“Aku
tidak mau!”
Pagi hari itu di sebuah rumah yang
tidak terlalu megah. Terjadi perbincangan hebat di antara keduanya. Tak terlalu
tegang. Lelaki paruh baya itu mendengar ucapan dari putrinya bersedih. Terlipat
lah wajahnya. Menahan sesak yang luar biasa didadanya.
“Aku pergi dulu,yah.” Kata anak itu
lagi. Sembari pergi meninggalkan ruang makan. Ayah hanya mengangguk mengiayakan.
Dilihatnya putri kesayangannya berjalan menjauh, punggungnya tidak lagi
terlihat.
***
“Assalamualaikum anak-anak. Hari ini
ibu akan menjelaskan tentang bagaimana berjilbab sesuai syari’at.” Kata wanita
berjilbab labuh di hadapan Vina.
“Bu, kenapa sih selalu saja mengusung
tema berjilbab sesuai syar’iat. Aku sudah berjilbab. Lalu apa lagi yang salah?”
Tanya Vina dengan nada sedikit kesal karena merasa disalahkan dengan
penampilannya selama ini. Tidak hanya disekolah, di rumahnya pun Ayah selalu menceramahi nya. Tentang ini itu , hal
apa pun dan semua itu berhubungan dengan penampilan. Aku bosan selalu penampilan dan penampilan. Apa salahnya berjilbab
menggunakan jeans atau kaus? Itu kan hak! Lagi pula yang penting rambutku tidak
terlihat. Bathin Vina.
“Tentu saja kau tidak salah. Hanya
saja kau belum mengerti beberapa bagian. Ibu tanya sekarang. Kau berjilbab
karena apa ?” Ibu Sri bertanya pada Vina dengan lemah lembut.
“Tentu saja karena perintah Allah.
Karena jilbab itu wajib, kan?” Vina menjawab sedikit mengeluarkan tenaga dan
terkesan ngoyo.
“Jika memang demikian, apa memakai celana
jeans ketika berpergian dan menampakkan lekuk tubuh adalah perintah Allah?”
Tanyanya lagi.
Vina diam sejenak. Bungkam. Seribu
kata hendak ia rangkai. Namun belum sempat terangkai suara itu kembali
terdengar.
“Apakah Allah memberikan contoh pada
Muslimah untuk menjadikan jilbab sebagai pengganti rambut? Lalu apa fungsi
jilbab jika kau gunakan untuk berkeksperimen
di kepalamu? Bukankah fungsi jilbab adalah menutupi mahkotamu? Bukan malah
menjadikan ia mahkota baru, sayang” Pertanyaan
beruntun bak kereta api tertuju pada Vina. Mata di depannya memandangi Vina
lamat-lamat. Tidak terlepas. Tidak pula berpaling.
Vina masih bungkam seribu bahasa. Ia
tidak tahu harus menjawab apa. Toh, fikirannya selama ini adalah Berjilbab ya berjilbab menutupi kepala.
Sudah.
“Sudahlah bu, aku tidak mau berdebat
dengan ibu. Lanjutkanlah pelajaran ibu. Aku permisi ke toilet dulu” Jawabnya
singkat tanpa mempedulikan apa lagi yang akan di utarakan sang guru.
Seperti biasanya Vina tetap murid yang
nakal. Walaupun ia berjilbab. Tetap saja rentetan hukuman pernah ia jalani.
Setelah ia meminta izin ke guru agamanya tadi. Sampai pelajaran berakhir pun Vina
tidak menampakkan batang hidungnya dikelas.
***
“Bunda, Ayah sudah kepalang bingung.
Bagaimana caranya menasehati anak kita, Vina. Dia terlalu menutup hatinya dari
kenyataan. Ia jarang sekali mendengarkan perkataanku Nda. Coba Bunda yang
memberi tahunya. Sungguh melihatnya mengenakan jilbab mode adalah kesakitan
untuk Ayah, nda..” Ayah berusaha menyeka air matanya. Ia bercerita pada sang
istri tercinta.
“Sudahlah, yah. Nanti Bunda akan
bicara dengan Vina. Ayah jangan bersedih. Semoga Allah melembutkan hatinya.
Aamiin.” Bunda mencoba menghibur Ayah yang tengah kecewa. Tampak garis-garis pekat
pada wajahnya ia terlalu lelah.
Seperti biasa mereka menunggu Vina
pulang sekolah.
Ketika beberapa lama mereka menunggu.
Akhirnya yang di tunggu datang juga.
“Nak, ganti baju lalu kemari. Bunda
ingin berbicara padamu” Bunda memberi tahu Vina dengan penuh kasih.
“Tapi bun, aku capek mau tidur.
Kapan-kapan saja ya. Besok atau lusa. ” Vina menoleh ke arah Bunda. Tersenyum
paksa. Menaiki anak tangga dan jedeeer! Pintu kamar Vina tertutup begitu
kerasnya. Membuat Bunda dan Ayah termangu.
“Sudahlah Bunda. Biarkan saja dulu Vina.
Ayah lupa memberi tahu. Seminggu kedepan Ayah titip Vina ya. Ayah harus
mengurusi urusan di luar kota, Bunda.” Ayah lagi-lagi harus keluar kota dan
meninggalkan Bunda serta Vina sendirian.
Malam telah datang meninggalkan sore.
Semua telah tertidur pulas. Ayah belum bisa memejamkan mata. Karena tahu esok
adalah kepergiannya keluar kota. Maka Ayah menyempatkan menulis untuk Vina..
Vina
yang selalu Ayah banggakan...
Tulisan
itu tertulis di atas kertas putih bertinta hijau kesukaan Vina.
***
Matahari meninggi. Vina masih berada
di kamarnya. Bunda telah menyiapkan koper dan peralatan untuk di bawa Ayah. Ayah
bergegas merapikan berkas-berkas yang di bawanya. Banyak sekali. Menumpuk
disana sini.
“Bunda, Vina belum bangun?” Ayah
bertanya singkat disela-sela tangannya lihai berkemas-kemas.
“Belum yah. Mau Bunda bangunkan saja?”
Bunda memberi ide.
“Tidak usah. Berikan saja ini
padanya.” Ayah memberikan kertas tadi malam.
“Baiklah. Hati-hati dijalan ya yah” Bunda
menerima kertas itu dan melambai.
Mobil yang di tumpangi Ayah melaju
pesat.
Mendengar
mobil yang melaju begitu dahsyatnya. Vina terbangun. Menuju suara yang mulai
menghilang. Ia dapati Bundanya diluar.
“Ayah kemana Bunda?” Tanyanya sambil
mengucek-ucek mata.
“Ayahmu ada urusan di luar kota
seminggu ini. Ini ada surat untukmu.” Bunda memberikan surat yang ia terima
dari Ayah tadi. Surat? Tumben sekali. Bathinnya.
Bunda menyuruh Vina mandi. Dengan
terpakasa Vina mengangguk mengerti. Surat nya ia letakkan di atas meja
miliknya. Setelah mandi ia tertuju lagi pada surat yang di berikan Bunda tadi.
Bertanya-tanya kenapa Ayah memberikannya ia surat.
Ia duduk di pinggir kasur. Membuka
surat itu perlahan..
Vina
yang selalu Ayah banggakan...
Maaf
Ayah pergi tanpa memberi tahumu. Ayah ingin berbicara banyak denganmu. Tapi Ayah
lelah terus terusan kau acuhkan, nak. Ayah mungkin belum menjadi Ayah yang baik
bagimu. Tapi percayalah Ayah selalu menginginkan yang terbaik untukmu. Karena Ayah
menyayangimu, sayang.
Ayah
pergi untuk satu minggu kedepan. Kau pasti tahu, handphone Ayah tidak akan bisa
kau hubungi. Untuk satu minggu ini mungkin Ayah tidak akan pernah menceramahimu
lagi tentang penampilanmu. Kau bisa saja tersenyum, nak. Tapi jangan pernah
lukai hati Bundamu, ya..
Ayah
titip Bunda. Jaga dia baik-baik seminggu ini. Ayah percaya padamu..
Ayah
berharap seminggu kedepan penampilan mu sudah berubah. Jauh lebih baik.
Dari
Ayahmu yang sering kau abaikan perkataannya..
Surat macam apa ini! Vina tidak sedikit pun terketuk.
Lagi-lagi penampilan. Sudahlah. Ia melupakan isi surat itu. menjalani harinya
seminggu dengan bernafas lega tanpa ada yang menceramahinya. Bunda angkat
tangan. Ternyata Vina memang keras kepala.
***
Seminggu kemudian. Bunda menunggu
diruang tamu. Berharap Ayah datang secepatnya. Vina tetap menunggu di kamarnya.
Kesunyian terpecah ketika telepon rumah berbunyi. Bunda mengangkatnya dengan
penuh semangat. Ketika di angkatnya. Semangat yang membara lenyaplah sudah.
Rasa bahagianya hancurlah musnah. Bunda terduduk di tepat di samping meja.
Vina
merasa bosan di kamar akhirnya turun. Melihat Bunda duduk. Menangis. Ia
kelabakan. Ia panik. Jalan terseok-seok. Merangkai seribu pertanyaan.
“Bunda, kenapa? Kenapa Bunda menangis?
Siapa yang menelepon? Ayah mana Bunda?” Akhirnya pertanyaan itu memecah tangis Bunda
semakin menjadi. Vina panik. Jantungnya berdegup kencang.
“Ayahmu, ke...cel....akaan, nak..” Bunda
menjawab masih dengan terisak. Vina benar-benar bungkam. Bukankah seminggu yang lalu Ayah memberiku surat? Bukankah Ayah akan
kembali setelah seminggu ini? Vina si hati batu menangis sejadi-jadinya.
Esok hari pemakaman telah berlangsung.
Vina menatap lamat-lamat tulisan di depannya. Nama Ayahnya. Sesak tiada
terhingga. Bunda masih menangis. Mereka berdua memutuskan untuk pulang kerumah.
Bunda, Vina sama-sama merasakan sakit yang luar biasa.
“Bunda. Jika aku berjilbab seperti apa
yang Ayah mau, apa Ayah memaafkanku dan ia bahagia disana?” Tanya Vina setelah
berada dirumah. Ia masih terisak.
“Tentu sayang, sebab itulah yang ia
inginkan selama hidupnya. Meski ia kau abaikan berkali-kali ia tak pernah
menyerah untuk menasehatimu. Percayalah ia akan bahagia disana. Di tempatkan
disisi yang paling indah Oleh Allah” Bunda mengusap kepala Vina. Vina
mengangguk mengerti sudah apa yang harus ia lakukan setelah ini.
Seminggu
setelah kepergian Ayah. Vina berubah. Menjadi apa yang Ayah inginkan. Mulai
mempelajari apa-apa yang di wajibkan seorang muslimah. Jujur saja, Vina tidak
ingin menjadi anak yang terus-terusan membangkang.
“Bunda. Apakah aku cantik memakai
seperti ini?” Vina yang memakai gamis, kerudung labuh, dan kaus kaki bertanya
pada Bunda.
“Subhanallah. Kau anggun sekali
sayang, andai Ayahmu bisa melihatmu seperti ini. Pasti ia bahagia” Bunda
memeluk putrinya dengan erat. Tak terasa terjadi hujan kecil di pipinya.
“Aku sayang Bunda karena Allah. Aku
sayang Ayah karena Allah. Aku sayang kalian. Terimakasih sebab kalian hidayah
itu ‘menampar’ ku perlahan, Bunda..” Vina balik memeluk erat Bunda.
“Andai
aku tahu, hari itu adalah hari terakhir Ayah bertemu aku. Aku akan bangun
pagi-pagi sekali untuk melihat Ayah. Aku rela Ayah ceramahi setiap hari jika
itu membuat Ayah ada kembali disini. Ayah maafkan aku. Ayah perlu tahu, aku
sekarang sudah menjadi apa yang Ayah dan Bunda inginkan. Aku sadar aku salah.
Aku kini telah bangga dengan apa yang aku kenakan. Ayah tahu kan? Kini aku
telah berjilbab syar’i. Ayah yang kusayang. Bait do’a akan selalu ku rangkai
dan kuterbangkan ketempat Ayah.
Vina yang dulu
mengabaikan Ayah”