku adalah sahabatmu.
Takkah sebenarnya sahabat saling menguatkan? Namun,
bagaimana aku menguatkanmu jika setiap kekuatan yang aku salurkan justeru kamu
tolak mentah-mentah dengan diammu?
Takkah sebenarnya sahabat saling berbagi? Bagaimana bisa
berbagi jika hanya mulutku saja yang berkoar-koar dan mulutmu terkunci?
Lalu, di tumpukkan mana aku berada?
#LR
Batam, 29 Februari 2016.
No comments:
Post a Comment