BEDA RASA
Perbedaan memang menyulitkan. Tapi rasa-rasanya tak pantas jika sebuah
perbedaan menjadikan aku dan kamu saling menikam, membenci dan akhirnya
meninggalkan.
Kali ini, aku lihat kamu memperhatikanku di sudut ruangan dekat ruang
tamu. Kebetulan pintu kamarku aku biarkan begitu saja. Lagipula, aku sudah siap
untuk pergi denganmu. Sentuhan pada kerudung panjangku ini yang menjadi akhir
dari masa penantianmu di ruang tamu. Aku nikmati senyum manis yang memang
selalu kamu berikan ketika kita bertemu.
“Anisa, sudah?” Katamu memanggilku dengan senyum manis itu.
“Sudah. Sabar,ya. Aku tutup jendela belakang dulu.” Jawabku singkat dan
langsung menutup jendela belakang seperti kataku padamu. Lagipula, aku tak
ingin membuat kamu menungguku terlalu lama.
“Ayo!” Tanganmu menarikku. Aku mengikutimu dan berhenti di depan pintu.
“Kenapa lagi,Nis?” Kamu tak kuasa menahan tanda tanya itu. Aku paham
betul kamu sedikit kesal menungguku terlalu lama.
“Aku pakai kaus kaki dulu.” Aku menarikmu untuk duduk di dekatku. Kamu
selalu seperti itu, sok cemberut. Barangkali di kepalamu juga bertanya-tanya
kenapa aku selalu repot-repot memakai kaus kaki juga memakai kerudung menjuntai
sampai menutupi lenganku.
Beberapa saat kemudian, ketika semuanya telah selesai. Aku meletakkan tanganku
di sisi bibirmu dan menariknya perlahan.
“Nah, begini lebih enak. Jangan cemberut terus!”
“Ah, kamu bisa saja. Yasudah yuk.” Jawabmu sembari menghadiahkan senyum
manismu. Aku lega melihatmu tersenyum.
Sudah setahun ini kita saling bertukar cerita. Ada canda juga terkadang
duka. Kadang, aku bingung bagaimana menjelaskan padamu tentang kerudungku yang
terulur panjang. Mungkin, itu terlihat aneh di matamu. Mungkin juga, kamu
bingung kenapa aku tampak lebih berbeda dari teman-teman kita yang lain. Tapi
aku akan jelaskan semua ini padamu, suatu saat nanti. Di saat yang tepat.
***
Sore ini, kita berjalan menyusuri sawah. Hamparan hijau yang luas ini
selalu menjadikan kita satu. Menyatukan tawamu juga tawaku. Menjadikan ceritaku
juga ceritamu menjadi rangkaian cerita yang indah. Angin yang berhembus
berhasil membuat rambutmu yang lurus itu berkibar—juga dengan kerudungku yang
panjang ini. Sekali lagi, aku membenarkan posisi rambutmu. Dan kamu merapikan
kerudungku sebisamu. Sayang, kita tak bisa tampak sama karena nyatanya kita
terlahir dari rahim dan keyakinan yang berbeda.
Sayup-sayup kamu bilang kamu dengar azan. Aku melihat jam di tanganku.
Benar, sudah azan asar. Tanpa disuruh pun, kamu menarikku ke sumber air di
dekat pondok bambu. Aku bahagia kamu mengerti kondisiku, kamu sebisanya
menutupi tubuhku agar keberadaanku tak tampak oleh orang lain.
“Sudah?” Tanyamu.
Aku mengangguk. Membenarkan kerudungku dan memakai kaus kaki. Aku naik
ke pondok bambu dekat persawahan—yang biasanya dipakai untuk istirahat para
petani. Kamu menungguku di pinggir pondok bambu sembari melipat kaki—itu gaya
kesukaanmu. Selepas aku salat. Kamu mendekat ke arahku. Setahun ini aku tahu
ada pertanyaan yang membuncah di kepalamu. Tapi kamu pasti takut aku marah.
Akhir Desember ini, menjadi tahun kedua kita berteman dekat. Tak
sekalipun aku mengucapkan selamat pada hari rayamu. Padahal, setiap waktu salat
kamu selalu mengingatkanku. Juga dengan hari rayaku, kamu selalu hadir dan
memberiku bingkisan beberapa kue—yang harusnya aku yang menyediakan untukmu.
“Aku ingin bertanya padamu,Nis.” Katamu takut-takut. Tampak jelas kamu
tak ingin aku sakit hati. Barangkali, kamu berfikir mati-matian bagaimana
merangkai kata yang pantas untuk pertanyaanmu. Aku lebih mendekat kepadamu.
“Kenapa kerudungmu begitu panjang?” Tanyamu singkat. Aku tersenyum.
“Kenapa kamu beribadah untuk Tuhanmu?” Aku balik bertanya. Kamu
mengerutkan dahi.
“Karena perintah Tuhanku.” Kamu berkata mantap.
“Begitu juga denganku. Kerudung panjangku ini, perintah Tuhanku.” Sekali
lagi aku santai menjawab. Aku tak ingin membuatmu pusing dengan penjelasan
panjang lebarku. Semoga, dengan jawaban singkat tadi kamu mengerti.
Senja mulai hadir, untuk kesekian kalinya. Aku menikmati senja ini
bersamamu. Duduk di bawah pondok bambu tanpa dinding. Tersenyum bersama dan
berbagi cerita. Bedanya, hari ini akhirnya kamu bertanya semua yang selama ini
kamu tutup rapat. Beberapa saat hanya ada suara burung gagak yang entah dari
mana datangnya. Kita diam saling menikmati senja.
“Kamu baik,Nis. Kamu selalu menolongku. Kamu juga temanku yang paling
baik. Selalu mendengarku cerita, selalu mengukir tawa. Tapi...” Kamu diam
sejenak. Menatapku lamat-lamat. Begitu pula aku. Menatap matamu yang masih
penuh tanya.
“Tapi apa?”
“Tapi, sudah dua tahun kita kenal. Selama itu, kamu tak pernah
mengucapkan selamat natal untukku,Nis. Bukankah itu cuma kata-kata?”
Pertanyaanmu benar-benar menusuk jantungku. Aku menghela napas kasar. Berfikir
bagaimana cara menjelaskan padamu bahwa toleransiku bukan untuk hal semacam
itu.
“Selama aku mengenalmu, aku juga tak pernah mendengarmu mengucapkan
syahadat untuk Tuhanku.”
“Aku tak mungkin mengucapkan syahadat. Karena agamamu bukan
agamaku,Nis. Kufikir kamu mengerti..”
“Lantas, apa bedanya denganku? Bukankah syahadat juga CUMA kata-kata?”
Aku menekankan kata cuma pada pertanyaanku.
“Maaf Nis, sekarang aku mengerti. Bahwa ada hal yang menurutku biasa
saja tapi, sangat prinsip untukmu.” Katamu penuh sesal telah mempertanyakan
alasanku. Bola matamu yang tadinya cerah kini redup. Aku paham sekali, kamu
pasti takut pertemanan kita rusak karena pertanyaanmu. Tapi aku lega, akhirnya
apa yang ingin aku jelaskan tersampaikan juga. Aku genggam tanganmu. Menariknya
perlahan menuruni pondok bambu. Matahari sudah jatuh, senja juga sudah
menghilang.
Hari ini perjalanan kita sangat berkesan. Matamu masih redup. Kamu
jalan dengan gontai. Terhuyung sangat pelan. Tepat di persimpangan jalan kita
berpisah. Kamu ke arah selatan dan aku ke arah utara. Aku lepaskan genggamanku,
membiarkanmu berjalan terlebih dahulu.
“Angela....” Teriakku membuat langkahmu terhenti. Kamu menoleh.
“Iya?” Jawabmu masih lesu.
“Kita tetap berteman dekat kok! Kita memang berbeda. Tapi kita tetap
bisa berteman!” Sekali lagi aku berteriak dari kejauhan sambil melambai-lambai.
“Seperti dulu dan tak berubah?” Kamu berteriak sepertiku. Aku
mengangguk dari kejauhan. Dan seketika. Lengkung bibirmu melebar. Akhirnya, senyum
itu kembali..
Angela, kamu membuatku mengerti bahwa perbedaan tak harus membuat kita
saling membenci. Memang tak selamanya kita bisa berjalan satu arah. Tapi
setidaknya, kita bisa berdampingan merangkai cerita...
Matahari benar-benar telah tenggelam. Kuharap sama seperti pertanyaanmu
tentangku. Semoga semuanya sudah tenggelam bersama jawaban-jawaban singkatku
tadi,Angela...
Special cerpen for My Best, Ayam;)