Kaku.
Bahu sebelah kanan-kiriku tak mampu kugerakkan. Mataku sudah berkali-kali
mengerjap-ngerjap tapi tak ada hasil. Peluhku mengucur bak air mancur dari
kening, hidung apalagi dagu.
“Arggh.” Susah
payah kakiku melangkah. Berjalan secepat mungkin. Lebih cepat dari detakan
jarum jam di tangan kiriku.
Sial! Bahuku seolah
mati rasa. Aku hanya dapat berjalan lurus. Padahal aku lihat... Ah, sekali lagi
payah! Bahkan aku tak melihat apa-apa di sekitarku. Kenapa semua mendadak hitam
legam tak ada warna? Aku berhenti. Lagipula, aku tahu sejauh apapun aku
melangkah. Yang kudapati hanyalah jalan lurus. Tanpa dinding. Tapi anehnya aku
tak oleng sama sekali.
“Cepat! Jika
kau berhenti aku tak mungkin bisa lewat.” Suara itu ketus berteriak dari
belakang. Terdengar begitu memekakkan telinga.
“Astaga!” Aku
menatapnya sebenatar lalu menatap lurus lagi. Aku di mana? Semua beigtu aneh. Ditambah
lagi sesuatu yang berada dibelakangku. Begitu runcing. Ujungnya berwarna hitam
pekat. Sama seperti dasar yang aku injak sekarang. Sama juga seperti jalan
lurus yang ada di depan mataku. Tapi, sesuatu itu berbicara? Bagaimana bisa?
“Cepat! Jangan
banyak berpikir.” Desaknya sekali lagi agar aku akhirnya berjalan.
“Berjalan atau
tidak aku akan tetap berada pada garis.....” Aku terhenti.
“Tunggu dulu. Jika
aku berada pada suatu garis. Ah tepatnya, garis lurus. Berarti akan ada satu
titik di ujung sana yang barangkali ada jalan keluar untukku!” Tanpa
menghiraukan sesuatu yang berbicara di belakangku tadi. Aku berlari sekencang
mungkin. Tak perlu tahu sejauh apa jarak yang akan aku tempuh. Aku harus keluar
dari sini.
***
“Aaaaaa!”
Teriakanku menggelegar. Badanku melayang. Jatuh dari sebuah lubang bercahaya
dari titik yang kutemukan di ujung garis pertama. Celaka! Cahaya itu semakin
redup dan lambat laun hilang. Sedangkan tubuhku sedikit lagi menapak ke lantai.
Jdut!
Kepalaku terantuk
ubin berbentuk persegi. Kepalaku rasanya hampir benjut. Walaupun sempat
melayang, sialnya lima jengkal sebelum benar-benar menapak tubuhku terhempas
begitu saja tanpa ampun. Hasilnya, jidat lapangku menjadi sasaran empuk.
Mataku dengan brutal menjamah sekitar. Bahuku yang
kaku tadi juga sudah bisa digerakkan. Pergerakan kakiku yang hanya bisa
melangkah ke depan juga telah bebas berputar. Jungkir balik atau apalah
sesukaku.
Ubin persegi
itu hanya satu buah. Tapi baru kusadari panjang sisinya begitu mengerikan. Mungkin
sekitar 100meter x 100meter. Gila! Tempat macam apalagi ini?
“Berjalan saja
ikuti sisi-sisku ini. Barangkali, kau akan temukan jalan keluar lagi.” Suara
itu terdengar lebih lembut. Ku tolehkan kepalaku tapi tak ada sesuatu juga
seorang pun.
“Aku di
bawahmu.” Suara lembut itu lagi.
“Maksudmu? Ubin?
Kau ubin yang aku injak? Benarkah?” Aku mengelap keringatku. Entah sudah berapa
liter air dari keringatku yang sudah keluar. Jantungku berdegup kencang.
“Iya
begitulah. Aku tercipta dari pertemuan garis-garis lurus sebelum ini.” Dia
menjawab dengan datar.
“Aku tak
mengerti. Ini terlalu rumit. Aku tak mau tahu. Aku ingin pulang!” Jawabku. Memang
benar, aku tak peduli tercipta dari apa dia. Aku hanya ingin pulang. Mataku
nanar. Jelas sekali aku ingin menangis, aku sendirian di sini. Tak ada seorang
pun. Tanpa berfikir panjang. Aku langsung berlari mengikuti sisi-sisi ubin ini.
Celaka,
ditengah semangatku ingin menemukan jalan keluar. Kakiku malah tersandung,
entah apa yang kutabrak hingga akhirnya aku terjatuh.
“Aaaaaaaaa!!!!”
Lubang. Tubuhku masuk dalam lubang sialan ini lagi!
***
Tubuhku benar-benar
terasa ringan. Melayang macam kapas tertiup angin. Ke sana ke mari. Aku mencoba
manapak tapi tak mampu. Semakin aku mencoba menambah beban tubuhku semakin
berat tubuhku berkurang.
Gelap.
Tak ada cahaya sedikitpun. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku. Mengusap mataku
berkali-kali. Benar, tempat ini gelap sakali. Kosong. Tak ada warna barang kali
walau hanya setitik putih dalam hitam.
Aku
mengerjap sekali lagi. Berharap akan berubah. Sangat lambat aku membuka mataku.
Merasakan tiap detiknya.
“Kau
sedang apa di sini?” Aku buru-buru membuka mata—gagal menikmati tiap detiknya. Burung
gagah ini berbicara padaku—terlepas dari apa nama burung ini.
“Aku
tak tahu. Tapi yang pasti aku tak harus lebih gila dari tempat sebelum ini.
Sebuah bidang persegi. Tak ada warna. Tak ada rasa. Di sini, aku seperti
menukan kehidupan.” Aku bersungut-sungut. Burung gagah itu tetap mengikuti
tanpa menjawab apapun.
Tubuhku
masih melayang tak karuan. Tertiup angin. Wusssh. .
“Naik
saja ke tubuhku. Aku bisa kau injak. Tak akan jatuh. Percayalah.” Benda putih
halus menyetuh kakiku. Aku masih melayang tak bisa turun dan duduk ke tubunya
seperti yang ia sarankan.
“Aku
tak bisa turun. Aku tak tahu bagaimana mengendalikan tubuhku ini.” Aku menghela
napas kasar. Wush.. Aku kembali tertiup ke belakang. Sial, napasku yang
mengendalikanku. Pantas saja setiap aku bernapas tubuhku terombang ambing macam
tak tahu arah.
Aku
tahan napasku sejenak. Benar, aku bisa menapak ke tubuh putih bersih ini.
Sekarang,
aku duduk diatasnya. Memandangi sekitarku. Burung gagah tadi berterbangan
bercengkrama dengan teman-temannya. Benda putih yang kusebut awan ini juga
terus berjalan keliling dunia.
Aku
mendongak. Ada langit lagi diatas sana. Lantas aku sedang berada dimana?
Aku menunduk. Ada
bumi di bawah sana. Lantas, aku berada dimana?
“Hey, aku
harusnya berada di bawah sana. Bumi. Tempat aku dan para makhluk hidup tinggal.
Bukan di atas sini.” Aku menghentakkan tanganku ke tubuh yang kududuki ini.
“Apa bedanya?”
“Entahlah, aku
merasakan beda. Aku merasa waktuku habis terbuang di atas sini. Aku tak
mengerti harus melakukan apa.”
“Apa pentingnya?”
“Aku juga tak
tahu.”
“Tak ada
bedanya, kita sama-sama berada pada satu tempat. Satu dunia. Hanya saja ada
atas dan bawah. Tanpa kau sadari, di atasku juga masih ada atas. Di atas sana,
masih ada atas. Begitu seterusnya. Tapi, kita terkotak pada satu ruang yang
sama.”
“Aku tak
paham.”
“Bodoh! Pecuma
kau ada di sini.” Tubuhnya merenggang. Membuatku yang tak punya persiapan kusus
terjatuh.
BRUK!!!
***
“Ashlyn, kau
kenapa?” Aslan saudara kembarku bertanya. Mataku mengerjap-ngerjap.
“Garis..Ubin
persegi..Langit..Ketinggian..Ruang”
“Apa maksudmu
adalah dimensi satu, dua dan tiga?” Aslan melirik mataku tajam.
Aku
mengangguk. “Lalu setelah itu? Dimensi yang menaungi semua dimensi. Dimensi yang
membuat semua dimensi menjadi satu kesatuan. Kau tahu?” Kataku menggebu-gebu. Aku
mengelap keringkatku sekali lagi.
“Kau tertidur
dari tadi. Dan dalam tidurmu kau bermimpi. Sedangkan aku disini dari tadi. Dan
dalam sadarku aku mengerjakan tugasku. Lain lagi dengan ibu, dari tadi ia
berada di dapur mungkin saja sedang memasak. Bukankah kita dalam ruang yang
sama?” Tuturnya menyakinkan.
“Benar. Lalu?”
“Dimensi
setelah dimensi ruang adalah dimensi waktu,Lyn.”
“Maksudmu?”
“Ah dasar
payah! Terserahmu saja. Makanya, siang-siang jangan tidur! Lain kali, harusnya
kau matikan laptopmu dahulu sebelum tidur.” Aslan meninggalkanku begitu saja.
“Ohya, jangan terlalu
gila dengan satu bahasan. Aku khawatir kau akan benar-benar gila bila sebulan
berturut-turut yang kau cari di internet hanya dimensi empat itu!” Imbuhnya
lagi.
Aku menunduk
dan menatap layar laptopku. “Dimensi keempat” pada kotak kecil itu aku click.
Percuma! Jaringan terputus. Aku mendadak ingat, tadi sebelum akhirnya
memutuskan tidur modem sialan ini kehabisan kuota. Pantas saja aku biarkan ia
tergeletak di bawah kasur. Ah, sial gara-gara dimensi keempat aku samapai lupa
mematikan laptopku..
#DimensiFiksi tantangan oleh @KampusFiksi
NB : Jangan salahkan isi di dalamnya. Salahkan saja yang menulis. Haha #DimensiBikinGalau