♫♬

Friday, April 25, 2014

Allah Selalu Adil, Kan?

Kembali lagi menulis sesuatu. Kembali lagi memberi kabar pada dunia bahwa aku masih mampu menulis. “Apa kabar semua?” Ah ya, pertanyaan yang jawabannya pun tak mampu aku dengar. Bagaimana bisa jaringan yang hanya menampilkan audio, dan tulisan ini bisa menyiarkan langsung apa yang dikatakan orang di balik layar. Jika memang bisa, itu juga melalui aplikasi. Sykpe misalnya. Sudahlah. Penat. Lelah. Entah apalagi yang harus ku katakan.

Kembali lagi mencoba untuk menelaah kehidupan.
Semakin mengerti, bahwa hidup memang bukan untuk dimengerti. Tak perlulah aku tahu, mengapa mereka meninggalkanku. Mengapa air mata turunnya dari mata bukan dari hidung atau telinga. Tak perlu tahulah, mengapa kenyang selalu muncul setelah makan. Tentu. Hidup harus di jalani bukan dimengerti.

Mengerti atau tidak. Tahu atau tidak. Hidup terus berjalan. Tidak pernah berhenti walau hanya sekian detik. Terlalu sulit untuk dimengerti, tak mungkin mengerti tentang keseluruhan hidup. Sulit pula mengerti arti ‘keadilan’ menurutNya.

Ada yang kaya. Ada yang miskin. Ada yang sedang-sedang. Ada yang susah dijalan. Ada yang meminta-minta. Ah ya, itu memang selalu adil. Entah dari mana sisi keadilan itu. Manusia hanya bisa menyumpah-nyumpahi kehidupan. Tidak peduli. Jarang sekali bersyukur. Ya Allah terkadang kami butuh. Butuh sekali mata hati yang bersih. Agar kami segera paham dari mana sisi keadilanMu itu..

Aku juga sudah berhenti menyumpah-nyumpahi keadaan. Walau aku belum mengerti apa maksud rentetan cerita yang kualami. Aku sebenarnya peduli, tapi ah tidak. Aku berusaha untuk tidak mempedulikannya. Dipedulikan atau tidak, cerita-cerita menyenangkan sekaligus memuakkan itu akan terus berjalan. Tanpa henti pula. Mana peduli cerita-cerita itu dengan suasana hatiku. Mana mengerti cerita-cerita itu tentang situasi hidupku. Dia hanya mengikuti Sang Penulis nya saja.

Aku merasakan hampa. Lengang. Sepi. Rasanya kosong. Tidak ada warna. Datar. Monoton. Membosankan! Menyebalkan betul akhir-akhir ini. Kebahagiaan macam apa lagi yang harus aku cari. Aku sudah bebas menulis sesukaku. Di dukung pula;walau tak sepenuhnya. Tapi hatiku masih terasa kosong. Sepertinya aku mencari seseorang. Sayang, orang itu tak sadar bahwa aku terus mencarinya selama ini. Malah, aku tak tahu seseorang mana yang aku maksud.

Kerinduan membuncah. Bagai anak panah yang terus ditembakkan. Dor. Dor. Dor. Eh bukan ding. Mana ada pula anak panah bunyinya seperti itu. Tapi apapun bunyinya, aku memang rindu. Rindu tawanya, rindu cerita-cerita di sela malamku, rindu pula caranya memperlakukanku seperti adiknya. Kerinduan ini tidak bisa dikendalikan. Seenaknya saja memuncak bagai tumbuhan yang sudah menjulang tinggi. Berkembang biak lagi. kehidupan ini benar-benar membuat hatiku tahan banting. Sudah sudah. Aku kini tahu, yang aku rindukan itu dia. Dia sahabatku. Ah ya, terlalu cepat menganggap sahabat. Bukan, mungkin yang tepat teman seperjuangan. Tapi, jika seperjuangan. Mana mungkin dia meninggalkan teman seperjuangannya.

Hidup, memang sulit untuk dimengerti..
Celakanya, kerinduan ini malah membantuku untuk menulis, apa saja. Menyebalkan bukan! Dendam positif itu selalu hadir. Aku percaya, janji kehidupan yang lebih baik. Sama seperti kata Tere Liye bukan padaku, tapi dalam bukunya.

Kehidupan yang lebih baik akan datang pada manusia yang tidak mengeluh. Tidak terus menyumpahi takdir. Terus berusaha. Berdo’a. Dan bersyukur.
Aku memang tidak tahu keadilan dari mana “ditinggalkan” itu. Tapi, hasil akhirnya pasti akan baik-baik saja. Walau entah kapan. Entah masih bernapas atau tidak...
Allah, selalu adil,kan?


No comments:

Post a Comment