Kembali lagi
menulis sesuatu. Kembali lagi memberi kabar pada dunia bahwa aku masih mampu
menulis. “Apa kabar semua?” Ah ya, pertanyaan yang jawabannya pun tak mampu aku
dengar. Bagaimana bisa jaringan yang hanya menampilkan audio, dan tulisan ini
bisa menyiarkan langsung apa yang dikatakan orang di balik layar. Jika memang
bisa, itu juga melalui aplikasi. Sykpe misalnya. Sudahlah. Penat. Lelah. Entah
apalagi yang harus ku katakan.
Kembali lagi
mencoba untuk menelaah kehidupan.
Semakin
mengerti, bahwa hidup memang bukan untuk dimengerti. Tak perlulah aku tahu,
mengapa mereka meninggalkanku. Mengapa air mata turunnya dari mata bukan dari
hidung atau telinga. Tak perlu tahulah, mengapa kenyang selalu muncul setelah
makan. Tentu. Hidup harus di jalani bukan dimengerti.
Mengerti atau
tidak. Tahu atau tidak. Hidup terus berjalan. Tidak pernah berhenti walau hanya
sekian detik. Terlalu sulit untuk dimengerti, tak mungkin mengerti tentang
keseluruhan hidup. Sulit pula mengerti arti ‘keadilan’ menurutNya.
Ada yang kaya.
Ada yang miskin. Ada yang sedang-sedang. Ada yang susah dijalan. Ada yang
meminta-minta. Ah ya, itu memang selalu adil. Entah dari mana sisi keadilan
itu. Manusia hanya bisa menyumpah-nyumpahi kehidupan. Tidak peduli. Jarang
sekali bersyukur. Ya Allah terkadang kami
butuh. Butuh sekali mata hati yang bersih. Agar kami segera paham dari mana
sisi keadilanMu itu..
Aku juga sudah
berhenti menyumpah-nyumpahi keadaan. Walau aku belum mengerti apa maksud
rentetan cerita yang kualami. Aku sebenarnya peduli, tapi ah tidak. Aku
berusaha untuk tidak mempedulikannya. Dipedulikan atau tidak, cerita-cerita
menyenangkan sekaligus memuakkan itu akan terus berjalan. Tanpa henti pula.
Mana peduli cerita-cerita itu dengan suasana hatiku. Mana mengerti
cerita-cerita itu tentang situasi hidupku. Dia hanya mengikuti Sang Penulis nya
saja.
Aku merasakan
hampa. Lengang. Sepi. Rasanya kosong. Tidak ada warna. Datar. Monoton.
Membosankan! Menyebalkan betul akhir-akhir ini. Kebahagiaan macam apa lagi yang
harus aku cari. Aku sudah bebas menulis sesukaku. Di dukung pula;walau tak
sepenuhnya. Tapi hatiku masih terasa kosong. Sepertinya aku mencari seseorang.
Sayang, orang itu tak sadar bahwa aku terus mencarinya selama ini. Malah, aku
tak tahu seseorang mana yang aku maksud.
Kerinduan
membuncah. Bagai anak panah yang terus ditembakkan. Dor. Dor. Dor. Eh bukan ding. Mana ada pula anak panah bunyinya
seperti itu. Tapi apapun bunyinya, aku memang rindu. Rindu tawanya, rindu
cerita-cerita di sela malamku, rindu pula caranya memperlakukanku seperti
adiknya. Kerinduan ini tidak bisa dikendalikan. Seenaknya saja memuncak bagai
tumbuhan yang sudah menjulang tinggi. Berkembang biak lagi. kehidupan ini
benar-benar membuat hatiku tahan banting. Sudah sudah. Aku kini tahu, yang aku
rindukan itu dia. Dia sahabatku. Ah ya, terlalu cepat menganggap sahabat.
Bukan, mungkin yang tepat teman seperjuangan. Tapi, jika seperjuangan. Mana
mungkin dia meninggalkan teman seperjuangannya.
Hidup, memang
sulit untuk dimengerti..
Celakanya, kerinduan ini malah
membantuku untuk menulis, apa saja. Menyebalkan bukan! Dendam positif itu selalu hadir. Aku percaya, janji kehidupan yang
lebih baik. Sama seperti kata Tere Liye bukan padaku, tapi dalam bukunya.
Kehidupan yang
lebih baik akan datang pada manusia yang tidak mengeluh. Tidak terus menyumpahi
takdir. Terus berusaha. Berdo’a. Dan bersyukur.
Aku memang
tidak tahu keadilan dari mana “ditinggalkan” itu. Tapi, hasil akhirnya pasti
akan baik-baik saja. Walau entah kapan. Entah masih bernapas atau tidak...
Allah, selalu
adil,kan?
No comments:
Post a Comment