Si Hitam!
Di sini tak
ada pagi, karena pagi, siang, sore ataupun malam tetap berwarna sama. Di sini
tak ada waktu, sebab waktu memang tak ada guna. Butir-butir waktu yang
seharusnya menjadi pergantian siang-malam bahkan tak pernah terjadi. Siapapun
yang mencoba bermain-main dengan waktu. Akan ditebas habis. Entah itu kepala,
tangan, atau kakinya. Dia, tak akan selamat!
Lain hal
dengan waktu, ada yang harus mengikuti aturan mainnya. Cahaya tak boleh sedikitpun
masuk dalam kota ini. Cahaya ibarat suatu hal yang diharamkan ada. Dihujat
mati-matian jika ada yang berani-berani mencongkel cahaya keluar dari
sarangnya.
“Kau
seharusnya tak berlaku seperti ini,” kata perempuan tua menasihati dia. Tertunduk
takut-takut untuk bersuara.
“Siapa kau? Aku,
tak peduli dengan yang telah terjadi!” Dia membentak. Tangannya siap-siap
mencengkeram. Matanya menembus mata perempun tua itu, tak ada yang bisa
menolong. Mata itu, sinar itu, kegelapan. Perempuan itu merapuh, jatuh terduduk
dengan kepala lunglai. Dia beraksi! Kepala tak berdaya itu ia cengkeram
kuat-kuat, menekannya perlahan sampai pecah. Isi kepalanya ditarik, kepalanya
ditebas sekali lagi dan sempurna apa yang ada di dalamnya berhamburan keluar. Tangannya,
kakinya, ia cacah dengan telunjuk runcing yang selama ini menjadi senjata
paling ampuh untuk siapa saja yang menghalangi aksinya. Termasuk perempuan tua
malang ini!
***
Dulu, kota ini
adalah kota yang penuh keindahan. Sejauh mata memandang tak ada cacat
sedikitpun. Semua sempurna. Keindahan berubah semenjak dia datang. Dia
menghancurkan kota. Dia menghilangkan warna secara perlahan. Burung camar yang
berterbangan kini diubahnya menjadi burung hantu. Warna-warni lampu kota
diubahnya menjadi lampu temaram yang hampir habis dayanya. Ah, gila! Dia
benar-benar gila.
Sebulan kemudian,
ah bulan? Memang ada bulan di sini? Entahlah. Tak selang berapa lama setelah
dia membabi buta merajuk menghancurkan kota. Kota ini benar-benar gelap. Titik-titik
cahaya sudah disumbat habis olehnya, semakin warga di sini mengorek puing-puing
cahaya. Semakin dibuat gelaplah kota ini.
Kehidupan di
sini menjadi hambar, tak terasa bahagia. Indah apalagi, hanya keindahan
gelaplah yang ada. Itupun, jika gelap digolongkan menjadi suatu keindahan. Lampu-lampu
jalan yang terlihat lebih terang dari yang lain akan dihantam. Berantakan.
***
Langit gelap,
pohon hitam, daun buram, orang berlalu lalang berwarna samar-samar—entah hitam
entah abu-abu. Satu dua orang bahkan terlihat hitam legam, kepalanya ada yang
tak dibawa. Tangannya ada yang hilang sebelah. Itu semua ulah si hitam! Untung
saja tak ia tebas habis semua badannya macam perempuan tua waktu itu. Jika
tidak, habislah sudah riwayat mereka. Semua berlalu lalang mengerjakan
aktivitas.
Di sudut
perkebunan stoberi. Wanita cantik berambut panjang—meski kecantikannya tak
dapat terlihat jelas. Setidaknya ia lebih bercahaya dari orang-orang di sini. Matanya
bercahaya putih, bersih, juga indah. Tak ada yang memiliki tatapan mata seindah
itu di kota ini. Dia adalah satu-satunya sumber cahaya sesungguhnya. Cahaya yang
tersisa dari cahaya yang disumbat habis oleh si hitam itu. Dan si hitam itu tak
akan pernah menang melawan sorot matanya. Telunjuk runcingnya yang mencacah
tubuh-tubuh orang di kota ini tak akan sanggup menyentuh setiap inchi bagian
tubuh wanita cantik ini untuk disakiti. Tidak akan pernah bisa!
***
Si hitam duduk
termenung di dekat air mancur. Sendirian. Menepi dari keramaian. Toh memang,
selama ini dia hanya hidup sendirian. Meski nyatanya orang-orang berada di
sekitarnya, tak ada yang menganggapnya berarti. Tak lain hanya seonggok sampah
yang terpaksa dipatuhi. Dia tahu itu tapi dia tak keberatan! Karena dia datang
ke kota ini untuk merusak, bukan untuk bersahabat dengan orang-orang yang
menurutnya bodoh!
Dua anak muda
gagah perkasa, berbadan lebih besar dari pada si hitam mendekat dengannya. Tersenyum
menyungging meremehkan. Baju putih-putih yang mereka kenangan terlalu suci
untuk dikatakan preman. Dan terlalu sangar untuk dikatakan malaikat. Dia tak
terima, berdiri dan menantang kedua anak muda itu.
“Heh! Mau apa
kau? Berani-beraninya kau menatapku seperti itu!” Gertaknya. Tak banyak
berkata, kedua anak muda berbaju putih itu mendekat. Satu orang mencengkram dan
merapatkan tubuh kekarnya ke si hitam. Si hitam mendorong tubuh kekar itu. Dengan
sekali dorong, anak muda itu jatuh. Tekapar. Aksinya, di mulai lagi. telunjuk
runcingnya, bak sebilah pisau yang baru saja diasah. Menekannya dengan santai
ke tubuh yang ada di hadapannya. Dari kepala terus ia tekan sampai ke dada. Darah
muncrat. Tubuh itu erbelah sebagian. Dan ia biarkan anak muda itu terkapar tak
bernapas. Belum puas melihat pemuda itu mampus. Ia tarik lagi sebagian
badannya, ia remukkan tulang-tulang yang tampak. Remuk.
“Kalian tak
akan bisa melawanku!” Dia mengamuk. Menatap pemuda yang tersisa dengan tatapan
penuh amarah. “Kau! Akan mati sama seperti dia,” katanya sambil tertawa.
Pemuda itu
tersenyum tak berkata apapun. Dan sekelabat, ketika si hitam mengamuk tak
karuan. Yang tangannya berusaha mencengkram, di saat itupula. Pemuda itu
menghilang. Dan kembali muncul tepat dibelakangnya. Menusuk perlahan membiarkan
sebilah cahaya menusuk perutnya, tertahan. Si hitam meringis kesakitan, ia tak
bisa melawan. Cahaya itu tak bisa ia lepaskan dari perutnya. Telunjuknya tak
bisa digerakkan, dia benar-benar tak bekutik.
“Rasakan
penderitaan ini! Kau tak akan bisa mati! Kau akan tersiksa!” Pemuda itu menarik
temannya yang sudah terbelah menjadi dua, membawanya pergi. Menghilang sekejap
mata.
“Mampuslah
aku! Kenapa cahaya bodoh ini harus ada di sini! Sial!” Dia menyumpah-nyumpahi
kekalahannya. Dia berjalan tehuyung. Menahan sakit yang luar biasa, darah
mengalir tak tahu diri! Cahaya itu semakin menusuknya. Perlahan. Membesar. Separuh
dari perutnya sudah berlubang, tampak isi perutnya bergelantungan, mengucur
darah segar.
Dia terus
berjalan. Mencari jalan, ingin pulang. Kemana saja yang menerimanya, kemana
saja yang bisa membantunya, kemana saja asal ia terbebas dari luka menganga. Ia
tak peduli lagi dengan rasa sakit yang ia rasa, mata-mata orang yang berlalu
lalang juga tak ada yang tertuju pada si hitam. Semuanya tak acuh, itulah
akibatnya.
“Matilah kau! Akhirnya
kau mati, bodoh!” Seseorang berkata dari kejauhan sambil menatap sinis si
hitam. Si hitam menghela napas panjang, mencoba berjalan secepat mungkin. Kakinya
lunglai. Kehabisan tenaga, tapi ia tak mampus juga.
Kenapa aku tak mampus saja dibuat pemuda
gila itu! Gerutunya dalam hati. Ia benar-benar kehilangan akal—atau memang selama
ini tak berakal.
Kakinya terus
berjalan, tak peduli apapun yang ada di hadapannya. Mata-mata sinis yang selama
ini ia lukai, orang-orang yang kehilangan mata, kaki juga tangan. Semuanya menyaksikan
keadaannya. Tak ada yang mengiba. Semua tersenyum bahagia.
***
Setelah lama
sekali ia berjalan, ia akhirnya memilih untuk duduk di bawah
bungkusan-bungkusan kantung berisikan buah stroberi yang sedang berbuah. Stroberi
putih yang hanya ada di kota gelap ini. Dia menunggu detik-detik kematiannya,
yang entah kapan terjadi. Ia berubah menjadi peyot, tubuhnya melemah, telunjuk
runcingnya tinggal tulang.
“Kau, kenapa
kau di sini?” suara merdu bertanya. Sorot mata indahnya menatap mata si hitam
lamat-lamat. Si hitam tak mampu melihat. Silau, keindahan itu momok menakutkan
untuknya. Tidak! Dia tetap tak butuh bantuan siapapun.
“Tak usah sok
baik denganku. Pergilah,” Katanya parau.
“Seharusnya
kau yang pergi, ini kebun stroberiku. Aku pemiliknya,” jawab wanita besorot
mata indah itu.
“Jangan tatap
aku, tatapan matamu membuatku semakin kesakitan. Aku tak suka cahaya!” Dia
berteriak-teriak tak terkendali.
“Kau hanya tak
mau membiasakan dirimu dengan cahaya. Kau, terlalu bebal! Kau, tak pernah
mencoba mengerti. Kau, ah. Kau bodoh! Cahaya ini membuatmu hidup, seharusnya! Tapi
kau malah asik-asikan bermain dengan gelap. Mengubah kota ini menjadi kota yang
paling buruk! Sadarlah,” wanita itu duduk di hadapannya. Menatap matanya. Memegang
garis-garis wajah yang sekarang sudah mengendur. Cahaya itu membuatnya menua
lebih cepat.
“Jauhi aku!”
Tulang-tulang tangannya berusaha mendorong perempuan yang memegang wajahnya. Bagian
kakinya mulai menghilang, berubah menjadi debu. Sedangkan perempuan itu tetap
memegang wajahnya.
“Rasakan ini.
Nikmati ini, kuharap kau mengerti.” Perempuan itu mendekatkan tubuhnya pada
orang yang paling dibenci di kota ini. memeluknya erat. Mendekatkan matanya ke
mata si hitam. Menatapnya dan memaksa si hitam melihat mata bersinar itu.
Si hitam
ketakutan, sepanjang sejarah baru kali ini ia ketakutan. Ia tak bisa menolak,
ia tak bisa berlari, kakinya sudah hilang. Kembali lagi ia rasakan pelukan
hangat itu, perempuan itu, semuanya. Ia tak mengerti bagaimana cara menikmatinya.
Mencoba menikmati mati-matian. Sedetik, dua detik, dan seterusnya. Perempuan itu
berubah menjadi cahaya yang semakin membesar. Menyilaukan mata. Si hitam pun
hilang bersama pelukannya bersama cahaya itu...
Kota gelap,
hilang....
1304 Word.
Surealis, sure i think i failed. Pfff.
Semoga
ke-absurdan tulisan ini bisa ditangkap maknanya. Atau seenggaknya, bisa menghibur.
Mwah! :*
Diikutkan
tantangan super kece #FiksiSurealis By @KampusFiksi.