Bulan
malam itu tampak sempurna. Angin Sepoi-sepoi membuat ranting bertabrakan satu
sama lain dan bersalam-salaman seoalah bersilaturahmi. Jemariku pun menari-nari
di atas keyboard yang tak seberapa itu. Ketikannya mulai melemah senada dengan
rasa kantukku yang kian lama kian terasa..... “AARON ASHAB” Ketikan terkahirku terhenti di kata yang entah
kenapa aku mengetikkannya...
“Anak-anak.. Pagi ini
kita kedatangan tamu. Jauh-jauh dari jakarta. Dalam seminggu ini dia akan
berbagi informasi tentang musik dan hal hal menarik lainnya” Kata pak guru bahasa indonesia.
“Nak, Silahkan masuk” Lanjutnya sembari memandang ke arah
pintu kelas kami yang bentuknya juga hampir tak berbentuk ‘pintu’. Dan dalam
seketika, kelas yang awalnya ricuh melebihi ricuhnya warga yang sedang
berdemonstrasi pun akhirnya hening, sepi dan senyap melebihi gedung yang tak
tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Mungkin semacam....Ah sudahlah, bukan itu
inti ceritanya.
“Ini dia anak-anak.
Perkenalkan ini Aa’ Ron”
Kata pak guru yang katanya guru
bahasa indonesia itu. Dia mulai memperkanalkan pria muda yang tampan, menawan,
menyejukkan dan enak di pandang itu. Mungkin sesekali membuat orang yang
melihatnya pingsan. Oke ini berlebihan. Pria itu berhasil menyedot berpuluh-puluh pasang mata dan fix! 100% perhatian tertuju
pada raut wajahnya itu.
“Aah, Aaron kali pak
bukan Aa’ Ron” Suara
ku pecahkan hiruk pikuk kelas. Ya. Setau ku sih Aaron Ashab. Bukan Aa’ Ron.
Maklum, guru yang ‘katanya’ mengajar
bahasa indonesia itu berasal dari jawa barat. Yap! Tepatnya suku sunda. Mungkin
ia berfikir kalau Double A dibaca Aa’ (??). Ah sudahlah. Tak ada hentinya jika
mendeskripsikan tentang guru yang katanya
tadi.
Pak guru meninggalkan Kak Aaron
dikelasku. Semua mata masih tertuju padanya. Hingga akhirnya Aa’ Ron alias
Aaron mengeluarkan suaranya.
“Hey guys.. Kenalin gue Aaron Ashab. Lo semua
boleh manggil gue kak Aaron. Gue disini selama satu minggu dan gue
bakalan.....” Kak Aaron mulai memperkenalkan diri. Entah
memperkenalkan diri atau berkhutbah. Panjang sekali. Dan aku malas untuk terus
mendengarkan ceritanya.
“Bang, Aku mau permisi
bentar” Kataku santai
sambil mengambil ancang-ancang untuk melaju pergi.
“Eh, lo bilang apa?
Abang? Gue? Lo fikir gue abang tukang bakso? Abang taksi? Abang angkot? Atau
bang tukang sayur?” Cerocosnya
begitu panjang tak terima karena nada ku memanggil “bang” memang terkesan mengejeknya.
“YA!! YA!!! BISA JADI!! Sayur apa nih? Sayur
nangka? TIDAAAK! Sayur Oyong? Tidaaaak! Sayur Lodeh? IYAAAAAAA! HAHAHAH”
Sontak seisi kelasku tertawa karena hal konyol itu.
“Dih. Lo ngeselin ya!
Nama lo siapa sih?”
Jawab kak Aaron semakin kesal.
“Vicky Prasetyo is my
name. Ya And 29 My age :p”
Mendengar jawaban ku pun Kak Aaron semakin kesal. Muka tampannya berubah
seperti kepiting rebus. Memerah. Tapi tetap saja sebenarnya kak Aaron selalu
tampan dimataku. Uhuk.
“Kamu kenapa bang?
Kontroversi hati? Atau ngerasa dikudeta sama keadaan kelas ini?” Tambahku dengan muka sok serius.
“Sumpah ya! Lo bikin gue
gak konsentrasi lagi”
Kak Aaron menjawab ketus.
“Ah! Gak usah
mempertakut gitu lah. Gausah juga di rumitisasi. Dari pada kamu gak konsentrasi
mending kita sama sama ngadain reboisasi hutan. Apasih(??)” Jawabku sok intelektual namun benar
benar 100% gagal. Aku berlalu pergi. Ku dapati wajah nya benar-benar memerah.
Memendam kesal bercampur malu..
Hari
pertama pun berlalu dengan biasa menurutku. Mungkin luar biasa untuk kak Aaron.
Bagaimana tidak. Mungkin ia sama sekali tak membayangkan akan ada manusia aneh
sepertiku yang berani membuatnya kesal hari itu. Sore berganti malam. Malam ini
berbeda dari malam kemarin. Tak ada lagi ranting ranting yang saling
bersilturahmi. Yang ada hanya rintikan air hujan yang kian lama semakin deras.
Kaca jendela ku pun lembab karenanya. Ku datangi kaca tersebut kuletakkan
tanganku ke penyekat bening itu “Aaron Ashab” Lagi-lagi nama itu
yang selalu aku tuliskan. Memandangi tulisan itu dan akhirnya aku tertidur
lelap.
Hari kedua,
Daun-daun pekarangan
sekolah bertaburan bak bunga sakura yang gugur. Namun tetap saja, ini bukan
jepang dan daun-daun yang berguguran itu tetaplah masuk dalam kategori sampah.
Asik dengan daun-daun berguguran itu tak terasa bel berbunyi.
“Hello. Pagiii. Hari ini gue masuk di jam pertama. Dan
gue bakal ngajarin lo semua main gitar. “ Kata kak Aaron siap
dengan gitar yang dibawanya. Ia mulai duduk dan mempraktekkan cara memetik
gitar dengan benar. Teman-teman sekelasku tampak sangat antusias. Ada yang
berpangku tangan memandangi wajahnya. Ada yang sibuk dengan Camera nya. Ada juga
yang sampai terpaku membisu. Sejatinya sedari tadi kak Aaron masuk, hanya dia
lah yang bermain dengan gitarnya. Sedang berpuluh-puluh mata yang lain
menyaksikan dengan seksama penuh kekaguman. Tapi tidak denganku, dan tidak
untukku.
Aku sibuk dengan laptop dan beberapa
lembar kertas serta peralatan lainnya. Sesekali menulis. Sesekali mengetik.
Dunia ku jauh lebih asyik. Sesekali mencuri pandang ke arah kak Aaron namun
sesekali sok tak memperhatikan.
“Eh lo ngapain sih? Yang lain tuh pada ngeliatin gue.
Gimana cara main gitar! Kenapa lo sibuk sendiri sih? Dari awal gue dateng kesekolah
ini. Cuma lo yang gak suka gue!” Kak Aaron tampak
benar-benar marah. Tapi aku hanya diam. Menutup laptop dan membereskan
kertas-kertas tadi.
“Gue ngomong sama lo, kenapa lo diem sih! Swear! Gue
kesel maksimal sama lo. Pertemuan terakhir lo harus nunjukin ke gue kalau lo
bisa main gitar!” Kata kak Aaron mengancam.
“Aku gak bisa main gitar
bang, percuma mau di paksa juga gak bakal bisa” Jawabku
santai.
“Gue gak mau tau. Semua sibuk merhatiin gue sedangkan lo
gak! Itu tandanya lo bisa dong. Gue tunggu 5 hari setelah ini. Gak pake
alesan!” Kak aaron semakin serius dia benar-benar
kesal dengan perlakuanku terhadapnya.
Hari ke tiga, ke empat, ke lima..
Kak Aaron mendapat
jadwal masuk kekelas lain. Sedangkan aku sibuk mati-matian mempelajari
kunci-kunci gitar yang.... Ah lebih rumit dari pada matematika, fisika atau
bahkan kimia. Searching, browsing, youtube-ing. Semuanya aku lakukan agar aku
bisa memetik gitar ini seperti kak Aaron. Hingga larut malam tetap saja aku
berusaha sampai akhirnya hari yang memuakkan itu datang. Hari dimana kak Aaron
akan menagih permainan gitarku. Tapi alangkah malangnya waktu itu aku sakit.
Dan berhalangan untuk masuk kesekolah. Pak guru yang katanya mengajar bahasa indonesia tadi menelfon yang intinya, kak
Aaron tetap ingin menagih permainan itu.
Dan aku tekatkan untuk pergi.
Malam. Iya lagi lagi suasana nya
pada malam hari. Di tepi pantai. Kudapati dari kejauhan ada seorang pria tampan
yang tinggi. Putih. Dan tepat. Itu kak Aaron, ternyata benar. Dia mempunyai
dendam yang tiada tara terhadapku. Aku datangi kak Aaron dengan muka pasrah.
Jelas saja waktu kurang dari seminggu harus bisa memetik gitar secara sempurna.
Mustahil. Aku gagal. Aku hanya memegang gitar yang diberikan kak Aaron.
Memandang kosong ke bawah. Seketika kak Aaron membuka suara.
“Lo gabisa? Makanya! Kalau jadi anak yang sopan. Kalau
orang ngajarin lo perhatiin bukan sibuk sendiri. Kalau misalnya tadi lo masuk
sekolah. Lo bakal bikin diri lo malu sendiri. Gue gak benci sama lo. Tapi gue
kesel sama cara lo yang selalu ngebuat gue seolah sama sekali gak berarti di
mata lo. Padahal niat gue baik, gue jauh jauh dari jakarta Cuma mau bagi bagi
pelajaran yang gue dapet. Tapi? Lo selalu sibuk sama dunia lo. DUNIA LO” kata
kak Aaron dengan penekanan di akhir kalimat. Aku terdiam. Meneteslah air
mataku. Tak kusangka kak Aaron benar-benar kesal karena sikapku. Aku
memberanikan mengeluarkan suara..
“Kak Aaron, sebelumnya. Nama aku Via. Pertama. Maaf aku
selalu sibuk sama dunia aku sendiri. Selalu gak merhatiin kaka, selalu manggil
kaka dengan “Bang” Selalu bikin kaka kesel. Selalu ngerasa paling hebat. Kak..
Aku bukan mau bikin kaka kesel, Aku sibuk sama dunia aku. Aku Cuma pingin kaka
mikir dan kaka marah sama aku. Dengan begitu, kaka perhatiin aku kan? Aku juga
Selama ini sibuk bukan gada maksut.
Bukan gada hal yang aku lakuin. Tunggu kak bentar..”
“Lo mau ngapain, Vi?” Tanya kak Aaron. Sedikit panik karena
air mataku semakin menjadi.
Aku merogoh
tas yang kubawa dan mengeluarkan bingkai kecil yang bergambarkan wajahnya dan
beberapa kata-kata yang sengaja kurangkai dalam kesibukan ku waktu itu .
“ini kak, ini buat kaka. Maaf karena
bikin ini aku harus sibuk sendiri gak merhatiin kaka. Tapi sebenernya aku hafal
yang kaka lakuin dari awal masuk sampe detik ini” Kak Aaron melihat mukaku
yang telah berhenti menangis. Ia lap sisa air mataku. Dia
mulai luluh dan mengerti arti kesibukanku. Kak Aaron mulai genggam tanganku dan
mengajakku berjalan ditepi pantai. Tibatiba
Langkahnya terhenti.
“Vi,
sebenarnya lo kenapa ngelakuin itu buat gue?”
Tanya nya serius. Alis matanya berkerut
sebelah. Demi Tuhan. Itu hal paling berhasil membuat ku meleleh. Seperti Es
yang terkena cahaya matahari. Ah berlebihan tapi itu nyata.
“Hm.
Sebenarnya dibalik kesibukan aku. Aku masih sempet sesekali merhatiin kaka
dengan caraku. Aku cuman pingin kaka perhatiin aku. Aku suka sama kaka. Aku
kagum mungkin lebih dari kagum. Tapi aku tau, kaka gak mungkin suka juga sama
aku. Dapetin kaka juga jadi hal mustahil di kamusku. Yaudahlah kak, lupain aja.
Toh Besok kaka juga udah pergi ke jakarta lagi.”
Jelasku panjang tanpa tangis.
“Awalnya
gue kesel sama lo,lo seolah ga peduli. Tapi hari kedua dan selanjutnya gue mulai
respon sama lo. Lo beda dari yang lain. Itu alesan kenapa gue pingin lo main
gitar di depan gue. Supaya gue bisa sama sama lo malem ini. Vi, gue
jugaaa............” Kak Aaron balas menjawab dengan nada yang super
romantis. Dia menggenggam tanganku. Dan menatap mataku dalam.
“Juga
apa kak?” Jawabku datar.
“Gue
jugaaa...........” Belum lagi kak Aaron
menyambung perkataannya yang sempat terputus tadi.
Tiba tiba ada
yang mendorongku dari belakang dan Byuuuuur!
“ VIAAAAA!!!
BANGUUUUUUUUUUUUUN” kata bunda membangunkanku sambil menyipratkan air kemuka
ku. Bagian wajahlah yang basah. Bukan jatuh ke laut. Tapi bunda. Iya bunda
menyiramkan air kemukaku. “Kak aaroooon... Ternyata.... Aku Cuma
mimpi” Dan akhirnya aku terbangun sembari tertawa kecil karena indahnya
mimpiku tadi. Walau Cuma mimpi. Kak Aaron selalu dihati <3
No comments:
Post a Comment